begellataes

A Thousand Times – 264.

. . .

Diamnya Aidan bukanlah sebuah hal yang disukai Gael. Heningnya mobil yang melaju, membelah jalan arah Jakarta dari kampusnya yang malam ini sudah tidak terlalu padat, adalah hal terakhir yang dia inginkan untuk menutup harinya yang melelahkan.

Tidak ada pembicaraan acak yang biasanya terjadi, tidak ada suara radio yang menemani keduanya dengan alunan lagu, hanya ada Aidan di balik roda kemudi dan memandang lurus ke arah jalanan di depan sana. Sedang Gael, dia benar-benar tidak nyaman dengan situasi ini.

Katanya, Aidan baik-baik saja. Dirinya tidak ada masalah menunggu Gael yang sedang menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Ya, begitu katanya.

Namun, yang Gael dapatkan sekarang adalah wajah datar Aidan dan bibir pria itu yang terbungkam rapat. Bukanlah sesuatu yang Gael harapkan, mengingat jawaban Aidan yang katanya tidak apa-apa tadi.

Sejujurnya, yang sangat amat jujur dari hati, Gael sangat sebal dengan sikap Aidan saat ini. Atau lebih tepatnya, sikap Aidan akhir-akhir ini. Entah apa yang ada di pikiran pria itu, sehingga sikapnya berubah menjadi terlalu protektif terhadap Gael.

Gael suka diberi perhatian, Gael suka Aidan yang suka cemburu kecil ketika dirinya dekat dengan orang lain, Gael suka Aidan yang cerewet. Namun, dia benar-benar tidak suka kalau dirinya berasa dikekang dan terlalu diikat. Dan itu yang sedang dia rasakan saat ini. Seakan Aidan tidak percaya kepada dirinya, atau memang sebenarnya cara berhubungan romantis pria itu memang begitu. Entah, Gael juga tidak mengerti. Yang jelas, Gael benar-benar tidak suka. Terlebih, saat Aidan bungkam dan bersikap dingin seperti ini.

Saat mobil Aidan tiba di depan pintu gerbang rumahnya, Gael tidak berkata panjang lebar. Dirinya hanya bilang, “aku turun ya, makasih.”

Setelah itu, dirinya masuk ke dalam gerbang rumah, tanpa menoleh sedikit pun ke arah luar. Meski Gael tahu kalau mobil Aidan belum pergi dari sana.

Tidak ada pesan singkat manis yang biasanya. Yang Gael lakukan hanyalah membersihkan diri dan pergi tidur. Dan Aidan juga tidak mengirim pesan apa pun padanya.

Rasa kesal itu benar-benar melonjak, yang tadinya hanya 60% berubah menjadi 85%, dan Gael hanya berharap kalau besok pagi suasana hatinya sudah kembali. Aidan juga tidak menyebalkan lagi, karena Gael benar-benar tidak menginginkan situasi yang seperti ini terjadi di antara mereka.

Di sisi lain, Aidan malam itu menghabiskan berjam-jam dengan memandangi langit-langit kamarnya. Hanya ada lampu tidur di sebelah kasur yang menjadi satu-satunya sumber cahaya di sana. Membiarkan gelap remang menemani lamunan panjang.

Aidan bukannya egois, atau berunah menjadi si bajingan over protektif. Dirinya sendiri tidak bisa menjelaskan apa yang dia rasakan saat ini.

Rasa khawatir, rasa cemburu ketika Gael berada di dekat orang lain, rasa takut kehilangan, semua perasaan itu timbul begitu tiba-tiba. Rasanya, Aidan takut kalau luka lama itu terulang lagi.

Rasa lukanya begitu nyata, meski dirinya hanya mengingatnya sebatas memori dari sebuah mimpi.

Aidan takut, demi Tuhan, takut sekali. Takut, kalau dirinya akan kehilangan orang itu lagi. Dan Aidan sadar, kalau pemikirannya ini adalah sebuah kebodohan yang luar biasa. Dia sadar, dia paham dan dia juga tidak habis pikir dengan dirinya sendiri.

Namun, ketakutan itu begitu menguasai dirinya. Seakan pikiran buruknya itu jauh lebih mengontrol dirinya, dibanding akal sehat dan perasaan tulusnya pada Gael.

Ya, terkadang, memori buruk memang bisa berdampak sebesar itu atas sikap kita.

Dan malam itu jarinya mengetik sebuah kalimat yang begitu jujur. Tentang kekhawatiran dan rasa takutnya. Berharap bahwa Gael akan mengerti apa yang dia rasakan setelah itu.

. . .

. . .

The most beautiful things in life; people, places, memories, feelings and moment.

Kalau Gael disuruh memilih menyebutkan hal terindah dalam hidupnya, sudah jelas Aidan akan masuk ke dalam jajaran teratas.

Kata orang, hal indah itu terkadang bisa berbentuk apa saja. Bisa tempat, bisa kejadian, bisa memori dan bisa juga dalam wujud manusia; makhluk yang paling sering kita temui di kehidupan ini.

Dan bentuk nyata dari hal indah itu, kini sedang berdiri di depan pagar rumahnya. Memakai jaket hitam dengan kaos dalaman abu-abu. Berdiri sambil menyengir, ketika melihat sosok Gael yang berlari kecil menuju pagar.

Tangan direntangkan, menyambut tubuh Gael ke dalam dekapannya. Hangatnya dekapan dan perasaan yang tersalurkan kian nyata, ketika angin kecil berembus di malam pertengahan Agustus. Membiarkan bising dan gaduhnya debaran jantung keduanya menyatu, terpacu, namun selaras berpadu.

Punggung Gael diusap lembut, dan senyumannya merekah lebar. Hangat tubuhnya menjalar hingga ke pipi yang dihias senyum, disusul dengan gurat merah setelah itu. Namun, Gael dapat bernapas lega, karena dapat menyembunyikan senyum malu dan rona merah itu dari Aidan. Saat wajahnya bersembunyi pada leher pria itu, meski pacarnya sudah terkikik geli dengan tingkah lakunya. Karena Gael sudah terlalu nyaman dengan posisi itu.

Aidan tidak memberikan jarak, bahkan tidak berpikir untuk buru-buru melepaskan pelukan. Dia membiarkan Gael yang dengan nyaman memeluk balik tubuhnya dengan erat, menyembunyikan wajah lucunya yang sangat ingin Aidan lihat saat ini. Yang dia lakukan hanyalah melanjutkan usapan lembut di punggung Gael, sambil tertawa kecil, kemudian berkata, “El kangen banget sama Ai atau gimana, hum?”

Gael mendengus, dan Aidan dapat merasakan dan mendengarnya. Meski Gael melakukan itu sambil menyembunyikan wajahnya di lehernya.

Mereka bertahan dalam posisi itu. Berdiri dengan saling memeluk tubuh satu sama lain. Ada sekelebat bayangan, sepotong kecil bayangan acak, yang tidak asing namun juga asing. Saat keduanya berpelukan di atap gedung, dengan hangatnya matahari pada sore hari di musim panas. Sebuah pelukan, yang sayangnya kala itu hanya berisi luka.

Luka yang teramat perih; pedihnya takdir dari dua insan yang tidak sejalan.

Dan kini, mereka saling meraup tubuh satu sama lain ke dalam dekapan. Memeluk begitu erat, seakan berkata pada takdir yang dulu begitu jahat, kalau kini mereka benar-benar memiliki satu sama lain. Sebuah memori yang terasa pedih itu menghambar, kalah oleh rasa bahagia yang membungkus keduanya begitu erat.

“Engga kangen tuh, biasa aja.” ucap Gael. Meski tubuhnya berkata sebaliknya, mengeratkan lingkaran tangannya pada tubuh Aidan. Tidak membiarkan ada sedikit jarak pun di antara mereka.

“Yah, padahal udah Ai kangenin. Ternyata kangennya satu arah aja, nih?”

Gael keluar dari persembunyian. Wajahnya kini sejajar dengan Aidan. Menatap pria itu, lalu menggeleng. “Engga satu araaaah.”

Terkikik semakin geli dengan tingkah pacarnya. Aidan melepaskan satu tangannya yang tadi memeluk erat pinggang Gael. Dia usap puncak kepala Gael dengan gemas.

“Denger-denger ada yang bantuin bibi masak, tapi malah buat gosong ayam seekor.” ledek Aidan. Membuat Gael mendecak sebal, dan bibirnya memgerucut kecil. “Ih, tau-tauan aja siiiih. Siapa nih yang jadi mata-matanya Ai, huuuuh?”

“Rahasiaaa, hahaha. Aduh, recharge banget deh Ai balik latihan dipeluk begini.”

“HALAAAAH.”

Dan keduanya tertawa. Meski harus berlama-lama berdiri, ditemani angin malam yang untungnya tidak begitu kencang malam ini. Mereka berdua tetap menikmati momen itu. Saat rasa bahagia mereka dapatkan melalui hal kecil. Hal kecil, bersama seseorang yang begitu istimewa.

. . .

. . .

Setelah makan malam sederhana dan singkat di rumah Aidan, Gael disuruh pergi terlebih dahulu ke kamar pria itu. Sementara Aidan membereskan beberapa hal di dapur. Kedua orangtua-nya sudah masuk ke dalam kamar, sedangkan ART di rumahnya tidak pernah menginap. Jadi, kalau sudah malam begini dirinya terbiasa membersihkan sisa makannya sendiri.

Gael menolak dengan keras, tentu saja. Dirinya malah merasa tidak enak kalau meninggalkan Aidan membersihkan piring kotor mereka sendirian. Maka dari itu, mereka berdua berakhir di depan sink dapur. Aidan bertugas untuk membersihkan dengan sabun, dan Gael dapat kebagian membilasnya.

Mereka tertawa beberapa kali, entah apa yang ditertawai. Cara Gael yang membilasnya dengan kaku, atau kegiatan mereka saat ini secara keseluruhan. Menggelikan, ya? Namun terasa menyenangkan dan lucu untuk dibayangkan kembali nantinya. Mungkin mereka berdua akan sering memutar ulang adegan ini ketika bosan.

Setelah selesai dengan acara mencuci piring bersama itu, Aidan menyerahkan lap bersih kepada Gael. Kemudian membantu Gael untuk mengeringkan tangannya, membuat pria itu senyum malu sambil menunduk, melihat cara Aidan bertindak saat ini. Gael pura-pura batuk kecil, kemudian berkata, “Ai, emangnya El engga bisa ngeringin tangan sendiri?”

Tawa Aidan yang renyah menyambut pertanyaan pura-pura dari Gael itu. Bagaimana tidak ditertawakan, kalau yang dilakukan Gael hanyalah diam sambil senyum-senyum saat Aidan melakukannya tadi.

“Oh iya? Tapi kayaknya El juga menikmati aja tadi, soalnya diem aja.” jawab Aidan, semakin gencar meledek Gael yang kini wajahnya sudah merah padam akibat rasa malu. Kemudian, satu tonjokan ringan melambung ke arah lengan Aidan. “Emang kalau engga ngeledek El kayaknya engga seru, ya?”

Aidan kemudian mendorong Gael keluar dari area dapur. Menuntunnya ke arah tangga, menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua. Karena inti dari kunjungan mereka ke rumah Aidan sebenarnya untuk mengobrolkan sesuatu. Sesuatu yang mungkin saja berhubungan dengan satu sama lain.

Pintu di hadapannya terbuka, kemudian Aidan mempersilahkan Gael masuk terlebih dahulu. Untuk beberapa saat mata Gael sibuk menyusuri tiap sudut kamar Aidan, kemudian mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil. Aidan yang sedari tadi menonton ekspresi lucu Gael itu langsung ikut tersenyum, kedua alisnya terangkat sebelum memberikan tanya, “Kenapa ngangguk terus senyum begitu?”

Gael menggeleng. “Kamar Ai lumayan rapih, hehehe.”

Pintu kamar tertutup. Kini Gael sudah duduk di pinggiran kasur Aidan, dan si pemilik kamar lebih memilih duduk di kursi belajarnya. Sempat hening beberapa saat, karena bingung harus memulainya dari mana. Aidan bimbang, mana yang sebaiknya dia bahas terlebih dahulu.

Haruskah mereka mengobrol tentang mimpi, atau haruskah Aidan mengajak Gael berpacaran secara resmi?

“Jadi mau ngobrolin apa?” tanya Gael, berbarengan dengan Aidan yang juga bertanya, “Mulai dari mana, ya?”

