He was Here: bagian kedua; petunjuk pertama; cincin pertunangan & kabin Gangwon.
. . .
Sayang, jangan mencariku, aku mohon. Nanti kamu akan menyesal.
Saat itu pukul tiga pagi, ketika dirinya terbangun dari tidur yang tidak bisa dikatakan nyenyak sama sekali. Saat seluruh badan Jungkook basah akibat peluh yang tidak berhenti menetes. Saat lehernya terasa pegal sekali karena tidak sadar sudah berapa jam tertidur di meja kerjanya.
Jungkook membiarkan dirinya termenung di atas kursi. Dia diam sejenak, untuk sekadar mencerna apa yang tadi terjadi dan mengumpulkan kesadarannya secara penuh.
Tepat saat Jungkook merasa kesadarannya sudah terkumpul, dia mencoba untuk melihat ke sekeliling ruangan. Semua nampak sama, tidak ada yang berbeda dari sebelum dia ketiduran tadi.
Jungkook bangkit dari kursinya untuk berjalan ke arah dapur. Rasanya tenggorokan Jungkook kering dan dia kekurangan cairan, karena seluruh keringatnya terkuras habis saat tidur tadi. Pikirannya kembali terbang untuk mengingat-ingat kejadian aneh saat dia tidak sengaja tertidur di ruang kerjanya. Mendadak, suasana apartemen Jungkook subuh itu menjadi mencekam dan menyeramkan. Bulu kuduknya berdiri, meskipun dalam hati dia mencoba mengusir jauh-jauh segala pemikiran aneh yang berbau mistis. Jungkook bukanlah orang yang mempercayai hal-hal yang berhubungan dengan itu.
Dan, rasanya tidak mungkin juga. Mungkin, Jungkook hanya terlalu lelah saja mencari jawaban dari segala hal aneh yang dia alami beberapa hari ini. Tidak mungkin menghilang dan lenyapnya Kim Taehyung ada hubungannya dengan hal yang berbau mistis, bukan?
Jungkook pun berdiri dari duduk. Melakukan sedikit peregangan dan mengatur napasnya sebentar. Masih terlalu dini bagi Jungkook untuk memulai aktivitasnya—tentu, ini masih jam tiga pagi. Rasanya akan sulit jika Jungkook memutuskan untuk kembali tidur ke kamarnya, karena kini rasa kantuknya telah hilang. Sekarang kepalanya kembali penuh dengan Kim Taehyung, boro-boro Jungkook bisa memikirkan untuk kembali tidur. Rasanya, Jungkook hanya ingin cepat-cepat menyambut matahari yang terbit, sehingga dia bisa pergi ke penginapan keluarganya di Gangwon.
Tempat itu, komplek penginapan yang terdiri dari beberapa rumah. Salah satu rumah itu memiliki banyak memori indah bersama dengan Taehyung. Mereka biasa menghabiskan waktu mereka beberapa kali dalam sebulan untuk menginap di sana. Ketika Taehyung lelah dengan dan buntu ide dengan pekerjaannya, ketika Jungkook terlalu penat dengan segala urusan di kantornya. Ketika mereka merasa membutuhkan lebih banyak waktu untuk berdua, tempat itulah satu-satunya tujuan mereka.
Ketika musim semi datang, kabin itu akan dipenuhi dengan bunga-bunga yang bermekaran dengan indah. Ketika musim dingin datang, pondok itu akan penuh oleh salju yang menumpuk di ranting-ranting botak pada pepohonan, atau melapisi seluruh tanah di pekarangan. Apa pun musimnya, tempat itu akan selalu indah, begitu kata Taehyung.
Ah, Kim Taehyung.
Tidak ada foto yang tersisa, tidak ada barang apa pun yang berhubungan dengan Taehyung yang tertinggal. Namun, wajah indahnya itu masih terekam jelas dalam ingatan Jungkook. Bentuk senyumnya yang manis dan lucu, mata besarnya yang membulat ketika dia kaget, bibirnya yang mengerucut ketika dirinya merajuk, bagaimana bisa Jungkook mempercayai omongan orang-orang yang mengatakan kalau Taehyung itu tidak pernah ada?
. . .
Sudah beberapa hari sejak Jungkook memutuskan untuk tidak pergi ke kantor. Tentu saja, dia masih kukuh dengan misinya: mencari tahu keberadaan Taehyung. Ayahnya sudah berkali-kali meminta orang terdekatnya untuk membawa Jungkook ke psikiater, namun anaknya itu menentang keras dan kukuh untuk tetap mencari keberadaan tunangannya. Mana mungkin Jungkook membiarkan dirinya untuk menuruti perkataan orang-orang, di saat dia tahu betul apa yang dia rasakan. Semuanya memang aneh dan janggal, tapi Jungkook yakin akan ada jawabannya.
