begellataes

. . .

Here i was... thinking magic didn't exist, and now that's all i see when i look at you.

Mungkin Taehyung tidak sadar sudah berapa lama matanya tidak berkedip. Mungkin dia tidak sadar, kalau dirinya sedang membangun ruang antara pikirannya dengan dunia di sekitarnya. Jelas Taehyung tidak sadar, kalau saat ini matanya sedang terkunci pada sosok Jeongguk. Sekelilingnya mengabur, digantikan dengan sebuah abstrak di dalam kepalanya, membentuk bayang-bayang akan sosok Jeongguk yang nampak begitu indah. Jeongguk dengan tatapan lembutnya. Jeongguk dengan senyuman hangat. Jeongguk dengan suaranya yang terdengar begitu menenangkan dan manis.

Kalau dipikir-pikir kembali, Jeongguk memang tidak banyak berubah. Perlakuan manisnya dan segalanya tentang Jeongguk masih sama. Masih menjadi hal yang dulu membuat Taehyung jatuh hati. Dan kembali membuat Taehyung jatuh untuk yang kedua kalinya sekarang.

Matanya dikerjapkan beberapa kali. Dengan harapan kalau fokusnya akan teralih dari sosok di dekat jendela, Jeon Jeongguk yang sedang fokus menatap tablet di atas meja. Namun, Taehyung malah menaruh lebih banyak fokusnya pada sosok Jeongguk dibanding sebelumnya. Matanya berjalan mengikuti gerak tubuh Jeongguk. Memperhatikan tangan kanan Jeongguk yang menari-nari dengan pena digital di tabletnya. Memperhatikan saat Jeongguk istirahat sejenak dari pekerjaannya untuk menyuap sisa kue di piringnya.

Bagian ujung apron Taehyung ditarik-tarik oleh kakak sepupunya. Sebagai percobaan mengambil alih perhatian Taehyung ke Yoona. Namun, percobaan pertama gagal. Tentu saja. Tanpa gentar sama sekali, Yoona kembali melakukan percobaan kedua. Dia cubit lengat Taehyung lumayan kencang. Membuat Taehyung menggaduh, buru-buru menarik lengannya sambil melayangkan pelototan ke arah kakak sepupunya itu.

“Kakak, kenapa aku dicubittt?” kelopak matanya yang membesar kini mulai kembali normal. Pandangannya beralih ke arah tangannya yang tadi dicubit oleh Yoona. Tertinggal sedikit jejak merah dan rasa panas pada kulitnya. Satu tangannya mengusap-usap bagian tersebut, sambil Taehyung tiup-tiup dengan mulutnya sendiri.

Dalam hati tidak habis pikir dengan tindakan Yoona yang begitu tiba-tiba. Tidak tahu apa kalau Taehyung tadi sedang fokus?

Ya, tentu saja tahu. Bahkan, dua pelanggan lain yang duduk tidak jauh dari meja kasir pun juga tahu. Kalau sejak tadi mata Taehyung begitu fokus pada seseorang di sudut ruangan. Seluruh atensinya tersita, bahkan bumi tidak sanggup memanggil jiwa Taehyung kembali. Dunia, semesta dan makhluk hidup yang lain yang ada di bumi ini kalah telak, pemenangnya adalah Jeon Jeongguk. Dan sang pemenang itu kini sudah berada di depan konter kasir. Menatap khawatir ke arah Taehyung yang masih belum menyadari kehadirannya.

Yoona kembali menyenggol lengan Taehyung. Mencoba memberikan sebuah isyarat ke anak itu, kalau orang yang sedari tadi mengambil alih dunianya itu ada di hadapannya. Namun, yang didapatkan Yoona adalah wajah cemberut Taehyung yang super lucu. Masih dengan gerakan mengelus lengannya yang memar dan alis mengerut. “Kakak, kenapa aku dari tadi digangguin?”

Yoona tidak menjawabnya secara langsung. Lebih memilih untuk mengangkat dagunya menunjuk ke arah Jeongguk berada, lalu berusaha dengan keras untuk berbicara melalui matanya. Ah, dia berharap sekali kalau adik sepupunya bisa cepat tanggap di saat-saat seperti ini.

“Kenapa siiiiih?” tanya Taehyung. Baru setelah itu wajahnya mengikuti ke mana petunjuk Yoona mengarah. Matanya membulat. Jeongguk sedang memperhatikannya, wajahnya terlihat sedikit khawatir. “Lo engga apa-apa? Tadi gua denger lo kayak kesakitan gitu, langsung buru-buru mau meriksa” kata Jeongguk.

Tubuh Taehyung kaku, membatu di tempat. Matanya masih membulat dan menatap Jeongguk. Mulutnya tidak bisa terbuka dan lidahnya sulit dia gerakkan. Perasaan kaget dan malu bercampur menjadi satu. Hanya ada sebuah gelengan lemah yang bisa mewakilkannya sebagai jawaban. Setelah itu dia kabur ke belakang. Meninggalkan Jeongguk yang semakin terheran. Namun, tidak lama kemudian sebuah senyuman terbit menghias wajahnya. Bukan senyuman tenang dan hangat yang seperti biasa. Senyuman Jeongguk merekah jauh lebih lebar, hingga hidungnya mengerut dan matanya menyipit.

Sedang oknum yang menjadi alasan Jeongguk tersenyum malah bersembunyi di dapur kotor. Berjongkok sambil menyembunyikan wajahnya ke paha. Ternyata membuat dirinya malu di hadapan Jeongguk tidak cukup hanya sekali. Atau mungkin dirinya malah selalu meninggalkan kesan memalukan setiap saat. Entah kenapa juga Taehyung harus merasa malu untuk hal sekecil itu.

Lama mengunci diri di ruangan itu. Bahkan Taehyung tidak sadar kalau sudah 30 menit berlalu. Kedua kakak sepupunya masuk dengan tumpukan piring dan gelas kotor. Seakan eksistensi Taehyung yang berjongkok di sudut ruangan itu tidak ada. Mereka memilih untuk berbincang tentang rencana esok hari sambil berbenah dan mempersiapkan penutupan toko hari ini. Mata Taehyung mengintip sedikit, bibirnya masih melengkung ke bawah. Meringis dan mengusir jauh-jauh rasa malunya sejak tadi. Namun belum berhasil juga.

Suara sepasang sepatu yang mengetuk lantai mendekat ke arahnya. Yoongi menarik tubuh Taehyung dengan pelan, tanpa bicara sama sekali. Lalu, Yoona yang baru saja mengeringkan tangannya ikut menghampiri Taehyung. Tangannya membuka ikatan tali apron yang membungkus tubuh Taehyung. Kepalanya kembali bergerak memberi sebuah isyarat. “Sana kamu pulang. Kasian loh itu temennya nungguin dari tadi. Biar kakak sama Yoongi yang beres-beres sisanya. Besok jangan dateng telat, kita ada wawancara buat pegawai dapur yang baru.”

Taehyung mengangguk lesu. Wajah sedihnya masih betah terpasang. Kakinya berjalan menuju ruang khusus staff. Mengambil beberapa barang dan mengganti bajunya, membungkus tubuhnya dengan jaket musim dingin kesayangannya yang berwarna krem. Ditarik napasnya dalam-dalam, lalu mengambil ancang-ancang pada hatinya untuk keluar. Berhadapan dengan Jeongguk dengan rasa malu yang tidak jelas ini. Taehyung begitu salah tingkah dan sulit untuk mengontrol tingkahnya yang sekarang.

Harusnya Taehyung tidak perlu salah tingkah dan malu begini. Toh, Jeongguk juga sudah tahu busuk-busuk dan tingkah bobroknya sejak SMA. Tetap saja rasanya Taehyung tidak ingin menambah citra buruknya di mata Jeongguk. Pria yang disukai dulu, juga yang dia sukai saat ini. Tembok es yang menjadi tameng pertahanannya sudah runtuh. Hancur lebur dengan segala sikap hangat dan manis dari Jeongguk.

Dengan susah payah Taehyung memaksakan langkahnya. Keluar dari arah dapur belakang, berjalan menuju ke bagian depan toko. Tempat di mana Jeongguk berdiri dengan tas laptop yang ditenteng satu tangan. Senyuman kecil pria itu menyambut Taehyung. Seakan beberapa waktu yang lalu Taehyung tidak melakukan hal konyol yang membuatnya risih. Jeongguk malah tetap menyambutnya dengan hangat dan manis.

“Sudah mau pulang?” Tanya Jeongguk.

Taehyung hanya mengangguk. Kepalanya menunduk dan kedua tangannya menyatu sambil memainkan kuku-kuku jarinya. Sumpah, inilah yang membuat Jeongguk begitu gemas. Taehyung terlihat lucu, apalagi saat ini pria itu terlihat seperti anak anjing yang manis.

Taehyung mengambil langkah dan jalan keluar dari toko terlebih dahulu. Membiarkan Jeongguk yang kini gantian mengekorinya dari belakang. Bibirnya komat-kamit sendiri, mungkin sedang merapal mantra agar dirinya tidak akan membuat malu lagi. Sedangkan Jeongguk sibuk berjalan dengan senyuman dan mata yang tidak berpaling dari Taehyung sama sekali. Bahkan, situasi itu bertahan hingga di dalam mobil Jeongguk. Taehyung yang komat-kamit dengan dirinya sendiri sambil membuang wajahnya ke arah luar jendela, dan Jeongguk yang beberapa kali melirik sambil tertawa tanpa suara ke arah Taehyung.

Volume radionya sengaja dia kecilkan. Berharap kalau suasana yang lebih tenang akan membantu mereka untuk berkomunikasi secara langsung. Namun, tentu saja tidak mudah membuat Taehyung memulai percakapan dengannya. Jadi, Jeongguklah yang harus mengambil langkah pertama.

Jarinya mengetuk pelan roda kemudi. Mobil hitamnya sedang berhenti di lampu merah saat ini, mungkin inilah saat yang tepat untuk memulai percakapan. Mencairkan suasana yang sunyi senyap dan dingin ini.

“Tadi tangannya kenapa?” tanya Jeongguk. Matanya sedikit melirik ke arah Taehyung. Ya, rasanya ini pertanyaan yang tepat untuk memulai konversasi dengan pria itu.

“Gapapa… kak Yoona iseng.” jawab Taehyung pelan.

Ah, mungkin butuh lebih banyak pancingan. Maka dari itu Jeongguk kembali mengajukan pertanyaan. “Kayaknya sakit banget si kak Yoona nyubitnya. Cuma memang aja ‘kan? Engga sampai luka atau gimana?”

Taehyung kembali menjawabnya dengan sebuah gelengan.

“Terus, tadi kenapa kabur pas lihat gua?” tanya Jeongguk. Kali ini tanpa basa-basi lagi.

“I-ih, s-siapa yang kabur tuh?” jawab Taehyung terbata-bata. Wajahnya semakin condong ke kanan, sudah bukan lagi membuang pandangan. Bahkan, rasanya Taehyung ingin membuang wajahnya saat itu juga. Atau melompat keluar dari mobil Jeongguk, karena kepalang malu.

Jeongguk terkikik. Kembali fokus dengan roda kemudi, karena kini lampu lalu lintas sudah kembali berwarna hijau. Dan Kim Taehyung, di bangku penumpang sebelahnya, tubuhnya merorok sedikit. Ingin meringkuk lagi, menyembunyikan wajah. Sialan, Jeongguk dengan terang-terangan menertawainya barusan. Tidak kasihan dengan Taehyung yang kini wajahnya sudah panas dan merah.

“Jangan malu-malu begitu. Lo tahu kan kalau kayak begitu malah jadinya gemesin?” ucap Jeongguk dengan ringan. Wajahnya menghadap lurus ke arah jalanan. Sedangkan Taehyung membalik tubuhnya menghadap ke arah pintu, jadi kini posisinya memunggungi Jeongguk.

Taehyung ingin merutuki Jeongguk. Atau, kalau saja mereka lebih akrab dari ini, mungkin Taehyung sudah memukul kepala Jeongguk dengan tas selempangnya. Ya, kalau saja begitu. Kalau juga mereka tidak terjebak dengan status di masa lalu yang rumit, juga rasa canggung saat ini.

Mulut Taehyung terkunci rapat. Wajahnya benar-benar dia palingkan, sama sekali tidak mau menatap ke arah Jeongguk. Bahkan, hingga Jeongguk mengantarnya ke depan pintu apartemennya—secara teknis, Jeongguk mengantar Taehyung sekaligus pulang ke apartemennya sendiri.

Pintu apartemen Taehyung terbuka. Pria itu baru saja ingin buru-buru melangkah masuk. Namun, satu panggilan dari Jeongguk dapat membuatnya membatu di tempat. Kepalanya menoleh perlahan. Taehyung merapatkan punggungnya ke arah daun pintu apartemennya, lalu memasang tatapan penuh antisipasi ke arah Jeongguk. Membuat Jeongguk untuk yang kesekian kalinya tertawa oleh tingkah lucunya.

“Boleh nanya sesuatu engga?” tanya Jeongguk.

Taehyung hanya mengangguk saja.

Jeongguk tersenyum kecil, sebelum akhirnya melayangkan pertanyaan yang sesungguhnya. “Lo... udah ada pacar belum?”

Taehyung tertegun. Sejak tadi memang lidahnya kelu, namun kini rasanya kaku menjalan ke seluruh tubuhnya. Kepalanya tiba-tiba saja kosong, tidak dapat memikirkan apa pun. Selain memutar ulang suara Jeongguk dengan pertanyaannya barusan.

Lo... udah ada pacar belum?

Lo... udah ada pacar belum?

Lo... udah ada pacar belum?

Dan, tanpa izin dari akal sehatnya, kepala Taehyung menggeleng begitu saja. Membuat senyuman Jeongguk yang di toko tadi kembali mengembang. Senyumannya yang begitu merekah, hingga hidungnya mengerut dan matanya menyipit. “Okay, good, then.

Taehyung hanya dapan menegur air liurnya sendiri. Apa barusan itu? senyuman apa yang diberikan Jeongguk? APA MAKSUDNYA BAGUS?

Untuk pertama kalinya Jeongguk mengambil langkah besar sepanjang kisah percintaannya. Jeongguk tidak lagi menjadi bocah belasan tahun yang payah dan pengecut. Kakinya maju selangkah, lalu tangannya menggapai bahu Taehyung. Dia dorong tubuh Taehyung dengan pelan untuk masuk ke dalam apartemennya. Begitu pintu apartemen Taehyung menyisakan sedikit celah, Jeongguk menahannya sebentar. “Goodnight, Taehyung. Sampai besok, ya?”

. . .

!! mention of obsessive love disorder, trauma & stalking behavior. . . .

Sebenarnya Taehyung tidak sedingin salju. Pria itu masih sehangat mentari di musim panas seperti yang diingat Jeongguk. Dia hanya berlindung di balik topeng dan dinding es yang sengaja dia buat. Hanya untuk melindungi hatinya dari rasa sakit yang kedua kalinya. Namun, pada dasarnya, Kim Taehyung tidak benar-benar berubah. Terutama di bagian matanya.