“Terserah Ai deh.” kata Gael menyerahkan keputusannya kepada Aidan.

Dan setelah itu, Aidan memulai ceritanya. Menumpahkan segala perasaan aneh yang dia rasakan dan pendam seorang diri. Tentang mimpi yang dialami, tentang perasaannya pada Gael sejak mereka pertama kali bertemu. Juga, tentang Jeongguk dan Kimtae. Dua nama itu yang kini juga mulai terdengar familier untuk Gael.

Tubuh Gael kaku, dia benar-benar merasa tegang dan campur aduk sekali saat ini. Telinga dan otaknya begitu fokus mencermati setiap kata yang terucap dari Aidan. Hatinya sibuk mengantisipasi tiap kata berikutnya, entah apa yang membuatnya merasa begitu. namun ketakutan itu jelas ada di sana.

“Awalnya Ai engga punya pikiran apa pun, mungkin cuma kebetulan aja. Kebetulan aja mimpi yang Ai alamin itu sakitnya beneran terasa sampai Ai bangun.” kata Aidan, mengenang kembali saat di mana mimpi-mimpi itu mulai datang. Dia tersenyum kecil, kemudian kembali melanjutkan ceritanya. “Sampai hari itu Ai ketemu El di stasiun Tebet. Kebetulan macem apa itu? hahaha. Pas banget motor Ai rusak, mobil engga ada yang nganggur dan tumben-tumbenan Ai naik kereta. Dan di hari itu juga Ai ketemu sama orang yang wajahnya mirip banget sama sosok yang di mimpi Ai.”

Gael menahan napasnya selama beberapa detik. Jarinya meremat sprei yang membalut kasur Aidan, karena tiba-tiba saja rasa nyeri itu kembali datang.

Aidan bercerita tentang perasaan aneh yang dia rasakan itu. Bagaimana dadanya terasa sakit dan sesak saat melihat Gael. Tentang perasaan sedih tanpa dasar yang tiba-tiba saja membelenggunya. Kebingungan yang membuatnya bertanya-tanya tentang sosok Gael dan pria di dalam mimpinya.

Awalnya memang semuanya terasa aneh dan rumit. Namun, semuanya kini menjadi lebih mudah untuk dia pahami. Mimpi yang sempat terlihat kabur, kini mulai semakin jelas. Puzzle yang hancur berkeping-keping, pelahan-lahan mulai berhasil dia satukan.

“Menurut El, pertemuan kita itu takdir atau kebetulan?” Aidan kembali mengulang pertanyaannya yang sempat dia ajukan di chat. Dan kini, Gael harus dihadapkan dengan situasi sulit. Karena dirinya belum mempersiapkan jawabannya sama sekali. Kemudian Aidan kembali berkata, “Karena, menurut Ai ini bukan kebetulan.”

Kalimat itu membuat Gael termenung sesaat, meski dirinya memang sudah sempat memikirkan hal ini sebelumnya. Ya, memang pertemuan mereka itu terlalu unik untuk menjadi sekadar kebetulan. Perasaan nyaman dan tidak asing antara dirinya dan Aidan juga mustahil dapat tumbuh begitu saja.

Tiba-tiba Gael mendapati dirinya bertanya-tanya akan hal serupa. Apa memang kebetulan di kehidupan seperti ini? Atau sungguh ada campur tangan takdir Tuhan di sana?

Napasnya tertahan di tenggorokan, membuat rasa sesak yang timbul entah karena terlalu banyak hal yang dipikirkan atau karena rasa sakit itu kembali datang. Membuat Aidan berjalan menghampiri Gael, duduk tepat di sebelahnya dan kembali memeluk tubuh pria itu. Aidan paham, segala hal aneh ini memang terdengar tidak masuk akal, namun begitulah yang terjadi.

“Menurut Ai, Jeongguk dan Kimtae itu beneran ada?” tanya Gael di dalam pelukan Aidan. Dan disambut dengan anggukan kepala Aidan sebagai jawaban. “Menurut Ai, mereka beneran nyata. Karena yang Ai rasain juga nyata.”

Gael melonggarkan pelukan mereka, wajahnya sedikit mendongak untuk menatap langsung ke arah Aidan. “Menurut Ai, mereka berdua itu masa lalu kita? Tapi, emangnya mungkin? El pernah nonton film tentang reinkarnasi beberapa kali, tapi ga pernah kepikiran kalau hal begitu beneran ada.”

Who knows?” jawab Aidan. Tangannya masih tidak berhenti mengelus punggung Gael, mengantarkan kenyananan untuk pria itu.

“T-tapi… El kemarin mimpiin bagian itu, di atap gedung. Waktu cowok pirang itu minta orang yang mirip banget sama El buat ga pilih orang lain lagi di kehidupan selanjutnya.” kata Gael, kemudian dia diam sebentar untuk mencari-cari kata yang pas untuk kalimat selanjutnya. “Mungkin engga kalau itu ada hubungannya juga sama pertemuan kita?”

Kalau iya, berarti pertemuan kita memang engga terjadi begitu aja? Kalau rasa sayang El sama Ai, apa itu nyata atau cuma karena sebuah janji di masa lalu aja?

Gael mempertanyakan itu dalam hatinya. Ketakutan lama belum berhasil dia hadapi, kini muncul ketakutan baru dalam dirinya.

“Ai engga tahu, El. Yang Ai tahu ya perasaan Ai sendiri saat ini, perasaan Ai ke El yang emang ada terlepas dari apa yang terjadi di mimpi kita. Apa yang dulu pernah terjadi sama Jeongguk dan Kimtae, yang mukanya kayak kembar indentik sama Ai dan El.

Yang Ai tahu, Ai jatuh cinta sama El karena sikapnya El. Yang lucu, yang baik, yang cerewet meskipun Ai dulu suka kabur-kaburan. Ai mulai terbiasa sama semua itu, ngebuat Ai lupa hari-hari waktu belum ketemu El tuh gimana.”

Aidan hanya ingin meluruskan sebuah perasaan yang mengganjal. Bukan bermaksud untuk mengungkit masa lalu, kalau memang benar apa yang mereka duga benar. Karena bagi Aidan, kehidupan yang dia miliki saat ini adalah kehidupannya. Dia Aidan Maheswara, bukan Jeongguk atau siapa pun itu. Meskipun mereka benar-benar berbagi masa lalu yang sama, bagi Aidan masa depan tidak ada sangkut pautnya dengan itu. Karena Aidan yang dapat menentukan jalan cerita hidupnya sendiri.

“Ai, si Kimtae jahat ya dulu sama Jeongguk? Takdir mereka semenyedihkan itu ya dulu?”

Dan yang tidak Aidan ceritakan dengan jujur adalah kalau dirinya memiliki jauh lebih banyak memori tentang Jeongguk dan Kimtae, dibanding dengan Gael. Sayangnya, Aidan harus merasakan rasa sakit yang mendalam itu sebanyak dua kali. Dirinya tidak ingin Gael merasakan hal yang sama.

Kepalanya menggeleng. Ibu jarinya menghapus tetesan air mata pada pipi Gael. “Engga kok, emang jalan ceritanya mereka ga berakhir sesuai yang Jeongguk inginin aja. Tapi mereka bahagia, Ai yakin. Dan apa yang terjadi di kisah mereka, itu semua engga ada sangkut pautnya sama Ai dan El di sini. Kita punya kisah kita sendiri.” kata Aidan. Berusaha sebisa mungkin memberi pengertian kepada Gael, sebuah sudut pandangnya tentang Jeongguk dan Kimtae, dan berharap Gael akan mengerti.

“Jadi, El mau engga ngeresmiin hubungan kita? El mau atau engga laluin hari-hari El jadi pacarnya Ai?” tanya Aidan.

Yang Aidan dapatkan hanyalah tatapan Gael selama beberapa detik. Mungkin Gael masih sibuk dengan jutaan pertanyaan dalam kepalanya, atau ada hal lain yang dia lakukan. Misalnya, hanya ingin memandangi wajah Aidan saja.

Lima detik, hingga akhirnya Gael mengangguk. Menjawab pertanyaan Aidan tanpa ada kata yang mewakili isi hatinya.

Kemudian tubuhnya dipeluk erat oleh Gael. Bahunya digunakan sebagai tempat beristirahat dagu Gael, lalu beberapa kali mencuri cium di sana. Gael melakukannya semata-mata untuk membuang sisa gundah dan risau yang menjejak dalam hatinya. Kemudian, puncak kepala Gael habis dikecupi oleh Aidan.

“El nginep aja apa, ya? Hahaha.” tanya Gael, setengah bergurau sebenarnya.

“Mau nginep? Bobonya nanti Ai peluk, biar engga mimpi sedih lagi.”

Sedikit banyak kerisauan di hatinya mulai terkikis, Gael bisa tersenyum dengan senang. Buru-buru dirinya menghubungi Bunda dan bang Gio, memberi kabar kalau malam ini dirinya akan menginap di rumah sang pacar. Meski harus memakan banyak petuah dari bang Gio terlebih dahulu.

Yang terpenting, malam ini dirinya bisa tidur nyenyak dalam pelukan Aidan.

. . .

. . .

Deja vu, kata yang sudah cukup familier untuk banyak orang, termasuk Gael. Ya, biasanya, digunakan untuk mengekspresikan sebuah perasaan tidak asing yang tiba-tiba dialami oleh seseorang.

Gael pernah mendengarkan bang Gio bercerita, tentang seorang filosofis dan parapsychologist asal perancis, bernama Emile Boirac. Beliau adalah sosok yang mencetuskan istilah deja vu pada tahun 1876, yang berarti “pernah merasa”, atau “pernah melihat”. Saat itu, sang kakak dengan semangat menjelaskan istilah tersebut kepada Bunda, di tengah-tengah acara makan malam keluarga.

Terkadang, fenomena ini sering kali disangkut pautkan dengan hal mistis. Sedangkan, dari sisi ilmu dan medis, biasanya disangkut pautkan dengan kerja otak manusia. Namun, Gael tidak pernah benar-benar mendalami makna dari kata tersebut. Tidak juga berminat untuk mencari tahu lebih dalam. Karena, dirinya memang tidak menganggap serius hal itu.

Ya, biasanya memang begitu. Tapi, tidak untuk malam ini. Di mana dirinya kembali dihadapkan dengan situasi aneh; berada di tempat asing yang terasa begitu familier. Semuanya terasa begitu akrab untuknya. Atap gedung sebagai latar, pria berambut pirang yang sedang bersandar pada pembatas, dan perasaan aneh yang membuat dadanya bergetar.

Ada berbagai macam perasaan yang bercampur aduk, ada berbagai macam rasa yang sulit untuk dia jelaskan. Semuanya seakan berkecamuk, mungkin sebentar lagi meluap dan Gael tidak menaruh ekspektasi apa pun untuk respons dirinya.

Rasanya hangat, rasanya sedih, rasanya kecewa, yang mungkin lebih banyak didominasi oleh perasaan kurang mengenakan.

Dirinya berusaha mencari jawaban, namun tidak dapat menemukan apa pun.

Yang dia temukan hanyalah sosok lain dirinya, yang sedang melangkah menghampiri si pria berambut pria. Pria dengan paras yang sangat mirip dengan Aidan, yang sedari tadi berdiri bersandar pada tembok pembatas di atap.

Mereka berbincang, bersisian sembari menatap pemandangan dari atas gedung itu. Basa-basi tentang cuaca, tentang bagaimana mereka akan merindukan suasana dan tempat itu. Dan entah mengapa Gael dapat paham dengan jelas seluruh isi pembicaraan mereka.

Saat itu Gael mulai berpikir, bahwa seperti inilah deja vu yang dijelaskan oleh bang Gio.

Kedua sosok di hadapannya, latar tempat, suasana, obrolan mereka, semuanya terasa begitu akrab di telinga dan matanya. Gael serasa sedang menonton cuplikan film, yang kini terputar di dalam kepalanya. Sebuah adegan yang sudah dia tonton berjuta-juta kali, namun tetap menimbulkan efek yang sama pada dirinya.

Dadanya nyeri, rasanya sakit sekali.

Saat kedua orang itu berpelukan, saat pria berambut pirang mendekap tubuh sosok yang sangat mirip dengan dirinya.

Kalau kita ketemu di kehidupan selanjutnya, jangan pilih orang lain lagi ya?

