begellataes

. . .

Jungkook membanting pintu apartemennya dengan gusar, membuat Namjoon, personal assistant-nya yang baru saja mengantarkan dirinya pulang dengan selamat itu terlonjak. Tangannya sibuk memijit pelipis matanya, sambil kakinya melangkah ke arah ruang tengah.

Tubuhnya dia banting ke atas sofa, kemudian hanyut dalam kesunyian di dalam kepalanya sendiri. Boro-boro memikirkan untuk menghidupkan lampu apartemennya yang masih gelap gulita, bahkan kini otaknya tidak mau diajak kompromi untuk berpikir. Dan di saat seperti ini, untung saja Jungkook masih memiliki Namjoon, sahabat sekaligus personal assistant yang begitu loyal padanya.

Kepalanya menggeleng, meski begitu, Namjoon tetap berjalan kecil menuju saklar lampu, memberikan cahaya pada ruangan besar yang tadi terasa begitu gelap dan sunyi. Kemudian dia berjalan ke arah sofa, langkahnya berhenti tepat di depan Jungkook yang masih berbaring dan memijit kepalanya sendiri. Kemudian dia menunduk, lalu menepuk kaki Jungkook sebentar.

“Gue cabut, ya? Plis, gue tahu lo lagi engga dalam keadaan baik. Tapi jangan macem-macem. Jangan berbuat yang aneh-aneh pokoknya. Oh, iya. Besok sabtu, kalau lo mau istirahat dan nenangin diri engga apa-apa. Apa perlu gue kirimin makanan?”

Jungkook tidak menjawab apa pun, tentu saja. Biar begitu, Namjoon tetap mengangguk, seakan memaklumi aksi bisu sahabatnya itu. Untuk yang terakhir kalinya, Namjoon pun izin untuk pulang dan benar-benar meninggalkan Jungkook sendirian.

Hening di dalam kekalutan. Jungkook membiarkan perasaan buruk itu menguasai dirinya, membungkus dirinya hingga dia lupa caranya bernapas. Hingga dia lupa bahwa bumi masih berputar dan waktu tetap berjalan.

Jungkook menghela napasnya berat. Rambutnya dia acak dengan frustrasi. Ada macam-macam perasaan buruk yang bergejolak dalam dirinya. Jungkook marah, kesal, resa dan bingung. Seakan perasaan itu yang tidak lagi asing untuk Jungkook. Akibat dari beberapa hari ini dia kesulitan untuk mengontrol perasaannya. Jungkook marah, karena semua orang memandang dengan sebelah mata dan menganggap dirinya gila. Jungkook resah dan bingung mencari di mana keberadaan tunangannya yang tiba-tiba menghilang. Hingga suatu pagi, Yoongi kakak sepupunya, merekomendasikan Jungkook untuk pergi ke salah satu psikiater kenalannya.

Tentu Jungkook murka.

Bahkan, salah satu orang yang paling dia percayai saja saat ini bereaksi sedemikian rupa. Jungkook jadi merasa seperti orang buangan, ya, buangan karena dianggap gila. Jungkook frustrasi, karena tidak ada yang dapat membantunya menemukan Kim Taehyung, atau setidaknya mempercayai perkataannya. Bahkan polisi menolak untuk membantunya, karena omongan Jungkook dianggap tidak wajar.

Bagaimana polisi bisa membantunya, kalau ada ribuan atau mungkin raturan ribu populasi manusia bernama Kim Taehyung di Korea Selatan? Bagaimana mencari orang tanpa ada informasi penunjang, seperti kartu identitas atau setidaknya foto orang tersebut?

Jungkook kesal pada semua orang, pada dunia, yang seakan sedang mempermainkan dirinya. Seakan semuanya bersekongkol untuk melenyapkan sosok pria yang paling dia cintai itu. Hingga segala hal yang bersangkutan dengan Kim Taehyung ikut lenyap di hari di mana pria manis itu menghilang. Semua foto yang terpajang di dinding apartemen Jungkook menghilang, hanya ada beberapa lukisan abstrak yang menempel menghiasi dinding. Begitu pula dengan foto-foto Taehyung yang Jungkook ambil dan dia simpan di dalam ponselnya, semuanya ikut lenyap.

Jungkook masih merekam segalanya dengan jelas dalam ingatannya, semuanya. Wajah sempurna dan indah milik Taehyung, setiap inci lekukan di tubuh kekasih hatinya, letak tahi lalatnya di bagian ujung hidung, di sudut bibir dan di bagian tangan. Jungkook merekam semuanya dengan jelas dalam memorinya. Bagaimana wajah Taehyung dipahat sempurna oleh Tuhan, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah—terutama setelah mereka selesai bercumbu panas semalaman, matanya yang besar dan indah, semua yang ada pada Taehyung itu sempurna. Namun, semua itu kini hanya tinggal di dalam ingatannya saja.

Karena tidak ada seorang pun yang mengingat siapa itu Kim Taehyung.

Hanya Jungkook satu-satunya orang yang memiliki memori tentang Kim Taehyung-nya. Rasanya begitu aneh dan janggal, membuat Jungkook semakin bertanya-tanya tentang banyak hal:

sebenarnya dia yang gila atau mereka yang pura-pura tidak tahu?

Atau ternyata ada dimensi lain yang tidak Jungkook ketahui, dimensi di mana ada bumi lainnya dengan orang yang sama—namun berbeda nasib.

Bisa juga semua orang bersekongkol untuk melenyapkan Taehyung.

Jungkook marah tanpa sebab pasti yang dapat dia ketahui. Sebenarnya, dia harus marah karena dianggap gila atau karena menghilangnya Taehyung yang begitu tiba-tiba?

Bisa jadi juga dia marah karena hari-hari manisnya bersama Taehyung dalam sekejap berubah menjadi ketidak pastian, antara hal nyata dan halusinasinya. Namun, semua kenangan manis itu terlalu nyata jika hanya sekadar khayalan Jungkook saja.

Jungkook bahkan masih bisa mencium aroma parfum Taehyung yang selalu terasa menenangkan, seperti mencium aroma air hujan yang bercampur dengan tanah. Seperti menghirup udara segar pegunungan yang jauh dari hiruk pikuk ibu kota yang padat. Aroma itu nyata, sama halnya dengan cicin pertunangan di jari manisnya.

Di sana tertera nama pria manisnya, Kim Taehyung.

Ada begitu banyak hal yang harus Jungkook lakukan saat ini, karena mencari keberadaan Taehyung—yang lenyap secara tiba-tiba—tidak akan mudah tanpa rencana yang matang dan pikiran yang tenang. Namun, apa mungkin Jungkook bisa tenang menghadapi situasi seperti sekarang?

Tidak bisa.

Jungkook mencoba untuk tenang, dan dia sudah melakukan itu selama beberapa hari ini. Nyatanya, hal itu adalah sebuah kemustahilan. Dirinya tidaj bisa. Dia tidak bisa tenang sama sekali. Kakinya berjalan mondar-mandir mengitari seisi apartemennya, berharap dia tidak melewati sudut mana pun yang mungkin terselip petunjuk tentang keberadaan Taehyung. Badannya berkali-kali menunduk, memeriksa hingga ke bagian-bagian kecil, seperti kolong meja kerja, hingga sela-sela antara dinding dan kursi. Tetapi, tak ada satu pun petunjuk yang dia temukan.

Dipijat keningnya pelan-pelan, karena rasanya kepala Jungkook sudah mau pecah sekarang. Segala macam hal tidak masuk akal terpaksa harus dia cerna beberapa hari ini, melelahkan, sungguh menguras tenaga dan waktunya.

Jungkook bahkan berlari menghampiri beberapa orang di jalanan siang tadi. Dia bertanya dengan menyebutkan ciri-ciri tunangannya itu, mondar-mandir di jalanan seperti orang kesetanan. Namun, tanpa adanya sebuah foto dan penunjang informasi lainnya, ternyata jauh lebih sulit. Ada begitu banyak orang dengan ciri-ciri seperti Taehyung di kota Seoul, meski hanya ada satu Kim Taehyung yang dia sayangi, yaitu tunangannya.

. . .

Mata Jungkook menerawang jauh ke arah luar jendela apartemennya, dia tidak melihat apapun melainkan langit gelap yang menyelimuti kota Seoul. Matahari sudah bersembunyi, membiarkan kota Seoul larut dalam kegelapan yang sedang dia rasakan. Matanya menangkap kesibukan di bawah sana, jalan raya yang masih dipenuhi oleh kendaraan dan orang yang berlalu-lalang. Dan dia pun sadar, yang sepi dan sunyi hanyalah suasana dalam apartemen Jungkook malam itu.

Udara kini kering, akibat dari musim dingin yang sudah mulai datang. Membuat Jungkook teringat tentang salju, malam Natal dan ulang tahun Taehyung. Biasanya mereka selalu merayakan hari-hari istimewa itu berdua. Biasanya, bulan Desember akan menjadi bulan yang paling mereka nantikan.

Pandangan matanya kosong, namun pikirannya terisi penuh dengan berbagai pertanyaan yang belum terjawab satu pun. Jungkook tidak peduli, tentang bagaimana nasib lambungnya yang belum terisi makanan sama sekali sejak kemarin malam. Bahkan, dirinya tidak menyicip sedikit pun makanan yang disediakan saat pertemuannya dengan klien di Miths cabang Gangnam tadi. Jungkook tidak peduli, saat peluhnya tidak berhenti menetes dari badannya, karena dia lupa berulang kali menyusuri setiap sudut apartemen hanya demi mencari jejak Taehyung. Jungkook tidak peduli kalau kini seisi apartemennya diselimuti rasa dingin, karena dirinya terlalu berat untuk mengatur penghangat ruangan.