Jeongguk menyadari itu. Melihat bola mata Taehyung yang membulat malam ini membuat Jeongguk sadar, kalau Taehyung memang masih sama seperti dulu. Sosok anak laki-laki yang Jeongguk sukai sepuluh tahun lalu dengan mata besar dan tatapan murninya.

Tepatnya, Jeongguk sudah berdiri di depan toko Taehyung sejak 10 menit yang lalu. Urusannya dengan klien tadi selesai lebih cepat dari dugaannya. Seusai membereskan barang-barangnya tadi, Jeongguk langsung buru-buru pamit dan mengemudikan mobilnya ke Sugar & Crumbs sekejap mata, saking cepatnya dia melajukan mobilnya. Jeongguk diam lama di dalam mobil. Memutuskan untuk memperhatikan Taehyung yang sibuk merapikan tokonya bersama kedua orang lainnya di dalam sana. Hingga akhirnya seluruh lampu di bangunan itu padam. Disusul oleh sosok Taehyung yang membuka pintu sambil menunduk. Tangannya sibuk merogoh isi tas selempangnya, mencari sesuatu yang tidak Jeongguk ketahui.

Mata bulat itu menatap Jeongguk, ketika dirinya sadar kalau dia tidak sendirian. Ada kombinasi dari ekspresi kaget dan ketakutan yang tertangkap oleh mata Jeongguk. Kemudian, Jeongguk melangkah kecil. menghampiri Taehyung yang tiba-tiba diam di tempat. Terdengar helaan napas kecil dari Taehyung. Dan perasaan lega di wajahnya.

Sorry, buat kaget ya?” kata Jeongguk. Suaranya pelan dan lembut seperti biasanya. Entah memang begitu cara bicaranya pada semua orang, atau hanya refleks alami yang terjadi setiap berhadapan dengan Kim Taehyung saja. Apa pun itu, Jeongguk tetap berhasil mengantarkan rasa aman pada diri Taehyung.

Kepalanya mengangguk. Satu tangannya yang merogoh tas keluar dengan menggenggam ponselnya. “Kirain lo belum selesai... soalnya lo ga telepon.”

Jeongguk tersenyum kecil. Hatinya bergetar riang hanya karena pertanyaan sederhana dari Taehyung. Tidak dapat dipungkiri kalau apa pun yang dikatakan oleh seseorang yang disukai akan terdengar begitu menyenangkan. Seakan kalimat yang diucapkan Taehyung adalah sebuah nyanyian cinta dari surga.

“Tadi gua lihat lo sibuk beresin toko, jadi ga gua telepon.” jawab Jeongguk.

“Udah lama nunggunya?” tanya Taehyung. Kemudian, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. Mungkin, jari-jarinya mulai terasa sakit karena berbenturan dengan udara dingin malam. Jeongguk diam sebentar untuk memperhatikan gerak tubuh Taehyung. Sedari tadi mata Taehyung nampak tidak tenang. Beberapa kali matanya melirik dan menjelajah sekitar, seakan dia sedang mencari sesuatu.

“Belum kok. Yuk, pulang? Telinga dan hidung lo udah merah banget, pasti kedinginan itu.”

Jeongguk berbicara sambil menuntun langkah ke arah mobilnya. Sedikit bercerita tentang bagaimana harinya berjalan, sepertinya basa-basi agar rasanya tidak canggung dan sepi. Namun, Taehyung tidak bisa benar-benar fokus pada perkataan pria itu.

Tangannya mencengkeram tali tasnya. Matanya sibuk memperhatikan sekitar. Gelisah memakan dirinya sejak siang tadi. Taehyung takut, takut sekali dengan sosok yang disebutkan oleh Wendy.

Choi Minho. Pria gila yang begitu terobsesi pada Taehyung semasa perkuliahan. Berkali-kali melakukan tindakan yang membuat Taehyung merasa tidak nyaman. Hingga Taehyung harus menolaknya secara terang-terangan. Namun, pada dasarnya pria itu tidak peduli dengan rasa takut dan tidak nyaman Taehyung. Mencari tahu segala hal tentang Taehyung. Segala hal, termasuk masa lalunya dan Jeon Jeongguk. Minho juga tak jarang menguntit Taehyung hingga ke asramanya. Sampai akhirnya Taehyung menindak lanjuti perilaku meresahkan Minho, melaporkan pria itu ke pihak yang berwajib. Saat itu adalah tahun ketiga Taehyung di kampus, dan dirinya sudah cukup bertahan dengan rasa takutnya akan Choi Minho selama 3 tahun. Sudah cukup.

“Hei,” Jeongguk diam di depan pintu mobilnya. Hendak masuk, namun menyadari kalau Taehyung sedari tadi terlihat tidak fokus. “Lo engga apa-apa?”

Mata Taehyung mengerjap beberapa kali. Mungkin jiwa Taehyung habis menjelajah entah ke belahan bumi bagian mana, lalu baru menyatu kembali dengan raganya di sana.

“E-eh, engga apa-apa.” jawab Taehyung.

Sejak bertemu lagi dengan pria itu, ini adalah kali pertama Jeongguk melihat Taehyung selemah ini. Biasanya, Taehyung akan terlihat menggemaskan dengan tingkah uniknya. Entah itu berpura-pura galak, cemberut, atau berpura-pura tidak acuh dengan eksistensi Jeongguk. Aneh, aneh sekali. Entah kenapa Taehyung terlihat begitu linglung dan ketakutan. Jujur, Jeongguk ingin sekali mengajukan seribu pertanyaan. Namun, tentu saja dia sadar akan porsi dirinya.

Mobil Jeongguk melaju pelan, membelah jalanan malam kota Seoul yang masih ramai di tengah-tengah udara dingin. Ada lebih dari dua kali mereka melewati lampu merah, namun keheningan masih betah di sana. Taehyung memandang keluar jendela sejak menit pertama mobil Jeongguk melaju. Pikirannya kembali mengawang ke tempat di mana Jeongguk tidak bisa menembusnya. Membuat Jeongguk mengemudi dengan tidak tenang, namun sebisa mungkin tetap fokus dengan jalan raya di depan sana.

Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin sekali Jeongguk bicarakan. Hal yang benar-benar mengusik pikirannya, melebihi sikap dingin Taehyung.

4 hari lalu dia memergoki seorang pria dengan gelagat aneh di depan Sugar & Crumbs. Wajahnya bersembunyi di balik masker hitam dan topi, jadi Jeongguk tidak dapat melihat bagaimana rupanya dengan jelas. Awalnya, Jeongguk pikir pria itu hanya kebetulan berdiri di sana saja. Namun, gelagat pria itu semakin aneh. Beberapa kali dia memandang ke arah dalam, seperti sedang mencari kehadiran seseorang. Lalu, di hari berikutnya Jeongguk kembali menemukan sosok serupa di depan toko kue Taehyung. Detik itu juga Jeongguk langsung menghampiri orang tersebut. Dia sempat menatap matanya sebentar, lalu pria itu menghindar dari tatapan Jeongguk. Kemudian, dia buru-buru kabur tanpa sempat Jeongguk menegurnya secara langsung.

Sejak itulah Jeongguk berusaha mengajak Taehyung untuk pulang bersamanya. Karena, entah mengapa perasaannya mengatakan tidak baik soal pria di depan toko kue Taehyung.

Namun, seribu pertanyaan itu tidak dapat terucap sama sekali. Apalagi begitu Jeongguk melihat wajah Taehyung malam ini. Hatinya sakit, rasanya nyeri melihat wajah kebingungan dan ketakutan Taehyung. Jeongguk ingin melakukan apa pun, mencari segala cara untuk melunturkan ekspresi itu dari wajah indah Taehyung.

Keduanya tiba di depan gedung apartemen dengan selamat, setelah bertahan dengan kesunyian sepanjang perjalanan di dalam mobil Jeongguk. Mobilnya terparkir di depan, dekat tiang listrik dan pagar pembatas halaman gedung dengan jalan raya. Awalnya, Jeongguk menyuruh Taehyung untuk turun dan masuk ke apartemennya terlebih dahulu. Namun Taehyung menolaknya dengan sebuah gelengan.

Mereka turun dari mobil Jeongguk, kemudian berjalan beriringan ke dalam gedung apartemen. Beberapa kali mata Jeongguk mencoba melirik ke arah Taehyung. Rasanya, akan lebih menyenangkan melihat respons Taehyung yang biasanya, yang dingin, galak dan menggemaskan, ketimbang sekarang. Bukan karena dirinya suka kalau Taehyung bersikap dingin padanya. Jeongguk hanya tidak suka kalau ternyata kekhawatirannya soal pria di depan toko ada kaitannya dengan ketakutan Taehyung malam ini.

Dia tidak banyak berbicara, karena rasanya Taehyung sedang tidak dalam keadaan yang baik untuk diajak bicara. Jadi, Jeongguk hanya berjalan di sebelahnya saja. Memindai kartu keamanan di pintu lobi. Lalu, dia membiarkan Taehyung untuk masuk ke dalam gedung terlebih dahulu. Menyamakan langkah demi langkah yang Taehyung ambil saat menaiki anak tangga. Hingga mereka tiba di lantai 2. Berdiri di tengah-tengah antara pintu apartemennya dan pintu apartemen Taehyung.

“Jeongguk, thanks ya udah bolehin gue bareng. Dan,” Taehyung menunduk sebentar. Kedua tangannya masih di dalam saku. Matanya memperhatikan satu kakinya yang bergoyang, bermain-main di lantai. “Sorry, kemarin-kemarin sikap gue engga sopan ke lo.”

“Taehyung, gua okay kok. Lo engga perlu khawatir atau engga enak dan yang gimana gitu. Gua paham kalau pasti ada rasa canggung dan engga enak karena kita udah lama engga ketemu. Tapi, gua harap cepat atau lambat perasaan itu bisa hilang, ya?” jawab Jeongguk. Membuat Taehyung memberanikan diri untuk menatap mata pria itu. Ini adalah kali pertama Taehyung berani menatap langsung ke mata Jeongguk. Matanya menelisik, mencari sebuah jawaban ketulusan di sana. Dan itulah yang Taehyung dapatkan. Tidak ada orang lain yang menatapnya seindah dan setulus Jeongguk.

Bohong sekali kalau hal itu tidak membuat dinding es yang menjadi pertahanan Taehyung semakin mencair.

Thanks, sekali lagi. Kalau gitu gue masuk, ya?” kata Taehyung. Lalu akhirnya membelakangi Jeongguk. Membuka pintu apartemennya dan berpamitan sekali lagi.

Jeongguk masih berdiri di sana dan memperhatikan Taehyung dalam diam. Bahkan Jeongguk tetap di sana selama beberapa saat. Meski pintu di hadapannya sudah tertutup rapat dan sosok Taehyung sudah menghilang dari penglihatannya.

. . .

. . .

It might take a day, it might take a year. But, what’s meant to be will always find its way.

Harusnya Taehyung tidak perlu mengizinkan Jeongguk untuk datang ke toko, karena sebenarnya ada begitu banyak dalih yang bisa dia jadikan alasan. Pusing dengan tindakannya sendiri, pagi tadi Taehyung membiarkan ponselnya tergeletak di meja selama beberapa saat dan enggan untuk menyentuhnya. Matanya melirik takut ke arah benda itu, sambil dia gigit buku-buku jarinya. Mungkin ada lebih dari 10 menit dia diam dalam posisi itu. Selanjutnya, Taehyung hanya bisa meringis pada dirinya sendiri.

Jeon Jeongguk itu bahaya, Taehyung tahu sejak dulu dirinya mudah sekali mabuk akan pria itu. Jeongguk tidak perlu merapal mantra apa pun untuk membuat Taehyung terhipnotis, dan hal ini masih berlaku bahkan hingga sekarang. Taehyung sebal sekali, karena pesona Jeongguk selalu mampu mengambil kontrol atas dirinya.

Memberi izin Jeongguk untuk datang ke toko adalah hal pertama yang membuat Taehyung keki. Hal yang kedua adalah dirinya harus berpapasan dengan pria itu di depan pintu apartemennya tadi. Dari sekian banyak detik waktu yang bergulir, mengapa harus di jam, menit dan detik yang sama mereka keluar dari apartemen masing-masing?

Taehyung lihat kalau Jeongguk tersenyum padanya, seakan siap menjalani harinya yang terasa begitu indah. Sedang Taehyung merasa kalau hari ini dia akan menjalani hari yang berat dan menyebalkan, benar-benar sebuah perasaan yang berbanding terbalik.

Tidak acuh dengan senyuman hangat Jeongguk, Taehyung memilih untuk melenggang pergi pada detik itu juga. Mengabaikan sapaan ramah Jeongguk dan lambaian tangan tetangganya di belakang sana. Menuruni anak demi anak tangga dengan wajah tertekuk. Meski begitu, sikap tidak bersahabat Taehyung tetap mendapat sambutan hangat dari senyum tampan Jeongguk.

“Hei, jangan lupa rapatin jaket. Salju lumayan tebal di luar, soalnya semalaman turun salju.” Jeongguk berteriak dari belakang. Tidak tahu apa Taehyung mendengarkannya atau masih kukuh dengan sikap tidak acuhnya, hingga pria itu hilang dari penglihatan Jeongguk. Taehyung sudah berjalan keluar dari gedung apartemennya, kakinya melanglang di atas tumpukan salju. Bibirnya aktif menggerutu.

Dan gerutuan serta wajah tertekuknya bertahan hingga dia sampai di toko. Yoona dan Yoongi sampai bertukar pandang dan mengirimkan tanda tanya melalui tatapan mereka. Namun, adik sepupunya tidak menghiraukan tatapan bingung dari kedua kakak itu. Taehyung langsung masuk ke ruang ganti staff, mengganti bajunya dengan seragam toko dan memakai apron kesayangannya dengan sablonan Sugar & Crumbs. Setelah itu, Taehyung sibuk berkutat di dapur belakang, seakan tidak terjadi apa-apa.

Berkutat dengan adonan akan menjadi pengalihan terbaik saat ini. Setidaknya pikirannya terfokus dengan adonan kue untuk beberapa jam. Sebelum dirinya harus kembali berhadapan dengan Jeon Jeongguk siang ini.

Ya, bahkan, kegiatan ini sudah menjadi teman terbaik Taehyung untuk melupakan rasa sakitnya sepuluh tahun yang lalu. Taehyung menghabiskan berjam-jam waktunya di dapur, berkutat dengan resep kue keluarganya yang paling disukai. Taehyung ingat sekali, waktu dirinya menangis sambil mengocok adonan strawberry shortcake. Satu punggung tangannya dia pakai untuk menyeka air mata yang menetes di pipi, sedangkan tangan kanannya masih sibuk mengocok adonan.