Rasa nyeri itu, seakan-akan ada yang menggores dadanya. Perasaan buruk itu datang, menyerang Gael yang masih tidak mengerti tentang apa yang sebenarnya terjadi. Cerminan dirinya sedang menahan sakit dan tangis, seakan-akan Gael turut merasakan hal tersebut.

Air matanya pecah, baik pria di dalam pelukan itu, maupun Gael. Keduanya menangis penuh luka.

Si pria yang mirip dengan Aidan membantu sosok lain dirinya yang sedang menghapus jejak air mata. Ada sedikit tawa, tawa palsu sekadar pencair suasana.

Janji dulu, Kimtae. Jawab pertanyaan gua itu.

Untuk sesaat, kedua orang itu diam. Mereka hanya saling menatap bola mata satu sama lain. Tidak ada kata di sana. Namun, Gael paham, Gael mengerti, kalau mata keduanya berbicara lebih dalam ketimbang kata mana pun yang dapat terucap oleh mulut.

Ada sebuah janji di sana. Ada sebuah ketulusan di sana.

Ditutup dengan senyuman lega oleh si rambut pirang. Dan berakhir oleh air mata yang tidak dapat berhenti menetes, membanjiri pipinya tanpa ampun.

Gael hanya dapat berjongkok. Menangis sejadi-jadinya di tempat, sambil memegangi dadanya yang masih terasa sakit.

Dia berteriak dalam hati.

Dan tidak lama, matanya terbuka. Gael terbangun dari mimpi menyakitkan itu. Napasnya memburu, tidak stabil. Wajahnya banjir oleh keringat dan air mata yang menyatu menjadi satu.

Setelah itu Gael menangis sejadi-jadinya di atas kasur. Memeluk dirinya, meringkuk di dalam selimut. Dan entah mengapa dalam hati dirinya terus menerus memanggil nama Aidan.

Aidan, yang saat itu juga sedang menghubunginya melalui panggilan telepon. . . .

. . .

Duduk dengan tenang di dalam mobil Aidan, sembari membiarkan penyiar radio mengisi kekosongan sementara. Seakan hal ini sudah menjadi sebuah kebiasaan untuk mereka berdua. Gael yang tidak pernah langsung turun dari mobil Aidan, meski mobil itu sudah terparkir di depan pintu gerbang rumah Gael.

Rasanya berat untuk sekadar turun. Meski itu memang yang seharusnya Gael lakukan sejak tadi. Hatinya berat, tidak suka memikirkan kalau hari ini harus berakhir. Aidan harus kembali ke rumahnya, dan dirinya juga kembali sibuk memikirkan arti mimpi aneh yang sedang sering berkunjung dalam tidurnya.

“El engga mau turun nih? Apa perlu Ai gotong sampai kamarnya El?”

Gael tertawa begitu mendengar ide konyol dari Aidan. Namun, kepalanya tetap mengangguk untuk menanggapi candaan pria itu. “Boleh, kalau Ai engga keberatan gendongnya.”

Tidak terima, Aidan pun merasa dirinya sedang ditantang dengan kalimat Gael barusan. Seakan-akan medali emas kejuaraan karate dan hasil dari latihan fisik sebanyak dua kali seminggu tidak berarti apa pun.

Aidan melepas sabuk pengamannya. Kepalanya menoleh ke arah Gael yang masih sibuk cenge-ngesan. “Bener, ya? Ai gendong beneran nih ke dalem.”

Gael langsung berhenti tertawa. Kemudian, memeriksa ekspresi serius yang kini terpajang di wajah Aidan.

“S-Serius?”

Aidan menjawabnya dengan sebuah anggukan kecil.

“Tapi, orang rumah El belum pada pulang 'kan?” tanya Aidan, penuh antisipasi untuk jawaban Gael. Reaksi alami itu membuat Gael semakin terkikik geli. Ingin sekali mengerjai Aidan lebih lanjut lagi, karena pria itu kini terlihat begitu menggemaskan.

Gael mengedikkan bahunya. “Engga tahu. Coba ayo gendong El, sekalian Ai periksa sendiri udah pada pulang atau belum.”

Pikir Aidan dalam hatinya, bisa bahaya kalau candaan tadi benar-benar dia lakukan. Apa jadinya kalau orang rumah Gael melihat adegan itu nantinya? Bisa-bisa, restu yang sudah dia kantongi terbuang begitu saja.

“Eh, jangan deh. Ai anterin aja sampai depan pintu, ya?”

“Hahaha, El juga cuma becanda aja kok. Ai engga usah nganterin, di mobil aja gapapaaa. Cuma berapa langkah doang juga ini pintu rumah El.”

Gael sudah membuka sabuk pengamannya sejak tadi, sejak mobil sedan Aidan terparkir di depan pagar rumahnya. Namun, dirinya saja yang enggan untuk pergi. Masih ingin duduk di sana, di samping Aidan meski itu hanya untuk melewati waktu tanpa obrolan.

Dia menghela napasnya, memasang wajah sedihnya dan menunjukan ke Aidan. “El belum mau pulang ih, masih mau sama Ai.”

Seperti orang yang sedang dimabuk cinta. Gael menunjukkan gelagat seperti itu; dia benar-benar sedang kasmaran.

Aidan tertawa. Satu tangannya melayang, mengacak rambut Gael dengan lembut. Gael itu memang lucu dan menggemaskan, Aidan tahu sekali. Namun, sisi manjanya yang ini benar-benar membuat Aidan ketar-ketir, rasanya mungkin dia tidak bisa menahannya lebih lama.

“El, jangan gemesin begini dong. Nanti Ai jadi mau nyulik, tapi takut juga mau nyuliknya. Nanti berhadapan sama Ayah, Bunda dan bang Gio.”

Tangan Gael meraih tangan Aidan yang masih asik mengacak-acak rambutnya itu, lalu dia menggenggamnya. Badannya miring menghadap ke arah Aidan, dan kepalanya dia sandarkan ke jok mobil. Mereka membiarkan kedua tangan itu bertautan, kemudian sibuk saling menatap pasang mata satu sama lain. Mereka menyelam, jauh ke dalam sana.

“Rasanya aneh deh. Ai tahu engga, kalau dari awal tuh El ngerasa familier sama Ai. Kayak... El udah sering ngeliat tatapan Ai yang kayak sekarang ini.”

Tatapan Aidan yang tenang dan penuh damba, meski pria itu diam seribu kata. Gael merasa begitu familier dengan tatapan itu. Iris matanya sama, perasaan yang dihantarkan oleh tatapan itu juga sama.

Aidan tersenyum penuh arti. Ada sesuatu yang menggelitik perutnya saat ini, bukan maksud untuk menanggapi perkataan Gael sebagai lelucon. Bukan. Justru, Aidan sangat setuju begitu mendengar pernyataan Gael. Ya, sudah ratusan kali dirinya berkata hal yang serupa. Gael terasa begitu familier, bahkan sejak sebelum pertemuannya dengan pria lucu ini di stasiun Tebet kala itu.

Kepingan puzzle yang dulu hancur, menyebar secara acak, seakan perlahan berhasil dia satukan menjadi kesatuan yang utuh. Ada beberapa bagian yang masih hilang, memang. Namun, kini semuanya terasa lebih jelas.

Aidan yakin. Sangat amat yakin.

It's always been just him, Nayaka Gael, dulu dan sekarang.

Tidak ada jawaban yang masuk akal untuk ini. Hubungannya dengan Gael, perasaannya, bukanlah sesuatu yang bisa dia jelaskan dengan kata-kata biasa. Dirinya tidak bisa menjelaskannya dengan sederhana. Karena rasanya begitu kompleks.

“Hih, males ah diketawaaaaiiin.” ujar Gael. Kemudian mendecak dan melepaskan genggaman tangannya pada Aidan.

Aidan langsung buru-buru menggapai tangan Gael. Menggenggamnya kembali, bahkan lebih erat dari sebelumnya.

“Engga diketawain. Ini Ai setuju, karena Ai juga ngerasain hal yang sama. Kayak... Ai udah kenal sama El jauh dari dari pertemuan kita di stasiun Tebet waktu itu. Udah lamaaa banget, seribu tahun ada kali haha.”

Gael mendecih. Satu tangannya dia gunakan untuk memukul kepala Aidan dengan pelan. Hingga Aidan meminta ampun berulang kali, meskipun dia melakukannya diselingi dengan tawa.

Di saat Gael menghentikan aksi penyerangannya pada Aidan. Mereka kembali terhanyut dalam tatapan satu sama lain. Dengan senyuman yang menghias di kedua wajah mereka.

Kini Aidan meniru posisi Gael; miring, menghadap satu sama lain, dengan kepala yang bersandar dengan nyaman pada bantalan kepala di jok mobil.

Tangan Aidan yang bebas kini terangkat. Mengelus poni Gael, menyibaknya yang kini mulai sedikit panjang, hingga hampir menutupi matanya. Mata Gael yang besar, kelopak matanya tajam dan dihiasi bulu mata yang panjang. Dan mata indah itu kini sedang beradu tatap dengan kedua pasang bola matanya.

Membuat Aidan kembali larut. Terhanyut, semakin jauh dan semakin dalam.

Hingga kilasan memori tentang kejadian yang belum pernah dia alami itu menginterupsi. Membobol masuk ke dalam pikirannya begitu saja.

Jeongguk?

Kamu tuh emang nyebelin banget, Jeon!

Jeon Jeongguk, astagaaaa.

Buru-buru Aidan menggelengkan kepalanya. Mengusir jauh bayangan itu dari dalam kepalanya. Setelah itu, wajah khawatir Gael menyambut dirinya. “Ai, kenapa?”

Mata Aidan panas, tidak tahu kenapa. Suara itu, tatapan itu, semua memori asing yang terasa familier. Wajah dan suara yang sama persis dengan Gael, entah kenapa selalu menghadirkan rasa nyeri aneh di dalam dadanya.

Aidan menggeleng. Dia tegakkan posisi tubuhnya, lalu mencondongkan ke arah Gael duduk. Dia tarik tubuh pria itu. Dia peluk dengan erat, membiarkan Gael bertanya-tanya dalam hati. Namun Gael tetap membalas pelukannya. Aidan merasakan tangan Gael mengelus punggungnya dengan lembut, lalu menepuk-nepuknya dengan pelan. Tanpa pria itu memaksakan sebuah tanya.

“Maaf kalau tiba-tiba Ai ngomong begini. Ai cuma mau bilang aja, kalau Ai...”

Aidan menjeda kalimatnya sebentar.

“Ai sayang sama El.”

Dan, senyuman Gael mengembang dengan lebar setelah itu. Kepalanya mengangguk, padahal itu bukanlah jawaban yang pas dari pekataan Aidan barusan.

“El juga sayang Ai. Kayaknya bukan rahasia lagi, ya? hehehe.”

Mereka melonggarkan pelukan. Memberi sedikit jarak di antara keduanya, agar bisa menatap wajah satu sama lain.

Senyuman masih menghiasi wajah Gael. Hingga pipinya terasa pegal dan panas, mungkin saja pipinya kini sudah dihiasi rona merah juga. Namun Gael tidak peduli, dia tidak mau menutupi perasaan yang sedang dia rasakan saat ini. Ada percikan rasa bahagia dalam dirinya, sesuatu yang sulit dia jelaskan melalui kata.

Sama halnya dengan Gael, Aidan jelas merasakan hal yang sama. Dirinya juga tidak berhenti tersenyum sejak tadi. Bahkan, hanya dengan sebuah tatapan saja, mereka sudah bisa menyalurkan perasaan satu sama lain.

Perasaan yang membuat keduanya lupa kalau bumi dan waktu di sekeliling mereka berputar. Perasaan yang menggelora, begitu besar dan mungkin tidak dapat ditampung atau ditahan lagi.

Membuat Aidan memberanikan diri untuk mengikis sisa jarak kecil di antara mereka. Mendekat ke arah wajah yang begitu indah itu. Mencuri tatap sedetik, sebelum kelopak mata Gael tertutup. Menantikan detik selanjutnya, di mana kedua bibir mereka bersentuhan. Di mana dunia benar-benar hanya milik mereka berdua.

Ketika Aidan pun ikut memejamkan matanya. Ikut hanyut ke dalam perasaan mereka berdua yang melebur menjadi satu. Hanya dengan sebuah kecupan kecil yang sederhana di sana.