Ada saatnya dia meragukan dirinya sendiri tentang eksistensi seorang Kim Taehyung. Kalau dipikirkan dengan logika, tidak ada jawaban masuk akal yang bisa menjawab ke mana lenyapnya tunangannya itu.

Yang Jungkook ingat hanya, malam itu dia memeluk tubuh Taehyung erat, lebih erat dari biasanya. Malam terakhir, sebelum paginya dia membuka mata dan kehilangan tunangannya. Saat Taehyung terlihat lebih tenang dari biasanya, padahal dirinya melihat kalau Jungkook minum alkohol begitu banyak. Biasanya dia suka merajuk dan rewel ketika Jungkook lebih memilih fokus pada pekerjaannya, atau hal lainnya, Taehyung tidak pernah suka kalau Jungkook pulang larut untuk lembut, atau minum bersama dengan klien. Namun, malam itu prianya bersikap berbeda. Taehyung begitu tenang dan tidak banyak bicara, hanya ada pertanyaan sederhana tentang bagaimana hari Jungkook berjalan.

Melelahkan, seperti biasanya aja. Maaf, sayang, malam ini aku kayaknya butuh banyak alkohol. Gapapa, kan?

Waktu itu Jungkook berkata dengan seadanya. Dia meminta izin untuk menghabiskan waktu dengan dirinya sendiri dan beberapa botol wine di mini bar apatemen mereka, tanpa pernah berpikir kalau esok harinya dia akan kehilangan Taehyung. Dan malam itu, hanya pelukan erat yang bisa Jungkook berikan untuk menghilangkan sedikit rasa kecewa Taehyung. Maka dari itu, Jungkook memeluk tubuh tunangannya dengab erat.

Tapi kenapa semuanya terasa janggal?

Kenapa Jungkook malah dibuat ragu akan dirinya dan kewarasannya sendiri?

Jadi, apa mungkin Taehyung itu tidak nyata?

Sudah berhari-hari dan Jungkook masih belum menemukan petunjuk apa pun, tentunya selain cincin pertunangannya. Cicin itu satu-satunya benda solid yang bisa membuktikan kalau Taehyung itu ada, bukan hanya memori dalam kepala Jungkook saja. Cincin yang dia dan Taehyung pasangkan pada jari satu sama lain. Orang tidak dapat menghilangkan kenangan yang begitu nyata ini.

Terputar kembali dalam memori, malam saat Jungkook melihat tangisan bahagia Taehyung. Ketika jari manisnya dihiasi oleh cincin pertunangan mereka. Taehyung menutup mulutnya dengan jari manis yang sudah dihiasi oleh cincin pertunangan, lalu dia menangis haru dan penuh dengan rasa bahagia. Hanya ada Jungkook, Taehyung dan pondok tua di Gangwon yang menjadi saksi malam paling membahagiakan itu. Pondok tua milik keluarga Jeon yang menjadi saksi dari lembaran baru di hubungan mereka, menjadi saksi dari tangisan bahagia keduanya, juga dari malam yang cukup intim untuk Jungkook dan Taehyung.

Kalau terpuruk dan tenggelam dalam pikirannya bisa mengantarkan Jungkook untuk menemukan Taehyung, Jungkook pasti sudah menemukan pria itu sedari hari pertama. Namun nyatanya tidak bisa. Dia tidak bisa hanya berpikir saja tanpa melakukan tindakan apa pun . Masa bodoh dengan polisi dan orang-orang di sekitarnya, kalau mereka tidak bisa membantu, Jungkook akan melakukannya sendiri. Jungkook akan menemukan Taehyungnya dan membawa pria manis itu kembali pulang.

Tekad Jungkook sudah bulat malam itu, dan besok dia akan memulai rencananya sendiri.

Jungkook bangkit dari kursi kerjanya. Menyalakan saklar lampu di setiap sisi ruangan, hingga apartemennya sudah tidak terlihat gelap lagi, kini setiap ruangan sudah mendapatkan pencahayaan yang cukup. penghangat ruangan sudah dia nyalakan, agar suasana dingin tidak ikut-ikutan menyelimuti dirinya. Jungkook juga akhirnya pergi mandi untuk membersihkan dirinya dan mendinginkan pikirannya.

Malam hari itu dia habiskan di depan meja kerjanya untuk menulis banyak hal, seperti: sebenarnya, kapan awal mula segala kejanggalan ini?

Atau, Jungkook mencoba mengingat-ingat—untuk mencatatnya—apa Taehyung pernah mengatakan sesuatu yang aneh?

Dia juga mencatat tempat-tempat yang pernah dia dan Taehyung kunjungi, barangkali ada petunjuk yang bisa Jungkook dapatkan di sana. Atau mungkin, kalau dirinya beruntung, dia bisa menemukan tunangannya di salah satu tempat itu.

Hingga akhirnya malam itu Jungkook tertidur, masih dengan posisi duduk dan kepala yang bersandar pada meja kerjanya. Dalam tidurnya samar-samar dia mendengar suara Taehyung, suara lembut Taehyung yang berbisik. Pria itu berkata,

Sayang, jangan mencariku, aku mohon. Nanti kamu akan menyesal.

Dan Jungkook merasakan kepalanya diusap lembut malam itu, entah itu dalam mimpinya atau bukan. Namun, rasanya begitu hangat dan nyata.

. . .

. . .

Jungkook menunduk, lalu menyisir rambutnya dengan kedua telapak tangannya yang berkeringat. Sebuah gelagat yang menunjukkan kalau dirinya frustrasi dengan situasi yang dihadapi saat ini. Hening dan dingin membungkus tubuhnya, menimbulkan perasaan yang sangat amat tidak nyaman. Jungkook merasa dirinya bagai tahanan di ruangan yang terasa sedingin salju ini.

Ada satu orang yang duduk di sofa kecil tepat di seberang Jungkook, namun orang itu kini diam. Sibuk dengan pena dan juga buku kecil yang kini dia sangga pada pahanya.

Jungkook benci suasana hening ini, benci juga saat orang di hadapannya itu samar-samar mengerutkan keningnya saat mendengarkan perkataan Jungkook. Jungkook benci dengan rentetan pertanyaan yang diajukan si pria berkaca mata di hadapannya, benci bagaimana pria itu berpura-pura mengerti akan kondisi yang dialami oleh Jungkook, padahal dia tidak sama sekali. Persetan dengan simpati palsu yang sering orang lain tunjukkan.

Kalau bukan karena desakan Yoongi, Jungkook juga tidak akan sudi berada di tempat ini sekarang. Menurut Yoongi, Jungkook butuh penanganan lebih serius lagi mengenai keadaan dirinya yang semakin aneh akhir-akhir ini. Semua orang menduga kalau Jungkook mengalami stress dan juga halusinasi akut.

Umm, Jungkook?”

Tatapan matanya lurus, terkesan agak angkuh mesti dirinya sedang tidak dalam kondisi yang baik. “Ya, dokter?”

“Baiklah... jadi menurut ceritamu, kamu sudah bertunangan dengan pria bernama Kim Taehyung selama dua bulan?”

Jungkook menjawabnya dengan gumaman kecil. Entah kenapa mendengar nama itu membuat dada Jungkook terasa begitu nyeri. Ternyata nama yang selama ini membuatnya bahagia dapat menimbulkan perasaan lain pada dirinya. Selama ini, Jungkook berpikir kalau Kim Taehyung hanyalah sumber kenyamanan. Entah, kini semua terasa begitu berbeda.

“Kalian sudah berpacaran selama dua tahun sebelum akhirnya memutuskan untuk bertunangan dan tinggal bersama. Lalu suatu hari kamu terbangun tanpa ada Taehyung di rumah kalian?”

“Ya.”

“Jeon Jungkook, menurutmu ke mana perginya Kim Taehyung?”

Mana aku tahu, sialan. Kalau aku tahu, aku tidak akan dianggap gila seperti sekarang. Sosok di batinnya mengamuk dan menyumpah serapahi pria berkacamata itu.

Jungkook yakin dirinya tidak gila, tapi semua orang menganggapnya gila. Kim Taehyung, pria itu tunangannya yang begitu indah dan manis. Pria itu nyata, setiap malam Jungkook mendekap tubuh Taehyung hingga mereka berdua terlelap. Jungkook tidak mungkin melupakannya. Karena dia suka memandangi wajah indah milik Taehyung, hingga akhirnya dia tidak tahan untuk mengecupi wajah indah itu. Pria itu nyata, dia benar-benar ada. Jungkook bahkan masih mengingat aroma tubuh Taehyung di dalam pelukannya, masih ingat dengan jelas hangat dekapan pria itu dalam pelukannya.

Hingga pagi itu datang. Pagi di saat Jungkook terbangun tanpa ada Taehyung di dekapannya.

Kim Taehyungnya pergi, hilang, lenyap, tanpa meninggalkan jejaknya satu pun.

Semua pakaian dan barang-barangnya, semua foto manis mereka yang terpajang di dinding apartemen dan ponsel pintar milik Jungkook, semuanya, semuanya lenyap.

Semua orang bertanya, Kim Taehyung siapa?, Jungkook hanya bisa menjerit dalam hati dan mengatakan, persetan dengan kalian. Kim Taehyung, dia tunangannya yang paling dia cintai. Pria yang selalu ada menemani roda kehidupannya berputar. Semua orang berkata Jungkook itu gila dan Taehyung tidak nyata, Tapi dia kukuh kalau dirinya tidak gila, kalau Taehyung itu sungguh ada.

