He was Here – bagian satu; menghilang; 02.
. . .
Jungkook membanting pintu apartemennya dengan gusar, membuat Namjoon, personal assistant-nya yang baru saja mengantarkan dirinya pulang dengan selamat itu terlonjak. Tangannya sibuk memijit pelipis matanya, sambil kakinya melangkah ke arah ruang tengah.
Tubuhnya dia banting ke atas sofa, kemudian hanyut dalam kesunyian di dalam kepalanya sendiri. Boro-boro memikirkan untuk menghidupkan lampu apartemennya yang masih gelap gulita, bahkan kini otaknya tidak mau diajak kompromi untuk berpikir. Dan di saat seperti ini, untung saja Jungkook masih memiliki Namjoon, sahabat sekaligus personal assistant yang begitu loyal padanya.
Kepalanya menggeleng, meski begitu, Namjoon tetap berjalan kecil menuju saklar lampu, memberikan cahaya pada ruangan besar yang tadi terasa begitu gelap dan sunyi. Kemudian dia berjalan ke arah sofa, langkahnya berhenti tepat di depan Jungkook yang masih berbaring dan memijit kepalanya sendiri. Kemudian dia menunduk, lalu menepuk kaki Jungkook sebentar.
“Gue cabut, ya? Plis, gue tahu lo lagi engga dalam keadaan baik. Tapi jangan macem-macem. Jangan berbuat yang aneh-aneh pokoknya. Oh, iya. Besok sabtu, kalau lo mau istirahat dan nenangin diri engga apa-apa. Apa perlu gue kirimin makanan?”
Jungkook tidak menjawab apa pun, tentu saja. Biar begitu, Namjoon tetap mengangguk, seakan memaklumi aksi bisu sahabatnya itu. Untuk yang terakhir kalinya, Namjoon pun izin untuk pulang dan benar-benar meninggalkan Jungkook sendirian.
Hening di dalam kekalutan. Jungkook membiarkan perasaan buruk itu menguasai dirinya, membungkus dirinya hingga dia lupa caranya bernapas. Hingga dia lupa bahwa bumi masih berputar dan waktu tetap berjalan.
Jungkook menghela napasnya berat. Rambutnya dia acak dengan frustrasi. Ada macam-macam perasaan buruk yang bergejolak dalam dirinya. Jungkook marah, kesal, resa dan bingung. Seakan perasaan itu yang tidak lagi asing untuk Jungkook. Akibat dari beberapa hari ini dia kesulitan untuk mengontrol perasaannya. Jungkook marah, karena semua orang memandang dengan sebelah mata dan menganggap dirinya gila. Jungkook resah dan bingung mencari di mana keberadaan tunangannya yang tiba-tiba menghilang. Hingga suatu pagi, Yoongi kakak sepupunya, merekomendasikan Jungkook untuk pergi ke salah satu psikiater kenalannya.
Tentu Jungkook murka.
Bahkan, salah satu orang yang paling dia percayai saja saat ini bereaksi sedemikian rupa. Jungkook jadi merasa seperti orang buangan, ya, buangan karena dianggap gila. Jungkook frustrasi, karena tidak ada yang dapat membantunya menemukan Kim Taehyung, atau setidaknya mempercayai perkataannya. Bahkan polisi menolak untuk membantunya, karena omongan Jungkook dianggap tidak wajar.
Bagaimana polisi bisa membantunya, kalau ada ribuan atau mungkin raturan ribu populasi manusia bernama Kim Taehyung di Korea Selatan? Bagaimana mencari orang tanpa ada informasi penunjang, seperti kartu identitas atau setidaknya foto orang tersebut?
Jungkook kesal pada semua orang, pada dunia, yang seakan sedang mempermainkan dirinya. Seakan semuanya bersekongkol untuk melenyapkan sosok pria yang paling dia cintai itu. Hingga segala hal yang bersangkutan dengan Kim Taehyung ikut lenyap di hari di mana pria manis itu menghilang. Semua foto yang terpajang di dinding apartemen Jungkook menghilang, hanya ada beberapa lukisan abstrak yang menempel menghiasi dinding. Begitu pula dengan foto-foto Taehyung yang Jungkook ambil dan dia simpan di dalam ponselnya, semuanya ikut lenyap.
Jungkook masih merekam segalanya dengan jelas dalam ingatannya, semuanya. Wajah sempurna dan indah milik Taehyung, setiap inci lekukan di tubuh kekasih hatinya, letak tahi lalatnya di bagian ujung hidung, di sudut bibir dan di bagian tangan. Jungkook merekam semuanya dengan jelas dalam memorinya. Bagaimana wajah Taehyung dipahat sempurna oleh Tuhan, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah—terutama setelah mereka selesai bercumbu panas semalaman, matanya yang besar dan indah, semua yang ada pada Taehyung itu sempurna. Namun, semua itu kini hanya tinggal di dalam ingatannya saja.
Karena tidak ada seorang pun yang mengingat siapa itu Kim Taehyung.