Sederhana, memang. Karena, terkadang perasaan yang kompleks tidak harus disalurkan melalui rentetan kata yang rumit. Sebuah tindakan kecil justru jauh lebih bermakna.

Gael yang larut pun sedikit menuntut. Seakan tubuhnya bertindak berdasarkan insting, tanpa mempedulikan akal sehatnya yang lumpuh sementara waktu. Dia membalas kecupan sederhana itu dengan sebuah lumatan kecil. Membuat Aidan tersenyum samar, lalu membalas lumatan Gael di sana.

Hingga satu teriakan klakson dari mobil di hadapan mereka menyadarkan keduanya. Memaksa mereka untuk menghentikan kegiatan tersebut, melepaskan tautan pada bibir satu sama lain.

Aidan langsung keringat dingin, dan Gael juga benar-benar salah tingkah.

“A-Ai, sorry. Aduh, e-eh, itu mobilnya bang Gio. K-kayaknya dia mau masuk ke garasi.” kata Gael yang terbata-bata karena gugup.

“Oh, iya. Ya udah, Ai mundurin mobilnya sebentar...”

“Engga usah, Ai pulang aja!” Gael buru-buru menjawab. “U-udah malem juga. El, turun, ya?”

Setelah itu, Gael langsung membuka pintu mobil Aidan. Anak itu langsung berlari, kabur masuk ke dalam gerbang rumahnya dan sibuk merutuki dirinya sendiri.

Semoga saja sang kakak tidak melihat adegan barusan yaaaa~

. . .

. . .

Come back, even as a shadow; even as a dream.

Gael benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya. Dia tidak tahu bagaimana dirinya bisa sampai di tempat itu tiba-tiba, tanpa dapat mengingat apa pun yang terjadi sebelumnya. Karena, yang diingat Gael hanyalah dirinya pergi tidur lebih awal, akibat dari kepalanya yang luar biasa sakit.

Setelah itu, setelah dia membuka matanya, Gael malah mendapatkan dirinya berdiri di sebuah tempat asing. Di depan sebuah bangunan tinggi, dengan pekarangan yang luas dan pohon-pohon yang mulai gundul daunnya. Tempat ini jelas-jelas asing untuk Gael. Lalu, kenapa dirinya bisa tiba-tiba berada di sana?

Setelah mengambil waktu sebentar untuk mencerna situasi, tiba-tiba saja sekelilingnya berputar begitu cepat. Seakan dirinya masuk ke dalam sebuah film lama yang sengaja diputar cepat. Sekelilingnya, segalanya yang berada di sekitarnya berjalan dengan cepat. Semua, kecuali dirinya. Kecuali Gael, yang hanya bisa berdiri dengan sebuah tanda tanya besar dalam benaknya.

Dalam hatinya Gael bertanya-tanya akan apa yang sedang terjadi padanya. Seperti, dirinya sedang tidak menghadapi situasi yang dapat ditemukan jawabannya menggunakan logika. Lalu apa ini semua? Apakah dia sedang bermimpi? Ya, pasti dia sedang bermimpi.

Mimpi yang anehnya terasa asing dan familier di saat yang bersamaan. Terasa sehangat teriknya matahari di pertengahan bulan Agustus, namun juga terasa dingin seperti akhir bulan Desember. Gael tidak tahu di mana keberadaan dirinya, namun dia seperti sangat mengenal tempat itu. Gael dapat mencium aroma musim semi, Gael bisa merasakan teriknya matahari, bisa merasakan sejuknya angin musim gugur, bahkan dinginnya salju di sana. Seakan dirinya pernah menghabiskan banyak waktunya di gedung itu.

Hingga dirinya sampai di putaran akhir, ketika semuanya kembali bergerak dengan normal. Ketika langit kembali menggelap dan dia melihat eksistensi dua pria yang sedang berdiri tidak jauh dari dirinya. Dua pria dengan perawakan dan wajah yang sama persis seperti dirinya, dan juga… “Ai…?”

Gael mengambil langkahnya, mendekat ke arah dua orang yang tidak menyadari keberadaannya sama sekali. Sosok yang mirip dengan dirinya, namun wajahnya dibingkai oleh kacamata, dia nampak tidak nyaman dan banyak menunduk. Seakan, menghindari tatapan mata pria di hadapannya hanyalah satu-satunya hal yang benar dan dia tidak punya pilihan lain.

Mereka berbicara dengan bahasa yang terdengar asing di telinga Gael. Tapi, entah mengapa, Gael dapat mengerti dengan isi dari perbincangan mereka.

Tangan mereka bertaut, atau setidaknya, sosok yang mirip sekali dengan Aidan itu kini sedang memegang cerminan dirinya. tatapannya tegas, namun terlihat ada sedikit rasa waswas di sana, seakan takut dengan hal tidak pasti yang mungkin akan terjadi.

Gimana kalau gua berharap lo mau nyoba buka hati lo buat gua?

Gua boleh egois kan kali ini, Kim?

Kim Tae…?

Rasanya sakit sekali, Gael tidak tahu kenapa tiba-tiba dadanya terasa nyeri dan matanya terasa panas. Pria itu, pria yang terlihat mirip sekali dengan Aidan, namun rambutnya dicat pirang, sedang memohon kepada sosok yang mirip dengan dirinya. Dia memohon, dengan segenap hatinya. Terdengar tulus, dan juga begitu putus asa. Seakan-akan, jawabannya adalah pertaruhan nyawanya.

Hati Gael terasa perih. Dia bahkan dapat merasakan genggaman hangat pria itu, padahal bukan sosok dirinya yang sedang digenggam saat ini. Gael merasakan sakit dan sesak yang luar biara. Terlebih, saat sosok yang mirip dengan dirinya itu melepaskan genggaman tangan mereka.

Lalu, meninggalkan si pria pirang begitu saja. Meninggalkan sosok yang mirip sekali dengan Aidan dalam keadaan hancur. Pria itu, pria yang nampak persis dengan Aidan, dia masih berdiri di tempatnya. Meski dirinya sudah ditinggal begitu saja. Satu tangannya terangkat, untuk memegang bagian dadanya yang terasa sakit. Ada beberapa tetes air mata yang menghiasi pipinya, Gael dapat melihatnya dengan jelas. Namun, pria itu lekas menghapus pipinya yang basah. Menghilangkan jejak luka yang sudah tertoreh dalam hatinya. Kemudian, tarik napasnya dalam-dalam, seakan tindakannya dapat membuang si rasa sakit yang sedang membalut utuh jiwa dan raganya.

Setelah itu dia pergi dari sana. Dia pergi dalam keadaan kacau dan hancur. Dan, hal selanjutnya yang dilihat oleh Gael hanyalah langit-langit kamarnya yang gelap. Dia lap keningnya yang berkeringat, lalu merasakan bahwa pakaiannya juga tidak kalah basah.

Apa itu barusan? Apa benar hanya mimpi sebuah mimpi acak yang kebetulan saja memiliki jalan cerita yang buruk?

Entah. Yang pasti, Gael sangat bersyukur akan hal itu. Gael bersyukur kalau yang dia lihat barusan hanyalah mimpi. Meski rasa sesak dan sakit itu masih tertinggal di dadanya. Meski detain tiap adegan menyakitkan itu masih terekam dan tertinggal dalam memorinya. Meski rasanya begitu sakit dan terlalu nyata.

. . .

. . .

Menghilangnya Taehyung yang begitu tiba-tiba memang terasa mencurigakan. Namun, perkataan ayah Jungkook saat anaknya dibius paksa tadi, kini terasa jauh lebih mencurigakan dibanding apa pun yang bisa Jungkook pikirkan. Terlebih, beliau adalah dalang dari hal tersebut. Ayahnya sendiri yang memerintahkan seseorang untuk membius anaknya, di depan mata kepalanya sendiri.

Namun, kenapa?

Apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga ini?

Apa yang terjadi pada Taehyung?

Apakah ayahnya memang ada sangkut pautnya dengan ini semua?

Maaf nak, ayah hanya tidak ingin hal itu terjadi lagi. Ayah tidak mau putra ayah kembali seperti dulu. Kalimat ini, sebenarnya apa yang ditutupi oleh sang ayah? Seperti dulu, memangnya Jungkook dulu kenapa? Apa yang tidak seharusnya terjadi lagi?

Jadi, hal apa yang benar dan bisa dipercaya?

Taehyung yang tidak pernah ada dalam hidup Jungkook atau seseorang sengaja menghapus Taehyung dari hidup pria itu?

Lenyapnya Taehyung masih belum memberikan titik terang apa pun, masih menjadi sebuah misteri besar yang tak terpecahkan. Pria manis itu masih menghilang bak ditelan bumi. Tidak ada yang mengetahui di mana keberadaannya. Tidak ada yang mengetahui keberadaan Taehyung, kecuali satu orang, yaitu Seokjin. Kini, Seokjinlah yang dapat dikatakan sebagai kunci utama keberadaan Taehyung. Atau mungkin ternyata dia salah satu bagian dari kisah hilangnya tunangan Jungkook itu? yang pasti, untuk saat ini Seokjin dapat menjadi kunci kebenaran tersebut. Entah pada akhirnya kebenaran itu akan terungkap atau tidak.

Satu hal yang sudah pasti, kalau Seokjin mengetahui di mana keberadaan Taehyung sebenarnya. Namun berani jamin, kalau informasi itu tidak akan pernah sampai ke telinga Jungkook. Entah pria itu memiliki maksud apa di balik tindakannya. Padahal, sejak awal Jungkook sudah mempercayakan segala halnya pada Seokjin. Sayangnya, Jungkook selalu salah menaruh kepercayaan pada orang lain, ternyata semua orang tidak ada bedanya.

Lantas, sekarang siapa yang bisa Jungkook percaya?

Tidak siapa pun, hanya dirinya sendiri.

Jungkook terbangun dalam keadaan kepala yang sakit luar biasa. Entah karena efek obat bius, atau karena dirinya terlalu lama tidak sadarkan diri, atau memang sakit kepalanya yang akhir-akhir ini sering dia rasakan itu sedang berkunjung.

Dia pejamkan matanya sebentar, memasang ekspresi mengernyit dan memijit kepalanya, demi meringankan rasa sakit.

Dirinya belum sepenuhnya sadar, belum bisa mencerna situasi apa yang telah dan tengah dihadapi. Dia mungkin tidak mengingat kejadian di ruang kerja sang ayah, juga tidak tahu di mana dirinya berada sekarang.

Di kamar berukuran luas, dengan pencahayaan remang dan tidak ada akses jendela sama sekali. Ada dua pintu di dalam sana, satunya adalah pintu kamar mandi, letaknya di bagian dalam ruangan paling pojok, dan satu pintu keluar tepat di sebelah nakas ranjang.

Ini kamar tamu di rumah sang Ayah, letaknya di lantai satu dan dikelilingi oleh ruangan besar lainnya. Tentu saja kalian tidak akan menemukan akses jendela sama sekali. Satu-satunya jalan untuk keluar dari ruangan tersebut ya hanya pintu utama.

Setelah diam beberapa saat, dan mencerna apa yang sedang terjadi; di mana dirinya dan apa yang dia ingat terakhir kali, Jungkook pun bangkit dari ranjang. Meski sedikit tertatih, karena kepalanya masih sedikit berat dan kakinya terasa lemas, dia tetap memaksakan diri untuk bangkit. Dia ingin keluar dari sana. Masih ada banyak yang harus Jungkook lakukan, masih ada banyak yang belum bisa Jungkook temukan jawabannya. Dan, Kim Taehyung, tunangannya juga belum ditemukan.

Tangannya mencoba untuk membuka kenop pintu, menariknya, melakukan segala cara agar pintu di hadapannya bisa terbuka. Sayangnya, pintu itu terkunci dari luar. Dan harusnya, Jungkook sudah menduganya. Karena tidak mungkin ayahnya akan melepaskan dia begitu saja.

Pintu kayu berwarna putih itu dia gedor dengan keras. Jungkook berteriak seperti orang kesetenan, seperti dia sudah kehilangan kontrol atas emosinya. Tangannya mengepal dan terus-terusan memukul daun pintu, tanpa peduli kalau kini jari-jari dan punggung tangannya sudah memar.

“BUKA PINTUNYA SEKARANG, ATAU GUE DOBRAK?” teriak Jungkook. Amarahnya semakin membuncah. Emosinya meluap, karena merasa tidak ada yang menghiraukan permintaannya sejak tadi.