Jungkook yakin itu, dan dia akan membuktikan kepada orang-orang itu. Jungkook akan mencari kebenaran yang hilang ini. Kalau pria cantiknya itu dapat dia temukan, Jungkook akan memegang tangan Taehyung dengan erat. Dia tidak akan membiarkan Taehyungnya pergi lagi.

. . .

. . .

I'm half a heart without you.

Satu ketukan, dua ketukan, tiga ketukan, dan Taehyung masih juga tidak sadar dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Rekan satu timnya di kantor hanya dapat menghela napasnya pelan. Taehyung sudah bersikap seperti ini selama beberapa waktu.

Waktu berputar, detik berjalan dan Taehyung merasa semuanya membeku. Harinya, waktunya, dunianya berhenti berputar. Karena segalanya terasa kian berat setiap harinya.

Fokusnya hilang, pikirannya penuh dengan hal yang tidak Taehyung pahami dan rasanya hanya... sunyi. Taehyung tidak tahu kenapa dia hal ini dapat terjadi pada dirinya, meski seharusnya jawabannya sudah jelas. Semua karena hubungan rumitnya dengan Jungkook.

“Kak, kak Taehyung?” Yeri kembali memanggil Taehyung, dengan penuh kesabaran.

Untungnya, kali ini pria itu dapat tertarik kembali ke dunia nyata. Setelah sesaat tersesat dalam pikirannya sendiri itu. “Eh, sorry, kenapa ya?”

Yeri tersenyum, mencoba memaklumi. Karena dirinya juga tidak mungkin memaki senior satu divisinya itu, kan? Yeri masih mengerti apa itu sopan santun di dunia kerja.

“Mau izin balik kak, yang lain juga udah pada balik duluan. Kakak engga pulang?” izin Yeri, sekaligus basa-basi pada Taehyung.

Taehyung mengangguk paham, lalu tersenyum simpul. “Balik aja duluan, Yer. Gue masih harus baca revisian konsep buat iklan di PGF kemarin, mungkin agak maleman. Hehehe.” jawab Taehyung. Lalu, tangannya mengambil map plastik bening berisikan dokumen yang bersangkutan itu.

“Kalau gitu, gue izin duluan ya kak? Jangan kemaleman, ini akhir tahun loh.”

Taehyung hanya mengangguk. Membiarkan Yeri, teman kantornya terakhir yang kini sudah berjalan meninggalkan ruangan mereka. Kini, hanya tersisa Taehyung seorang diri. Menatap sendu ke sisi luar jendela, pemandangan langit gelap kota Jakarta yang dihiasi oleh cahaya dari gedung-gedung tinggi di sekitar kantornya.

Malam ini harusnya Taehyung bahagia, harusnya memang begitu. Namun, dirinya hanya merasakan kekosongan yang menyebalkan.

warning; mention of trauma, relational aggression, trust issue, anxiety disorder . .

He is the one, someone who wanted to learn about your past not to punish you, but to understand how you needed to be loved.

Ada satu fragmen kilat yang terlintas dalam kepala Jungkook, sebuah adegan di mana dirinya akan benar-benar patah hati setelah hari ini berlalu. Tentu, bukanlah opsi yang ingin dia jadikan kenyataan, hanya sekadar jaga-jaga saja. Atau, upaya memperkuat pertahanan hati, jika hari ini akan benar-benar berakhir buruk.

Sunyi menemani lamunannya yang kini duduk seorang diri di pojokan kafe Anea. Kafe minimalis yang penuh dengan ornamen berwarna putih, letaknya mesti menyusuri gang-gang kecil di dekat kampusnya. Jungkook tidak akan pernah mengetahui eksistensi tempat ini, kalau saja dia tidak memenuhi saran Jimin semalam.

Pikiranya sudah keburu penuh dengan banyak pertanyaan, dirinya sibuk bergelut dengan risau dan resah. Jungkook bahkan tidak berekspektasi bisa tidur dengan nyenyak tadi malam, dan itu sungguh terjadi.

Segelas americano dingin menganggur di atas meja. Dirinya kehilangan nafsu untuk sekadar mengangkat gelas berisi kopi di hadapannya. Matanya sibuk melirik hp yang dia tidurkan di atas meja, atau jam yang melingkar di tangan kirinya.

Satu helaan napas, penuh dengan rasa syukur dan bercampur dengan rasa khawatir yang membuncah, ketika satu wajah familier memasuki kafe. Jungkook bersyukur, karena artinya sebentar lagi dia akan mendapatkan jawaban dari Taehyung yang tiba-tiba menghindarinya. Namun, di sisi lain juga Jungkook takut untuk mendengar penjelasan rinci dari Jimin.

Jimin, dia tidak perlu kesulitan untuk menemukan keberadaan Jungkook, karena hanya ada pria itu di sisi pojok kafe. Dia berjalan, menghampiri meja di mana Jungkook berada. Keduanya membungkuk kecil, berusaha sopan di pertemuan pertama mereka ini.

“Jungkook, kan?” tanya Jimin basa basi. Meskipun keduanya tahu, jawabannya sudah jelas.

“Iya, Park Jimin, temennya Taehyung?”

Jimin menjawab dengan sebuah anggukan. Lalu, mengambil posisi duduk di kursi seberang Jungkook.

Berdeham pelan, Jungkook mencoba mengumpulkan banyak keberanian untuk bertanya kepada Jimin. Dirinya sudah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahu, Jungkook begitu haus akan informasi yang ingin Jimin sampaikan hari ini. Semalaman dirinya dibuat resah dan kepikiran, rasanya sudah tidak mungkin bagi Jungkook untuk menahan itu semua lebih lama lagi.

“Jadi, mau ngomongin apa ya?” tanya Jungkook to the point.

“Gue bingung mau bahas dari mana, karena kayaknya ini bakal jadi cerita yang panjang banget,” Jimin berkata. Ada jeda di sana, karena rasa berat yang menghampiri tiba-tiba, mengingat kembali beberapa kejadian menyakitkan yang pernah dialami Taehyung. “Pertama, gue mau nanya ke lo deh. Kenapa lo pura-pura jadi dua orang? Kenapa lo ga bilang ke Taehyung, kalau ternyata lo tuh barista yang sering ngasih dia pesan di Daily Dose?”

Jungkook nampak menunduk, pelipisnya dia pijit dengan pelan karena kepalanya mendadak pening. Salah paham yang sudah dia takutkan ternyata terjadi jauh lebih buruk dari yang dia bayangkan.

“Gua engga bermaksud gitu, berani sumpah. Gua engga pernah ngomong soal itu, bukan karena sengaja mau bohongin Taehyung.”

“Tapi lo tahu kalau Taehyung itu agak 'berbeda'?” tanya Jimin.

Jungkook mengangguk. “Awalnya gua engga tahu, tapi setelah beberapa kali ketemu dan dia ga ngenalin gua, di situ gua mulai bingung. Sampai ada satu momen di mana gua mulai curiga, gua cari tahu semua hal tentang Prosopagnosia, dan ya...”

“Kenapa lo engga jujur aja ke Taehyung dari awal?”

Benar, Jungkook juga sadar kalau tindakannya bodoh. Dia pikir, dirinya bisa menjelaskan semuanya pada Taehyung di waktu yang tepat. Namun, nyatanya tidak akan semudah itu. Tidak, dengan Taehyung yang memiliki masa lalu menyakitkan. Tidak, dengan Taehyung yang memiliki ketakutan yang begitu besar dari masa lalu. Ketakutan yang membuatnya sulit untuk mempercayai orang lain, membuatnya ketakutan dan khawatir akan banyak hal.

“Engga tahu, emang gua bodoh banget. Tapi, gua beneran engga ada niat buat bohongin dia. Gua cuma engga cerita, bukan bohong. Karena bingung juga, engga mungkin gua tiba-tiba bahas hal yang sensitif begini kan ke Taehyung?”

Kini wajah Jungkook nampak begitu frustasi. Sungguh jauh berbeda dengan kepribadiannya sehari-hari. Jungkook yang biasanya jenaka, ceroboh dan memiliki kepribadian yang unik, seakan lenyap untuk beberapa saat. Wajahnya kini begitu serius.

Jimin mengangguk, sedikitnya dia mulai paham dari perspektif Jungkook saat ini. Memang, tidak sepenuhnya ini adalah kesalahan pria itu. Yang ada hanyalah kesalah pahaman di antara Jungkook dan Taehyung saja.

Mengenang kembali sebuah kejadian di masa lalu, Jimin pun mulai membuka ceritanya. Tentang kisah pedih yang pernah dilalui oleh Taehyung, alasan dari Taehyung menjadi individu yang tertutup seperti sekarang. Alasan dari Taehyung yang sulit menaruh rasa percaya pada orang lain, dan cemas ketika anak itu berada di ruang bebas penuh dengan orang asing.

Jungkook mengepal tangannya, begitu mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir Jimin. Hatinya terasa ikut sakit, dirinya seakan dibawa kembali ke masa-masa itu. Seakan, dia bisa melihat Taehyung yang tengah menangis sendirian di kamar mandi, melihat sosok Taehyung kecil yang menunduk ketika melewati orang-orang di lorong sekolah. Bahkan, Jungkook bisa membayangkan bagaimana tatapan semua teman-teman tidak berguna Taehyung di SMP dulu.

Seisi sekolah waktu itu bicarain dia, ada banyak kabar burung yang ga ngenakin. Tentu aja faktanya kebalikan dari yang sebenarnya terjadi, mereka ga tahu keadaan Taehyung yang sebenarnya. Begitu kata Jimin.