Hanya Jungkook satu-satunya orang yang memiliki memori tentang Kim Taehyung-nya. Rasanya begitu aneh dan janggal, membuat Jungkook semakin bertanya-tanya tentang banyak hal:
sebenarnya dia yang gila atau mereka yang pura-pura tidak tahu?
Atau ternyata ada dimensi lain yang tidak Jungkook ketahui, dimensi di mana ada bumi lainnya dengan orang yang sama—namun berbeda nasib.
Bisa juga semua orang bersekongkol untuk melenyapkan Taehyung.
Jungkook marah tanpa sebab pasti yang dapat dia ketahui. Sebenarnya, dia harus marah karena dianggap gila atau karena menghilangnya Taehyung yang begitu tiba-tiba?
Bisa jadi juga dia marah karena hari-hari manisnya bersama Taehyung dalam sekejap berubah menjadi ketidak pastian, antara hal nyata dan halusinasinya. Namun, semua kenangan manis itu terlalu nyata jika hanya sekadar khayalan Jungkook saja.
Jungkook bahkan masih bisa mencium aroma parfum Taehyung yang selalu terasa menenangkan, seperti mencium aroma air hujan yang bercampur dengan tanah. Seperti menghirup udara segar pegunungan yang jauh dari hiruk pikuk ibu kota yang padat. Aroma itu nyata, sama halnya dengan cicin pertunangan di jari manisnya.
Di sana tertera nama pria manisnya, Kim Taehyung.
Ada begitu banyak hal yang harus Jungkook lakukan saat ini, karena mencari keberadaan Taehyung—yang lenyap secara tiba-tiba—tidak akan mudah tanpa rencana yang matang dan pikiran yang tenang. Namun, apa mungkin Jungkook bisa tenang menghadapi situasi seperti sekarang?
Tidak bisa.
Jungkook mencoba untuk tenang, dan dia sudah melakukan itu selama beberapa hari ini. Nyatanya, hal itu adalah sebuah kemustahilan. Dirinya tidaj bisa. Dia tidak bisa tenang sama sekali. Kakinya berjalan mondar-mandir mengitari seisi apartemennya, berharap dia tidak melewati sudut mana pun yang mungkin terselip petunjuk tentang keberadaan Taehyung. Badannya berkali-kali menunduk, memeriksa hingga ke bagian-bagian kecil, seperti kolong meja kerja, hingga sela-sela antara dinding dan kursi. Tetapi, tak ada satu pun petunjuk yang dia temukan.
Dipijat keningnya pelan-pelan, karena rasanya kepala Jungkook sudah mau pecah sekarang. Segala macam hal tidak masuk akal terpaksa harus dia cerna beberapa hari ini, melelahkan, sungguh menguras tenaga dan waktunya.
Jungkook bahkan berlari menghampiri beberapa orang di jalanan siang tadi. Dia bertanya dengan menyebutkan ciri-ciri tunangannya itu, mondar-mandir di jalanan seperti orang kesetanan. Namun, tanpa adanya sebuah foto dan penunjang informasi lainnya, ternyata jauh lebih sulit. Ada begitu banyak orang dengan ciri-ciri seperti Taehyung di kota Seoul, meski hanya ada satu Kim Taehyung yang dia sayangi, yaitu tunangannya.
. . .
Mata Jungkook menerawang jauh ke arah luar jendela apartemennya, dia tidak melihat apapun melainkan langit gelap yang menyelimuti kota Seoul. Matahari sudah bersembunyi, membiarkan kota Seoul larut dalam kegelapan yang sedang dia rasakan. Matanya menangkap kesibukan di bawah sana, jalan raya yang masih dipenuhi oleh kendaraan dan orang yang berlalu-lalang. Dan dia pun sadar, yang sepi dan sunyi hanyalah suasana dalam apartemen Jungkook malam itu.
Udara kini kering, akibat dari musim dingin yang sudah mulai datang. Membuat Jungkook teringat tentang salju, malam Natal dan ulang tahun Taehyung. Biasanya mereka selalu merayakan hari-hari istimewa itu berdua. Biasanya, bulan Desember akan menjadi bulan yang paling mereka nantikan.
Pandangan matanya kosong, namun pikirannya terisi penuh dengan berbagai pertanyaan yang belum terjawab satu pun. Jungkook tidak peduli, tentang bagaimana nasib lambungnya yang belum terisi makanan sama sekali sejak kemarin malam. Bahkan, dirinya tidak menyicip sedikit pun makanan yang disediakan saat pertemuannya dengan klien di Miths cabang Gangnam tadi. Jungkook tidak peduli, saat peluhnya tidak berhenti menetes dari badannya, karena dia lupa berulang kali menyusuri setiap sudut apartemen hanya demi mencari jejak Taehyung. Jungkook tidak peduli kalau kini seisi apartemennya diselimuti rasa dingin, karena dirinya terlalu berat untuk mengatur penghangat ruangan.
Ada saatnya dia meragukan dirinya sendiri tentang eksistensi seorang Kim Taehyung. Kalau dipikirkan dengan logika, tidak ada jawaban masuk akal yang bisa menjawab ke mana lenyapnya tunangannya itu.