Semua kepergian dan lenyapnya Taehyung yang begitu tiba-tiba ini pasti ada sebab dan akibat, ada jawaban dari pertanyaan.
Lalu pagi ini dia kembali menentang perkataan ayah dan orang-orang di sekitarnya. Jungkook seakan tidak peduli dengan karir dan jabatannya—toh dia anak pemilik perusahaan. Jungkook tidak peduli dengan penampilannya yang kacau, karena kurang tidur selama beberapa hari. Jungkook tidak peduli dengan peringatan orang-orang tentang dirinya yang mulai gila.
Karena Jungkook tidak ingin menyerah sebelum mendapatkan jawaban. Dia juga tidak akan pernah memaafkan dirinya kalau benar-benar membiarkan Taehyung menghilang begitu saja, dia tidak mau ikut menjadi mereka yang melupakan Kim Taehyung. Persetan dengan semuanya.
“Joon, gue perlu waktu istirahat selama beberapa hari. Tolong jangan beri tahu ayah soal ini.”
Tapi, Kook, lo udah banyak banget absen dalam beberapa minggu ini. Gila kali, ya? Otak lo tuh lo kemanain, sih? Ada banyak berkas numpuk, gue engga mungkin bisa nge-handle semua, Yoongi juga engga bisa, kook. Gue di sini cuma PA lo doang, lo CEO-nya. Jawab Namjoon dari sambungan telepon, mencoba sebisa mungkin untuk mengontrol emosinya.
“Gue janji, gue bakal balik setelah semuanya selesai.”
Setelah apa lagi, Kook? Sadarlah, lo tuh mencari jawaban yang engga pernah ada eksistensinya.
“Lebih baik gue mencoba dari pada gue engga berusaha sama sekali, Joon. Plis, gue engga ingin berdebat, gue mohon kali ini tolong ngertiin.”
Kalau sudah begitu Namjoon tidak akan bisa berkata apa-apa lagi. Dia tahu sekali bagaimana watak Jungkook, karena mereka sudah belasan tahun berteman dekat. Jungkook itu pendiriannya begitu kuat, karena itu juga Jungkook bisa mencapai posisi tinggi di kantor pada umur yang masih muda. Kalau atasannya itu sudah berkata begitu Namjoon bisa apa?
Tugas Namjoon sekarang hanya mencari alasan lagi untuk membatalkan rapat Jungkook dengan para klien perusahaannya.
Lalu sambungan telepon mereka terputus.
Kini Jungkook kembali fokus pada jalanan di hadapannya. Kaca mobilnya dia biarkan sedikit terbuka, agar udara bisa masuk. Padahal, udara di luar sedang sangat dingin, mengingat sekarang sudah di pertengahan bulan Desember. Jungkook hanya butuh menghirup sedikit udara dari luar sana, agar dirinya dapat lebih tenang.
Jungkook ingat, dulu Taehyung sering sekali berkata kepadanya, Kalau pikiranmu sedang kalut maka keluarlah, hirup udara sejuk supaya pikiranmu jauh lebih ringan dan rileks, dan Jungkook sedang menerapkan itu sekarang.
Selang beberapa menit kemudian, mobil Jungkook sudah terparkir di halaman penginapan milik keluarganya itu. Sosok laki-laki separuh baya yang membungkuk untuk menyambutnya, ketika melihat kehadiran Jungkook di sana. Beliau adalah paman penjaga bangunan itu.
Jungkook hanya menunduk kecil, kedua tangannya merapatkan jaket tebal yang membungkus dirinya. Lalu dia berjalan melewati pria paruh baya itu. Jungkook menyusuri jalan setapak yang mungkin dalam beberapa hari ke depan akan di penuhi salju. Dia terus melangkah, membiarkan kakinya yang sudah begitu hafal dengan jalan setapak itu. Melewati jalan setapak kecil yang berbatu, hingga akhirnya dia sampai ke bangunan paling belakang. Letaknya cukup jauh dari parkiran tadi. Bangunan inilah tempat yang sering dia kunjungi bersama Taehyung.