Kiranya, menarik napas dalam-dalam adalah hal terbaik yang dapat Jungkook lakukan saat ini. Amarahnya membuncah, meski dirinya tahu kalau tindakannya ini sudah begitu terlambat. Jungkook hanya mendengar secuil kisah menyakitkan tentang Taehyung, namun dirinya sudah bisa bereaksi seperti ini.

Dia ingin tahu lebih banyak, Jungkook butuh mendengar lebih banyak lagi. Sebanyak dirinya ingin memberikan rasa aman dan sayang kepada Taehyung, sebesar dirinya ingin membuktikan pada Taehyung, kalau apa yang terjadi di masa lalunya, bukanlah hal yang menentukan nilai dirinya saat ini. Entah itu dulu, atau sekarang, menurut Jungkook, Taehyung layak dicintai seluas jagat raya. Jiwa yang murni seperti Taehyung, dia hanya boleh diberikan kebahagiaan dan rasa cinta yang begitu besar.

. . .

Jimin berkata, kalau dia butuh bertemu dengan Taehyung malam ini. Dari nada bicaranya, Taehyung bisa menangkap ada sebuah keseriusan di sana. Membuat keningnya mengerut dan berulang kali bertanya ada apa. Jimin jarang sekali menggunakan nada begitu saat berbicara dengan Taehyung. Yang Taehyung ingat, saat itu Jimin bear-benar kecewa karena Taehyung begitu lemah saat orang membicarakan dirinya dari belakang.

Gapapa, nanti bukain aja pintu apartemen ya. Soalnya batre hpku low nih. Begitu katanya melalui sambungan telepon.

Untuk sekadar menikmati membaca buku atau mendengar musik saja jadi tidak bisa. Kepalanya sibuk bertanya-tanya, sembari menanti kedatangan Jimin ke apartemennya. Lama berkutat dengan isi kepalanya sendiri, kemudian bell dari depan pintu apartemennya berdenting, menyadarkan Taehyung. Dirinya buru-buru loncat dari atas sofa, berlari ke arah pintu depan untuk membukakan pintu. Itu pasti Jimin!

Pintu apartemennya terbuka, Taehyung sudah siap dengan hujaman pertanyaan untuk Jimin. “Jimoo, ada ap—” anak itu diam sebentar, begitu menyadari kalau bukan sosok Jimin yang berada di depan pintu apartemennya.

Rambut Jimin caramel brown dan poninya panjang, hingga bisa Jimin atur ke arah samping. Sahabatnya itu juga beberapa senti meter lebih pendek dari Taehyung, sedangkan orang di hadapannya tidak. Wajah mereka sejajar, Taehyung dapat melihat rambut hitamnya dengan jelas. Ini bukan Jimin, dan entah mengapa Taehyung bisa merasakan kalau orang ini adalah seseorang yang dia kenal betul juga.

Pandangan mata Taehyung turun, memeriksa satu hal yang bisa memberinya jawaban. Dan, tentu saja dugaannya benar. Tangan dengan tato yang terlukis begitu indah, hanya ada satu orang yang memiliki tangan bertato seperti itu. Dia, Jeon Jungkook.

“Hei...? Maaf, Jimin jadi bohongin kamu demi bantuin aku.” katanya.

Taehyung mundur selangkah. Dia memalingkan wajahnya, jemarinya mencengkeram erat kenop pintu. “K-kamu ngapain?”

“Mau minta maaf, soalnya aku salah udah buat Taehyung sedih,” jawab Jungkook.

Bohong, kalau Taehyung bilang hatinya tidak bergetar dan jantungnya tidak berdebar berkali-kali lipat mendengar jawaban Jungkook. Bohong sekali.

“Engga apa-apa kalau masih mau marah, aku emang pantes dimarahin sama Taehyung. Soalnya aku salah. Tapi, boleh engga kalau aku gatau diri sedikit, minta kamu marahnya jangan lama-lama?” kata Jungkook.

Taehyung masih memilih jalan bisu untuk menanggapi perkataan Jungkook.

“Aku nakal udah buat Taehyung marah. Tapi, cuma mau kamu tahu, kalau semuanya aku lakuin dengan tulus. Sebagai Jungkook, ataupun JK, dua-duanya itu aku, dan aku bener-bener ngelakuin semuanya tulus buat kamu.”

“Kenapa?” Taehyung bertanya.

Alis Jungkook mengerut. “Ya engga ada alesan. Karena aku emang mau lakuin itu semua buat kamu.”

Namun, nampaknya Taehyung kurang puas dengan jawaban Jungkook tersebut.

“Aku suka sama kamu, Taehyung. Tapi, emangnya ini bisa dijadiin alesan? Semuanya, rasa sukaku, rasa nyamanku, semua hal yang aku lakuin, semuanya tulus.” kata Jungkook.

Detik itu, Taehyung merasa jantungnya jatuh dan keluar dari dadanya. Ada getaran aneh begitu mendengar perkataan—pernyataan perasaan—Jungkook barusan. Sesuatu asing, yang belum pernah Taehyung alami sebelumnya.

Tangan kanannya terangkat, memegang dada bagian kirinya. Jantungnya berdebar begitu kencang, hingga Taehyung bisa merasakan ketukan dari dalam dadanya sendiri. Perasaan apa ini?

. . .

. . .

We're just two ghosts swimming in a glass half empty. Trying to remember how it feels to have a heartbeat.

Jungkook merasa kalau hari ini putaran waktu pada jam di dinding berjalan begitu lama. Sejak pagi, dirinya kalang kabut dan perasaannya tak keruan. Pikirannya sibuk, menerka atmosfer apa yang akan menyelimuti dirinya dan Taehyung nanti. Kalau boleh jujur, ada sebuah perasaan senang dalam hatinya. Sejanak berhenti berlari dari rasa sakit, menikmati kebahagiaan semu yang bersifat sementara. Namun, dirinya mungkin juga sudah terlalu lelah untuk berharap lebih.

Jam putih yang terpasang di ruang tengah rumahnya sibuk berdenting, menghitung waktu mundur untuk menyambut kedatangan Taehyung. Mamanya sejak pagi sudah berkutat di dapur, bersama dengan Bi Inah, menyiapkan banyak kudapan untuk ketiga orang spesial yang akan berkunjung nanti.

Sedang Jungkook hanya duduk bersandar di sofa ruang tengahnya. Pikirannya sibuk berkelana, seakan menatap langit-langit rumahnya adalah kegiatan yang asik. Kalau orang rumahnya melihat kondisinya saat ini, kemungkinan besar, mereka berpikir kalau Jungkook sedang menghitung banyaknya nyamuk yang terbang di udara.

Pria itu bergumul dengan pikirannya sendiri. Dalam hati sibuk bertanya, Apa dirinya dan Taehyung harus berpura-pura menjadi pasangan paling bahagia lagi? Mencoba bersikap biasa saja? Apa tidak perlu banyak bicara?

Tidak tahu, Jungkook sudah kepalang pusing. Sampai-sampai, suara klakson mobil di depan pagar rumahnya pun tak terdengar olehnya. Anak sematang wayang keluarga Jeon begitu hanyut dengan sang lamun. Sang mama mengintip dari bagian dapur, mendapatkan pemandangan anaknya yang masih memandang kosong langit-langit di ruang tengah.

Alis mama Jeon mengerut. “Sayang, tolong dibukain pagernya. Itu kayaknya Taetae udah sampai deh.”

Dua detik, hingga akhirnya pikiran Jungkook kembali berpijak di waktu yang sedang berjalan. Menarik napasnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya pelan. Mencoba untuk mencari si rileks yang sangat dibutuhkan, kemudian beranjak dari sofa. “Okay, mam.”

Kakinya berlari kecil keluar dari rumah, beralaskan sandal jepit hitam kesangannya. Mengintip sedikit dari celah pagar, terlihat sedan hitam milik Taehyung terparkir di depan, atau lebih tepatnya menunggu untuk dibukakan oleh sang tuan rumah. Ketika pagar hitam yang menjulang tinggi itu dibuka, Jungkook langsung dapat menangkap siluet tubuh Taehyung di dalam mobilnya. Tubuhnya minggir sedikit, dan memberi isyarat kepada Taehyung untuk segera masuk ke dalam.

Memperhatikan dalam diam, hingga mobil Taehyung terparkir aman di dalam garasi rumahnya yang cukup luas. Jungkook berjalan mendekat ke arah mobil Taehyung, kemudian pintu penumpang bagian belakang dibuka. Sosok wanita tengah baya keluar dari sana, wajahnya cantik dihias oleh senyuman lebar. Bundanya Taehyung, atau Jungkook kerap menyapanya bunda.

Dipeluk tubuh Jungkook, seakan-akan mereka adalah sepasang ibu dan anak yang habis terpisah jauh. Punggungnya dielus lembut oleh bunda, membuat senyuman Jungkook otomatis merekah. Kenyamanan yang disalurkan bunda terasa begitu familier, seperti pelukan mamanya sendiri. Jungkook meraih tangan kanan bunda, mencium dengan keningnya. Sebuah kebiasaan yang sudah dia lakukan sejak hari pertama pertemuannya dengan kedua orangtua Taehyung.

“Aduh, anak bunda yang sibuk ini. Janjinya kemarin weekend mau ke rumah, kenapa engga jadi?”

Jungkook tertawa canggung, mencoba sebisa mungkin tidak menjawab apa pun yang membuat topik pembahasan itu menjadi panjang. Lalu, meminta izin kepada bunda untuk menghampiri ayah yang baru keluar dari pintu penumpang bagian depan. Mereka langsung mengobrol, membicarakan berita koran pagi hari. Sembari keempat orang itu melangkah memasuki rumah Jungkook.