Waktu itu, ada berjuta perasaan yang membelenggunya. Rasa sedih, rasa kecewa, rasa marah, hingga terbersit perasaan benci pada sosok Jeongguk. Seluruh teman sekolahnya bahkan mengetahui kabar tentang keberangkatan Jeongguk ke Tokyo. Namun, Taehyung merasa kalau dirinya adalah satu-satunya orang yang buta akan informasi apa pun tentang Jeongguk.

Hari itu Taehyung harus mengetahuinya dari Jaehyun. Teman dekat Jeongguk di kelas semasa sekolah. Bermula dari percakapan usil Taehyung tentang mimpinya, hingga akhirnya tercetus jawaban Jaehyun yang begitu membuat dada Taehyung terasa nyeri.

Loh, Jeongguk kan udah berangkat ke Jepang seminggu yang lalu. Gue pikir lo tahu?

Hari itu Taehyung memimpikan Jeongguk. Pria itu duduk di kursi sebelahnya, tersenyum dan berkata kalau dia ingin pamit. Jeongguk akan meninggalkan Seoul, dirinya akan melanjutkan studi desain ke Tokyo. Dan, ya, Taehyung sudah tahu kalau Jeongguk memang ingin melanjutkan kuliahnya ke negeri sakura. Taehyung hanya tidak habis pikir kalau dirinya harus mengetahui kepergian Jeongguk melalui sebuah mimpi. Bagaimana kalau hari itu Taehyung tidak mengobrol dengan Jaehyun? Mungkin Taehyung tidak akan pernah tahu kabar kepergian Jeongguk entah sampai kapan.

Harusnya, cinta monyet itu akan terasa lucu dan menyenangkan setiap kali kita mengingatnya. Namun, Taehyung tidak bisa merasakan itu. Karena perasaannya untuk Jeongguk bukan sekadar perasaan sesaat anak SMA seumurannya. Taehyung menyelam terlalu dalam, tanpa tahu di mana dasarnya.

. . .

Sudah lebih dari 3 hari Jeongguk pindah ke depan apartemen Taehyung. Tinggal berseberangan dan hanya terpisah oleh beberapa langkah dari pintu apartemennya dan Taehyung. Namun, pria itu masih terasa begitu dingin padanya.

Sebenarnya, Jeongguk bingung dan tidak mengerti. Kenapa sikap Taehyung bisa sedingin salju padanya, padahal dulu Taehyung sehangat mentari di musim panas. Dia bisa memaklumi kalau mungkin ada perasaan canggung setelah lama tidak bertemu. Tapi, Jeongguk tidak bisa mengerti kenapa Taehyung terlihat begitu menghindarinya.

Jeongguk bahkan berharap kalau situasi yang dihadapi dirinya dan Taehyung bisa disamakan dengan program diet. Ya, memang terdengar begitu random. Namun, Jeongguk pernah mendengar kalau nafsu makan mulai bisa menyesuaikan di hari ketiga diet. Dan, setidaknya Jeongguk berharap kalau suasana canggung dengan Taehyung bisa mencair juga di hari ketiga, meski sebenarnya kini sudah masuk di hari keempat.

Tapi, Jeongguk sadar, kalau kini bukan saatnya untuk dirinya bersikap lembek. Bukan saatnya untuk menyerah begitu saja. Jeongguk sudah melakukan kesalahan yang begitu besar di masa lalu. Jeongguk sudah melepas orang yang disayangi dengan begitu mudah, tanpa memberi dirinya sendiri kesempatan untuk berjuang. Dan kini adalah saat yang tepat untuk menebus kesalahannya tersebut.

Jeongguk tidak boleh menepi, tidak boleh berhenti, apalagi memutar balik.

Maka dari itu, kini Jeongguk sudah berdiri di depan pintu toko kue tempat Taehyung bekerja. Di depan bangunan bercat putih dengan tulisan Sugar & Crumbs di sebelah pintu masuk yang terbuat dari kaca. Lantai kayunya sedikit basah, mungkin jejak salju tadi pagi yang sudah mencair. Dan, ada lonceng kecil menggantung tepat di atas pintu masuk. Menimbulkan dentingan kecil yang bernyanyi ketika Jeongguk mendorong pintu tersebut.

Jeongguk menunduk kecil, membalas sapaan wanita yang sedang membersihkan meja bekas pelanggan, dia Yoona. Lalu, kurang dari satu detik, Jeongguk menangkap kehadiran Taehyung dari balik konter kasir. Pria itu sempat bertukar tatap dengannya, lalu buru-buru menunduk. Taehyung bersembunyi di bawah meja kasir, meski tahu kalau Jeongguk sudah melihat keberadaannya.

Jeongguk terkikik kecil, kegelian dan gemas dengan tingkah Taehyung itu. Kakinya dibiarkan tetap melangkah menuju ke konter pemesanan. Melihat-lihat menu kue yang berada di display untuk hari ini. Di depannya, di balik meja kasir yang kini menjadi tempat Taehyung bersembunyi, Yoona berbisik. Kakinya menyenggol-nyenggol tubuh Taehyung, menyuruh anak itu untu keluar dari persembunyiannya—begitu yang ditangkap Jeongguk.

“Ngapain kamu di situ?” kira-kira begitu kata Yoona.

Lalu, Taehyung membalasnya dengan isyarat menyuruh kakak sepupunya untuk diam, dan Jeongguk mendengarnya. Sstt, jangan berisik kak, begitu kata Taehyung.

Menggeleng heran, lalu mendecak, sebelum akhirnya Yoona yang mengambil alih meja kasir. Bertanya pada Jeongguk apakah sudah menentukan menu yang dia pesan atau belum. Lalu, jari telunjuk Jeongguk menunjuk sebuah kue cokelat dan menu signature untuk hari ini. Yoona dengan sigap mencatat pesanan Jeongguk, mencoba mengabaikan eksistensi Taehyung yang meringkuk di dekat kakinya. Kemudian, dia mempersilahkan Jeongguk untuk duduk dan menunggu pesanannya.

Beralih dari balik meja kasir, Yoona langsung menyiapkan pesanan Jeongguk. Dia tata kue-kue cantik hasil dari pekerjaan Taehyung sejak pagi ke atas piring. Sedang Taehyung masih sibuk bersembunyi di bawah meja.

“Kamu ngapain di situ? Mending bantu anterin pesanan nih.” kata Yoona. Tangannya menarik-narik lengan Taehyung, memaksa adik sepupunya untuk bangkit.

Selama ini Yoona sering mendengar nama Jeon Jeongguk, si mantan cinta monyet adik sepupunya semasa SMA. Namun, dia tidak pernah benar-benar tahu bagaimana rupa pria itu. Berani sumpah, kalau Yoona sampai tahu bahwa Jeon Jeongguk sedang berada di toko mereka, Taehyung pasti akan habis diledeki.

“Kak, please, kakak aja yang nganterin,” kata Taehyung. Kedua telapak tangannya bergerak mengusap-usap, seakan-akan memohon. “Aku engga mau ketemu sama diaaaa.”

Melihat respons dari adik sepupunya yang begitu mencurigakan, Yoona malah sengaja enggan untuk melakukan apa yang disuruh Taehyung. Dia berdiri dengan tegap, lalu menyerahkan nampan berisi pesanan Jeongguk tersebut ke arah Taehyung. Taehyung pun sudah tidak punya pilihan lain.

Lama berjongkok di sana, akhirnya Taehyung keluar dari persembunyiannya. Kepalanya tertunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya, padahal sudah jelas itu mustahil.

Jeongguk nampak sibuk dengan tablet dan stylus pen. Taehyung senang dan lega, karena Jeongguk tidak begitu memperhatikan sekitar. Dia bisa langsung menaruh pesanan Jeongguk ke atas meja, kemudian langsung kabur dan kembali bersembunyi.

Namun, kepala Jeongguk langsung menoleh begitu Taehyung tiba di depan mejanya. Seakan-akan ada sebuah sinyal terpancar setiap kali Taehyung berada di dekatnya.

Pria itu hanya diam. Membiarkan Taehyung menata pesanan Jeongguk ke sisi meja yang kosong. Bagus, memang sudah seharusnya Jeongguk diam saja. Karena Taehyung benar-benar tidak ingin terlibat konversasi apa pun dengan pria itu.

Thanks,” kata Jeongguk singkat. Ya, harapan Taehyung begitu. Namun, tentu saja Jeon Jeongguk tidak akan mengabulkan harapan Taehyung tersebut. “Udah ketemu yang dicari di lantai? Kayaknya tadi lo sibuk banget jongkok di bawah meja.”

Mata Taehyung melotot begitu dengar perkataan Jeongguk. Dalam hati Taehyung menggerutu, ingin sekali meninju Jeongguk yang begitu menyebalkan. Namun, tentu saja dirinya tidak akan pernah benar-benar melakukan hal tersebut. Ingin sekali Taehyung menunjukkan kalau dirinya sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi pada Jeongguk. Meskipun dia ragu apakah itu sebuah adalah benar atau bualan belaka.

“Selamat menikmati!” kata Taehyung. Lebih memilih mengabaikan perkataan Jeongguk sebelumnya. Lalu, dirinya buru-buru bergegas meninggalkan meja Jeongguk.

“Tunggu,” kata Jeongguk. Tangan pria itu bahkan hampir menggapai pergelangan tangan Taehyung, mencoba untuk menahan pergerakan Taehyung yang hendak pergi. Namun, Jeongguk urungkan niatnya karena takut bertindak tidak sopan. Untungnya, Taehyung tetap menghentikan langkahnya. Menghela napasnya, kemudian kembali menghadap Jeongguk. “Kenapa?”

Yoona yang dari tadi memperhatikan gerak-gerik kedua pria itu hanya bisa diam. Menyimak, namun tidak mengerti dengan situasi yang sedang terjadi. Dia tahu siapa saja pria dan wanita yang pernah dicampakkan oleh adik sepupunya, namun sosok ini nampak asing di matanya. Dia tidak tahu saja kalau pria yang sedang duduk dan berhadapan dengan Taehyung saat ini adalah Jeon Jeongguk.

“Temenin sebentar boleh engga? Gua butuh temen ngobrol, lagi mandet ide. Sekalian ceritain asal tentang kue buatan lo ini,” begitu katanya. Hening menjeda selama beberapa detik. Taehyung diam, nampak menimbang-nimbang jawaban, dan Jeongguk memberikan tatapan selembut kapas. Mustahil sekali Taehyung tidak luluh dengan tatapan itu. “If you don't mind?

Egonya ingin sekali menolak permintaan Jeongguk dengan tegas. Dirinya bisa saja langsung kembali ke meja kasir atau ke dapur belakang, ke mana saja asal tidak terlihat oleh Jeon Jeongguk. Namun, Taehyung malah kembali memilih hal yang berlawanan dengan egonya.

Dia menghela napasnya, lalu duduk di kursi seberang Jeongguk. Tubuhnya kaku, seakan tidak kenal kata rileks. Dia mainkan kuku-kuku jarinya, karena benar-benar merasa mati gaya di sana. Jeongguk tidak lagi fokus dengan tabletnya. Pena digitalnya dia letakkan di sebelah tablet yang berbaring di atas meja. Lalu, dirinya malah fokus menatap Taehyung.

So, let's talk about your beautiful masterpiece. Gua jadi engga tega mau makannya.”

Taehyung masih menunduk, menatap ke arah meja di hadapannya. “Kalau engga tega makannya kenapa dibeli.” katanya pelan. Namun Jeongguk masih bisa mendengar perkataan Taehyung tersebut.

“Hahaha. Oke, oke, kita coba yang mana dulu, ya?”

Jeongguk nampak sibuk dengan sendok kecil di tangan kanannya. Kepalanya mengangguk-angguk, seakan setuju dengan ekspektasinya sebelum mencoba kue itu. Ada senyuman kecil di wajahnya, membuat Taehyung berdebar dan ingin mendengar tanggapan langsung dari pria itu.

Tanpa Taehyung sadar, badannya kini sudah sedikit condong ke depan. Kepalanya miring sedikit, lalu tatapannya penuh antisipasi dan penasaran ke arah Jeongguk. Pemandangan itu menyambut Jeongguk ketika dirinya mengangkat kepalanya. Membuat senyuman kecilnya mengembang berkali-kali lipat lebih lebar. Lalu berkata. “Manis.”

Ya, Taehyung juga tahu kalau kue buatannya manis. Yang tidak Taehyung ketahui adalah Jeongguk tidak mengajukan kata itu untuk kue buatan Taehyung. Melainkan untuk dirinya, untuk Kim Taehyung.

Ck, orang lain juga yang ngeliat pasti tahu kalau kue itu manis.”

“Tekstur kuenya lembut banget, rasa adonannya engga terlalu manis. Tapi krimnya cukup manis, dan buah-buahannya buat rasanya jadi balance,” Jeongguk kembali berkata. Membuat rasa kecewa yang hampir melanda Taehyung kembali tertarik. “kayaknya bakal jadi salah satu cake yang sering gua makan.”

Sialan, Jeon Jeongguk sialaaan. Entah kenapa Taehyung langsung tersipu malu dengan pujian Jeongguk atas kue buatannya. Pipinya kini terasa panas dan merona untuk hal yang begitu sepele.

Thanks?” jawab Taehyung. Kehabisan kata-kata, ditambah dengan salah tingkah yang luar biasa. Taehyung benar-benar malu dan berharap dapat menenggelamkan wajahnya sekarang juga. Jeongguk mungkin bisa membaca gelagatnya yang begitu kentara. Entah dirinya harus berkelit apa lagi untuk mencari alasan dan pengalihan topik.

Jeongguk tertawa, Taehyung yakin sekali kalau dirinya benar-benar terlihat konyol saat ini. “Hahaha, sama-sama ya. Lo lucu banget sih,”

Wah, benar-benar ya Jeon Jeongguk ini. Berani-beraninya dia macam-macam dan membuat jantung Taehyung ketar-ketir begini.

“Lucu, masih kayak dulu jaman SMA. Lo masih manis & gemesin.”

Kalau Taehyung bisa melebur di tempat, kalau Taehyung bisa berubah menjadi cairan, Taehyung pasti sudah melakukannya sejak tadi. Karena dirasa-rasa, Jeon Jeongguk ini semakin membuatnya gila. Taehyung tidak akan bisa menanggapi ucapan Jeongguk lebih lama lagi.

“Hih, apa sih. Dulu lo engga pernah muji-muji gue kayak begini.” Gerutu Taehyung. Mencoba mengalihkan rasa malunya dengan cara berpura-pura galak.

“Oh ya? Waktu di klub bahasa jepang, waktu lo bacain PR lo pakai aksen jepang lo. Gua juga sempet bilang lo lucu, emang engga inget?”

Sudah jelas Taehyung mengingat setiap detik momen di hari itu. Ekspresi wajah Jeongguk, suara lembutnya ketika mengatakan itu, semuanya, setiap detiknya Taehyung rekam di dalam kepalanya.

“Engga” jawab Taehyung berbohong.

“Ah, kayaknya lo lupain banyak kenangan tentang SMA, ya?” kata Jeongguk, terdengar seperti sedang bergumam dengan dirinya sendiri.