Saat Jungkook memasuki ruangan, yang dia lihat hanyalah ruangan kosong. Tidak ada tanda-tanda Taehyung di sana—seperti yang dia harapkan. Walaupun dalam hatinya dirinya begitu kecewa, Jungkook tetap melakukan rencana B, yaitu memeriksa seisi gedung, ruang tengah, dapur, kamar mandi dan ruang tidur, untuk mencari jejak keberadaan Kim Taehyung. Mungkin saja ada barang yang tertinggal dan bisa dijadikan bukti, bukti kalau Taehyung itu sungguh ada. Bukti kalau Jungkook tidak gila dan orang-orang itu yang salah.
Tangannya dengan teliti membuka setiap laci dan sudut-sudut yang tersembunyi, siapa tahu saja ada sesuatu yang terselip. Hingga beberapa menit, pencariannya itu berhenti, ketika Jungkook menemukan satu storage box berukuran sedang yang tesimpan rapih di atas lemari.
Keningnya mengerut, Jungkook samar-samar mengingat kotak itu. Dia tarik kursi di sebelahnya ke arah depan lemari, untuk membantunya agar lebih mudah mengambil kotak tersebut. Jungkook mengambil kotak tersebut, kemudian meniupnya untuk menghilangkan tumbukan debu di sana. Kotak yang aslinya berwarna krem itu sudah berubah menjadi sedikit lebih kotor dan berdebu, Jungkook bahkan sampai bersin-bersin ketika dia mengambilnya.
Setelah selesai membersihkan tumpukan debu yang menempel pada kotak itu, Jungkook langsung membukanya dengan harap-harap cemas. Dalam hatinya, tentu dia menaruh banyal harap pada kotak yang samar-samar dia ingat. Dia ingat kalau dirinya pernah menaruh sesuatu di sana, saat terakhir kali mereka mengunjungi penginapan ini.
Isinya adalah sehelai syal, lukisan dan satu kotak berukuran kecil.
Jungkook tersenyum, namun matanya berkaca-kaca saat melihat barang-barang tersebut. Dia keluarkan barang-barang itu satu persatu dari kotaknya. Lalu dia kecupi syal yang warnanya senada dengan kotak tadi, kalau saja kotak itu tidak terlalu sering terkena kotoran dan debu, mungkin warnanya masih tetap krem muda.
Harumnya masih tertinggal di kain itu, harum yang khas sekali milik Kim Taehyung. Dia letakkan syal itu di atas kasur, kemudian dia mengambil lukisan yang dia buat sendiri beberapa waktu lalu. Lukisan dengan Kim Taehyung sebagai muse-nya, Taehyung yang sedang duduk di balkon depan, dan memegang secangkir cokelat hangat kesukaannya. Jungkook ingat betul saat itu bunga baru saja bermekaran di musim semi. Kemduian, yang terakhir adalah kotak kecil. Kotak yang berisikan sebuah cincin, yang mana adalah cincin pertunangan mereka. Ada nama Jungkook terukir di sana. Bukankah berarti Taehyung sempat berkunjung belum lama ini?
Jungkook langsung berlari keluar dari ruang itu sambil membawa lukisannya. Napasnya tersenggal karena terlalu terburu-buru untuk berlari, tapi ia tidak peduli. Jungkook menghentikan langkahnya ketika dirinya sudah menemukan paman Son, si penjaga penginapan yang tadi sempat ditemui. Jungkook membungkuk kecil. Karena napasnya tidak stabil, Jungkook pun mengatur napas kembali.
“Paman, apa ada pria yang datang berkunjung beberapa hari lalu?”
Pria separuh baya itu nampak kebingungan melihat majikannya yang nampak tidak seperti biasanya—wajahnya kusut, peluhnya bertetesan, napasnya tersenggal karena berlari di musim dingin.
“A-apa, pak Jungkook?”
“Apa ada pria yang berkunjung ke sini beberapa hari lalu? pria ini?” ulang Jungkook, kali ini dia menunjukkan lukisan Taehyung yang dia buat.
Paman Son hanya menggeleng, karena masih terlalu bingung dengan apa yang dia lihat. Jungkook terlihat begitu kacau saat ini. Mendengar jawaban dari paman Son yang kurang memuaskan itu membuat Jungkook kembali terpuruk. Harusnya, jawaban yang dia dengar itu Iya, pria itu kemari beberapa hari yang lalu. Dia meninggalkan pesan untuk bapak. Namun, kenyataannya tidak begitu.
Amarah Jungkook kembali memuncak, kini diikuti dengan rasa sesak di dada. Tiba-tiba saja dia merasakan sesak yang begitu luar biasa, seperti dadanya dihantam ribuan kali oleh benda keras. Berat sekali, dan sesak. Dadanya, kepalanya, kakinya, semua seakan tidak dapat lagi dia kendalikan. Hingga akhirnya, seluruh pandangan Jungkook menggelap. Setelah itu dia tidak mengingat apa pun lagi.