Semua terlihat begitu normal, sampai sebuah fakta menyakitkan bisa terlupakan sesaat. Dua keluarga dengan latar belakang yang berbeda, terlihat diselimuti oleh kehangatan dan keharmonisan. Hubungan ini sudah terjalin selama bertahun-tahun, menyatukan segala perbedaan terasa begitu indah bagi kedua keluarga itu. Pada hari Natal, bunda, ayah dan Taehyung akan berkunjung ke rumah Jungkook, membawa kue kering buatan bunda yang selalu menjadi kesukaan Jungkook. Begitu pula sebaliknya, pada saat perayaan Lebaran, Jungkook dan kedua orangtuanya akan berkunjung ke kediaman orangtua Taehyung. Bersilaturahmi, berbincang dan menyantap ketupat beserta teman-temannya.

Seakan tembok penghalang itu tidak ada, seakan garis perbedaan itu terputus, mereka begitu nyaman dan bahagia dengan saling menghargai perbedaan satu sama lain.

Semuanya terasa begitu indah, hingga Jungkook kembali dibawa ke masa-masa itu. Hari-harinya yang penuh dengan tawa Taehyung. Makan malam keluarga bersama, mengobrol dengan papanya dan juga ayah. Melihat mama dan bunda berkutat di dapur bersama, lalu Taehyung akan dipanggil untuk membantu mereka. Atau terkadang Taehyung bergabung dengan Jungkook, papa dan ayah. Semua terulang kembali hari ini.

Kecanggungan yang sempat Jungkook khawatirkan menghilang dengan sendirinya.

Hari itu, di ruang makan keluarga Jeon, hanya ada tawa dan rasa bahagia. Luka yang terasa basah dan perih, sementara waktu dapat tertutup dan tersamarkan. Senyuman bahagia Taehyung yang sudah lama menghilang, kini dapat kembali Jungkook saksikan.

Prianya, Taehyung, yang selalu terlihat indah tertawa mendengan lelucon dari papa. Matanya menyipit, pertanda bahwa tawanya adalah sebuah ketulusan, bukan sandiwara palsu yang beberapa bulan ini mereka lakonkan. Jungkook membeku di sebelah Taehyung, hanya dapat mengabadikan momen ini dalam diam. Merekam setiap detik yang berlalu, menarik napasnya dengan pelan, seakan takut kalau momen membahagiakan ini akan segera berakhir.

Namun, Jungkook tidak sadar. Dia tidak akan menyadari kalau jejak sendu itu tergambar jelas di wajahnya. Mungkin, dirinya bisa memperhatikan dan menikmati momen ini dalam sunyi. Tetap, hatinya tidak bisa berbohong. Semua kepedihan dalam hati itu tersalurkan melalui tatapan matanya, seakan matanya dapat berbicara. Tatapan penuh dampa yang biasa terpajang di wajahnya sudah tergantikan dengan gurat sedih.

Bunda menangkap detail itu dengan jelas. Bagaimana sikap kedua anak itu tidak semanis biasanya. Keduanya memang tersenyum, tapi ada saat di mana senyuman mereka terlihat begitu palsu. Detik itu, bunda sadar kalau ada yang disembunyikan oleh Jungkook dan Taehyung. Meski begitu, beliau memilih diam. Baik orangtua Jungkook, ataupun Taehyung, keduanya tidak pernah sekali pun mencampuri urusan anak-anak mereka. Yang dilakukan oleh kedua keluarga itu hanyalah mendukung apa pun keputusan kedua anak mereka.

Selesai dari makan malam, kedua orangtua mereka begitu sibuk. Melepas rindu akan hari-hari yang terlewati tanpa kabar satu sama lain. Hingga melupakan absensi Taehyung dan Jungkook di ruang tengah keluarga Jeon. Kedua anak itu lebih memilih untuk duduk di teras rumah Jungkook, ketimbang bergabung dengan para orang tua di dalam sana.

Mereka duduk bersisian, ditemani oleh sunyi. Membiarkan atmosfer dingin menyelimuti, tanpa ada sepatah kata yang terucap. Meskipun, sebenarnya ada begitu banyak hal yang ingin mereka katakan pada satu sama lain. Ada berjuta rasa yang ingin disingkap, sudah mengamuk dan hampir meluap. Namun, si ego dan gengsi menguasai keduanya.

“Makasih ya udah dateng.” Jungkook berkata, memberanikan diri untuk memulai percakapan. Karena dia tahu, Taehyung tidak akan melakukannya duluan.

“Hm, Ayah dan Bunda nanyain terus. Aku juga engga enak sama mama, soalnya keburu janji waktu itu di telepon.” jawab Taehyung.

Jungkook mengangguk, cukup tahu diri kalau alasan Taehyung ke sini memang bukanlah karena dirinya. Meski, dalam hati ada sepercik harapan akan hal itu.

“Kamu keliatan okay. And good for you, tho.” kata Jungkook, dengan sebuah senyuman luka terpasang di wajahnya. Tidak bohong, kalau hatinya begitu nyeri setiap memikirkan Taehyung sudah baik-baik saja sekarang.

Jungkook tidak paham kenapa. Padahal, seharusnya dia senang kalau Taehyung baik-baik saja, 'kan? Dirinya merasa begitu kejam saat merasa kecewa dan marah atas perasaan orang lain, atas kebahagiaan pria yang paling dicintainya.

Sedang Taehyung, dia tidak menjawab perkataan terakhir dari Jungkook. Tangannya sibuk memeluk dirinya sendiri, wajahnya berpaling untuk menatap ke arah lain.

“Taehyung, aku engga tahu apa aku pantes ngomong begini atau engga. Tapi, kayaknya aku harus ngomong ini ke kamu,”

Kepala Taehyung menoleh, matanya yang tadinya tidak berani menatap Jungkook 'pun kini beralih untuk menatap mata pria di sebelahnya. Rasanya panas dan perih, mungkin Taehyung tidak sadar kalau air mata mulai menggenang.

“Maaf, aku belum bisa okay kayak kamu. Maaf, aku masih belum baik-baik aja, karena ini engga mudah buat aku. Ada begitu banyak masa depan yang aku impikan, yang aku bayangin bareng sama kamu, dan perpisahan bukanlah salah satunya. Aku engga persiapin hatiku buat rasa sakit dari perpisahan kita, mungkin karena itu butuh waktu yang lama bagi aku untuk baik-baik aja.”

Jungkook tidak menatapnya, Jungkook tidak melihat bagaimana air mata Taehyung siap jatuh kapan saja. Jungkook tidak lihat bagaimana Taehyung mempererat pelukan pada tubuhnya sendiri. Semua itu, semua yang dilakukan Taehyung adalah tanda bahwa Taehyung juga belum baik-baik saja.

“Tapi, aku jahat banget. Aku ngerasa sedih dan kecewa setiap mikirin kamu baik-baik aja. Taehyung, aku... rasanya udah capek. Aku capek sama ekspektasiku sendiri.”

Menahan napas dan tangisnya, Taehyung kembali memalingkan wajahnya. Mendengar kalimat Jungkook yang terakhir, jujur saja, Taehyung merasa kalau dunianya runtuh untuk yang sekian kali. Harusnya, rasa sakit sudah menjadi teman baiknya selama setengah tahun ini. Namun nyatanya, Taehyung belum juga membiasakan diri dengan rasa sakit kehilangan Jungkook.

Kalimatnya selesai di sana, tanpa ada tambahan apa pun dari Jungkook, juga tanpa tanggapan dari Taehyung. Jungkook berdiri dari duduknya, kemudian masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata. Meninggalkan Taehyung yang pada akhirnya menumpahkan seluruh air matanya yang sejak tadi tertahan. Taehyung menutup mulutnya sendiri, upaya untuk menahan suara tangisnya dan isakkannya.

Taehyung hancur. Taehyung sudah mengahancurkan dirinya, menghancurkan Jungkook, menghancurkan kisah indah yang mereka lalui selama bertahun-tahun, semua hancur karena keegoisannya.

. . .

Bunda selalu tahu setiap kali ada yang salah dengan anaknya. Dan kini, bunda merasakan hal itu. Bunda merasa kalau Taehyung sedang di kondisi yang tidak baik-baik saja.

Berhari-hari anaknya menginap di rumah, memilih untuk mengambil 2 hari cuti jelang ulang tahunnya. Menghabiskan banyak waktunya di kamar lamanya di rumah orangtuanya, dan berpura-pura kalau dirinya baik-baik saja.

Sejak kepulangan mereka dari rumah keluarga Jeon di hari Natal, bunda merasa kalau Taehyung jauh lebih pendiam. Tentu saja itu bukanlah hal yang wajar, itu bukan Taehyung yang biasanya. Karena bunda tahu sekali bagaimana manja dan cerewet anaknya itu setiap kali dekat dengan orang yang disayanginya. Mengingat Taehyung cenderung mengungkapkan rasa sayangnya dengan perkataan manis dan banyak afeksi.

Taehyung berubah menjadi pendiam, tatapannya jauh lebih kosong dan tubuhnya sering sekali lemas. Seakan anak itu sedang memikul beban masalah yang begitu besar. Bunda merasa khawatir, karena Taehyung kian memburuk tiap harinya. Semuanya terasa semakin jelas sekarang.

Mengetuk pintu kamar anaknya dengan pelan, kemudian bunda meminta izin Taehyung untuk masuk ke dalam kamar anak itu. Menunggu sang anak memberi jawaban, dengan membawa nampan berisikan teh hangat manis dan camilan.