Kalau memang Taehyung banyak melupakan memori mereka semasa SMA, mungkin itu tandanya Jeongguk harus membuat memori baru bersama Kim Taehyung. Membuka lembaran baru. Kali ini, Jeongguk ingin menulis kisah mereka dengan ending yang berbeda. Jeongguk ingin memberi banyak aksi, ketimbang menganggumi diam-diam. Jeongguk ingin memberi banyak bukti, ingin menunjukkan secara gamblang bagaimana perasaannya yang sesungguhnya untuk Taehyung.

Mau ada Jaebeom baru atau siapa pun orang yang dapat menghalanginya, Jeongguk tidak peduli. Seperti apa yang sudah Jeongguk katakan sebelumnya, kalau kali ini dia tidak akan menyerah. Jeongguk tidak mau menyesal dan mengulang kesalahan untun yang kedua kalinya.

“Engga apa-apa kalau lo ga inget banyak hal tentang gua di SMA dulu. Biar gua buat memori baru yang bagus-bagus sekarang, hehehe.”

Dan Taehyung tidak tahu apa maksud dari perkataan Jeongguk barusan. Apa-apaan itu? Apa maksudnya ingin membuat memori baru yang bagus tentang dirinya?

. . .

. . .

World change when their eyes met.

Mau secepat apa pun kakinya mengambil langkah, sekencang apa pun dirinya berlari dari halte bus hingga ke gedung apartemen, tetap saja Taehyung tidak bisa menghindari kehadiran Jeongguk di depan pintu apartemennya. Pria itu memakai celana training panjang dan hoodie sewarna, yaitu abu-abu. Bersandar pada dinding kosong di antara pintu apartemen Taehyung dan Jeongguk.

Taehyung mendesah pasrah. Wajahnya mengerut kusut dan tidak bisa dia sembunyikan. Sudah dengan semangatnya berlari menembus udara dingin malam, ternyata orang yang paling ingin dia hindari sudah berada di sana. Kemungkinan besar, tidak, bukan kemungkinan besar, namun sudah pasti kalau Jeongguk sedang menunggunya di sana. Kakinya yang dibalut sandal mengetuk-ngetuk lantai, menghitung detik yang bergulir untuk menunggu kedatangan Taehyung.

Tertunduk lesu dengan langkah yang terus berpijak pada anak tangga. Taehyung hanya berharap kalau Jeongguk tidak menyusahkannya, atau membuat Taehyung sebal apalagi menanggung malu akan masa lalu. Mengetahui fakta Jeongguk pindah ke depan apartemennya saja sudah membuat Taehyung kepusingan, jangan berharap kalau pria itu bisa santai dan bertegur sapa dengan Jeongguk, selayaknya kawan lama yang kini menjadi tetangganya.

Langkah kakinya berat, seperti dirantai dengan besi puluhan kilogram. Di saat kakinya seakan enggan untuk melanjutkan langkah, di saat Jeongguk adalah manusia terakhir yang ingin dia temui di bumi, semesta malah membuat dirinya dan Jeongguk bak magnet utara dan selatan yang saling bertarikan. Mau berusaha sekeras apa pun menghindar, keduanya akan terus dipertemukan.

Hingga akhirnya Taehyung tiba di anak tangga teratas. Menatap sebentar ke arah Jeongguk, dan langsung disambut dengan tatapan balik oleh pria itu. Mereka bertatapan sekedip dan terputus ketika Taehyung memalingkan wajahnya.

“Hei, akhirnya lo pulang hehehe.” kata Jeongguk. Melepas sandaran punggungnya dari dinding, lalu berdiri tegak, seakan menyambut kedatangan Taehyung tiga langkah di depannya.

Taehyung tidak memberikan ekspresi riang dan semangat selayaknya yang Jeongguk berikan padanya. Hanya ada wajah lesu dan cemberut Taehyung, masih sibuk menghindari wajah Jeongguk. Lalu, Taehyung berlalu begitu saja melewati Jeongguk.

Alis Jeongguk terangkat. “Hellooo, gue engga kelihatan?”

Tangan Taehyung yang baru saja melayang ingin menekan pin keamanan apartemennya langsung terhenti. Dia putar tubuhnya menghadap ke arah Jeongguk secepat kilat.

“APA? KENAPA? MAU APA?” ucap Taehyung setengah teriak. Alisnya mengerut sebal, matanya menatap tajam ke arah Jeongguk.

Jeongguk tercengang, matanya melebar sedikit. Ada sedikit rasa terkejut yang Jeongguk rasakan dari nada bicara ketus Taehyung. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa pria manis dan lucu semasa sekolah itu tumbuh dan menjelma menjadi begitu galak padanya seperti ini.

“Mau... nagih yang tadi siang? Makan malem bareng?” jawab Jeongguk spontan.

Taehyung menghela napasnya begitu berat. Jeongguk ini tidak peka, bahkan hingga sekarang. Pikir Taehyung begitu, setelah mendengar perkataan Jeongguk dengan ringannya barusan. Pria itu seperti tidak bisa membaca situasi dan perasaan Taehyung terhadapnya.

“Ya udah, tunggu di sini. Gue bersih-bersih badan dulu.” jawab Taehyung pada akhirnya. Tidak ada jalan keluar lain, sepertinya ini adalah satu-satunya cara agar Jeongguk tidak lagi mempersulit hari-harinya. Mungkin Taehyung akan to the point pada Jeongguk nanti, bahwa dirinya benar-benar tidak nyaman jika harus berhadapan seperti ini dengannya.

“Eh, engga usah. Kalau makan di tempat lo aja gimana?” kata Jeongguk.

Mata Taehyung membulat, sudah siap untuk memprotes usul dari Jeongguk yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin dia membiarkan Jeongguk masuk ke dalam apartemennya yang merupakan salah satu hal yang begitu privasi untuknya. Taehyung tidak begitu suka mengajak sembarang orang untuk masuk. Rasanya seperti ditelanjangi dan dihakimi ketika orang lain sibuk memperhatikan setiap sudut tempat tinggalnya.

“Gue tadi lihat nyokap lo bawa banyak lauk... pasti enak. Gue cuma kangen aja, udah lama juga gue engga rasain masakan rumahan.” jawab Jeongguk buru-buru, sebelum Taehyung sempat mengeluarkan kata-kata protes.

Wajahnya tertunduk saat mengatakan itu. Suaranya yang lembut pun memelan, seakan jiwa Jeongguk ditarik dan ditelan bumi saat mengatakannya. Entah mengapa Taehyung bisa merasakan sebuah pilu di sana, dari tatapan matanya yang tiba-tiba kosong ke arah lantai, dari suaranya yang terdengar lemah membalut kata-kata.

Hhh, seakan Taehyung tidak memiliki pilihan lain, meskipun dirinya bisa saja tetap menolak permintaan Jeongguk. Hatinya yang keras dan teguh pada pendirian itu bisa sedikit melembut. “Ya udah. Lo pulang dulu ke apartemen, 20 menit lagi balik. Gue mau bersih-bersih badan sebentar.”

Wajah Jeongguk langsung berseri-seri, Taehyung dapat menangkap binar bahagia yang tulus di mata pria itu. Bibirnya melengkung ke atas, menyengir dan memamerkan gigi kelincinya yang masih belum berubah. Taehyung pernah sekali melihat ekspresi Jeongguk yang seperti ini dulu, saat jam pelajaran olahraga dan Taehyung dengan heboh menyemangati tim bola Jeongguk dari kursi penonton. Mereka beradu tatap untuk sesaat, sambil bertukar tersenyum dari kejauhan. Taehyung ditarik kembali ke masa lalu, kenangan indahnya tentang Jeon Jeongguk.

Dan, kini, di waktu yang berbeda, di saat bumi sudah berputar lebih dari 3650 kali, Taehyung kembali melihat tatapan dan senyuman itu. Waktu yang berbeda dengan sebab dan akibat yang sama. sepuluh tahun berlalu, namun tatapan dan senyuman Jeongguk yang itu masih bisa membuat detik waktunya berhenti, membuat tangan Taehyung keringat dingin, hanya bisa terpaku dan tanpa sadar ikut menyunggingkan sebuah senyuman.

Menutup gugupnya, Taehyung langsung buru-buru memutus pandangan untuk yang sekian kali. Dia menyuruh Jeongguk untuk masuk ke apartemen pria itu, dan dirinya masuk ke apartemennya sendiri.

Begitu pintu apartemennya tertutup, kaki Taehyung yang lemas bisa sedikit mengandalkan pintu sebagai sandarannya. Entah dirinya harus meratap atau berbahagia dengan kembalinya Jeon Jeongguk di hidupnya setelah sepuluh tahun. Karena barusan, senyuman dan tatapan Jeongguk barusan itu sudah meruntuhkan tembok pertahanan yang Taehyung bangun dengan susah payah.

Dia gelengkan kepalanya, mencoba memanggil kembali akal sehat yang sempat dilenyapkan oleh seorang Jeongguk. Akhirnya Taehyung bisa membuat kakinya yang lemas kembali berdiri tegak. Buru-buru Taehyung melanjutkan kegiatannya, membersihkan diri dan merapihkan apartemennya dengan kilat. Diam-diam, Taehyung tidak ingin meninggalkan impresi buruk untuk Jeongguk, saat pria itu masuk ke dalam apartemennya.

Jadi, di sinilah Taehyung, dengan baju rumahan yang cukup rapih. Menata meja makan, membersihkan dapur, dan memasukan beberapa kotak lauk pada tas karton untuk Jeongguk yang dititipkan ibunya pagi tadi.

Tepat 20 menit dari waktu yang Taehyung tentukan, Jeongguk benar-benar sudah berada di depan pintu apartemennya. Masih dengan pakaiannya yang tadi, hoodie abu-abunya yang begitu wangi. Ingin rasanya Taehyung mengutuk, karena Jeongguk yang datang benar-benar tepat waktu. Seakan tidak memberikan Taehyung berhapas lega lebih lama.

Pintu apartemennya dia buka, lalu dia mempersilahkan Jeongguk untuk masuk. Dalam hati harap-harap cemas dengan pendapat Jeongguk tentang tempat tinggalnya, meski dirinya tidap harus juga memusingkan hal itu. Namun, Jeongguk tidak melakukan apa yang dia khawatirkan sejak tadi. Mata pria itu tidak berkeliaran menyusuri tempat tinggalnya, Jeongguk hanya menatapan berbagai lauk yang Taehyung siapkan di atas meja, lalu menatapnya seakan minta izin untuk duduk.

Jeongguk tidak berbohong soal dirinya yang merindukan masakan rumahan. Terbukti, dari bagaimana pria itu begitu lahap menyantap masakan ibu Taehyung. Terkadang Jeongguk menguyahnya sambil tersenyum, seakan puas dengan rasa yang berkunjung di lidahnya.

“Pelan-pelan aja, kayak engga pernah makan setahun.” kata Taehyung, tanpa menatap mata pria itu.

Seakan lupa kalau beberapa saat yang lalu dirinya begitu menghindari Jeon Jeongguk, kini Taehyung malah menceramahi pria itu tentang mengunyah makanannya dengan benar.

Sorry, udah lama banget gue engga makan masakan rumah begini hehe,” kata Jeongguk. Kembali mengunyah makanannya dengan pelan, lalu melanjutkan kalimat selanjutnya, “Udah lama nyokap dan bokap pisah, mungkin sejak kelulusan SMA. Setelah itu gue jarang ketemu nyokap.”

Jeongguk mengatakan itu semua seakan hal itu bukanlah hal yang besar. Seakan itu bukanlah hal yang mengganggu dan menyakitinya. Dan, Taehyung bingung harus bereaksi apa. Sejak kecil Taehyung tidak memiliki keluarga yang utuh, dirinya hanya dibesarkan oleh mamanya seorang diri. Papanya sudah meninggal sejak Taehyung kecil, mungkin saat itu usianya baru 4 tahun. Tidak banyak memori tentang papanya yang dia ingat, dan fakta bahwa dirinya hanya memiliki orangtua tunggal tidak begitu mengganggunya. Meski terkadang Taehyung menginginkan sosok papa di hidupnya.

“*Sorry...” kata Taehyung pada akhirnya.

Jeongguk mengangkat pandangannya, menatap Taehyung dengan senyuman itu lagi. Senyuman yang selalu berhasil memporak-porandakan dunianya. Membuat jantungnya berhenti bekerja beberapa detik.

No need to say sorry, gue baik-baik aja kok,” balas Jeongguk santai. Taehyung masih tidak mengerti dengan pria di hadapannya. Apa memang Jeongguk selalu seperti ini? mudah menutupi masalahnya, atau memang dia tidak ambil pusing akan suatu hal seperti Taehyung yang kebalikannya?

“Masakan nyokap lo enak banget, serius. Kayaknya bisa buka restoran, pasti bakal ramai banget.” kata Jeongguk.

“Emang punya restoran kok. Restoran keluarga, lebih tepatnya.” jawab Taehyung. Lalu, dia pun melanjutkan menyantap makanannya yang sempat tertunda beberapa saat.

Jeongguk nampak mengangguk-angguk. “Berarti emang satu keluarga jago masak ya kalian? hahaha. Lo juga ikut kerja di restoran keluarga lo?”

“Engga, gue kerja bareng kakak sepupu. Di toko kue kakak sepupu gue.” jawab Taehyung begitu saja. Lalu, detik berikutnya Taehyung menyesali kecerobohannya tersebut.

“Wah, di mana? Boleh nih kapan-kapan gue mampir.” kata Jeongguk. Membuat Taehyung meringis dan ingin menenggelamkan dirinya sendiri saat itu juga. Namun tidak ada pilihan lain selain menjawab pertanyaan Jeongguk. “Di Sugar & Crumbs, Yeonnam-dong.”

Jeongguk menjawab dengan semangat kalau toko kue Taehyung berada dekat dengan kawasan kantornya. Kalau dilihat-lihat, versi Jeongguk yang ini jauh lebih banyak bicara dibanding Jeongguk remaja yang lebih sering tersenyum saja.

Entah apa keputusannya membiarkan Jeongguk masuk ke apartemennya dan makan malam bersama ini adalah hal yang tepat. Karena rasanya kini Taehyung sudah tidak mungkin lagi untuk menghindari pria itu. Mungkin Jeongguk tidak seperti apa yang dia pikirkan, dan tidak seharusnya Taehyung memperlakukan pria itu seperti kemarin-kemarin. Apa yang terjadi dengan dirinya dan Jeongguk di masa lalu memang tidak berakhir indah. Namun, bukan berarti Taehyung harus membuang fakta bahwa Jeongguk adalah salah satu alasan dirinya suka dan semangat pergi sekolah. Jeon Jeongguk dulu juga sempat membuatnya bahagia dengan cara yang begitu sederhana.

“Oh iya, gue boleh minta nomor lo? Biar kapan-kapan kalau gue mau mampir ke toko, gue bisa ngabarin lo dulu. Hehehe.” kata Jeongguk sambil mengulurkan ponselnya ke arah Taehyung.