Samar-samar, Jungkook dapat mendengar ada sebuah obrolan dari luar pintu kamar itu. Obrolan singkat antara sang ayah dan juga dua orang penjaga yang ditugaskan mengawasi kamar yang Jungkook tempati.

Mengetahui fakta itu, membuat Jungkook semakin mengamuk. Dia gedor pintunya semakin kencang, dia lempar segala macam hal yang dapat dia gapai, meskipun hasilnya akan tetap sama. Pintu itu tidak akan terbuka, meski Jungkook memintanya dengan baik-baik dan lembut.

Jungkook berteriak, kini teriakannya itu sudah bercampur dengan suara tangis. Dia merasa tidak berguna dan tidak berdaya, jika ayahnya sudah turun tangan begini. Jungkook menangis, dia meminta maaf kepada Taehyung, karena pencariannya mungkin akan terhambat selama beberapa saat.

Tubuhnya merosot ke lantai. Jungkook menangis kencang, tanpa malu untuk menutupi lukanya. Jungkook menangis, dan menangis. Sembari dalam hatinya dia bedoa, kalau semoga di mana pun Taehyungnya berada, dia akan tetap baik-baik saja. Taehyung akan menunggu Jungkook untuk menemukannya dan membawanya pulang ke pelukan Jungkook, tempat teraman bagi Taehyung.

Dan tiba-tiba saja memori di dalam kepalanya terputar satu kejadian. Hari di mana Taehyung berpura-pura tersenyum, hari di mana Taehyung berpura-pura dirinya baik-baik saja. Sambil pria itu berkata,

Kayaknya, ayah kamu engga terlalu suka sama aku, ya?

Jungkook bersumpah, demi apa pun, kalau memang sang ayah ada sangkut pautnya dengan menghilangnya Taehyung, dirinya tidak akan memaafkan ayahnya. Dirinya tidak akan diam saja dan menerima nasib buruk yang diciptakan oleh sang ayah.

. . .

. . .

Seminggu sebelum menghilang.

Malam itu Taehyung terlihat gelisah sekali. Jungkook sampai bertanya pada tunangannya itu, apakah terjadi sesuatu pada dirinya.

Namun, Taehyung hanya menjawabnya dengan senyum simpul dan gelengan kecil. Tentu saja itu bukanlah hal yang sebenarnya dia rasakan. Yang Taehyung lakukan hanyalah mendorong Jungkook untuk kembali masuk ke dalam ruangan kerjanya. Katanya, Jungkook tidak perlu menghiraukan Taehyung sama sekali. Dan dengan bodohnya, Jungkook menurut, dia malah melanjutkan pekerjaannya lagi.

Pada pukul 11.45 malam, Jungkook memutuskan untuk menyudahi pekerjaannya dan pergi tidur. Dia tutup semua berkas dan dia matikan laptop-nya. Pikir Jungkook, Taehyung pasti nanti akan marah besar, karena Jungkook lagi-lagi terlalu banyak bekerja. Taehyung itu benci sekali kalau Jungkook sudah bekerja sampai lupa waktu dan lupa istirahat. Bisa dipastikan kalau pasti tunangannya itu sudah tidur, dan Jungkook akan diinterogasi tanpa ampun besok pagi.

Namun, pikirannya salah. Kim Taehyung, pria manis itu ternyata belum tidur. Dia masih duduk dengan ditemani segelas wine dari sebotol wine yang hampir habis. Taehyung sibuk meneguknya dengan pelan di atas meja pantri. Bukanlah sebuah pemandangan yang biasa bagi Jungkook, karena dia tahu tunangan manisnya bukanlah penggemar minuman beralkohol.

Kaki Jungkook melangkah, menghampiri pria manisnya itu yang masih tertunduk dengan gelas kecil berisikan minuman berwarna merah keunguan di genggamannya. Jungkook mencoba melepaskan gelas tersebut dari genggaman Taehyung, lalu dia peluk tubuh pria itu. Tubuh Jungkook sedikit menunduk untuk bisa mengecupi sebelah wajah Taehyung dan leher indah milik tunangannya itu.

“Hei sayang, apa terjadi sesuatu? Engga biasanya kamu minum minuman beralkohol kayak ini.” kata Jungkook, yang masih bertahan dengan posisinya. Masih setengah menunduk dan menghirup dalam-dalam puncak kepala Taehyung.

Taehyung saat itu langsung berdiri dan mengalungkan kedua tangannya ke leher Jungkook. Jungkook bisa melihat kalau tunangannya menyembunyikan sesuatu, tapi entah apa yang sedang disembunyikan oleh Taehyung saat itu.

“Sayang, kerjaan kamu sudah selesai? cepat banget?” ucap Taehyung, mencoba mengabaikan pertanyaan Jungkook sebelumnya.

Tidak, Jungkook tidak menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Jelas-jelas, saat itu sudah hampir tiga jam Jungkook berkutat dengan berbagai berkas di ruang kerjanya. Bahkan, Jungkook pikir Taehyung sudah pergi tidur duluan. Meski pada akhirnya yang dia lihat malah pemandangan tunangannya sedang mabuk, dengan satu botol wine yang hanya tersisa sedikit saja.

Sesuatu yang tidak baik pasti sedang terjadi, karena Taehyung bukan tipe orang yang dengan mudah meminum minuman beralkohol. Taehyung membenci minuman yang rasanya tidak enak itu. Jungkook yakin itu, namun terlalu takut untuk mengetahui lebih lanjut.

“Mau ceritain apa masalah yang lagi kamu hadapin ke aku?” tanya Jungkook lagi.

Kini dia yang duduk di kursi pantri, sambil menuntun Taehyung—yang sedang mabuk—untuk duduk di pangkuannya. Kemudian, pria manis itu menggeleng-geleng dengan asal, matanya setengah terpejam, namun berusaha untuk tetap terlihat sadar.

“Masalah apa? engga ada masalah apa pun yang terjadi sama aku.”

Butuh waktu yang cukup lama untuk Taehyung bisa menjawab pertanyaan Jungkook dengan satu kalimat itu. Tunangannya mabuk berat, sebaiknya Jungkook membawanya ke kamar dan mereka segera beristirahat.

Alih-alih kukuh mengajak Taehyung bicara dan menuntutnya dengan jutaan pertanyaan, Jungkook lebih memilih untuk mengajak prianya itu istirahat. Jadi, dia angkat tubuh Taehyung yang terlalu lemas dan dalam pengaruh alkohol, digendonglah pria manis itu menuju kamar mereka.

Dalam gendongannya, Taehyung tertawa kecil, meracau tidak jelas, dan dia juga sempat menggumamkan sesuatu sebelum Jungkook membawa masuk dirinya ke kamar. Jungkook tidak bisa mendengarnya dengan jelas apa yang Taehyung katakan, karena tunangannya itu bergumam dengan pelan sekali. Ya, Jungkook tidak dapat menangkap kalimat utuh yang dikatakan Taehyung. Namun, dia dapat mendengar jelas kata terakhir yang keluar dari mulut tunangannya.

Ayahmu...

. . .

Present time.

Sebelum itu, Jungkook tidak pernah terpikirkan hal buruk akan terjadi pada dirinya dan Taehyung. Mana mungkin Jungkook bisa memikirkan hal ini; kalau suatu hari dirinya dan Taehyung akan terpisah. Apalagi, sebuah ide bahwa Taehyung bisa tiba-tiba lenyap.

Dan kini, setiap harinya Jungkook harus dihadapkan dengan kenyataan, bahwa Taehyung tiba-tiba menghilang. Taehyungnya lenyap. Tidak meninggalkan jejak sama sekali. Seakan bumi mendukung usul bahwa Taehyung itu memang tidak pernah ada.

Jungkook awalnya tidak mau menyangkut pautkan lenyapnya Taehyung dengan ayahnya. Tapi, dia tahu kalau tidak ada yang tidak mungkin. Terlebih, ingatan itu semalam datang kembali ke dalam mimpinya.

Ingatan tentang beberapa hari menjelang menghilang Taehyung. Saat dia memergoki tunangannya mabuk berat, padahal Taehyung bukan orang yang memiliki toleransi yang tinggi dengan segala minuman yang beralkohol. Dalam keadaan mabuknya waktu itu, Taehyung mengatakan sesuatu tentang Ayahnya Jungkook. Sialnya, Jungkook tidak tahu jelasnya apa. Fakta ini, sekeping memori yang tidak utuh malah hanya memperburuk pemikirannya saja.

Jungkook bingung. Dia benar-benar kalut. Terlebih, Kim Seokjin belum juga memberikan inforasi apa pun yang berhasil ditemukan. Mustahil sekali untuk Seokjin tidak dapat menemukan informasi apa pun pada targetnya. Kakak tingkatnya itu sudah meretas data-data pekerja di stasiun TV yang Jungkook katakan adalah kantor dari Taehyung. Seokjin juga sudah mencari artikel ataupun buku hasil karya Taehyung, namun hasilnya nihil.

Menurut informasi seadanya dari Jungkook, Taehyung itu merupakan penulis naskah di salah satu stasiun tv yang cukup ternama di Korea. Bagaimana mungkin Seokjin tidak menemukan informasi apa pun mengenai Taehyung di stasiun tv itu?

“Kook, gue jadi ragu bisa ngebantu lo kalau kayak begini. Apa lo yakin semua informasinya sudah benar?” tanya Seokjin.

Jungkook diam, karena dia mulai meragukan apa yang benar dan tidak di waktu-waktu tertentu. Dirinya semakin hari semakin terlihat berantakan. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin terlihat jelas, wajahnya juga agak pucat dan sering sekali tidak fokus dengan keadaan sekelilingnya. Bahkan, mendengar suara Seokjin saja hanya samar-samar, karena kini dirinya bisa dengan mudah tertarik masuk ke dalam lamunannya sendiri.

“Kook? Minum dulu, lo kelihatan berantakan banget.” tambah Seokjin, lalu dia menyodorkan segelas air kepada Jungkook.

Jungkook menggeleng, menolak untuk meminum apa pun. Bukan karena dia berpikir kalau Seokjin akan meracuninya atau bagaimana, hanya saja kini tubuhnya seperti mati rasa. Jungkook sering kali tidak merasakan lapar ataupun haus. Seluruh pikirannya tersita hanya untuk mencari Taehyung saja. Hanya untuk mencari sebuah jawaban dari menghilangnya Kim Taehyung yang begitu tiba-tiba.

“Kak, awalnya gue engga terpikirkan akan hal ini. Tapi, apa mungkin menghilangnya Taehyung ada sangkut pautnya sama Ayah?” tanya Jungkook.

Selama sepersekian detik Seokjin terlihat kaget dengan pertanyaan Jungkook. Namun, dia buru-buru memasang ekspresi santainya kembali.

“Hm, mungkin?” jawab Seokjin ragu. “Mengingat seberapa besar kekuasaan yang dimiliki sama ayah lo.”

“Kayaknya, gue harus pergi kak. Nanti gue hubungi lagi, ya? Jangan lupa juga memberi kabar kalau ada info terbaru yang lo temuin soal Taehyung”

Seokjin berkata pada Jungkook untuk tidak perlu khawatir, dia meyakinkan semuanya akan baik-baik saja, dan menyuruh Jungkook untuk berhati-hati di jalan.

Setelah Jungkook keluar dari studionya, tepat setelah pintu ruangan itu ditutup, ekspresi wajah Seokjin yang tadi terlihat santai dan biasa saja kini terlihat berubah. Tatapannya begitu intens, Seokjin menjadi lebih tegang dan serius sekarang.

Lalu dia kembali ke meja kerjanya yang dipenuhi dengan berbagai layar PC. Dia buka satu file yang sengaja disimpan dalam folder rahasia yang disertai dengan berbagai kode. Setelah itu, muncul sebuah gambar pria muda. Serta semua informasi yang berhubungan dengan pria itu tertera dengan jelas. Semuanya, baik itu namanya, tanggal kelahiran, alamat dan berbagai informasi lainnya.

Kim Taehyung

30 Desember 199X

Setelah itu, Seokjin mengetikkan nomor seorang kenalan lamanya di ponsel pintarnya. Menurut Seokjin, mungkin informasi ini akan lebih penting untuk diberi tahukan ke mereka, dibandingkan ke Jungkook.

“Hallo…?”

. . .