“Masuk aja bunda, engga aku kunci.” jawab Taehyung dari dalam kamarnya. Suara anaknya terasa begitu lemah, tidak bertenaga.

Bunda membuka pintu kamar Taehyung perlahan, melangkah masuk dengan hati-hati dan menaruh nampan yang dibawa ke atas nakas di sebelah ranjang Taehyung. Beliau kemudian duduk di sisi ranjang yang kosong, memperhatikan anaknya yang tertidur di dalam balutan selimut.

“Sayangnya bunda lagi ada masalah, ya?” tanya bunda hati-hati. Tangannya mengusap poni Taehyung, merapihkannya sedikit, hingga kening Taehyung sedikit terekspos.

Taehyung tentu saja berbohong, menjawabnya dengan gelengan pelan. Namun, matanya tidak berani untuk menatap sang bunda sama sekali. Takut, karena bunda pasti bisa menangkap kebohongan dari tatapan.

“Cerita aja sama bunda, sayang. Masalah sama Jungkook, ya?” tanya bunda lagi.

Taehyung mengubah posisinya, dari berbaring menjadi duduk bersandar pada kepala ranjangnya. Dia tatap mata sang bunda dengan air mata yang mulai menggenang. Bibirnya bawahnya digigit kencang, menahan rasa tangis yang hampir pecah sebentar lagi. Rasa sakit dalam dirinya mengamuk, meminta untuk disikap, mungkin sudah tak terbendung lagi. Bunda 'pun langsung menarik tubuh anaknya ke dalam pelukan. Mengusap punggung Taehyung dengan lembut, karena hanya itu yang kini dibutuhkan oleh sang anak.

Tangisan Taehyung pecah dalam pelukan sang ibu. Segala beban dan pedih yang dia tahan dalam hati pun meluap. Taehyung terisak, air matanya terjun bak air hujan yang turun begitu deras, dirinya kini terasa begitu rapuh dan kalah dengan rasa sedih.

“A-aku, aku udah putus sama Jungkook, bunda. Aku dan Jungkook udah engga bareng lagi. Aku jahat bunda, aku ngusir Jungkook berulang kali, aku udah buat Jungkook sakit, aku egois...” kata Taehyung di sela-sela tangisnya.

Bunda tidak bisa melakukan apa pun, tidak bisa menjanjikan penawar luka, selain pelukan dan rasa aman untuk saat ini. Beliau hanya diam, membiarkan sang anak mengluapkan semua yang tengah dia pendam sejak lama.

“Jungkook bilang dia capek bunda. Aku egois, aku udah nyakitin dia, tapi aku sedih waktu dia bilang kalau dia capek.”

Akhirnya pun, Taehyung menceritakan semuanya pada bunda, tanpa dikurangi ataupun dilebihkan. Taehyung menceritakan semua dari sudut pandangnya. Tentang rasa takutnya, tentang perkataan tante Jungkook, tentang dirinya yang dengan egois memutuskan hubungan mereka.

Bunda tidak menyalahkan, tidak juga membenarkan perbuatan Taehyung yang mengantarkan kedua anak itu dengan rasa sakit. Yang bunda tahu, kalau mereka berdua masih begitu saling menyayangi, namun diri mereka sudah terlanjur tertutup oleh luka.

Bunda berkata, kalau beliau percaya pada Taehyung dan Jungkook. Bunda percaya, kalau kedua anak itu akan menemukan akhir terbaik untuk keduanya. Namun, bunda merasa kalau anaknya memang bertindak begitu gegabah dalam membuat keputusan itu. Maka dari itu, bunda menyuruh Taehyung untuk kembali merenungi perbuatannya. Untuk memikirkan apa yang sebenarnya dia inginkan.

Apakah berpisah dari Jungkook adalah hal yang dia inginkan? Tentu saja bukan. Harusnya, ini adalah hal yang jelas untuk Taehyung.

. . .

. . .

'Cause his action speaks louder than words.

Saat itu, senyuman manis Taehyung sungguh betah menghias hangat di wajahnya. Sebuah jawaban sederhana dari Jungkook, namun menyentuh hati adalah alasan di balik senyumannya tersebut. Hanya sebuah pesan singkat teks, yang mungkin bagi orang lain bukanlah hal besar. Jungkook tidak membuatnya mencari, Jungkook menejelaskan detail pakaian pria itu, seakan-akan dirinya tahu bagaimana kondisi Taehyung yang sebenarnya. Dan bagi Taehyung, itu semua adalah another level dari sikap sopan dan baik pria itu.

Taehyung yang selalu takut untuk berinteraksi dengan orang lain, dapat dengan mudahnya melupakan rasa takutnya setiap dirinya berada di dekat Jungkook. Tertawa ketika pria itu bergurau di kelas, menjawab—meski hanya seadanya—ketika Jungkook menanyakan sesuatu, dan kini, dirinya memberanikan diri untuk keluar dari zona ternyamannya.

Matanya masih fokus menatap layar ponselnya, menanti pesan selanjutnya dari Jungkook, atau sekadar mempertahankan rasa bahagia ketika dirinya membaca pesan tersebut. Dan pada hitungan menit selanjutnya, fokus Taehyung pada layar ponselnya pun teralih. Suara yang mulai terdengar familier di telinganya menggelitik indra pendengaran Taehyung, memanggil namanya dengan setengah membisik yang lembut.

Mengangkat wajahnya, mendapatkan sosok Jungkook tengah berdiri di belakangnya. Celana jeans biru, kaos yang dibalut dengan jaket tebal berwarna hitam, juga topi yang menutupi rambut kepalanya, Jungkook persis seperti apa yang dia beri tahukan ke Taehyung di pesan singkat.

Jungkook tertawa kecil, lalu mengambil posisi duduk di kursi seberang Taehyung. “Kaget ya tiba-tiba aku bisik-bisik gitu?”

Taehyung menjawabnya dengan sebuah gelengan. Bahkan, bisikan suara Jungkook yang memanggil namanya itu terlalu lembut untuk membuat dirinya kaget. Ketimbang kaget, Taehyung malah menemukan kenyamanan di sana. Di saat dirinya sendiri di tempat umum, tak jarang perasaan takut menghampirinya. Dan suara lembut Jungkook barusan menjanjikan sebuah keamanan, seakan dirinya tidak perlu takut lagi di sana, seakan ada seseorang yang menjaganya.

“Hari ini aku naik motor, engga apa-apa kan kalau ke sananya naik motorku?” Jungkook bertanya dengan hati-hati.

“Engga apa-apa sih. Tapi Jungkook... aku engga punya helm.”

Ekspresi Taehyung berubah menjadi tidak enak. Dia takut melewati batas, dia takut Jungkook merasa tidak nyaman, dia takut kalau pertemanan yang baru saja ingin mereka mulai ini tidak berjalan baik.

“Oh, aku kebetulan bawain helmet buat kamu sih. Soalnya, salahku juga karena ga bilang ke kamu mau naik motor. Eh, tapi engga apa-apa kan kalau aku ajak naik motor?”

Taehyung langsung buru-buru menggeleng. Tentu, tentu saja tidak apa-apa. Bahkan, Taehyung sangat senang sekali, dalam hatinya anak itu sedang melompat kegirangan. Pengalamannya sedikit, tidak banyak hal yang sudah Taehyung lalui di hidupnya. Keterbatasannya membuat Taehyung tidak dapat menyicip banyak hal di masa-masa remaja. Keterbatasan yang membuatnya begitu takut akan banyak hal, membuatnya bersembunyi dari dunia luar.

“Gapapa, aku suka kok. Soalnya,” Taehyung nampak menghentikan kalimatnya. Ah, rasanya malu untuk berkata yang sejujurnya. Apalagi, Taehyung dan Jungkook kan belum sedekat ini.

“Soalnya?”

“Aku belum pernah naik motor....”

Dan jawaban Taehyung sukses membuat Jungkook tertawa geli. Dirinya bukan menertawakan pengalaman Taehyung yang kurang, melainkan wajah pria itu yang langsung menunduk malu. “Ya, emang ga banyak orang yang suka naik motor sih. Jadi engga apa-apa ya kalau kita naik motor hari ini? Soalnya, aku belum punya mobil hehe.”

“Hi, engga apa-apa dong. Naik bus juga aku suka kok.” jawab Taehyung.

Keduanya berjalan keluar dari lounge. Taehyung mengekori di belakang Jungkook, ada setitik rasa gugup dalam hati. Ini adalah pertemuan kedua mereka di luar jam kelas, dan mereka akan berada di dalam satu boncengan motor yang sama. Sial, membayangkannya membuat pipi Taehyung terasa panas.

Mereka berhenti di depan motor hitam milik Jungkook yang terparkir sendirian di sana, di bawah naungan pohon besar yang dedaunannya sudah mulai menguning. Dua helm terlihat menggantung di kaca spion, satu helm full face berwarna hitam, yang satunya helm bogo berwarna putih gading. Ya, sudah pasti ini motor Jungkook.

Jungkook memberikan helm berwarna putih gading tersebut ke Taehyung. “Bisa kan pakai helm sendiri?”

Taehyung mengambil helm tersebut sambil merengut. Agak sebal mendengar ledekan dari Jungkook barusan, meski dia sudah tahu kalau Jungkook hanya bercanda saja. “Enak aja, kalau pakai helm doang mah aku bisa ya.”

Memasang helm di kepalanya dengan merengut, malah membuat fokus Jungkook sepenuhnya tertuju pada Taehyung. Pria itu dengan susah payah mengaitkan tali pengaman, bibirnya tanpa disadari mengerucut, karena terlalu fokus dengan kegiatannya tersebut.