Meski ragu dengan keputusannya, Taehyung tetap mengambil uluran ponsel Jeongguk. Mengisi nomornya pada ponsel Jeongguk dan berharap kalau tindakannya ini benar. Kalau dia tidak akan menyesal begitu Jeongguk keluar dari pintu apartemennya nanti.

. . .

. . .

’Cause, you give me feeling i can’t put into words.

Jeongguk tidak pernah menyangka, kalau hari di saat salju turun bisa mengantarkan perasaan hangat ke dalam dadanya. Rasa hangat yang disusul oleh kepakan sayap kupu-kupu, beterbangan dengan bebas di dalam perutnya sejak tadi. Dan sudah jelas bahwa Kim Taehyung adalah penyebabnya.

Aneh, memang kalau dipikir-pikir. Padahal yang Taehyung lakukan hanyalah memalingkan wajah dan menghindari tatapan Jeongguk. Pria itu tidak melakukan apa pun, tidak dengan sengaja menebar pesona, apalagi menggoda Jeongguk. Kim Taehyung tidak perlu berusaha keras untuk mendapatkan seluruh atensi Jeongguk berpusat padanya. Hanya dengan sandal jepit, baju tidur dan rambut acak-acakan saja Jeongguk sudah dibuat kewalahan seperti ini. Bagaimana kalau Taehyung benar-benar berusaha menarik perhatiannya?

Jeongguk bisa gila. Mungkin juga dia sudah gila sejak sebelas tahun yang lalu. Di saat pertama kali dia membuka loker dan menemukan tulisan tangan Taehyung di surat cinta anonim dengan coki-coki berpita. Ya, dia sudah gila dan kadang lupa akan sekitarnya selain sosok Taehyung.

Bumi memanggil Jeongguk, helloooo. Seakan kesambet di pagi buta, Jeongguk berdiri sambil melihat Taehyung dengan senyuman miring khasnya. Senyuman yang dia tunjukkan hanya ketika dirinya gemas akan suatu hal, dan hal itu adalah Taehyung dengan sejuta tingkah dan sikap lucunya saat ini.

Tangan Taehyung terlipat di depan dada, matanya melirik penuh antisipasi dan kecurigaan pada senyuman Jeongguk. Membuat Jeongguk kembali melepas tawa kecil dan menggeleng.

“K-kenapa ketawa?” tanya Taehyung. Lalu dia mengambil selangkah mundur, seakan takut dengan tawa Jeongguk.

Jeongguk hanya menggeleng kecil. Seakan tidak bisa melakukan apa pun selain diam dan memandangi Taehyung yang berdiri di depannya.

Taksi yang ditumpangi Taehyung sudah pergi. Kini, hanya sisa mereka yang sedang berdiri di atas sisa-sisa salju yang turun pagi tadi. Taehyung menggigil, namun tetap berpura-pura memasang wajah garang dan curiganya sejak tadi. Entah apa maksudnya dia melakukan itu, namun yang Jeongguk lihat hanyalah sosok Taehyung yang menggemaskan.

Rasanya sudah lama sekali tidak melihat wajah itu, terakhir kali mereka bertemu di lorong sekolah sebelum hari perpisahan. Berpapasan dengan Taehyung yang menatapnya diam di lorong lantai dua yang sepi. Pria itu seperti ingin mengatakan sesuatu pada Jeongguk, namun hanya bisa diam sambil memperlihatkan wajahnya yang merah, terlebih di bagian hidung dan matanya. Saat itu Taehyung terlihat seperti habis menangis.

Taehyung jauh lebih kurus dulu, wajahnya kecil, dan rambutnya lebih pendek. Kini tubuh Taehyung jauh lebih berisi, rambutnya dia biarkan tumbuh lebih panjang dan berwarna cokelat gelap. Wajahnya yang dulu begitu tidur kini sudah menggembil, pipinya jauh lebih berisi. Namun, parasnya masih terlihat sama. Bulu mata panjangnya, tahi lalat di bawah mata dan di pipinya, semuanya masih indah. Jeongguk tidak akan pernah bisa melupakan semua itu.

Dan pria yang berdiri di hadapan Jeongguk saat ini, Kim Taehyung versi dewasa, jauh berkali-kali lipat terlihat indah. Meskipun bagi Jeongguk baik itu dulu ataupun kini Taehyung tetaplah indah.

“Kenapa pulang pakai baju begitu? Emangnya engga dingin?” tanya Jeongguk. Nada bicaranya lembut sekali, membuat Taehyung melotot mendengarnya. Entah karena rasa curiga tak berdasarnya itu atau karena jantung dia yang lagi-lagi dibuat terpacu karena Jeongguk.

Taehyung menggeleng, lalu berlari kecil berjalan ke arah gedung apartemen. Salju menyelip ke sela-sela jarinya yang tidak terlindungi oleh sandal, membuat Taehyung memekik kecil, namun tetap membiarkan kakinya berlari menerobos tumpukan salju dan udara dingin.

Jeongguk hanya bisa tertawa dan mengikuti Taehyung dari belakang. Membiarkan pria lucu itu heboh beberapa langkah di depannya, sambil menggeleng dan meracau seorang diri. Entah apa yang dia bicarakan, namun tetap saja terdengar dan terlihat lucu di mata Jeongguk.

Mempercepat langkah kakinya, Jeongguk mengambil langkah besar. Mencoba menyetarakan posisi jalannya dengan Taehyung, atau setidaknya mempersempit jarak mereka. “no thank you buat gue nih?”

Taehyung menghentikan langkahnya di anak tangga kedua, sedang Jeongguk yang masih di bawah ikut menghentikan langkahnya. Taehyung menunduk untuk bisa menatap Jeongguk. Lagi-lagi, dia memberikan tatapan itu. Tatapan curiga dan penuh antisipasi, yang Jeongguk tidak ketahui maksudnya apa.

“Mau lo apa deh sebenernya?” tanya Taehyung tiba-tiba.

Alis Jeongguk mengerut bingung. Tidak mengerti konteks yang dibicarakan oleh Taehyung. “Mau apa?”

Taehyung memutar bola matanya sebal. Seakan baju tipisnya dan sandal bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan saat ini. Seakan udara di tangga apartemen mereka tidak dapat membuat tulangnya ngilu dan badannya beku. Karena mencurigai Jeongguk atas dasar hal yang tidak jelas jauh lebih penting untuknya.

Anak itu masih kukuh dengan pikirannya yang pendek, bahwa Jeongguk memiliki maksud yang spesifik semenjak pindah ke apartemen seberangnya. Dasar Kim Taehyung, tingkat percaya dirinya ini tinggi sekali. Bisa-bisanya dia berpikir hal yang tidak jelas seperti itu.

Di saat sikap baik dan hangat Jeongguk, senyumannya, nada bicaranya yang lembut adalah hal tulus yang dilakukan oleh pria itu. Bahkan Jeongguk melakukannya sejak dulu saat mereka masih SMA. Jeongguk selalu menjadi anak laki-laki pendiam, manis, lembut dan ramah terhadapnya. Mungkin, kesalahpahaman di pesat malam perpisahan membuat Taehyung berpikir jauh seperti sekarang.

Dia takut dan curiga kalau Jeongguk sengaja ingin mempermainkan perasaannya, sengaja ingin meledeknya karena fakta dirinya dulu pernah menyikai Jeongguk di masa sekolah. Taehyung takut terluka, hingga dia main menyimpulkan segalanya sendiri. Dia mengantisipasi hatinya agar tidak sakit, namun bersikap sangsi kepada tindakan tulus Jeongguk.

“Ngapain pindah ke depan apartemen gue? Ngapain nyapa gue? Ngapain bolehin nyokap gue nunggu di apartemen lo? Ngapain bayarin taksi gue barusan? ngapain, Jeon Jeongguk?” kata Taehyung panjang lebar. Ekspresi wajahnya sedikit lebih tegas barusan, seperti habis menyebutkan hal yang benar-benar dia tidak sukai.

Pertama-tama, Jeongguk bingung harus menjawab bagaimana. Kepindahan Jeongguk ke apartemen seberang Taehyung benar-benar tidak dia rencanakan, ini adalah sebuah kebetulan. Sikap baiknya pada Taehyung itu adalah sebuah ketulusan. Jeongguk tidak melakukan itu dengan sengaja, dia hanya mengikuti instingnya saja.

Alih-alih menjawab apa yang ada di pikirannya, Jeongguk memilih untuk bertanya lebih singkat pada Taehyung. “Emangnya engga boleh gue ngelakuin itu semua?”

“Engga, engga boleh. Jangan terlalu baik lagi sama gue. Gue udah sengaja pura-pura engga kenal sama lo dari kemarin. Plis banget, gue mohon banget ini.” kata Taehyung.

Jeongguk tertegun, mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Taehyung. Jadi Taehyung berpura-pura tidak mengenalnya? Tapi, kenapa? Kenapa Taehyung bersikap seolah-olah dirinya begitu tidak menyukai Jeongguk?

Dari sisi Jeongguk, dirinya tahu bahwa perasaan Taehyung padanya dulu tidak berlangsung lama. Di semester kedua pada tahun ajaran terakhir, seisi sekolah dibuat heboh dengan kedekatan Taehyung dan Jaebeom. Padahal, saat itu Jeongguk baru mulai memberanikan diri menunjukan rasa tertariknya pada Taehyung dengan lebih jelas. Sejak itu, surat-surat dari Taehyung mulai berhenti mengisi loker miliknya.

Setidaknya itu semua berlangsung selama dua bulan. Hingga akhirnya coki-coki dan surat manis Taehyung kembali menyambut paginya di sekolah. Jeongguk pikir, itu adalah bahasa cinta mereka. Melalui sebuah surat, sehingga Jeongguk yang kaku dan bodoh akan cinta di masa lalu itu tetap bungkam. Memilih berkutat dengan buku sketsa dan menggambar hal-hal indah untuk Taehyung. Namun, hubungan mereka tidak memiliki kemajuan apa pun hingga hari terakhirnya di sekolah.

Bertemu lagi dengan Taehyung saat ini adalah sebuah anugerah. Keajaiban yang pernah Jeongguk harapkan, namun terlalu takut untuk memintanya secara terang-terangan. Yang jelas, Jeongguk selalu berharap kalau suatu hari dirinya akan bertemu lagi dengan Taehyung.

“Kenapa lo sengaja pura-pura engga kenal gue?” tanya Jeongguk pada akhirnya.

Wajah Taehyung terlihat frustrasi. Tangannya mengacak-acak rambutnya, padahal sebelumnya pun rambut itu sudah lumayan acak-acakan. Lalu Taehyung menjawab, “IIHHHH, TAU AHHHHH.”

Jeongguk tertawa, meski dia tidak mendapat jawaban apa pun dari pertanyaannya. Ada banyak waktu yang dia habiskan dengan Taehyung, kali ini ada banyak kesempatan untuk dekat dengan pria itu. Jeongguk yakin kalau kali ini adalah waktu yang tepat untuk mereka berdua. Jeongguk sudah menghabiskan sepuluh tahunnya dengan penuh penyesalah, maka dia tidak akan mengulangi kebodohan yang sama lagi.

Kalau Taehyung adalah cinta lama dan takdirnya, maka Jeongguk akan memperjuangkan apa yang pantas dia perjuangkan sepuluh tahun yang lalu.

Meski Taehyung yang manis kini berubah menjadi pria dewasa yang galak dan tidak begitu ramah menyambut kehadirannya. Pria itu tetaplah Kim Taehyung, tetap membuatnya merasakan getaran aneh di dadanya, membuat pesta kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutnya, sesuatu yang jelas dia rasakan namun tidak dapat benar-benar dia jelaskan dengan rangkaian kata.

“Kalau traktir gue makan malem ini sebagai ganti uang taksi yang tadi, gimana? Atau, besok pas makan siang?” tanya Jeongguk pada akhirnya. Membuat keputusan yang dia yakin adalah keputusan terbaik di dalam hidupnya.

Kalau Taehyung berlari, sudah seharusnya Jeongguk berjalan lebih cepat dan juga ikut berlari mengerjar Taehyung bukan?

Karena cinta yang tepat tidak boleh dia biarkan pergi dua kali.

. . .

. . .

Kuku jari Taehyung membiru, dan timbul rasa sedikit ngilu. Ini semua adalah akibat dari menerjang hujan salju yang sudah berlangsung selama berjam-jam. Tidak ada pilihan selain berjalan kaki selama 7 menit dari halte bus hingga ke gedung apartemennya. Sebenarnya memakan banyak waktu, kalau saja malam ini salju tidak menyelimuti jalanan dan udara dingin yang membuat tubuh membeku.

Sepanjang perjalanan Taehyung terus merapalkan berbagai snack favoritnya yang dia simpan di lemari dapur. Membayangkan kalau sebentar lagi dirinya akan mandi air hangat, bersenandung kecil, sambil menikmati rendaman air hangat mengantarkan kenyamanan pada tubuhnya. Begitu saja sudah cukup membuat Taehyung semangat untuk terus menerjang udara dingin di luar sana, hingga akhirnya dia sampai di gedung apartemennya.

Kakinya melangkah senang, menaiki satu demi satu anak tangga menuju lantai dua. Kedua tangannya mengepal di udara dan menari-nari senang. Sebentar lagi bisa berendam air hangaaat, sebentar lagi bisa minum cokelat panas dan makan snack kesukaannya.

Sebentar lagiiii, yeaaay.

Tapi,

Tapi,

Tapi,

Tidak jadi sebentar lagiii, tidak jadi senang. Karena mata Taehyung menangkap kehadiran Jeon Jeongguk di depan pintu apartemen. Berdiri dengan tidak seimbang, sambil membenturkan kepalanya pelan ke pintu di hadapannya.

Taehyung menggeleng, keheranan sekali dengan tingkah pria itu malam ini. Apa yang Jeongguk lakukan di luar pintu apartemennya? Kenapa dia membenturkan kepala seperti itu?

Baiklah, Taehyung mengerti kalau hidup di Seoul itu memang keras. Taehyung mencoba untuk paham, kalau menjadi illustrator di sebuah perusahaan dengan merek besar itu bisa menjadi beban yang begitu besar. Tapi, Taehyung tidak setuju kalau Jeongguk memilih untuk menyakiti dirinya sendiri seperti sekarang.

Kakinya melangkah besar, melompati dua anak tangga untuk sampai ke lantai 2 apartemen. Rasanya, Taehyung cukup kesal menyaksikan pemandangan barusan. Ingin sekali Taehyung menarik tubuh Jeongguk, menghentikan aksi bodoh pria itu, lalu memakinya.

“Jeon Jeongguk, lo ngapain sih?” kata Taehyung lumayan kencang, mungkin hampir berteriak. Tangannya meraih pundak Jeongguk. Mencoba menghentikan tubuh pria itu dan membalikkan tubuhnya, menjadi menghadap ke arah Taehyung.