Jungkook sudah menghindar untuk datang ke gedung di hadapannya selama beberapa hari. Jungkook menghindar dari segala hal yang berhubungan dengan keluarganya. Jungkook menghindar dari kewajibannya di kantor dan kewajibannya sebagai anak untuk menuruti perkataan sang ayah.

M&J Corp. Dulu, gedung ini seakan-akan sudah menjadi bagian dari kesehariannya. Menjadi tujuan ke mana kakinya melangkah setiap pagi. Namun, kini dia begitu membenci kenyataan, kalau dirinya harus kembali lagi ke sini.

Beberapa penjaga hendak menghampiri Jungkook, salah satunya—terlihat seperti si kepala penjaga—menghubungi seseorang melalui walkie talkie di tangannya. Jungkook tidak bisa mendengar apa pun karena dia sudah tidak mempedulikan sekitarnya lagi. Dia memiliki satu tujuan, maka dari itu dia kembali lagi ke sini.

Setelah menempelkan kartu akses miliknya dan berhasil masuk menuju ke arah lift, Jungkook melihat ada dua orang penjaga mengikutinya dari belakang. Jungkook mendengus kencang, sengaja, agar mereka tahu kalau dirinya merasa tidak nyaman.

“Tuan besar Jeon sudah menunggu pak Jungkook di ruangan beliau.” kata Salah satu penjaga itu.

“Apa saya harus diikuti seperti ini di kantor saya sendiri?” Kata Jungkook jengkel

“Maaf, pak. Ini semua perintah tuan besar.”

Jungkook menghela napasnya. Tidak memiliki pilihan apa pun saat ini, maka dia biarkan kedua penjaga itu berada di dekatnya. Semuanya hening ketika mereka berada di dalam lift. Baik Jungkook atau kedua penjaga itu, tidak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun. Setiap kali dentingan di lift berbunyi, Jungkook sibuk memeriksa layar pemberitahuan lantai. Hingga akhirnya dia sampai di lantai 14, lantai di mana ruang kerja sang ayah berada.

Dua penjaga itu masih mengikuti Jungkook dari belakang. Membuat seisi orang di lantai itu langsung memperhatikan Jungkook. Sepertinya, desas-desus absennya Jungkook dari kantor juga sudah menyebar ke seisi gedung.

Setelah itu, sekretaris sang ayah langsung berdiri ketika dia melihat Jungkook datang. Dia membungkuk sopan, menyambut kedatangan Jungkook. Namun, Jungkook tidak membalas sapaannya dan langsung memasuki ruang kerja ayahnya begitu saja.

Jungkook melihat ayahnya sedang melakukan pembicaraan serius dengan Namjoon, karena terlihat ada begitu banyak berkas di hadapan mereka berdua. Sepertinya, itu semua pekerjaan Jungkook yang diambil alih oleh Namjoon selama beberapa hari ini.

“Kamu kembali akhirnya.” kata sayang Ayah. Kemudian, pria paruh baya itu memperbaiki letak kacamatanya. Dia berdiri dari kursi yang diduduki, lalu jalan menuju ke arah Jungkook, untuk menyambut kedatangan sang anak.

“Aku ingin bicara serius. Hanya berdua dengan ayah, tanpa ada orang lain.” jawab Jungkook

Lalu, tuan Jeon memberi isyarat kepada kedua penjaga dan Namjoon untuk meninggalkan dirinya dengan Jungkook. Setelah itu, hanya tersisa Jungkook dan sang ayah di ruangan tersebut. Beliau kembali duduk di sofa nyamannya, lalu menyuruh anaknya itu untuk duduk dan mengatakan maksud kedatangannya.

“Sudah lelah bermain kucing-kucingan dengan ayah?”

“Ayah, semua ini perbuatan ayah? Apa menghilangnya Taehyung ini juga perbuatan ayah? Tolong bilang yang sejujurnya.”

Boro-boro menjawab pertanyaan ayahnya atau sekadar berbasa-badi terlebih dahulu, Jungkook malah langsung mencecar ayahnya dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Atau lebih tepatnya dengan tuduhan sesuka hatinya.

Terlihat alis tuan Jeon sedikit mengerut, samar sekali. Lalu dia melepaskan kacamatanya lagi. Dia pijit-pijit bagian pelipis dan keningnya yang terasa pening. “Jeon Jungkook, sepertinya kondisimu semakin parah. Ayah kira akan baik membiarkanmu hidup dengan bebas, tapi ternyata ini terulang lagi.” jawab sang ayah.

Jungkook langsung berdiri dari duduknya. Kedua tangannya sudah mengepal dan rahangnya juga terlihat mengeras. Dia hanya butuh jawaban mengenai Taehyung, Jungkook hanya perlu tahu itu. Dia tidak mau mendengar hal yang lainnya. Emosinya memuncak, karena sang ayah tidak memberikan jawaban yang dia inginkan.

“Apa? Kondisiku kenapa? Aku cuma mau Kim Taehyung kembali. Aku tahu betapa besar kekuasaan dan pengaruh yang ayah punya buat menghilangkan seseorang.”

“Jeon Jungkook, sudah cukup.” bentak sang ayah.

Setelah itu, Jungkook tidak sadar kalau seseorang baru saja menyuntikkan obat bius padanya. Tanpa sempat melakukan perlawanan atau memberontak, tubuhnya sudah keburu terasa lemas dan pandangan Jungkook menggelap.

“Maaf nak, ayah cuma tidak ingin ini terjadi lagi. Ayah tidak mau putra ayah kembali seperti dulu.”

Jungkook tidak bisa mendengar perkataan ayahnya, karena dia sudah tidak sadarkan diri akibat dari obat bius. Kalau saja dia bisa mendengar dan melihat betapa kecewa dan sedihnya ekspresi sang ayah saat mengatakan itu. Ya, kalau saja.

. . .

. . .

Apartemen Jungkook kosong dan ponselnya sengaja dimatikan seharian ini.

Yoongi lagi-lagi dibuat pusing tujuh keliling, karena kelakuan adik sepupunya yang selalu berbuat seenaknya itu. Padahal, Jungkook sudah bukan anak-anak lagi. Seharusnya dia sadar apa kedudukannya sekarang. Tidak seharusnya pemimpin perusahaan berperilaku seperti itu, sungguh tidak bertanggung jawab dan tidak bijak.

Ayahnya menyerahkan segala masalah yang berhubungan dengan Jungkook kepada Yoongi. Ya, pada akhirnya, kabar mengenai ketidakhadiran Jungkook, dan berbagai rumor buruk di kantor telah sampai ke telinga beliau. Kini, Yoongi sudah seperti kaki tangan pamannya sendiri dibanding seorang ponakan dan COO M&J.

Malam di saat mereka—Jungkook dan Yoongi—menginap di Gangwon, Jungkook sedikit mendengar pembicaraan Yoongi dan ayahnya. Dan kini, dia jadi menyimpulkan kalau selama ini Yoongi melaporkan segala halnya ke sang ayah.

Lalu akhirnya pagi itu Jungkook kabur dengan mengendarai mobilnya, tanpa perlu menunggu sang fajar datang. Dia tidak peduli kalaumedan yang akan dia lalui tidak begitu bagus di saat gelap. Dia tidak peduli kalau kepalanya masih terasa begitu berat dan tubuhnya terasa lemas. Bukan kondisi yang baik untuk berkendara jarak jauh apalagi tanpa arah.

Yoongi memijit kepalanya yang pening. Tangan kanannya mengepal, lalu kepalan tangannya melayang begitu saja, meninju pintu lemari di hadapannya. Hingga tangan putihnya itu dihiasi oleh lebam-lebam merah dan sedikit lecet. Dia begitu menyesal, karena seharusnya dia mendengar saran Namjoon untuk memasang penyadap di mobil Jungkook. Karena mereka tahu, adik sepupunya itu pasti akan bertindak seperti sekarang.

Namun pagi itu Yoongi hanya bisa menyesali kecerobohannya. Lalu, kembali memutar otak mencari cara untuk menemukan Jungkook. Kartu kredit milik Jungkook semua sudah dilacak oleh orang suruhan sang ayah dan juga Yoongi, namun pria itu terlalu pintar untuk melakukan hal ceroboh. Dirinya tahu kalau dia sama saja sedang dalam pelarian—dari keluarganya, maka tadi itu Jungkook sempat untuk kembali ke apartemennya sepulangnya dari Gangwon. Dia mengambil uang tunai yang dia simpan dalam brankasnya di apartemen.

Jeon Jungkook kini dalam pelarian, seperti dirinya habis melakukan sebuah kejahatan besar. Padahal, Jungkook hanya memperjuangkan haknya. Dia hanya sedang memperjuangkan cintanya untuk orang yang paling istimewa di hidupnya. Dia memperjuangkan eksistensi Kim Taehyung, yang menurut semua orang hanya khayalannya saja.

Sebenarnya Jungkook tidak pergi terlalu jauh, dirinya masih tetap berada di Seoul. Dia memutuskan untuk menyewa kamar kecil di pinggiran kota Seoul, di tempat yang tidak mungkin dicari oleh orang suruhan ayahnya ataupun Yoongi. Mana mungkin keluarganya itu terpikirkan lingkungan kumuh ini sebagai tempat persembunyian Jungkook untuk sementara waktu. Yakin sekali Jungkook kalau mereka akan mencarinya ke seluruh hotel bintang lima di Seoul.

Bagaimanapun, Jungkook tahu sebesar apa kekuatan yang dimiliki ayahnya. Dia tahu dengan uang sang ayah, beliau bisa melakukan segalanya dan cepat atau lambat Jungkook akan segera ditemukan. Maka dari itu dia harus segera menemukan Taehyung, sebelum dirinya diringkus paksa dan menjadi tahanan ayahnya. Jungkook sudah meninggalkan banyak hal demi mencari Taehyung. Dia meninggalkan keluarganya, meninggalkan pekerjaan dan karirnya, dia mengorbankan hal yang berkaitan dengan masa depannya demi seorang Kim Taehyung.

Dalam pelariannya Jungkook, sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk mencari tunangannya itu.Setiap hari dia menelusuri situs mesin pencari, hanya untuk mencari nama Kim Taehyung. Dia periksa setiap orang bernama Kim Taehyung yang muncul dalam pencarian. Namun, tidak ada Kim Taehyungnya. Mereka semua bukan yang Jungkook cari.

Jungkook bahkan menghubungi kakak tingkatnya semasa perkuliahan dulu. Kim Seokjin namanya, yang sejak dulu dikenal pintar sekali meretas berbagai informasi. Walaupun kegiatannya itu ilegal, namun Seokjin tidak pernah jera dan berhenti melakukannya, selain uang yang didapatkan lumayan banyak dia juga menyukai hal itu.

Jungkook rela jauh-jauh datang ke studio milik Seokin di pemukiman kumuh lainnya, meskipun membutuhkan waktu dua jam dari tempat sewaannya. Karena dia sadar, menemukan Taehyung yang tiba-tiba menghilang itu akan sulit jika dia lakukan sendiri. Jika keluarga dan orang yang paling dia percayai tidak dapat membantu, maka dirinya saat ini sangat membutuhkan bantuan Seokjin.

“Masih belum ketemu juga, kak?”

Seokjin masih sibuk menekan-nekan atau mengetik sesuatu pada keyboardnya. Jungkook juga tidak paham, ada begitu banyak huruf dan angka acak yang tertera di layar. Bahkan, hanya dengan melihatnya saja sudah membuat Jungkook sakit mata.

Belum juga ada setengah jam, namun Jungkook sudah berulang kali menanyakan hal yang sama kepada Seokjin. Padahal, Seokjin juga tidak akan dengan mudahnya menemukan Kim Taehyung kalau Jungkook tidak memberi informasi yang cukup. Yang dia punya hanya nama dan lukisan sosok pria manis yang Jungkook bawa.

“Gue lagi mengusahakan, Kook.”

Jungkook hanya dapat mondar-mandir di belakang Seokjin yang sedang sibuk berkutat dengan beberapa layar PC di hadapannya. Jungkook sudah tidak mengenal apa itu kata tenang sejak pagi di mana Taehyung seolah lenyap. Dia sudah cukup menahan segalanya, sudah cukup berpura-pura kalau dirinya tidak hancur dan hilang arah untuk sementara waktu.