Jungkook sungguh gatal ingin menghampiri Taehyung, membantu pria itu memasang kaitan di helmnya. Memastikan kalau semuanya sudah terpasang dengan benar dan aman, namun tentu saja tidak dia lakukan. Karena Taehyung sudah keburu selesai memasang helmnya sendiri. Setelah itu, dia tersenyum dengan lucu ke arah Jungkook. Membuat senyuman Jungkook otomatis merekah.

Taehyung membatu, memperhatikan Jungkook yang sudah naik ke atas motornya. Sedangkan dirinya kini malah kebingungan, langsung naik saja atau bagaimana? lalu, nanti apa perlu tangannya berpegangan pada badan Jungkook? Aduh, kalang kabut Taehyung dibuat oleh pikirannya sendiri.

“Kamu engga mau naik? Hahaha.”

Dengan kikuk, Taehyung pun naik ke boncengan belakang Jungkook. Duduk dengan kaku dan menjaga sikap badannya untuk tetap tegak. Tangannya kaku, bingung untuk berpegangan ke mana, karena sumpah ini adalah pengalaman pertamanya.

“Pegangan ke jaketku gapapa kok, dari pada kamu duduk tegap begitu. Atau, lingkarin tangan di pinggangku, itu kayaknya lebih aman.”

Aduh, mama, papa, Jimin, aku malu bangeeeet.

Tentu saja Taehyung memilih untuk mencengkeram jaket tebal Jungkook. Berusaha sehati-hati mungkin untuk tidak menariknya begitu keras, dengan sekuat tenaga juga menjaga keseimbangan tubuhnya. Untungnya, Jungkook menjaga kecepatan motornya sepanjang perjalanan, sedikit membantu Taehyung untuk tetap nyaman di belakang sana.

Dengan posisi itu, keduanya menyusuri jalanan kota Seoul yang tidak begitu padat di siang hari. Taehyung merasakan tamparan angin dingin menyengat di wajahnya. Senyuman bahagia itu tidak dapat dia tahan, bibirnya melengkung dengan indah. Membuat Jungkook, yang sedari tadi mencuri-curi pandang dari kaca spion ikut tersenyum.

Memasuki gang demi gang, melewati pemukiman yang dikelilingi kafe dan toko-toko, hingga akhirnya Taehyung sadar kalau jalan ini begitu familier. Jalan yang setiap hari selalu dia lewati, jalan menuju apartemennya. Di ujung pertigaan sana ada CU yang buka 24 jam, dan di sebelahnya ada barbershop yang selalu terlihat begitu sepi. Taehyung hafal, karena ini adalah kawasan tempat tinggalnya.

Motor Jungkook berhenti di depan kafe bertuliskan Daily Dose, tepat di seberang gedung apartemennya. Alisnya mengerut, sembari dia turun dari motor Jungkook. Melepas helm dengan pikiran yang masih penuh dengan tanda tanya.

“Kamu tau kafe ini?” Taehyung bertanya, tangannya menyerahkan helm yang tadi dia pakai ke Jungkook.

Pria itu menyambut dan menggantung helm yang tadi dipakai oleh Taehyung ke kaca spion motornya, seperti sebelumnya. Kemudian mengangguk. “Hahaha, iya. Kebetulan aku kenal sama yang punya.”

Taehyung hanya mengangguk-angguk. Kemudian melangkah masuk ke dalam kafe bersama dengan Jungkook. Matanya menyusuri ruangan, mencari keberadaan seseorang yang biasanya berdiri di balik konter kasir. Rasa kecewa langsung menghampiri, begitu dirinya tidak menemukan sosok itu.

“Kamu duduk aja, biar aku yang pesen. Iced Caramel Machiato, 'kan?”

Setelah membenarkan pesananya, Taehyung menuruti perkataan Jungkook untuk berjalan terlebih dahulu. Dia memilih kursi yang biasa diduduki setiap berkunjung ke kafe ini, di pojok ruangan yang terasa begitu nyaman dan tenang. Menunggu Jungkook untuk kembali dan menghampirinya, sembari memandang ke arah luar jendela.

“Aku udah pesenin *iced caramel machiato, nanti dianterin katanya.” kata Jungkook, yang tiba-tiba sudah duduk di kursi seberangnya. Menghalangi pemandangan bagian luar kafe yang sedang Taehyung nikmati tadi.

Wah, sepertinya Taehyung mulai hafal kebiasaan pria ini; Jungkook suka sekali muncul tiba-tiba.

“Ah, thanks.” jawab Taehyung.

Jungkook mulai bercerita tentang pengetahuannya akan kopi, pengalamannya menemani sang kakak untuk berkeliling daerah dan mencari petani kopi terbaik di negeri. Cara Jungkook bercerita, entah kenapa terasa begitu menghipnotis. Membuat Taehyung begitu fokus mendengarkan kata demi kata yang terlontar dari mulutnya.

Pria itu bagai buku terbuka, Jungkook bahkan tidak segan bercerita segala hal tentang dirinya. Kalau dipikir-pikir, dia terasa seperti kebalikan dari Taehyung. Jungkook itu hangat, menyenangkan, mudah bergaul dan hidupnya terdengar begitu seru. Membuat Taehyung merasa berkecil hati akan dirinya.

“Kok kamu diem aja? Aku kebanyakan omong ya kayaknya? hehehe.” tanya Jungkook, begitu menyadari Taehyung yang sedari tadi mengunci rapat mulutnya. Bibirnya hanya tersenyum kecil sesekali, dan hal itu membuat Jungkook terganggu. Jungkook takut kalau Taehyung merasa kurang begitu nyaman.

“Hah, engga kok hehehe. Aku emang lebih suka nyimak dibanding cerita.” jawab Taehyung.

Kemudian, pesanan mereka datang. Segelas iced americano untuk Jungkook, dan iced caramel machiato untuk Taehyung. Taehyung dengan teliti memperhatikan si pelayan yang mengantarkan pesanan tersebut, memperhatikan model rambutnya, lalu wajah kecewanya kembali muncul setelah melihat tanda nama yang dikenakan oleh si pelayan tersebut. Orang itu bukanlah JK, jelas, tentu saja. Karena JK, si barista yang dari tadi dia cari-cari itu ada di hadapannya. Sedang memperhatikan wajah kecewa Taehyung.

Jungkook mengehela napasnya, padahal dia sudah mempersiapkan diri sejak semalam. Banyak membaca artikel yang terkait dengan prosopagnosia, bahkan meminta bantuan orang-orang di kafe untuk tidak menyapanya ketika kemari. Nyatanya, yang Jungkook persis seperti apa yang sudah dia duga. Dirinya merasa tidak nyaman, merasa terbebani akan situasi. Bukan karena kemungkinan besar, atau dugaannya terhadap Taehyung adalah benar. Bukan karena itu. Jungkook merasa terbebani, karena merasa dirinya sedang membohongi Taehyung saat ini.

Dia pikir, mempersiapkan hatinya dengan kemungkinan terburuk, dirinya dapat merasa lebih tenang. Ternyata tidak semudah itu. Dan bodohnya, Jungkook tetap melanjutkan sandiwaranya itu. Dia tetap berpura-pura tidak mengetahui apa pun tentang Taehyung.

Sekitar satu setengah jam mereka menghabiskan waktu di sana. Sebuah rekor bagi Taehyung untuk mengobrol dengan temannya—selain Jimin—dalam durasi waktu yang selama itu. Dia juga mulai sedikit terbuka, meski yang dapat dia ceritakan hanyalah sedikit.

Untung saja Taehyung tidak dapat melihat dengan jelas ekspresi Jungkook sepanjang obrolan mereka. Terkadang, pria itu akan terlihat seperti orang yang dimabuk cinta saat menatapnya, terkadang wajahnya penuh dengan rasa bersalah. Dan itu semua terjadi tanpa Jungkook sadari.

Di sela-sela obrolan mereka, Jungkook meminta izin kepada Taehyung untuk pergi sebentar ke toilet. Membiarkan Taehyung larut dalam lamunan, sembari mengaduk caramel machiato yang sudah sisa sepertiga gelas. Alibi saja, padahal dia sedang bersekongkol dengan temannya di ruang pegawai. Meminta pertolongan pada Hoseok—teman kak Jin yang sedang membantu di kafe hari in. Jungkook meminta tolong pada pria yang lebih tua tiga tahun darinya itu, untuk memberikan selembar post it kepada Taehyung nanti. Disambut dengan sebuah gelengan heran dari Hoseok, namun tetap diterima olehnya.

Jungkook berbisik, mengucap terima kasih puluhan kali pada Hoseok. Lalu, dia kembali ke tempat duduknya bersama dengan Taehyung. Melanjutkan obrolan mereka, meskipun dalam pikirannya dia tak kalah sibuk.

Taehyung berkata kalau dirinya tidak bisa terlalu lama, temannya tiba-tiba saja menghubungi dan mengajaknya untuk bertemu. Tentu saja dia adalah Jimin, menunggu Taehyung di depan kafe sambil melambai-lambaikan tangan. Mata Taehyung menyipit, memperhatikan pakaian yang dikenakan oleh Jimin dan menyadari model rambut sahabatnya itu.

“Jungkook, aku minta maaf banget. Temenku ini emang suka seenaknya aja, dia mau minta tolong aku sesuatu soalnya.” ucap Taehyung, wajahnya benar-benar merasa bersalah sekali.

“Eh, engga apa-apa kok. Aku juga mau balik bantu kakakku habis ini, beneran gapapa ini mah.” jawab Jungkook.