Yang Jungkook ingat hanya, malam itu dia memeluk tubuh Taehyung erat, lebih erat dari biasanya. Malam terakhir, sebelum paginya dia membuka mata dan kehilangan tunangannya. Saat Taehyung terlihat lebih tenang dari biasanya, padahal dirinya melihat kalau Jungkook minum alkohol begitu banyak. Biasanya dia suka merajuk dan rewel ketika Jungkook lebih memilih fokus pada pekerjaannya, atau hal lainnya, Taehyung tidak pernah suka kalau Jungkook pulang larut untuk lembut, atau minum bersama dengan klien. Namun, malam itu prianya bersikap berbeda. Taehyung begitu tenang dan tidak banyak bicara, hanya ada pertanyaan sederhana tentang bagaimana hari Jungkook berjalan.
Melelahkan, seperti biasanya aja. Maaf, sayang, malam ini aku kayaknya butuh banyak alkohol. Gapapa, kan?
Waktu itu Jungkook berkata dengan seadanya. Dia meminta izin untuk menghabiskan waktu dengan dirinya sendiri dan beberapa botol wine di mini bar apatemen mereka, tanpa pernah berpikir kalau esok harinya dia akan kehilangan Taehyung. Dan malam itu, hanya pelukan erat yang bisa Jungkook berikan untuk menghilangkan sedikit rasa kecewa Taehyung. Maka dari itu, Jungkook memeluk tubuh tunangannya dengab erat.
Tapi kenapa semuanya terasa janggal?
Kenapa Jungkook malah dibuat ragu akan dirinya dan kewarasannya sendiri?
Jadi, apa mungkin Taehyung itu tidak nyata?
Sudah berhari-hari dan Jungkook masih belum menemukan petunjuk apa pun, tentunya selain cincin pertunangannya. Cicin itu satu-satunya benda solid yang bisa membuktikan kalau Taehyung itu ada, bukan hanya memori dalam kepala Jungkook saja. Cincin yang dia dan Taehyung pasangkan pada jari satu sama lain. Orang tidak dapat menghilangkan kenangan yang begitu nyata ini.
Terputar kembali dalam memori, malam saat Jungkook melihat tangisan bahagia Taehyung. Ketika jari manisnya dihiasi oleh cincin pertunangan mereka. Taehyung menutup mulutnya dengan jari manis yang sudah dihiasi oleh cincin pertunangan, lalu dia menangis haru dan penuh dengan rasa bahagia. Hanya ada Jungkook, Taehyung dan pondok tua di Gangwon yang menjadi saksi malam paling membahagiakan itu. Pondok tua milik keluarga Jeon yang menjadi saksi dari lembaran baru di hubungan mereka, menjadi saksi dari tangisan bahagia keduanya, juga dari malam yang cukup intim untuk Jungkook dan Taehyung.
Kalau terpuruk dan tenggelam dalam pikirannya bisa mengantarkan Jungkook untuk menemukan Taehyung, Jungkook pasti sudah menemukan pria itu sedari hari pertama. Namun nyatanya tidak bisa. Dia tidak bisa hanya berpikir saja tanpa melakukan tindakan apa pun . Masa bodoh dengan polisi dan orang-orang di sekitarnya, kalau mereka tidak bisa membantu, Jungkook akan melakukannya sendiri. Jungkook akan menemukan Taehyungnya dan membawa pria manis itu kembali pulang.
Tekad Jungkook sudah bulat malam itu, dan besok dia akan memulai rencananya sendiri.
Jungkook bangkit dari kursi kerjanya. Menyalakan saklar lampu di setiap sisi ruangan, hingga apartemennya sudah tidak terlihat gelap lagi, kini setiap ruangan sudah mendapatkan pencahayaan yang cukup. penghangat ruangan sudah dia nyalakan, agar suasana dingin tidak ikut-ikutan menyelimuti dirinya. Jungkook juga akhirnya pergi mandi untuk membersihkan dirinya dan mendinginkan pikirannya.
Malam hari itu dia habiskan di depan meja kerjanya untuk menulis banyak hal, seperti: sebenarnya, kapan awal mula segala kejanggalan ini?
Atau, Jungkook mencoba mengingat-ingat—untuk mencatatnya—apa Taehyung pernah mengatakan sesuatu yang aneh?
Dia juga mencatat tempat-tempat yang pernah dia dan Taehyung kunjungi, barangkali ada petunjuk yang bisa Jungkook dapatkan di sana. Atau mungkin, kalau dirinya beruntung, dia bisa menemukan tunangannya di salah satu tempat itu.
Hingga akhirnya malam itu Jungkook tertidur, masih dengan posisi duduk dan kepala yang bersandar pada meja kerjanya. Dalam tidurnya samar-samar dia mendengar suara Taehyung, suara lembut Taehyung yang berbisik. Pria itu berkata,
Sayang, jangan mencariku, aku mohon. Nanti kamu akan menyesal.
Dan Jungkook merasakan kepalanya diusap lembut malam itu, entah itu dalam mimpinya atau bukan. Namun, rasanya begitu hangat dan nyata.
. . .