Selama beberapa jam Seokjin masih belum bisa menemukan informasi apa pun tentang Kim Taehyung yang Jungkook cari. Ini kali pertama untuk dia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menemukan informasi tentang seseorang, sebuah pencapaian yang tidak baik sepanjang karirnya sebagai peretas. Seokjin sampai bertanya, apakah mungkin Kim Taehyung berasal dari luar Korea Selatan?

Atau apakah Jungkook mengetahui di mana Kim Taehyung bersekolah dulu, tanggal kelahirannya, alamatnya, atau informasi tambahan yang dapat memudahkan Seokjin.

Nyatanya, saat Jungkook mencoba mengingat itu semua, yang terjadi malah kepalanya yang begitu pening. Tiba-tiba saja terdengar suara dengungan di kedua telinganya yang begitu kencang, sampai Jungkook tersungkur ke lantai dan meminta tolong. Seokjin yang sedari tadi hanya fokus pada pekerjaannya pun dibuat panik setengah mati melihat keadaan Jungkook.

Pria itu masih meringis sambil meminta pertolongan. Jungkook tidak mengerti mengapa kepalanya terasa begitu sakit ketika mencoba mengingat informasi mengenai Taehyung. Yang terlintas dalam pikirannya malah bayangan tunangannya yang sedang tersenyum atau melakukan sesuatu.

Akhirnya, Jungkook diantar pulang ke tempat persembunyiannya oleh Seokjin, karena pria itu tidak berhenti merintih kesakitan selama beberapa waktu.

. . .

Esok paginya, Jungkook terbangun dalam keadaan berantakan. Baik diri dan juga ruangan di sekelilingnya. Rambutnya basah, karena semalaman demam. Kamar kecil yang dia tempati penuh dengan barang-barang berserakan yang dia bawa. Sayangnya, Jungkook tidak mengingat kejadian apa pun setelah sakit kepala yang dia alami di studio Seokjin.

Bangkit dari tidurnya, kemudian mengambil segelas air putih dan satu butir obat sakit kepala. Lalu dia meneguknya begitu saja. Hari ini Jungkook harus kembali mencari Taehyung, sembari menunggu kabar selanjutnya dari Seokjin. Ketika dirasa kepalanya sudah terasa jauh lebih baik, dia langsung menyalakan laptop miliknya untuk mencari sesuatu informasi tambahan.

Contohnya: apa mungkin seseorang bisa lenyap begitu saja?

Sekali lagi ditegaskan, Jungkook sebenarnya tidak begitu mempercayai hal-hal di luar nalar manusia. Namun, menghilangnya Taehyung yang begitu tiba-tiba bukanlah hal yang wajar dan bisa dijawab dengan logika. Lenyapnya Taehyung sendiri sudah begitu aneh. Jungkook berkali-kali berharap kalau hari-hari yang dia jalani tanpa kehadiran Taehyung ini hanyalah mimpi. Mimpi buruk yang terasa begitu panjang. Namun, sampai detik ini juga dia tidak kunjung terbangun. Karena dia memang tidak sedang bermimpi.

Lama berkutat di depan laptop, Jungkook akhirnya menemukan beberapa jawaban dari apa yang dia cari di internet. Sayangnya, hampir semua jawaban itu tidak ada yang menyerempet kepada hal yang dialami Jungkook.

Beberapa hal terkait yang muncul hanyalah:

Alasan kenapa dia bisa menghilang tiba-tiba saat pendekatan.

Alasan kenapa pria 'menghilang' tanpa kabar.

Alasan kenapa kekasih 'menghilang' tanpa sepatah katapun.

Kebanyakan, sesuatu macam itu dan Jungkook tidak butuh apalagi tertarik untuk membacanya. Namun, ada satu artikel yang menarik perhatian Jungkook. Dalam blognya, orang itu membahas mengenai dimensi lain, dunia yang berbeda dari yang kita tinggali dan hal-hal yang Jungkook nilai terlalu seperti cerita fiksi dengan genre mistis atau fiksi ilmiah.

Orang itu juga menceritakan tentang perjalanan astral, tentang guru spiritual, cenayang dan macam-macam hal yang terdengar asing dan tidak Jungkook mengerti.

Jungkook memang pernah sekali membaca sesuatu tentang dimensi lain, namun tidak pernah benar-benar mendalaminya, apalagi mempercayai.

Apa itu perjalanan astral?

Guru spiritual?

Cenayang?

Hal-hal itu juga bukan sesuatu yang pernah Jungkook pikirkan untuk dipercayai.

Katanya tidak percaya, ya, memang. Namun, tidak ada salahnya juga kalau Jungkook mengikuti apa perkataan orang itu. Jungkook yang selalu hidup dengan logikanya memutuskan untuk mendatangi orang pintar atau cenayang. Seperti apa yang dikatakan oleh penulis dalam blog tadi.

Saat Jungkook bertemu dengan seseorang yang katanya memiliki keistimewaan itu, dia mencoba menjelaskan hal yang terjadi kepadanya secara rinci. Awalnya, orang pintar itu mengangguk-angguk mendengarkan perkataan Jungkook, mengingatkan dirinya dengan reaksi yang diberikan oleh psikiater kenalan Yoongi kemarin. Jungkook menghela napasnya, dia benci menduga-duga apa yang ada di pikiran orang lain.

Dan tepat seperti dugaannya, jawaban dari si orang pintar itu membuat Jungkook marah besar. Malah jauh lebih tidak masuk akal jika dibandingkan dengan Jungkook yang didiagnosis gila.

Orang pintar itu memberikan beberapa dupa dan beberapa lembar kertas dengan tulisan aneh yang katanya 'jimat pengusir setan'. Jadi, maksud dia Taehyung itu makhluk halus?

Harusnya orang ini yang didiagnosis sakit jiwa, pikir Jungkook.

Tahu kan apa yang akan dilakukan Jungkook setelah itu?

Dia pergi dan melemparkan dupa beserta jimat-jimat tadi ke wajah orang yang katanya cenayang itu. Jungkook pergi dengan penuh makian yang dia berikan pada orang itu dan tidak sudi membayar jasanya.

Lagi-lagi, hari ini Jungkook masih belum bisa mendapatkan informasi apa pun mengenai keberadaan Kim Taehyung. Dia tidak boleh terlalu santai, dia masih harus mencari cara lain untuk menemukan Kim Taehyung.

Terbersit dalam pikirannya suatu hal aneh yang mungkin bisa terjadi—mengingat betapa besarnya kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki ayahnya. Tiba-tiba saja Jungkook jadi curiga kalau hilangnya Kim Taehyung ada sangkut pautnya dengan sang ayah.

Tapi apa mungkin?

Mungkinkah seluruh barang dan informasi mengenai Kim Taehyung bisa dilenyapkan begitu saja dalam semalam oleh sang Ayah?

Untuk apa juga?

Tidak tahu, Jungkook benar-benar tidak tahu. Kini, rasa sakit di kepalanya kembali datang setiap kali dia terlalu keras mencoba memikirkan hal yang berhubungan dengan Taehyung. Kepalanya pening, sakit, sekelilingnya seperti berputar dan dengungan keras itu kembali datang. Selama beberapa saat pandangan Jungkook menggelap.

. . .

. . .

Sayang, jangan mencariku, aku mohon. Nanti kamu akan menyesal.

Saat itu pukul tiga pagi, ketika dirinya terbangun dari tidur yang tidak bisa dikatakan nyenyak sama sekali. Saat seluruh badan Jungkook basah akibat peluh yang tidak berhenti menetes. Saat lehernya terasa pegal sekali karena tidak sadar sudah berapa jam tertidur di meja kerjanya.

Jungkook membiarkan dirinya termenung di atas kursi. Dia diam sejenak, untuk sekadar mencerna apa yang tadi terjadi dan mengumpulkan kesadarannya secara penuh.

Tepat saat Jungkook merasa kesadarannya sudah terkumpul, dia mencoba untuk melihat ke sekeliling ruangan. Semua nampak sama, tidak ada yang berbeda dari sebelum dia ketiduran tadi.

Jungkook bangkit dari kursinya untuk berjalan ke arah dapur. Rasanya tenggorokan Jungkook kering dan dia kekurangan cairan, karena seluruh keringatnya terkuras habis saat tidur tadi. Pikirannya kembali terbang untuk mengingat-ingat kejadian aneh saat dia tidak sengaja tertidur di ruang kerjanya. Mendadak, suasana apartemen Jungkook subuh itu menjadi mencekam dan menyeramkan. Bulu kuduknya berdiri, meskipun dalam hati dia mencoba mengusir jauh-jauh segala pemikiran aneh yang berbau mistis. Jungkook bukanlah orang yang mempercayai hal-hal yang berhubungan dengan itu.

Dan, rasanya tidak mungkin juga. Mungkin, Jungkook hanya terlalu lelah saja mencari jawaban dari segala hal aneh yang dia alami beberapa hari ini. Tidak mungkin menghilang dan lenyapnya Kim Taehyung ada hubungannya dengan hal yang berbau mistis, bukan?

Jungkook pun berdiri dari duduk. Melakukan sedikit peregangan dan mengatur napasnya sebentar. Masih terlalu dini bagi Jungkook untuk memulai aktivitasnya—tentu, ini masih jam tiga pagi. Rasanya akan sulit jika Jungkook memutuskan untuk kembali tidur ke kamarnya, karena kini rasa kantuknya telah hilang. Sekarang kepalanya kembali penuh dengan Kim Taehyung, boro-boro Jungkook bisa memikirkan untuk kembali tidur. Rasanya, Jungkook hanya ingin cepat-cepat menyambut matahari yang terbit, sehingga dia bisa pergi ke penginapan keluarganya di Gangwon.

Tempat itu, komplek penginapan yang terdiri dari beberapa rumah. Salah satu rumah itu memiliki banyak memori indah bersama dengan Taehyung. Mereka biasa menghabiskan waktu mereka beberapa kali dalam sebulan untuk menginap di sana. Ketika Taehyung lelah dengan dan buntu ide dengan pekerjaannya, ketika Jungkook terlalu penat dengan segala urusan di kantornya. Ketika mereka merasa membutuhkan lebih banyak waktu untuk berdua, tempat itulah satu-satunya tujuan mereka.

Ketika musim semi datang, kabin itu akan dipenuhi dengan bunga-bunga yang bermekaran dengan indah. Ketika musim dingin datang, pondok itu akan penuh oleh salju yang menumpuk di ranting-ranting botak pada pepohonan, atau melapisi seluruh tanah di pekarangan. Apa pun musimnya, tempat itu akan selalu indah, begitu kata Taehyung.

Ah, Kim Taehyung.

Tidak ada foto yang tersisa, tidak ada barang apa pun yang berhubungan dengan Taehyung yang tertinggal. Namun, wajah indahnya itu masih terekam jelas dalam ingatan Jungkook. Bentuk senyumnya yang manis dan lucu, mata besarnya yang membulat ketika dia kaget, bibirnya yang mengerucut ketika dirinya merajuk, bagaimana bisa Jungkook mempercayai omongan orang-orang yang mengatakan kalau Taehyung itu tidak pernah ada?

. . .

Sudah beberapa hari sejak Jungkook memutuskan untuk tidak pergi ke kantor. Tentu saja, dia masih kukuh dengan misinya: mencari tahu keberadaan Taehyung. Ayahnya sudah berkali-kali meminta orang terdekatnya untuk membawa Jungkook ke psikiater, namun anaknya itu menentang keras dan kukuh untuk tetap mencari keberadaan tunangannya. Mana mungkin Jungkook membiarkan dirinya untuk menuruti perkataan orang-orang, di saat dia tahu betul apa yang dia rasakan. Semuanya memang aneh dan janggal, tapi Jungkook yakin akan ada jawabannya.

Semua kepergian dan lenyapnya Taehyung yang begitu tiba-tiba ini pasti ada sebab dan akibat, ada jawaban dari pertanyaan.

Lalu pagi ini dia kembali menentang perkataan ayah dan orang-orang di sekitarnya. Jungkook seakan tidak peduli dengan karir dan jabatannya—toh dia anak pemilik perusahaan. Jungkook tidak peduli dengan penampilannya yang kacau, karena kurang tidur selama beberapa hari. Jungkook tidak peduli dengan peringatan orang-orang tentang dirinya yang mulai gila.

Karena Jungkook tidak ingin menyerah sebelum mendapatkan jawaban. Dia juga tidak akan pernah memaafkan dirinya kalau benar-benar membiarkan Taehyung menghilang begitu saja, dia tidak mau ikut menjadi mereka yang melupakan Kim Taehyung. Persetan dengan semuanya.

