A Thousand Times – 264.
. . .
Diamnya Aidan bukanlah sebuah hal yang disukai Gael. Heningnya mobil yang melaju, membelah jalan arah Jakarta dari kampusnya yang malam ini sudah tidak terlalu padat, adalah hal terakhir yang dia inginkan untuk menutup harinya yang melelahkan.
Tidak ada pembicaraan acak yang biasanya terjadi, tidak ada suara radio yang menemani keduanya dengan alunan lagu, hanya ada Aidan di balik roda kemudi dan memandang lurus ke arah jalanan di depan sana. Sedang Gael, dia benar-benar tidak nyaman dengan situasi ini.
Katanya, Aidan baik-baik saja. Dirinya tidak ada masalah menunggu Gael yang sedang menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Ya, begitu katanya.
Namun, yang Gael dapatkan sekarang adalah wajah datar Aidan dan bibir pria itu yang terbungkam rapat. Bukanlah sesuatu yang Gael harapkan, mengingat jawaban Aidan yang katanya tidak apa-apa tadi.
Sejujurnya, yang sangat amat jujur dari hati, Gael sangat sebal dengan sikap Aidan saat ini. Atau lebih tepatnya, sikap Aidan akhir-akhir ini. Entah apa yang ada di pikiran pria itu, sehingga sikapnya berubah menjadi terlalu protektif terhadap Gael.
Gael suka diberi perhatian, Gael suka Aidan yang suka cemburu kecil ketika dirinya dekat dengan orang lain, Gael suka Aidan yang cerewet. Namun, dia benar-benar tidak suka kalau dirinya berasa dikekang dan terlalu diikat. Dan itu yang sedang dia rasakan saat ini. Seakan Aidan tidak percaya kepada dirinya, atau memang sebenarnya cara berhubungan romantis pria itu memang begitu. Entah, Gael juga tidak mengerti. Yang jelas, Gael benar-benar tidak suka. Terlebih, saat Aidan bungkam dan bersikap dingin seperti ini.
Saat mobil Aidan tiba di depan pintu gerbang rumahnya, Gael tidak berkata panjang lebar. Dirinya hanya bilang, “aku turun ya, makasih.”
Setelah itu, dirinya masuk ke dalam gerbang rumah, tanpa menoleh sedikit pun ke arah luar. Meski Gael tahu kalau mobil Aidan belum pergi dari sana.
Tidak ada pesan singkat manis yang biasanya. Yang Gael lakukan hanyalah membersihkan diri dan pergi tidur. Dan Aidan juga tidak mengirim pesan apa pun padanya.
Rasa kesal itu benar-benar melonjak, yang tadinya hanya 60% berubah menjadi 85%, dan Gael hanya berharap kalau besok pagi suasana hatinya sudah kembali. Aidan juga tidak menyebalkan lagi, karena Gael benar-benar tidak menginginkan situasi yang seperti ini terjadi di antara mereka.
Di sisi lain, Aidan malam itu menghabiskan berjam-jam dengan memandangi langit-langit kamarnya. Hanya ada lampu tidur di sebelah kasur yang menjadi satu-satunya sumber cahaya di sana. Membiarkan gelap remang menemani lamunan panjang.
Aidan bukannya egois, atau berunah menjadi si bajingan over protektif. Dirinya sendiri tidak bisa menjelaskan apa yang dia rasakan saat ini.
Rasa khawatir, rasa cemburu ketika Gael berada di dekat orang lain, rasa takut kehilangan, semua perasaan itu timbul begitu tiba-tiba. Rasanya, Aidan takut kalau luka lama itu terulang lagi.
Rasa lukanya begitu nyata, meski dirinya hanya mengingatnya sebatas memori dari sebuah mimpi.
Aidan takut, demi Tuhan, takut sekali. Takut, kalau dirinya akan kehilangan orang itu lagi. Dan Aidan sadar, kalau pemikirannya ini adalah sebuah kebodohan yang luar biasa. Dia sadar, dia paham dan dia juga tidak habis pikir dengan dirinya sendiri.
Namun, ketakutan itu begitu menguasai dirinya. Seakan pikiran buruknya itu jauh lebih mengontrol dirinya, dibanding akal sehat dan perasaan tulusnya pada Gael.
Ya, terkadang, memori buruk memang bisa berdampak sebesar itu atas sikap kita.
Dan malam itu jarinya mengetik sebuah kalimat yang begitu jujur. Tentang kekhawatiran dan rasa takutnya. Berharap bahwa Gael akan mengerti apa yang dia rasakan setelah itu.
. . .