Matanya sayu, hidung, pipi dan bola matanya merah dan sengatan bau alkohol langsung menusuk hidung Taehyung. Taehyung pandangi lagi pria di hadapannya, dari ujung kaki hingga ujung kepala. Jeongguk terlihat kacau... dan mabuk berat.

Ah, jadi yang dilakukannya barusan itu karena Jeongguk terlalu mabuk. Taehyung sudah berpikir yang macam-macam, hingga berencana untuk mencari bantuan profesional. Jaga-jaga, kalau ternyata tetangga seberang, orang yang dulu dia sukai, Jeon Jeongguk, sedang melalui masa-masa sulit dalam hidupnya.

Lalu, sekarang bagaimana?

Tangannya masih memegang bahu Jeongguk, sekaligus menopang tubuh pria itu yang terkadang oleng tidak seimbang. Wajahnya mulai terlihat panik, karena tidak tahu harus melakukan apa. Tidak seharusnya dia berada di jarak sedekat ini dengan Jeongguk, tidak, tidak, tidak. Nanti jantungnya kembali mengetuk-ngetuk dari dalam, izin untuk loncat keluar. Bahaya.

“Jeon Jeongguk, cepat masuk ke apartemen lo. Ini dingin banget, lo mau mati kedinginan di luar sini?” ucap Taehyung. Berusaha mengajak bicara Jungkook, seakan pria yang sedang mabuk berat itu akan mengerti perkataannya.

Karena, sudah jelas Jeongguk tidak dapat menangkap satu kata pun yang terucap dari mulut Taehyung. Pria itu malah tertawa begitu melihat wajah Taehyung samar-samar di penglihatannya. Lalu terhuyung ke depan, karena gagal menjaga keseimbangan tubuhnya. Jeongguk mendaratkan tubuhnya ke arah Taehyung, membuat Taehyung dengan susah payah menahan tubuh Jeongguk yang sedikit lebih besar darinya itu.

“Jeon Jeongguk, sadar engga! Ih, jangan peluk-peluuuk!” kata Taehyung heboh. Padahal, tangannya yang kini sedang melingkari tubuh Jeongguk, demi menjaga tubuh pria itu tetap berdiri.

“Lo... k-kenapa lupa? Gue? K-ok engga i-inget?” kata Jeongguk terbata-bata, bicaranya tidak begitu jelas. Mungkin karena posisi wajahnya kini terbenam di dalam leher Taehyung, juga, ditambah dirinya mabuk berat.

Taehyung mendesah, namun tidak bisa berbuat apa-apa selain mempertahankan posisi berdiri mereka. Otaknya berpikir, mencari cara agar dirinya bisa segera pulang, tanpa perlu membawa Jeon Jeongguk ke dalam apartemennya. Karena demi Tuhan Taehyung tidak mungkin tega meninggalkan pria itu di depan sini dalam keadaan mabuk.

“Gue engga paham lo ngomong apa. Jeongguk, plis, sadaaar. Gue mau cepet-cepet masuk apartemen, tolong bangeeeet.” kata Taehyung, meringis. Sungguh, Taehyung hanya ingin pulang. Pintu apartemennya hanya lima langkah di belakangnya, namun dirinya masih terjebak di luar sini dengan Jeon Jeongguk. Ya, itu yang paling menjengkelkan. Kenapa harus dirinya yang memergoki Jeongguk sedang mabuk, membenturkan kepalanya ke daun pintu dan meracau tidak jelas?

Lagi, lagi, dan lagi, Jeongguk hanya menjawabnya dengan sebuah tawa. Kepalanya mendongak, matanya menyipit sambil menatap Taehyung, lalu dia tersenyum seperti orang gila. Membuat bulu kuduk Taehyung berdiri sebadan-badan.

“JEON JEONGGUK, CEPET SADAR ATAU GUE TINGGAL DI SINI?” kata Taehyung pada akhirnya, lalu buru-buru memalingkan wajahnya yang sudar semerah tomat. Sialan, Jeon Jeongguk, seenaknya saja menyiksa jantung Taehyung seperti ini.

Lalu, Jeongguk mencoba untuk berdiri tegap, memutar tubuhnya ke arah pintu apartemennya dengan susah payah. Tentu saja, Taehyung yang berada di belakangnya harus siaga, takut kalau tubuh pria itu kembali terhuyung entah ke arah mana.

Jari-jarinya mulai terangkat, mencoba untuk menekan tombol keamanan pada pintu apartemennya. Sayangnya, pandangan matanya masih begitu kabur. Berulang kali dicoba, tetap saja jari telunjuk Jeongguk malah tergelincir ke angka yang salah.

Taehyung geram. Untuk kesekian kalinya dia harus mendesah panjang, menghela napasnya dengan kesal. “Sebutin nomornya, biar gue bantu.”

Jeongguk tersenyum—lagi—seperti orang gila. Lalu menyebutkan pin keamanan pada pintu apartemennya dengan pelan, “0, 9, 0,”

Jeongguk diam sebentar. Membuat Taehyung harus lebih menahan kesabarannya.

“7, 11.” lanjut Jeongguk.

“0, 9, 0, 7, 1, 1?” ulang Taehyung.

Jeongguk menggeleng heboh. “Bu-kaaan.”

“Hah? Coba ulang, ya? kali ini jangan salah Jeongguk. Plis, gue udah mau balik ke apartemen.”

“Hehehe,” Jeongguk mengangguk sambil tertawa. Kemudian kembai menyebutkan pin keamanan pintunya. “0, 9, 0, 7, Sebelaas.”

Taehyung berpikir sebentar. Bukannya itu angka yang sama dengan yang dia sebutkan sebelumnya? Demi apa pun, sepertinya kesabaran Taehyung memang benar sedang diuji melalui Jeongguk.

“Apa bedanya sama yang gue sebutin tadi? hhh.” gerutu Taehyung. Lalu, jarinya menekan angka yang sudah Jeongguk sebutkan. Tidak lama, pintu di hadapannya berbunyi dan terbuka saat Taehyung tarik gagangnya.

Dia biarkan Jeongguk meracau tentang sebelas yang berbeda dengan satu-satu. Memapah tubuh Jeongguk dengan susah payah ke dalam apartemen pria itu.

Serius, Taehyung tidak pernah membayangkan dirinya akan masuk ke dalam apartemen Jeon Jeongguk. Tidak pernah sama sekali, bahkan hingga detik di mana dia mengetahui kalau mereka kini bertetangga. Boro-boro membayangkan hal ini, yang ada Taehyung malah sibuk menghindari pria itu sejak kemarin.

Taehyung dengan terpaksa mengetahui pin keamanan apartemen Jeongguk, membantu pria itu untuk bisa masuk dan sampai dengan selamat ke dalam apartemennya. Kurang gila apa lagi malam ini?

Mungkin juga akan ada banyak kegilaan lainnya di kemudian hari. Taehyung tidak bisa menjamin apa pun, tidak bisa mengharapkan hari-harinya berjalan biasa saja. Di saat Jeon Jeongguk kini tinggal begitu dekat dengannya.

Pelan-pelan kakinya melangkah, menuntun Jeongguk untuk duduk di sofa ruang tengahnya. Kemudian Taehyung berjongkok, melepas sepatu Jeongguk pelan-pelan. Kemudian, dia rebahkan tubuh Jeongguk, memberikan bantal sebagai sandaran kepala Jeongguk agar tidurnya nyaman. Meski, Taehyung tidak memiliki kewajiban melakukan itu semua.

Taehyung bangkit dari posisinya, setelah merasa Jeongguk sudah berbaring dengan nyaman. Akhirnya dia dapat bernapas lega dan bisa merealisasikan rencara berendam air hangat.

Jeongguk mabuk berat, seharusnya pria itu tidak akan mengingat apa pun esok hari. Jadi, Taehyung tidak perlu khawatir bukan?

Ya, seharusnya begitu.

Namun, pergelangan tangannya ditahan oleh Jeongguk, tepat ketika Taehyung ingin pergi dari sana. Alis Taehyung mengerut, menatap genggaman tangan Jeongguk yang cukup erat untuk ukuran orang mabuk dan tidak sadarkan diri. Matanya terpejam, wajahnya nampak begitu tenang, seperti sedang menyelam bebas di alam tidur.

“Lo engga inget gue, coki-coki?” ucap Jeongguk pelan.

Mata Taehyung membulat kaget. Jeongguk masih nampak seperti sedang tidur nyenyak, namun nada bicaranya terdengar begitu jelas. Sialan, jangan-jangan Jeon Jeongguk pura-pura mabuk sejak tadi?

“AAAAAAA.” tepat setelah teriakan itu, Taehyung langsung berlari keluar dari apartemen Jeongguk. Dia langsung masuk dan mengunci dirinya di dalam apartemen miliknya sendiri.

. . .

COKI-COKI: 020.

. . .

Totalnya, bell pintu apartemen Taehyung sudah berdenting sebanyak lima belas kali, dan, tiga ketukan pintu di akhir. Taehyung tahu, siapa orang yang sedang berdiri sambil menekan bell pintunya pagi-pagi begini. Figurnya terpampang jelas pada layar intercom apartemennya.

Tentu saja, Jeon Jeongguk, pria penghuni seberang apartemennya. Sekaligus, cinta monyetnya yang tidak terbalas semasa sekolah menengah atas dulu. Untuk sekian kalinya sejak kemarin, ekspresi meringis terus-terusan terpajang di wajahnya.

Kakinya mondar-mandir di depan layar intercom, sambil sibuk mengigit kuku jarinya. Pikirannya sibuk menebak maksud dari kedatangan Jeongguk pagi-pagi begini. Selanjutnya, dia menimbang, apakah harus dia membukakan pintu apartemennya untuk Jeongguk?

Jeongguk sudah berdiri cukup lama di depan pintu apartemennya. Ini masih awal bulan Januari, dan udara Seoul masih sangat amat dingin. Terbukti, saat Jeongguk menyembunyikan kepalanya di dalam kupluk hoodie-nya, lalu tidak henti menggosok kedua telapak tangan.

Taehyung sering merasakan dilema, sering sekali, mungkin sudah ratusan kali atau bahkan ribuan selama hidupnya. Namun, dilema kali ini rasanya begitu dahsyat. Dia tentu bukanlah orang jahat yang tega membiarkan Jeongguk menggigil kedinginan di depan pintu apartemennya. Namun, Taehyung juga tidak mampu berhadapan dengan seorang Jeon Jeongguk secara langsung.

Kisahnya dengan Jeongguk mungkin terlihat biasa saja di mata orang lain. Tapi, bagi Taehyung, kisah cintanya dengan Jeongguk tidak biasa saja. Terlalu sakit untuk diingat bila hanya sekadar cinta monyet dan cinta tak terbalas anak remaja. Jeon Jeongguk meninggalkan banyak kesan untuk Taehyung dan menimbulkan banyak dampak dalam kisah percintaannya.

Dia selalu ingat, dan, masih mengingat semuanya dengan jelas. Sebesar apa rasa kagumnya kepada Jeongguk, hingga perasaan itu berkembang menjadi sebuah rasa sayang yang—bagi Taehyung—searah. Masih ingat bagaimana jantungnya berdegup tidak keruan, setiap kali melihat ekspresi Jeongguk yang menemukan coki-coki dan surat cinta di loker pria itu. Meski, pada akhirnya, Jeongguk tidak pernah mengambil tindakan yang sama seperti dirinya. Senyumnya, tawanya, tatapannya, Taehyung berpikir kalau Jeongguk hanya menikmati itu semua untuk dirinya saja.

Taehyung pikir, Jeongguk hanya senang diberikan atensi, senang melihat ada seseorang yang begitu mabuk dengan pesonanya. Namun, tidak akan pernah bisa membalas semua perasaan Taehyung itu. Terkadang, dia ingin berharap lebih dari tatapan Jeongguk, dari senyumannya, dari nada bicaranya yang lembut setiap kali mereka mengobrol berdua, kalau Jeongguk memiliki perasaan yang sama terhadap dirinya. Dan, itu semua hanya akan terus menjadi sebuah harapan yang tidak mungkin terjadi.

Kalau Jeongguk memang peduli pada perasaannya dulu. Kalau pria itu memang benar-benar memiliki perasaan yang sama dengannya, meski hanya secuil, Jeongguk seharusnya datang ke prom night sekolah mereka. Karena Taehyung sudah dengan jelas mengatakannya, di depan Jeongguk dan teman-teman yang lain,

Prom? datenglah, pasti. Ada lagu yang mau gue nyanyiin, buat seseorang. Begitu katanya, sambil melirik-lirik malu ke arah Jeongguk. Berharap kalau anak laki-laki itu mendengar sebuah kode yang baru saja diberikan olehnya.

Dan, anak laki-laki itu, yang kini sudah tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan. Yang dulu pernah memberi harapan Taehyung kalau mereka mungkin memiliki kesempatan bersama, kalau perasaannya selama 2 tahun itu tidak berakhir satu arah, kalau dirinya juga diinginkan, padahal kenyataannya tidak. Nyatanya, Jeongguk bahkan tidak memberikan pesan terakhir, tidak memberikan Taehyung kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya secara langsung, atau memberi salam perpisahan. Jeongguk pergi, melanjutkan studi desain ke Jepang, dan sejak saat itu Taehyung tidak tahu-menahu kabar tentang Jeongguk.

Ya, dia adalah pria yang sama dengan orang yang berdiri di depan pintu apartemennya pagi ini. Bagaimana bisa Taehyung bersikap baik-baik saja? di saat pria itu meninggalkan dampak yang sebesar ini untuk diri Taehyung selama bertahun-tahun. Hati kecil Taehyung berkata untuk membuka pintu apartemennya, namun, egonya menolak dengan keras.

Menghela napasnya berat. Pada akhirnya, Taehyung berjalan menuju pintu apartemennya. Membukanya, meski dengan berat hati. Lalu, yang dia lihat adalah tubuh Jeongguk yang sedang memunggungi pintu. Begitu mendengar pintu di belakangnya terbuka, Jeongguk langsung buru-buru membalik badan. Memamerkan senyumannya, senyuman kecil yang terasa begitu hangat, dengan lesung pipi yang menghias indah.

“Hei, kirain lo engga ada di apartemen. Sorry, ganggu pagi-pagi begini, ehehe.” kata Jeongguk, masih dengan senyumannya. Taehyung lihat kalau bibirnya mengigil dan tidak henti menggosok telapak tangannya.

“Ada apa?” tanya Taehyung tanpa basa-basi.

Jeongguk membungkuk, mengambil tas karton yang dia letakkan di dekat pintu masuk apartemen Taehyung. “Ada banyak kiriman makanan dari keluarga dan teman. Gue engga akan bisa ngabisin ini sendiri, sayang kalau engga ada yang makan dan basi.”

