A Thousand Times – 191.

. . .

Duduk dengan tenang di dalam mobil Aidan, sembari membiarkan penyiar radio mengisi kekosongan sementara. Seakan hal ini sudah menjadi sebuah kebiasaan untuk mereka berdua. Gael yang tidak pernah langsung turun dari mobil Aidan, meski mobil itu sudah terparkir di depan pintu gerbang rumah Gael.

Rasanya berat untuk sekadar turun. Meski itu memang yang seharusnya Gael lakukan sejak tadi. Hatinya berat, tidak suka memikirkan kalau hari ini harus berakhir. Aidan harus kembali ke rumahnya, dan dirinya juga kembali sibuk memikirkan arti mimpi aneh yang sedang sering berkunjung dalam tidurnya.

“El engga mau turun nih? Apa perlu Ai gotong sampai kamarnya El?”

Gael tertawa begitu mendengar ide konyol dari Aidan. Namun, kepalanya tetap mengangguk untuk menanggapi candaan pria itu. “Boleh, kalau Ai engga keberatan gendongnya.”

Tidak terima, Aidan pun merasa dirinya sedang ditantang dengan kalimat Gael barusan. Seakan-akan medali emas kejuaraan karate dan hasil dari latihan fisik sebanyak dua kali seminggu tidak berarti apa pun.

Aidan melepas sabuk pengamannya. Kepalanya menoleh ke arah Gael yang masih sibuk cenge-ngesan. “Bener, ya? Ai gendong beneran nih ke dalem.”

Gael langsung berhenti tertawa. Kemudian, memeriksa ekspresi serius yang kini terpajang di wajah Aidan.

“S-Serius?”

Aidan menjawabnya dengan sebuah anggukan kecil.

“Tapi, orang rumah El belum pada pulang 'kan?” tanya Aidan, penuh antisipasi untuk jawaban Gael. Reaksi alami itu membuat Gael semakin terkikik geli. Ingin sekali mengerjai Aidan lebih lanjut lagi, karena pria itu kini terlihat begitu menggemaskan.

Gael mengedikkan bahunya. “Engga tahu. Coba ayo gendong El, sekalian Ai periksa sendiri udah pada pulang atau belum.”

Pikir Aidan dalam hatinya, bisa bahaya kalau candaan tadi benar-benar dia lakukan. Apa jadinya kalau orang rumah Gael melihat adegan itu nantinya? Bisa-bisa, restu yang sudah dia kantongi terbuang begitu saja.

“Eh, jangan deh. Ai anterin aja sampai depan pintu, ya?”

“Hahaha, El juga cuma becanda aja kok. Ai engga usah nganterin, di mobil aja gapapaaa. Cuma berapa langkah doang juga ini pintu rumah El.”

Gael sudah membuka sabuk pengamannya sejak tadi, sejak mobil sedan Aidan terparkir di depan pagar rumahnya. Namun, dirinya saja yang enggan untuk pergi. Masih ingin duduk di sana, di samping Aidan meski itu hanya untuk melewati waktu tanpa obrolan.

Dia menghela napasnya, memasang wajah sedihnya dan menunjukan ke Aidan. “El belum mau pulang ih, masih mau sama Ai.”

Seperti orang yang sedang dimabuk cinta. Gael menunjukkan gelagat seperti itu; dia benar-benar sedang kasmaran.

Aidan tertawa. Satu tangannya melayang, mengacak rambut Gael dengan lembut. Gael itu memang lucu dan menggemaskan, Aidan tahu sekali. Namun, sisi manjanya yang ini benar-benar membuat Aidan ketar-ketir, rasanya mungkin dia tidak bisa menahannya lebih lama.

“El, jangan gemesin begini dong. Nanti Ai jadi mau nyulik, tapi takut juga mau nyuliknya. Nanti berhadapan sama Ayah, Bunda dan bang Gio.”

Tangan Gael meraih tangan Aidan yang masih asik mengacak-acak rambutnya itu, lalu dia menggenggamnya. Badannya miring menghadap ke arah Aidan, dan kepalanya dia sandarkan ke jok mobil. Mereka membiarkan kedua tangan itu bertautan, kemudian sibuk saling menatap pasang mata satu sama lain. Mereka menyelam, jauh ke dalam sana.