. . .
“Baiklah, aku akan terus memantau keadaannya, paman. Tapi sepertinya dia harus diberi obat penenang, supaya tidak terjadi hal buruk yang kita bayangkan.”
Jungkook mendengar suara orang itu samar-samar, tidak sepenuhnya, karena dia belum betul-betul sadar. Kepalanya sakit sekali dan hal terakhir yang dia ingat hanyalah dirinya merasakan dadanya sesak, hingga akhirnya semuanya menjadi gelap. Lalu dia sekarang berada di mana?
Dirinya masih berada di Gangwon. Jungkook tidak diculik ataupun disandera oleh orang suruhan ayahnya, tidak seperti itu. Barusan itu yang berbicara di telepon itu adalah Yoongi, kakak sepupunya.
“Kak Yoongi? Gue di mana?” tanya Jungkook, suaranya masih terdengar lemah
“Masih di Gangwon. Tadi gue dihubungi sama paman Son, katanya lo tiba-tiba pingsan. Lo benar-benar gila ya, Jeon Jungkook.” jawab Yoongi.
“Kak, gue lagi engga ingin berdebat.”
“Loh, siapa yang ngajak lo berdebat?” jawab Yoongi
Yoongi kemudian melangkah, mendekati adik sepupunya yang masih terbaring lemah di ranjang. DIa ambil minuman dan beberapa butir obat, lalu dia berikan kepada Jungkook. Bocah itu menerima gelas yang diberikan Yoongi, tentu masih dibantu oleh kakak sepupunya itu untuk bisa minum dengan benar. Kepalanya masih sedikit terasa berat, namun dirinya enggan untuk meminum obat-obat tersebut.
“Ini cuma obat darah rendah. Kata dokter tekanan darah lo rendah. Lo engga makan dan tidur dengan benar beberapa hari ini?”
Jungkook tidak menyahut, hanya mengambil bentuk obat yang dia kenali—obat yang katanya untuk darah rendah itu—lalu menelannya.
“Kook, lo sebenarnya kenapa, sih?”
“Gue engga gila kak. Gue mau cari keberadaan Taehyung. Dia itu nyata, dia itu ada, kalian yang jahat ngelupain dia. Gue engga mau menjadi jahat kayak kalian semua, terlebih dia tunangan gue.”
Yoongi menghela napasnya dalam-dalam, hatinya berbicara untuk tidak ikutan gila seperti Jungkook. Sebisa mungkin dirinya akan berhati-hati untuk mencerna perkataan adik sepupunya itu, agar dirinya tetap waras namun tetap menjaga perasaan Jungkook juga.
“Baiklah, ceritain ke gue dari sudut pandang lo.”
“Lo lihat apa ini, kak? ini cincin pertunangan kami, di dalamnya terukir nama Kim Taehyung.” kata Jungkook, lalu berjalan menuju box yang kini posisinya sudah pidah ke sisi kanan kasur di bagian bawah, Dia mengeluarkan syal, dan kotak berisikan cincin pasangannya, lalu mengambil lukisan yang dia bawa sebelum tak sadarkan diri tadi, “Ini semua bukti kalau Kim Taehyung itu beneran ada, kak. Gue engga mungkin berbohong, apalagi gila.” lanjutnya.
“Jeon Jungkook...”
“Kak, ini memang engga masuk akal, gue tahu. Berhari-hari gue memikirkan ini semua, gue hampir terhasut dengan pemikiran bahwa diri gue memang gila, seperti apa kata kalian. Tapi engga, Taehyung terlalu nyata, kenangan gue sama Taehyung terlalu nyata. Gue juga engga tahu kenapa ini semua bisa terjadi.”
“Katakanlah dia memang nyata, tapi kenapa cuma lo yang ingat dia, Kook?” tanya Yoongi lagi.
“Gue juga engga paham. Gue masih belum nemuin jawaban untuk itu, kak. Tapi barang-barang ini ngebuktiin kalau gue benar. Barang-barang ini adalah bukti kalau Taehyung itu beneran ada.”
Saat itu Yoongi terdiam dan tidak bisa menyanggah perkataan Jungkook. Adik sepupunya itu memenangkan perdebatan mereka dan membuat Yoongi bungkam. Entah dia bungkam karena mulai mempercayai Jungkook atau hanya tidak ingin berdebat.
Namun satu hal yang pasti, Jungkook semakin percaya kalau ada sesuatu yang terlah terjadi kepada tunangannya.
. . .