Jeongguk mengulurkan tas karton tersebut. Isinya, ada beberapa toples kue kering dan berbagai macam roti. Salah satunya benar-benar menarik perhatian Taehyung, begitu mencolok meski dia ditumpuk di antara yang lainnya. Seakan mengantarkan Taehyung terbang jauh ke belakang. Mungkin, sudah lebih dari satu dekade yang lalu. Taehyung yang masih kurus dan memakai seragam SMA, menenteng tas karton kecil berisikan roti isi daging cincang yang selalu dia beli di toko roti kesukaannya. Karena mamanya sibuk bekerja, Taehyung jadi jarang sekali menikmati sarapan buatan sang mama. Roti isi daging cincang itulah yang menjadi teman sarapannya di sekolah. Duduk di tempat duduk penonton yang berbentuk tangga di lapangan bola, sambil mengunyah roti kesukaannya dan menyesap susu stroberi yang dia beli dari mesin minuman.

Mata Taehyung kemudian menatap Jeongguk dan roti tersebut secara bergantian. Kenapa kebetulan sekali?

Jeongguk diam di tempat. Menunggu Taehyung bereaksi, tentunya selain mengedipkan mata berkali-kali, sambil melihat ke arahnya dan tas karton yang dipegang Taehyung. “Oh iya, roti isi daging cincangnya gue beli sendiri, bukan kiriman dari orang hehehe. Itu enak banget, semoga lo suka.”

Taehyung masih tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Beberapa menit yang lalu, dirinya sibuk merutuki kehadiran Jeongguk di depan apartemennya. Dan, kini, hatinya menghangat hanya karena roti isi daging giling, yang secara tidak sengaja Jeongguk berikan padanya. Sialan, Taehyung lemah sekali.

Thanks?” ucap Taehyung ragu. Senyum kecilnya terpasang, meski sedikit terlihat terpaksa. Tapi, Jeongguk tidak masalah.

Jeongguk tertawa pelan. Kemudian membalas senyuman paksa Taehyung dengan senyum tulus yang begitu lebar, hingga matanya menyipit dan timbul kerutan-kerutan kecil di sebelah matanya.

You're most welcome. Kalau gitu, gue pamit? hehe. Sekali lagi sorry udah ganggu pagi lo.” begitu kata Jeongguk. Meninggalkan Taehyung terpaku di tempat. Membeku karena senyuman Jeongguk yang masih menawan, tidak berubah seperti saat mereka SMA. Masih membuat jantung Taehyung berpacu tidak keruan, setiap kali dirinya berada di jarak yang begitu dekat dengan Jeongguk.

Kenapa?

Bagaimana bisa?

Sebenarnya mau Jeongguk apa?

Kini, pertanyaan-pertanyaan itu muncul dalam benaknya. Melupakan kenangan tentang cinta monyetnya itu sulit. Taehyung bahkan menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menangis, setiap kali mengingat dirinya yang tidak memiliki kesempatan untuk menyatakan perasaannya dengan layak. Taehyung menangisi Jeongguk yang pergi tanpa ada sepatah kata pun, dan untuk hal ini Taehyung mencoba untuk tahu diri, dirinya bukanlah siapa-siapa untuk Jeongguk.

Bagaimana bisa pria itu hadir kembali di hidupnya? Setelah banyak waktu yang sudah berlalu?

Entah Jeongguk atau takdir yang harus Taehyung sebut kejam padanya. Atau, dirinya sendiri? Karena nyatanya, sekuat apa pun usaha Taehyung untuk melupakan pria itu, hatinya tetap sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Dunianya masih berputar mengelilingi Jeongguk, tidak peduli berapa banyak waktu yang dia habiskan untuk membuang perasaannya yang dulu.

Kehadiran Jeongguk di depan pintu apartemennya pagi ini membuat dirinya sadar. Kalau Jeongguk tidak pernah benar-benar pergi dari hatinya. Namun, ini bukanlah hal yang Taehyung sukai. Taehyung tidak menyukai fakta kalau dirinya masih peduli tentang Jeongguk. Karena Taehyung tidak mau mengulang luka yang lama. Tidak mau merasakan perasaan tidak diinginkan oleh orang yang sama lagi.

Meski kenyataannya, Taehyung tidak tahu bagaimana perasaan Jeongguk yang sebenarnya.

Jeongguk, anak laki-laki yang dulu begitu pendiam di kelasnya. Anak laki-laki yang duduk di bangku paling belakang, barisan kanan Taehyung dan dua baris ke belakang dari tempat duduknya. Dia anak laki-laki yang diam-diam selalu mencuri pandang, memperhatikan punggung Taehyung dan wajah pria itu setiap kali Taehyung fokus mendengarkan penjelasan gurunya.

Jeongguk, anak laki-laki yang sering duduk di bawah pohon besar di pagi hari dekat dengan lapangan bola. Memperhatikan Kim Taehyung yang sedang memakan roti isi daging giling hampir setiap pagi, kecuali hari jumat. Anak laki-laki pemalu yang hanya bisa tersenyum saat membuka lokernya dan mendapatkan kehadiran coki-coki berpita merah, yang jantungnya berdesir aneh setiap kali membaca surat dari pengirim yang bukan rahasia lagi.

Ada beberapa hal yang membuat mereka salah paham di masa lalu. Keduanya tidak tahu di mana letak kesalahannya, di mana hal yang memisahkan mereka. Dan, mungkin, pertemuan kembali ini yang akan membantu mereka memperbaiki kesalahan tersebut, meluruskan sebuah kesalah pahaman yang sempat terjadi. Memberikan mereka kesempatan kedua untuk bersatu.

. . .

Seoul, 2011.

Tidak ada pagi hari yang tidak Taehyung sukai. Apa pun harinya, apa pun musim yang sedang berlangsung, Taehyung akan selalu menyambut pagi hari dengan suka cita. Pergi di pagi hari tanpa mengisi perutnya, lalu mampir sebentar ke toko roti di dekat rumahnya. Dulu, mendiang papanya sering sekali membelikan Taehyung roti isi daging cincang di sana. Hingga kini, roti itu akan selalu menjadi nomor urut pertama di daftar makanan kesukaannya. Taehyung selalu semangat berangkat ke sekolah menaiki bus seorang diri, setelah mampir sebentar ke toko roti langganan dia dan mendiang papa.

Menjadi murid pertama yang memasuki gerbang sekolah. Lalu, berjalan dengan riang menuju lapangan bola. Taehyung akan duduk di kursi penonton, mengunyah roti isi daging cincang kesukaannya, sambil menikmati angin sejuk di pagi hari dan langit kota Seoul yang indah. Begitulah cara Taehyung remaja menjalani harinya, melenyapkan rasa kesepian dan memilih untuk menikmati tiap detail kecil di hidupnya. Akan selalu ada hal yang bisa dia syukuri di hidup ini, bukannya begitu?

Lagi pula, Taehyung juga selalu memiliki hal yang membuatnya senang dan semangat untuk bangun di pagi hari. Memiliki alasan untuk dirinya berangkat ke sekolah dengan hati yang riang. Semua itu adalah bertemu dengan Jeongguk.

Setelah acara makan roti isi daging kesukaannya selesai, Taehyung akan buru-buru berlari ke gedung sekolah. Pukul 07.30 di saat murid yang lain belum datang, Taehyung sudah berdiri di depan bilik loker milik Jeongguk. Menyelipkan coki-coki kiriman dari Yoongi—kakak sepupunya—yang sedang menempuh pendidikan di Jakarta, Indonesia. Tidak lupa juga Taehyung menyelipkan selembar kertas berisikan kalimat-kalimat lucu dan manis untuk pria itu.

Yang tidak Taehyung ketahui adalah kalau dirinya bukanlah murid pertama yang datang ke sekolah. Bukan satu-satunya murid yang menghabiskan pagi hari memandang langit sambil mengunyah roti di lapangan bola. Karena ada orang lain yang datang jauh lebih pagi dari Taehyung.

Jeon Jeongguk, yang mengayuh sepedanya di pagi buta untuk menghindari bertemu kedua orangtuanya. Jeon Jeongguk, dengan buku sketsa yang dia pangku di atas paha, dan pensil di tangan kanan. Dia yang menikmati paginya memandang anak laki-laki kurus yang sedang mengunyah di bawah sengatan matahari pagi, duduk dengan anteng di bangku penonton, sambil tubuhnya menari-nari kecil setiap kali dia puas dengan rasa lezat dari roti yang dia makan.

Entah sejak kapan Jeongguk mulai memerhatikan pria itu. Entah di hari pertama dia melihat Taehyung yang menghabiskan sarapannya di kursi lapangan bola. Atau mungkin, di saat teman-teman mereka mulai menyebar gosip bahwa Taehyung memiliki ketertarikan terhadap dirinya, atau mungkin jauh sebelum itu? Jeongguk juga tidak tahu.

Dia hanya tahu kalau dirinya tidak bisa menahan senyuman kecil, setiap kali melihat Kim Taehyung. Matanya tidak pernah absen memeriksa kehadiran Taehyung di kelas. Menuntun sepedanya dari parkiran hingga gerbang sekolah, demi melihat Taehyung sudah naik ke bus tujuannya. Yang dia tidak ketahui hanyalah bagaimana caranya mengkomunikasikan semua itu dengan benar.

. . .

. . .

Kalau saja Taehyung punya pilihan lain. Apa pun itu, selain berjalan menuju gedung apartemennya yang kini tinggal berjarak beberapa meter di depan sana. Ya, andai saja Taehyung punya pilihan, dan, dukungan dari orang-orang terdekatnya.

Mungkin, Taehyung tidak perlu mengkhawatirnya detak jantungnya yang berpacu seperti kuda liar seperit sekarang; menggila, tidak bisa dia kontrol, rasanya seperti ingin loncat.

Sambil menggerutu tidak jelas, Taehyung mau tidak mau tetap melangkahkan kakinya menuju gedung itu. Sambil, sesekali, kakinya menendang pelan batu-batu kecil di jalanan. Atau, berhenti sebentar, lalu menatap langit gelap kota Seoul, seakan mencari mukjizat di detik-detik akhir. Meski, pada akhirnya tetap hanya ada satu pilihan.

Pilihannya hanyalah pulang ke apartemen dan berharap kalau mereka tidak akan bertemu lagi. Ya, terdengar mustahil. Mengingat, kini mereka tinggal di satu gedung yang sama, dengan pintu masuk saling berhadapan. Sepertinya, hanya ada nol koma sekian persen kemungkinan mereka tidak berpapasan di depan pintu.

Namun, Taehyung berpegang teguh dengan keyakinannya yang sudah dia bangun sepanjang perjalanan pulang di bus. Kalau Jeon Jeongguk, manusia yang saat ini paling dia hindari, tidak akan beradu kening, bertatap muka dan apa pun itu segala hal yang berhubungan dengannya.

Harapannya Taehyung sih begitu. Namun, terkadang beberapa hal tidak benar-benar berjalan seperti apa yang dia harapkan.

Langkahnya terhenti, bibirnya terkatup dan berhenti menggerutu. Wajahnya tertekuk masam, terlihat seperti meringis, dan sudah siap sekali untuk membalikkan tubuhnya. Mengambil langkah mundur dari sana segera mungkin. Karena pria yang disebut namanya di dalam hati, yang katanya paling dia hindari itu, baru saja berjalan keluar dari gedung apartemen. Tangannya memeluk tumpukan kardus dan berbagai jenis sampai lainnya.

Setelah itu, tentu saja tidak ada yang bisa mencegah kedua pasang mata itu saling bertemu. Buru-buru Taehyung mengalihkan pandangannya, kemudian kepalanya menunduk sambil terus melangkah. Harap-harap cemas dalam hati, agar Jeongguk benar-benar tidak mengenalnya.

Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat. Harusnya, ada begitu banyak perubahan pada penampilannya. Taehyung bukan lagi bocah laki-laki kurus, si hopeless romantic yang jatuh cinta dengan teman satu sekolahnya. Anak laki-laki pengirim cokelat berpita dan surat cinta yang diselipkan ke dalam loker Jeongguk semasa sekolah. Rambutnya tidak lagi pendek berwarna hitam, kini Taehyung membiarkan rambutnya tumbuh lebih panjang, ikal dan dicat warna cokelat. Dan, Taehyung hanya bisa berharap dengan gagasan itu, bahwa dirinya nampak berbeda dari sepuluh tahun yang lalu.

Atau, Jeongguk sudah melupakan kenangan memalukan tentang dirinya yang dulu. Mungkin, akan lebih baik lagi jika Taehyung benar-benar dilupakan saja. Karena sumpah demi apa pun, jantungnya sedang ketar-ketir di dalam dadanya. Takut sekali, malu sekali, ingin lenyap dari penglihatan Jeongguk saat itu juga.

Namun langkahnya otomatis terhenti, ketika mendengar suara Jeongguk yang sudah satu langkah di belakangnya. “Kim Taehyung?”

Kepalanya menoleh, sebuah refleks yang paling Taehyung kesali. Dirinya hanya dapat merutuki kerja sarafnya yang membuat refleksnya secepat barusan. Mungkin juga suara lembut Jeongguk saat memanggil namanya yang harus dia salahkan.

“Kim Taehyung 'kan?” Jeongguk mengulang kembali pertanyaannya. Dengan senyuman hangat bertengger di wajahnya, seakan pertemuan mereka ini sebuah hal yang menyenangkan.

Harapan tentang memori memalukan sudah dilupakan oleh Jeongguk itu harus Taehyung kubur dalam-dalam. Karena barusan itu Jeongguk menyebutkan namanya dengan jelas.

Suara Taehyung tercekat di tenggorokan, otaknya tidak dapat memproses segala diksi indah yang Taehyung punya, dan dirinya hanya bisa berdiri dengan bodoh di sana. Taehyung lihat kalau alis Jeongguk berkerut samar, membuat dirinya semakin panik tidak jelas. Kemudian kata itu keluar begitu saja dari mulutnya. “S-siapa, ya?”

Jeongguk membisu setelah itu. Mungkin dia kaget, melihat respon dari anak laki-laki yang dulu tergila-gila padanya, kini malah tidak mengenali dirinya. Meski itu semua hanyalah sandiwara Taehyung saja. Matanya menatap lurus ke arah Taehyung, membuat nyali Taehyung menciut dan takut untuk membalas tatapannya. Lalu, tiga detik kemudian ekspresi Jeongguk melunak. Dia kembali tersenyum ke arah Taehyung.

“Gue Jeongguk, Jeon Jeongguk. Dulu kita satu SMA.”

Taehyung hanya meringis, karena tidak menemukan cara untuk menjawabnya. Memilih untuk melanjutkan sandiwara lupa ingatannya itu. Kemudian, Taehyung merapatkan jaketnya. Membungkuk kecil dan berpamitan untuk masuk ke dalam gedung apartemen.

Dia jaga tubuhnya untuk tetap seimbang, berjalan dengan santai seperti biasanya. Kemudian memasang mode lari cepat, begitu kakinya sudah berada di anak tangga pertama. Membuka pintu apartemennya dengan cepat, lalu buru-buru menutupnya seperti orang dikejar maling.