“Rasanya aneh deh. Ai tahu engga, kalau dari awal tuh El ngerasa familier sama Ai. Kayak... El udah sering ngeliat tatapan Ai yang kayak sekarang ini.”

Tatapan Aidan yang tenang dan penuh damba, meski pria itu diam seribu kata. Gael merasa begitu familier dengan tatapan itu. Iris matanya sama, perasaan yang dihantarkan oleh tatapan itu juga sama.

Aidan tersenyum penuh arti. Ada sesuatu yang menggelitik perutnya saat ini, bukan maksud untuk menanggapi perkataan Gael sebagai lelucon. Bukan. Justru, Aidan sangat setuju begitu mendengar pernyataan Gael. Ya, sudah ratusan kali dirinya berkata hal yang serupa. Gael terasa begitu familier, bahkan sejak sebelum pertemuannya dengan pria lucu ini di stasiun Tebet kala itu.

Kepingan puzzle yang dulu hancur, menyebar secara acak, seakan perlahan berhasil dia satukan menjadi kesatuan yang utuh. Ada beberapa bagian yang masih hilang, memang. Namun, kini semuanya terasa lebih jelas.

Aidan yakin. Sangat amat yakin.

It's always been just him, Nayaka Gael, dulu dan sekarang.

Tidak ada jawaban yang masuk akal untuk ini. Hubungannya dengan Gael, perasaannya, bukanlah sesuatu yang bisa dia jelaskan dengan kata-kata biasa. Dirinya tidak bisa menjelaskannya dengan sederhana. Karena rasanya begitu kompleks.

“Hih, males ah diketawaaaaiiin.” ujar Gael. Kemudian mendecak dan melepaskan genggaman tangannya pada Aidan.

Aidan langsung buru-buru menggapai tangan Gael. Menggenggamnya kembali, bahkan lebih erat dari sebelumnya.

“Engga diketawain. Ini Ai setuju, karena Ai juga ngerasain hal yang sama. Kayak... Ai udah kenal sama El jauh dari dari pertemuan kita di stasiun Tebet waktu itu. Udah lamaaa banget, seribu tahun ada kali haha.”

Gael mendecih. Satu tangannya dia gunakan untuk memukul kepala Aidan dengan pelan. Hingga Aidan meminta ampun berulang kali, meskipun dia melakukannya diselingi dengan tawa.

Di saat Gael menghentikan aksi penyerangannya pada Aidan. Mereka kembali terhanyut dalam tatapan satu sama lain. Dengan senyuman yang menghias di kedua wajah mereka.

Kini Aidan meniru posisi Gael; miring, menghadap satu sama lain, dengan kepala yang bersandar dengan nyaman pada bantalan kepala di jok mobil.

Tangan Aidan yang bebas kini terangkat. Mengelus poni Gael, menyibaknya yang kini mulai sedikit panjang, hingga hampir menutupi matanya. Mata Gael yang besar, kelopak matanya tajam dan dihiasi bulu mata yang panjang. Dan mata indah itu kini sedang beradu tatap dengan kedua pasang bola matanya.

Membuat Aidan kembali larut. Terhanyut, semakin jauh dan semakin dalam.

Hingga kilasan memori tentang kejadian yang belum pernah dia alami itu menginterupsi. Membobol masuk ke dalam pikirannya begitu saja.

Jeongguk?

Kamu tuh emang nyebelin banget, Jeon!

Jeon Jeongguk, astagaaaa.

Buru-buru Aidan menggelengkan kepalanya. Mengusir jauh bayangan itu dari dalam kepalanya. Setelah itu, wajah khawatir Gael menyambut dirinya. “Ai, kenapa?”

Mata Aidan panas, tidak tahu kenapa. Suara itu, tatapan itu, semua memori asing yang terasa familier. Wajah dan suara yang sama persis dengan Gael, entah kenapa selalu menghadirkan rasa nyeri aneh di dalam dadanya.