“Joon, gue perlu waktu istirahat selama beberapa hari. Tolong jangan beri tahu ayah soal ini.”

Tapi, Kook, lo udah banyak banget absen dalam beberapa minggu ini. Gila kali, ya? Otak lo tuh lo kemanain, sih? Ada banyak berkas numpuk, gue engga mungkin bisa nge-handle semua, Yoongi juga engga bisa, kook. Gue di sini cuma PA lo doang, lo CEO-nya. Jawab Namjoon dari sambungan telepon, mencoba sebisa mungkin untuk mengontrol emosinya.

“Gue janji, gue bakal balik setelah semuanya selesai.”

Setelah apa lagi, Kook? Sadarlah, lo tuh mencari jawaban yang engga pernah ada eksistensinya.

“Lebih baik gue mencoba dari pada gue engga berusaha sama sekali, Joon. Plis, gue engga ingin berdebat, gue mohon kali ini tolong ngertiin.”

Kalau sudah begitu Namjoon tidak akan bisa berkata apa-apa lagi. Dia tahu sekali bagaimana watak Jungkook, karena mereka sudah belasan tahun berteman dekat. Jungkook itu pendiriannya begitu kuat, karena itu juga Jungkook bisa mencapai posisi tinggi di kantor pada umur yang masih muda. Kalau atasannya itu sudah berkata begitu Namjoon bisa apa?

Tugas Namjoon sekarang hanya mencari alasan lagi untuk membatalkan rapat Jungkook dengan para klien perusahaannya.

Lalu sambungan telepon mereka terputus.

Kini Jungkook kembali fokus pada jalanan di hadapannya. Kaca mobilnya dia biarkan sedikit terbuka, agar udara bisa masuk. Padahal, udara di luar sedang sangat dingin, mengingat sekarang sudah di pertengahan bulan Desember. Jungkook hanya butuh menghirup sedikit udara dari luar sana, agar dirinya dapat lebih tenang.

Jungkook ingat, dulu Taehyung sering sekali berkata kepadanya, Kalau pikiranmu sedang kalut maka keluarlah, hirup udara sejuk supaya pikiranmu jauh lebih ringan dan rileks, dan Jungkook sedang menerapkan itu sekarang.

Selang beberapa menit kemudian, mobil Jungkook sudah terparkir di halaman penginapan milik keluarganya itu. Sosok laki-laki separuh baya yang membungkuk untuk menyambutnya, ketika melihat kehadiran Jungkook di sana. Beliau adalah paman penjaga bangunan itu.

Jungkook hanya menunduk kecil, kedua tangannya merapatkan jaket tebal yang membungkus dirinya. Lalu dia berjalan melewati pria paruh baya itu. Jungkook menyusuri jalan setapak yang mungkin dalam beberapa hari ke depan akan di penuhi salju. Dia terus melangkah, membiarkan kakinya yang sudah begitu hafal dengan jalan setapak itu. Melewati jalan setapak kecil yang berbatu, hingga akhirnya dia sampai ke bangunan paling belakang. Letaknya cukup jauh dari parkiran tadi. Bangunan inilah tempat yang sering dia kunjungi bersama Taehyung.

Saat Jungkook memasuki ruangan, yang dia lihat hanyalah ruangan kosong. Tidak ada tanda-tanda Taehyung di sana—seperti yang dia harapkan. Walaupun dalam hatinya dirinya begitu kecewa, Jungkook tetap melakukan rencana B, yaitu memeriksa seisi gedung, ruang tengah, dapur, kamar mandi dan ruang tidur, untuk mencari jejak keberadaan Kim Taehyung. Mungkin saja ada barang yang tertinggal dan bisa dijadikan bukti, bukti kalau Taehyung itu sungguh ada. Bukti kalau Jungkook tidak gila dan orang-orang itu yang salah.

Tangannya dengan teliti membuka setiap laci dan sudut-sudut yang tersembunyi, siapa tahu saja ada sesuatu yang terselip. Hingga beberapa menit, pencariannya itu berhenti, ketika Jungkook menemukan satu storage box berukuran sedang yang tesimpan rapih di atas lemari.

Keningnya mengerut, Jungkook samar-samar mengingat kotak itu. Dia tarik kursi di sebelahnya ke arah depan lemari, untuk membantunya agar lebih mudah mengambil kotak tersebut. Jungkook mengambil kotak tersebut, kemudian meniupnya untuk menghilangkan tumbukan debu di sana. Kotak yang aslinya berwarna krem itu sudah berubah menjadi sedikit lebih kotor dan berdebu, Jungkook bahkan sampai bersin-bersin ketika dia mengambilnya.

Setelah selesai membersihkan tumpukan debu yang menempel pada kotak itu, Jungkook langsung membukanya dengan harap-harap cemas. Dalam hatinya, tentu dia menaruh banyal harap pada kotak yang samar-samar dia ingat. Dia ingat kalau dirinya pernah menaruh sesuatu di sana, saat terakhir kali mereka mengunjungi penginapan ini.

Isinya adalah sehelai syal, lukisan dan satu kotak berukuran kecil.

Jungkook tersenyum, namun matanya berkaca-kaca saat melihat barang-barang tersebut. Dia keluarkan barang-barang itu satu persatu dari kotaknya. Lalu dia kecupi syal yang warnanya senada dengan kotak tadi, kalau saja kotak itu tidak terlalu sering terkena kotoran dan debu, mungkin warnanya masih tetap krem muda.

Harumnya masih tertinggal di kain itu, harum yang khas sekali milik Kim Taehyung. Dia letakkan syal itu di atas kasur, kemudian dia mengambil lukisan yang dia buat sendiri beberapa waktu lalu. Lukisan dengan Kim Taehyung sebagai muse-nya, Taehyung yang sedang duduk di balkon depan, dan memegang secangkir cokelat hangat kesukaannya. Jungkook ingat betul saat itu bunga baru saja bermekaran di musim semi. Kemduian, yang terakhir adalah kotak kecil. Kotak yang berisikan sebuah cincin, yang mana adalah cincin pertunangan mereka. Ada nama Jungkook terukir di sana. Bukankah berarti Taehyung sempat berkunjung belum lama ini?

Jungkook langsung berlari keluar dari ruang itu sambil membawa lukisannya. Napasnya tersenggal karena terlalu terburu-buru untuk berlari, tapi ia tidak peduli. Jungkook menghentikan langkahnya ketika dirinya sudah menemukan paman Son, si penjaga penginapan yang tadi sempat ditemui. Jungkook membungkuk kecil. Karena napasnya tidak stabil, Jungkook pun mengatur napas kembali.

“Paman, apa ada pria yang datang berkunjung beberapa hari lalu?”

Pria separuh baya itu nampak kebingungan melihat majikannya yang nampak tidak seperti biasanya—wajahnya kusut, peluhnya bertetesan, napasnya tersenggal karena berlari di musim dingin.

“A-apa, pak Jungkook?”

“Apa ada pria yang berkunjung ke sini beberapa hari lalu? pria ini?” ulang Jungkook, kali ini dia menunjukkan lukisan Taehyung yang dia buat.

Paman Son hanya menggeleng, karena masih terlalu bingung dengan apa yang dia lihat. Jungkook terlihat begitu kacau saat ini. Mendengar jawaban dari paman Son yang kurang memuaskan itu membuat Jungkook kembali terpuruk. Harusnya, jawaban yang dia dengar itu Iya, pria itu kemari beberapa hari yang lalu. Dia meninggalkan pesan untuk bapak. Namun, kenyataannya tidak begitu.

Amarah Jungkook kembali memuncak, kini diikuti dengan rasa sesak di dada. Tiba-tiba saja dia merasakan sesak yang begitu luar biasa, seperti dadanya dihantam ribuan kali oleh benda keras. Berat sekali, dan sesak. Dadanya, kepalanya, kakinya, semua seakan tidak dapat lagi dia kendalikan. Hingga akhirnya, seluruh pandangan Jungkook menggelap. Setelah itu dia tidak mengingat apa pun lagi.

. . .

“Baiklah, aku akan terus memantau keadaannya, paman. Tapi sepertinya dia harus diberi obat penenang, supaya tidak terjadi hal buruk yang kita bayangkan.”

Jungkook mendengar suara orang itu samar-samar, tidak sepenuhnya, karena dia belum betul-betul sadar. Kepalanya sakit sekali dan hal terakhir yang dia ingat hanyalah dirinya merasakan dadanya sesak, hingga akhirnya semuanya menjadi gelap. Lalu dia sekarang berada di mana?

Dirinya masih berada di Gangwon. Jungkook tidak diculik ataupun disandera oleh orang suruhan ayahnya, tidak seperti itu. Barusan itu yang berbicara di telepon itu adalah Yoongi, kakak sepupunya.

“Kak Yoongi? Gue di mana?” tanya Jungkook, suaranya masih terdengar lemah

“Masih di Gangwon. Tadi gue dihubungi sama paman Son, katanya lo tiba-tiba pingsan. Lo benar-benar gila ya, Jeon Jungkook.” jawab Yoongi.

“Kak, gue lagi engga ingin berdebat.”

“Loh, siapa yang ngajak lo berdebat?” jawab Yoongi

Yoongi kemudian melangkah, mendekati adik sepupunya yang masih terbaring lemah di ranjang. DIa ambil minuman dan beberapa butir obat, lalu dia berikan kepada Jungkook. Bocah itu menerima gelas yang diberikan Yoongi, tentu masih dibantu oleh kakak sepupunya itu untuk bisa minum dengan benar. Kepalanya masih sedikit terasa berat, namun dirinya enggan untuk meminum obat-obat tersebut.

“Ini cuma obat darah rendah. Kata dokter tekanan darah lo rendah. Lo engga makan dan tidur dengan benar beberapa hari ini?”

Jungkook tidak menyahut, hanya mengambil bentuk obat yang dia kenali—obat yang katanya untuk darah rendah itu—lalu menelannya.

“Kook, lo sebenarnya kenapa, sih?”

“Gue engga gila kak. Gue mau cari keberadaan Taehyung. Dia itu nyata, dia itu ada, kalian yang jahat ngelupain dia. Gue engga mau menjadi jahat kayak kalian semua, terlebih dia tunangan gue.”

Yoongi menghela napasnya dalam-dalam, hatinya berbicara untuk tidak ikutan gila seperti Jungkook. Sebisa mungkin dirinya akan berhati-hati untuk mencerna perkataan adik sepupunya itu, agar dirinya tetap waras namun tetap menjaga perasaan Jungkook juga.

“Baiklah, ceritain ke gue dari sudut pandang lo.”

“Lo lihat apa ini, kak? ini cincin pertunangan kami, di dalamnya terukir nama Kim Taehyung.” kata Jungkook, lalu berjalan menuju box yang kini posisinya sudah pidah ke sisi kanan kasur di bagian bawah, Dia mengeluarkan syal, dan kotak berisikan cincin pasangannya, lalu mengambil lukisan yang dia bawa sebelum tak sadarkan diri tadi, “Ini semua bukti kalau Kim Taehyung itu beneran ada, kak. Gue engga mungkin berbohong, apalagi gila.” lanjutnya.

“Jeon Jungkook...”

“Kak, ini memang engga masuk akal, gue tahu. Berhari-hari gue memikirkan ini semua, gue hampir terhasut dengan pemikiran bahwa diri gue memang gila, seperti apa kata kalian. Tapi engga, Taehyung terlalu nyata, kenangan gue sama Taehyung terlalu nyata. Gue juga engga tahu kenapa ini semua bisa terjadi.”

“Katakanlah dia memang nyata, tapi kenapa cuma lo yang ingat dia, Kook?” tanya Yoongi lagi.

“Gue juga engga paham. Gue masih belum nemuin jawaban untuk itu, kak. Tapi barang-barang ini ngebuktiin kalau gue benar. Barang-barang ini adalah bukti kalau Taehyung itu beneran ada.”

Saat itu Yoongi terdiam dan tidak bisa menyanggah perkataan Jungkook. Adik sepupunya itu memenangkan perdebatan mereka dan membuat Yoongi bungkam. Entah dia bungkam karena mulai mempercayai Jungkook atau hanya tidak ingin berdebat.

Namun satu hal yang pasti, Jungkook semakin percaya kalau ada sesuatu yang terlah terjadi kepada tunangannya.

. . .