Kakinya merosot, bersandar ke pintu dan duduk di lantai tepat di depan pintu masuk. Telapak tangannya naik, dia tempelkan ke dada bagian kirinya. Sialan, debaran jantung Taehyung seperti habis mengitari lapangan bola sebanyak 20 kali. Adrenalinnya baru saja terpacu, mungkin ini yang dirasakan dirinya saat menaiki wahana roller coaster di taman bermain. Taehyung bersyukur dengan keputusannya untuk tidak pernah menaiki wahana ekstrem apa pun. Karena sumpah, rasanya tidak enak sekali.

Lalu, sekarang Taehyung harus bagaimana?

Nyatanya, Jeongguk masih mengingat dirinya. Bahkan, pria itu menyebutkan nama lengkap Taehyung tanpa ragu.

Tidak tahu. Otak Taehyung seakan lumpuh untuk beberapa saat. Mencoba mencari jawaban dan cara untuk keluar dari masalah ini pun tidak bisa.—ya, baginya ini adalah sebuah masalah.

Dewa dan dewi cinta, Tuhan, entah siapa pun yang dapat menolongnya. Taehyung kini sedang berdoa dalam hati, meminta pertolongan.

Tolong, aku mohon banget, Tuhan tolong. Jeongguk pindah aja dari gedung ini, atau jangan pernah papasan lagi sama aku. Nangis nih aku kalau engga dikabulin. Begitu katanya dalam hati.

. . .

. . .

Everything is better with you, and everything has been better since you.

Mungkin Jeongguk di masa lalu sedang tersenyum, atau, mungkin juga dia sedang menangis, melihat seseorang yang sedang duduk bersandar pada bahu Aidan sekarang. Pria dengan paras dan jiwa yang sama dengan orang yang dulu begitu dia cintai. Meski takdir dan semesta tidak mengizinkan dirinya untuk memiliki pria itu di kehidupan sebelumnya.

Entah bagaimanapun reaksinya, yang jelas, pasti hanya perasaan bahagia yang akan mendominasi relung hatinya.

Nayaka Gael yang membiarkan kepalanya beristirahat, bersandar dengan nyaman pada bahu Aidan. Dengan tubuhnya yang dibungkus oleh rangkulan tangan Aidan, membuat posisinya itu semakin nyaman di sana.

Matanya berbinar, memandang langit yang mulai menggelap dan menyisakan sedikit warna oranye di ujung garis laut. Diam dan bisu sementara waktu, membiarkan tiupan angin berbisik, menggelitik telinga dan wajahnya petang itu. Seakan angin pantai menjelang malam membawa sebuah pesan cinta.

Pesan cinta yang pernah begitu lama tertunda, dan tidak sempat tersampaikan dengan benar.

Angin dan senja tidak perlu berkata apa-apa, karena semuanya sudah begitu jelas. Melalui rangkulan tangan Aidan, melalui usapan lembut jari-jemari Aidan pada lengan Gael, melalui senyuman kecil dan binar Gael. Itulah cinta yang sebenarnya. Tidak peduli ada berapa ribu purnama yang harus dilewati, tidak peduli ada berapa juta bintang yang harus gugur, tidak peduli ada berapa kehidupan yang harus dijalani. Cinta akan menemukan jalannya, dan cinta akan menepati janjinya.

Seperti kisah Taehyung dan Jeongguk dengan takdir yang begitu pahit. Hingga semesta mengikat keduanya dengan sebuah janji. Di mana, di kemudian hari, di kehidupan selanjutnya, mereka akan kembali bertemu.

Ya, semesta hanya turut andil sebatas itu saja. Karena, selanjutnya pilihan ada di tangan mereka. Ketika keduanya memilih untuk jatuh hati dan saling mencintai.

Aidan, yang berbagi jiwa dan memori dengan Jungkook, memilih Gael. Memilih untuk mencintai pria itu lagi, lagi dan lagi. Seperti apa yang Jeongguk janjikan pada dirinya dulu, saat hatinya hanya milik Kim Taehyung saja.

Dan, Gael, yang berbagi jiwa dan memori dengan Taehyung, memilih Aidan untuk dia jatuhkan hatinya. Tanpa tahu-menahu kalau takdir dan semesta ikut campur di dalamnya, namun tidak dengan perasaannya. Rasa sayangnya, rasa cintanya untuk Aidan, semuanya tulus dan nyata. Bukan semata-mata karena perjanjian jiwanya di kehidupan sebelumnya. Mungkin, Gael juga harus berterima kasih pada semesta, atas bantuannya dalam mempertemukan Gael dengan Aidan.

Aidan dan Gael adalah sepasang jiwa yang beruntung. Diberikan kesempatan berharga untuk saling menemukan, dan, saling melengkapi kekosongan, bekas luka di kehidupan sebelumnya.

Sepasang jiwa yang beruntung itu kini saling jatuh cinta, merajut cinta yang akan terus berkembang dan tumbuh seiring dengan berjalannya waktu. Kali ini takdir tidak akan pahit lagi. Kali ini tidak akan ada luka yang begitu dalam lagi. Hanya ada mereka berdua, yang siap untuk melangkah ke depan, menghadapi hari esok bersama-sama. Membuat mimpi dan menulis kisah mereka sendiri sebanyak yang mereka inginkan.

Aidan kini merasa utuh, benar-benar utuh. Begitu juga dengan Gael.

“El, tau engga kalau Ai lagi bahagia banget sekarang?”

Gael sedikit mendongak, melihat wajah Aidan yang sedang tersenyum, meski samar-samar karena langit sudah menggelap. “Tauuu. Soalnya, El juga lagi bahagia banget sekarang.”

Senyum Aidan tidak pudar, yang ada malah bertambah lebar. Terlebih, saat dia mendapati Gael yang sedang menatap wajahnya.

Satu detik, hanya satu detik, ada perasaan aneh yang dia rasakan. Seakan jiwa Jeongguk kembali hidup, seakan Jeongguk sedang berterima kasih dan merasa sebahagia dirinya. Aidan membiarkan perasaan dan bayangan itu berlalu, tanpa mengambil pusing yang berlarut.

Seakan, Aidan membiarkan Jeongguk ikut bahagia bersamanya hari itu.

Everything is better with you, El.” ucap Aidan. Lalu, tubuh Gael ditarik, semakin merapat ke arahnya. Dia kecup puncak kepala Gael berulang kali, hingga Gael terkikik.

Tubuh Aidan dipeluk oleh Gael, kedua tangan pria itu kini melingkari tubuh Aidan. Seakan-akan, dirinya takut Aidan pergi, atau, tidak ingin Aidan pergi. Karena dia membutuhkan pria itu. Gael tidak mengendurkan pelukannya barang sedetik. Pelukan itu justru semakin erat, sambil wajahnya dia sembunyikan di bahu Aidan.

And everything has been better since you, Ai.”

. . .

A Thousand Times — 276.

. . .

Kaos putih gombrongnya dibiarkan tertiup angin malam, dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jogger pants. Gael melihat sosok Aidan sedang bersandar pada tiang ayunan yang tidak berpenghuni. Menatap kosong ke arah tanah di hadapannya, atau mungkin sibuk menghitung banyaknya semut yang berlalu lalang di dekat sepatunya.

Saat Gael mengirimnya pesan teks dan mengajaknya bertemu, Aidan bahagia, hatinya senang sekali. Namun, tidak bisa pungkiri kalau dirinya juga merasa cemas akan apa yang dikatakan langsung oleh pacarnya. Aidan tahu kalau kekhawatirannya yang berlebihan kemarin berdampak begitu buruk pada hubungan mereka. Dan kini, sebisa mungkin dirinya membuang jauh segala rasa khawatir tersebut.

Yang paling penting adalah bertemu dengan Gael, melihat wajahnya dan mendengar suaranya secara langsung. Hanya itu yang diinginkan Aidan saat ini.

Langkah kaki Gael mendekat, nampak tak mengganggu fokus mata Aidan ke bawah sana. Hingga pacarnya mengambil posisi duduk di atas ayunan, menimbulkan bunyi decitan kecil yang dapat menarik perhatian Aidan.

Melepas sandarannya pada tiang ayunan. Aidan mengubah posisi berdirinya, menghadap ke arah Gael. Ada sedikit ekspresi terkejut di sana, mungkin akibat terlalu lama larut dengan pikirannya sendiri. “Hei...?”

Kepala Gael menganggu kecil, untuk menjawab sapaan canggung pacarnya barusan. Entah kenapa kini Gael malah merasa sedih sekali, karena menyadari kecanggungan yang menyelimuti mereka. Tidak suka sekali, sungguh.

“Ai engga kangen aku, hm?” kata Gael, tiba-tiba. Lalu, kedua kakinya menekan tanah dan membiarkan ayunan yang dia duduki mengayun pelan.

Nadanya terdengar kecewa, meskipun Aidan tidak dapat melihat ekspresi wajahnya yang sedang tertunduk. Sumpah, tidak mungkin kalau Aidan tidak merindukan Gael. Tidak mungkin dia bisa tahan menghabiskan beberapa hari tanpa bertemu, mengobrol dan mendengar suara Gael. Dia cukup dibuat tersiksa selama beberapa hari ini. Namun, dirinya tahu betul kesalahannya yang begitu fatal kemarin. Dan dirinya pantas untuk dihukum seperti itu.

Aidan ingin sekali menghampiri Gael, bertemu dan berbicara secara langsung. Tapi, dirinya tidak ada di posisi yang tepat untuk melakukannya kemarin. Itu hanya akan menunjukkan betapa egoisnya Aidan. Jadi, keputusannya untuk memberi jarak dan waktu—seperti yang Gael inginkan—adalah hal yang paling tepat.

Aidan berjalan ke belakang Gael dan berdiri di sana. Masih belum menjawab perkataan Gael, malah tangannya bergerak untuk mendorong ayunan Gael dengan pelan.

“Kangen, kangen banget malah. Tapi, katanya kamu lagi sebel dan engga mau ngobrol atau ketemu dulu. Jadi, ya, aku turutin apa kata kamu.”

Kepala Gael mendongak ke belakang untuk melihat wajah Aidan. Bibirnya melengkung ke bawah, menunjukkan kepada Aidan bahwa dirinya kecewa dan sedih. “Iya, kemarin emang sebel banget. Tapi kangennya lebih besar dari rasa sebelnya.”

Aidan tersenyum, kemudian tangannya menghentikan laju ayunan. Kakinya berjalan mengitari ayunan, untuk dapat berhadapan langsung dengan Gael. Bersimpuh di tanah, tanpa peduli kalau bagian lutut celananya sudah pasti kotor setelah ini.

Tangan kirinya menarik salah satu tangan Gael, menggenggamnya dengan hangat dan tidak begitu erat. Sebuah tindakan yang selalu disukai Gael, dan Aidan tahu kalau pacarnya menyukai sentuhan-sentuhan kecil seperti ini.

“Maaf ya karena udah buat El marah kayak kemarin. Maaf karena buat El ngerasa engga nyaman dan dikekang. Ai tahu banget kalau Ai salah, dan kesalahannya fatal,”

Gael belum bereaksi. Hanya menatap tangannya yang kini dielus ibu jari Aidan dengan lembut. Membiarkan pria itu menlanjutkan perkataannya, meluapkan isi hatinya yang mungkin belum dapat disampaikan kemarin. “Kemarin Ai belum bisa berdamai sama diri sendiri dan memori yang Jeongguk tinggalin. Benar, Ai salah banget emang. Padahal, awalnya Ai yang yakinin El kalau kita punya kisah kita sendiri. Engga seharusnya memori mereka buat Ai jadi ketakutan.”

Kepala Gael semakin tertunduk, mendengar penjelasan Aidan yang bahkan belum berakhir itu. Matanya sudah terasa panas sejak tadi, bahkan dia berusaha keras menahan air matanya agar tidak menetes.

“Tapi, Ai udah mulai bisa handle itu semua sekarang. Rasa takut dan rasa sakit Jeongguk yang terlalu nyata itu, semuanya, Ai bisa lebih ngontrol itu semua. Ai udah mulai bisa nerima kalau mau gimana pun emang Ai harus berbagi memori ini.

“Bukan untuk tenggelam sama rasa takut, bukan untuk mengulang sejarah dan luka lama. Tapi, untuk ingat kalau sekarang Ai engga sendirian hadapin ini. Karena ada El, dan kita bakal laluin segalanya berdua.”

Gael sibuk menghapus butiran air mata yang mulai menetes dengan punggung tangannya. Dan, Aidan langsung buru-buru membantu pria kesayangannya itu. Menghapus air mata Gael dengan ibu jarinya dengan lembut. Setelah itu, menarik wajah Gael dengan pelan, untuk menatap matanya.

“Ai sayang sama El, Ai percaya sama kita. Itu yang paling penting sekarang.” lanjut Aidan.

Gael masih mencoba untuk mengontrol tangisnya. Sudah tidak peduli lagi kalau Aidan melihat wajah berantakannya saat ini. Hidung dan matanya yang merah, bibirnya yang cemberut dan pipinya yang masah karena jejak air mata. Dia membiarkan Aidan melihat keadaannya yang seperti sekarang.

“El juga sayang Ai, El juga percaya sama Ai. Plis, jangan diulang lagi kayak kemarin.” kata Gael, bersusah payah mengumpulkan suaranya yang mulai hilang karena banyak menangis.

Kepala Aidan mengangguk. Bukan asal bertindak, tapi penuh dengan janji. “Pasti, Ai janji engga akan ngulangin lagi. El mau maafin Ai, kan?”

“Iya, mau.”

Setelah itu Aidan menarik tubuh Gael ke dalam pelukannya. Membuat Gael sedikit menunduk dan tubuhnya condong ke arah depan, karena posisi Aidan yang masih bersimpuh di hadapannya. Punggungnya diusap dengan lembut, agar tangisan Gael benar-benar berhenti.

Detik itu juga, rasa sebal yang masih tersisa benar-benar luruh hingga menghilang tanpa jejak. Rasa berat yang berhari-hari menekan dadanya pun hilang, hingga Gael bisa bernapas jauh lebih lega.

Aidan memeluknya, mengecup puncak kepalanya dan mencuri kecupan di bibirnya. Ini semua yang terasa benar. Ini yang harusnya mereka lakukan kemarin. Bukan membiarkan emosi menguasai diri dan menyiksa perasaan satu sama lain.

Banyaknya Gael ikut merenung. Mencoba melihat dari posisi Aidan, yang mana dirinya jauh lebih banyak berbagi kenangan menyakitkan dengan Jeongguk, ketimbang Gael yang hanya mengingat beberapa kilasan kejadian. Ibaratnya, Aidan harus merasakan luka dan rasa sakit itu berkali-kali. Memori yang diberikan oleh Jeongguk, luka yang dulu pernah menggerogoti jiwanya, kini kembali dia rasakan. Itu semua bukanlah hal yang mudah untuk dilalui pria itu.

Tidak peduli sesakit apa memori Jeongguk dan Kimtae yang akan menghantui mereka. Gael tidak akan takut, Gael tidak akan membiarkan dirinya terpuruk dan disiksa oleh kenangan asing. Karena yang terpenting adalah hari esok, masa depan, halaman kosong pada buku kisahnya dengan Aidan.

. . .