Aidan menggeleng. Dia tegakkan posisi tubuhnya, lalu mencondongkan ke arah Gael duduk. Dia tarik tubuh pria itu. Dia peluk dengan erat, membiarkan Gael bertanya-tanya dalam hati. Namun Gael tetap membalas pelukannya. Aidan merasakan tangan Gael mengelus punggungnya dengan lembut, lalu menepuk-nepuknya dengan pelan. Tanpa pria itu memaksakan sebuah tanya.

“Maaf kalau tiba-tiba Ai ngomong begini. Ai cuma mau bilang aja, kalau Ai...”

Aidan menjeda kalimatnya sebentar.

“Ai sayang sama El.”

Dan, senyuman Gael mengembang dengan lebar setelah itu. Kepalanya mengangguk, padahal itu bukanlah jawaban yang pas dari pekataan Aidan barusan.

“El juga sayang Ai. Kayaknya bukan rahasia lagi, ya? hehehe.”

Mereka melonggarkan pelukan. Memberi sedikit jarak di antara keduanya, agar bisa menatap wajah satu sama lain.

Senyuman masih menghiasi wajah Gael. Hingga pipinya terasa pegal dan panas, mungkin saja pipinya kini sudah dihiasi rona merah juga. Namun Gael tidak peduli, dia tidak mau menutupi perasaan yang sedang dia rasakan saat ini. Ada percikan rasa bahagia dalam dirinya, sesuatu yang sulit dia jelaskan melalui kata.

Sama halnya dengan Gael, Aidan jelas merasakan hal yang sama. Dirinya juga tidak berhenti tersenyum sejak tadi. Bahkan, hanya dengan sebuah tatapan saja, mereka sudah bisa menyalurkan perasaan satu sama lain.

Perasaan yang membuat keduanya lupa kalau bumi dan waktu di sekeliling mereka berputar. Perasaan yang menggelora, begitu besar dan mungkin tidak dapat ditampung atau ditahan lagi.

Membuat Aidan memberanikan diri untuk mengikis sisa jarak kecil di antara mereka. Mendekat ke arah wajah yang begitu indah itu. Mencuri tatap sedetik, sebelum kelopak mata Gael tertutup. Menantikan detik selanjutnya, di mana kedua bibir mereka bersentuhan. Di mana dunia benar-benar hanya milik mereka berdua.

Ketika Aidan pun ikut memejamkan matanya. Ikut hanyut ke dalam perasaan mereka berdua yang melebur menjadi satu. Hanya dengan sebuah kecupan kecil yang sederhana di sana.

Sederhana, memang. Karena, terkadang perasaan yang kompleks tidak harus disalurkan melalui rentetan kata yang rumit. Sebuah tindakan kecil justru jauh lebih bermakna.

Gael yang larut pun sedikit menuntut. Seakan tubuhnya bertindak berdasarkan insting, tanpa mempedulikan akal sehatnya yang lumpuh sementara waktu. Dia membalas kecupan sederhana itu dengan sebuah lumatan kecil. Membuat Aidan tersenyum samar, lalu membalas lumatan Gael di sana.

Hingga satu teriakan klakson dari mobil di hadapan mereka menyadarkan keduanya. Memaksa mereka untuk menghentikan kegiatan tersebut, melepaskan tautan pada bibir satu sama lain.

Aidan langsung keringat dingin, dan Gael juga benar-benar salah tingkah.

“A-Ai, sorry. Aduh, e-eh, itu mobilnya bang Gio. K-kayaknya dia mau masuk ke garasi.” kata Gael yang terbata-bata karena gugup.

“Oh, iya. Ya udah, Ai mundurin mobilnya sebentar...”

“Engga usah, Ai pulang aja!” Gael buru-buru menjawab. “U-udah malem juga. El, turun, ya?”

Setelah itu, Gael langsung membuka pintu mobil Aidan. Anak itu langsung berlari, kabur masuk ke dalam gerbang rumahnya dan sibuk merutuki dirinya sendiri.

Semoga saja sang kakak tidak melihat adegan barusan yaaaa~

. . .