“Lain kali aku yang traktir, ya? Terserah kamu mau minta apa aja.” kata Taehyung, sebelum akhirnya berdiri dari tempat duduknya.

“Taehyung, nanti aku chat gapapa kan?”

Taehyung tersenyum dan mengangguk. Pria itu melangkah menuju ke pintu keluar kafe, kemudian Hoseok berlari menghampirinya. Jungkook tidak bisa melihat bagaimana ekspresi Taehyung, karena pria itu memunggunginya. Namun, dia melihat tangan Taehyung terulur, menyambut surat darinya yang sudah dititipkan pada Hoseok tadi.

Akhirnyaaaaa, akhirnya Jungkook dapat tersenyum dan bernapas lebih lega. Dia perhatikan langkah kaki Taehyung yang sedang keluar dari kafe, matanya tidak sengaja bertatapan selama dua detik dengan sahabat Taehyung yang—dia yakin sekali—bernama Jimin.

. . .

. . .

Wajahnya merengut, sebal dan memandang tidak percaya ke arah pria di hadapannya. Gael, dia hanya melakukan itu, alih-alih membukakan pintu gerbang rumahnya untuk Aidan. Kepalanya menggeleng, meskipun Aidan sudah memasang wajah paling menyedihkan seumur hidupnya. Seperti, kegiatan memandang dalam sebal dengan keadaan bisu sangat mengasikan, ketimbang membiarkan Aidan masuk dan berbicara langsung dengannya.

“El, beneran marah sama Ai?” Aidan membuka suara. Matanya menatap Gael lekat, mencoba menerobos pertahanan Gael yang sekuat baja itu.

Kepala Gael menggeleng, menjawab pertanyaan Aidan tanpa suara.

“Terus kenapa Ai didiemin aja dari semalem?”

Kali ini, tidak ada satu kata pun, atau sekadar bahasa tubuh dari Gael. Pertanyaan Aidan seakan terbang di udara, pergi tanpa sebuah jawaban.

“Ya udah, Ai pulang kalau gitu. El, semoga cepet-cepet mau ngomong sama Ai lagi ya nanti.”

Bohong, Aidan tidak benar-benar berniat untuk pergi begitu saja tanpa mendapatkan sebuah jawaban dari Gael. Dia hanya menggertak dengan halus. Berpura-pura menyerah, menggantungkan plastik berisi es podeng yang tadi dia beli di depan pasar Tebet Timur, lalu berbalik dan melangkah menuju mobilnya.

Bunyi berisik terdengar, seperti sangkutan pagar yang dibuka terburu-buru. Kemudian disusul oleh suara Gael yang terdengar begitu pelan dan pasrah. “Jangan pulang...”

Aidan terenyum kecil, sebelum akhirnya membalikkan tubuhnya lagi. Dia lihat, Gael, pria itu sedang berdiri di depan pintu gerbang yang terbuka, dengan piyama berwarna biru sambil menunduk. Menghindari tatapan Aidan, entah karena masih marah atau terlalu malu untuk beradu tatap.

Berjalan beriringan, Aidan mengikuti langkah Gael menuju teras depan rumahnya. Pria itu memberi isyarat pada Aidan untuk duduk di kursi kayu lainnya—bukan yang tadi dia duduki sebelum Aidan datang.

“Sebentar, El mau minta tolong bibi buatin minum. Kopi, teh atau air putih?” tanya Gael.

“Apa aja, soalnya tujuan Ai ke sini bukan mau numpang minum, tapi mau ngobrol sama El.”

Jawaban setengah gurauan Aidan sukses menghasilkan pelototan dari Gael, membuat dirinya tertawa meringis dan menggaruk tengkuk lehernya.

Tak lama menunggu, Aidan bahkan belum sempat merangkai kalimat pembuka untuk obrolannya dengan Gael nanti, Gael sudah kembali. Membawa secangkir kopi hitam dengan asap yang masih mengepul tebal. Kemudian, cangkir itu di letakkan pada meja kecil antara kursi Aidan dan Gael.

Dagunya menunjuk ke arah cangkir di meja, menyuruh Aidan untuk meminum terlebih dahulu. Dan, tentu saja, bibit budak cinta dalam diri Aidan bergejolak hebat dan menuruti perintah tanpa kata dari Gael. Cangkirnya diangkat, mendekatkan ke arah bibirnya, lalu menyesapnya begitu saja. Kaget dengan sensasi panas yang menjalar di area bibir dan lidahnya, Aidan meringis. Membuat Gael berdiri dari kursi, membungkuk di depan Aidan dan memeriksa wajah pria itu.

“Astaga, Ai, kenapa ga ditiup dulu? Itu kan masih panas banget.” Gael mengomel. Kakinya keburu melangkah masuk ke dalam rumahnya lagi, dan kembali dengan secangkir air mineral dingin di tangannya.

Aidan diam, memilih untuk memperhatikan Gael dalam sunyi. Rentetan kalimat penuh omelan dari Gael bagai angin yang masuk dari telinga kiri dan keluar di telinga kanannya. Alias, dirinya tidak dapat menangkap satu kata pun.

Bibirnya yang tadi terasa perih karena panas, kini melengkung, membentuk sebuah senyuman kecil. Wajah khawatir Gael, bahkan di saat seperti ini pria itu nampak begitu indah. Aidan pernah melihat wajah yang mirip dengan milik Gael, persis, Aidan mengingatnya dengan jelas. Kepingan memori dari potongan mimpinya menyatu, bagai sebuah puzzle yang berhasil dia satukan. Bayang-bayang itu menjadi jelas. Orang itu bukan hanya mirip, melainkan, dia adalah Gael. Aidan yakin sekali.

Bahkan, jauh sebelum pertemuan mereka di stasiun kereta waktu itu, Gael sudah ada di dalam pikirannya. Ada sebuah misteri yang masih belum terpecahkan, tentang dirinya dan Gael. Namun, Aidan yakin kalau pertemuannya dan Gael bukanlah sebuah kebetulan, melainkan takdir. Ada perasaan familier tentang Gael, perasaan senang dan sedih yang menyatu, membuatnya menjadi begitu kompleks dan rumit untuk dijelaskan.

Aidan senang setiap kali berada dekat dengan pria itu, dan dia takut di saat Gael jauh dari penglihatannya.

Tenggelam dan hanyut akan pertanyaan dan jawaban dengan diri sendiri, Aidan langsung disambut dengan wajah sebal Gael saat dirinya tersadar. “Mikirin apa sih? Si pete pete itu, hm?”

Alisnya mengerut. Kenapa tiba-tiba Gael membahas Pete?

“Kok tiba-tiba nanya gitu?” tanya Aidan, kebingungan.

“Ya gapapa, kan kamu kemarin mimpiin dia.”

Aidan berusaha dengan kuat untuk menahan senyumnya di saat mendengar kata kamu meluncur dari mulut Gael.

“Jadi, ini alesan El diemin Ai?”

Gael langsung buru-buru menggeleng. “Engga tuh.”

“Gemes.” kata Aidan, sambil tersenyum lebar, tanpe berniat untuk menahannya lagi.

Sementara, Gael sibuk mengalihkan wajahnya. Menyembunyikan ekspresi salah tingkah dan malu dari Aidan. Siapa sih yang ingin ketahuan saat dirinya sedang cemburu? Apalagi, Gael cukup tahu diri untuk mengingat status mereka yang tidak jelas.

Diraih tangan Gael yang mulai dingin karena keringat, membuat orang yang bersangkutan langsung menoleh ke arah Aidan. Wajahnya seakan tergambar oleh seribu tanda tanya karena tindakan Aidan tersebut.

“Lain kali kalau ada hal yang ganggu El, tolong langsung bilang aja ke Ai. Ai engga akan ngerti kalau El diem aja, Ai juga jadinya bingung harus gimana, kan Ai enggga bisa baca pikirannya El,” kata Aidan, sambil mengelus lembut punggung tangan Gael. “El engga perlu khawatir juga sama mimpi Ai, karena orang yang di mimpi Ai tuh Gael. Engga ada lagi orang di dunia ini yang mukanya kayak gitu. Yang bisa buat Ai degdegan, Ai uring-uringan dan campur aduk perasaannya, ga ada selain El.”

Gael membatin, merutuki perkataan Aidan yang berhasil mencairkan batu es di dalam hatinya. Lumer sudah, perasaan, hatinya, semuanya mencair karena Aidan, dan kalimatnya barusan.

“El baca balesannya Gavin di tweet Nabil kemarin, ada nama dia disebut. Kepikiran banget awal ketemu Ai karena apa, ya karena Ai mikir El itu dia. Jadi, ya gitu, sebel, sebel banget dan takut. Takut kalau El cuma bayang-bayangnya dia aja buat Ai.” ucap Gael, tidak peduli kalau perkataannya begitu panjang. Yang terpenting, dirinya sudah merasa lebih lega sekarang.

Aidan tersenyum, ada perasaan bahagia yang membuncah di dalam dadanya. Seakan baru saja mendengar pengumuman dirinya menang di kejuaraan karate, atau diberi hadiah seperangkat PC gaming, padahal itu hanyalah unek-unek dari isi hati Gael. Rasa tidak suka Gael pada sosok yang begitu mirip dengan dirinya, orang lain yang berhasil masuk ke dalam mimpi Aidan, entah mengapa hal itu membuat Aidan bahagia.

Dia berdiri, berjalan mendekat ke arah Gael, menarik tangan pria itu dengan lembut hingga mereka berdiri berhadapan dengan jarak yang begitu tipis. Tanpa aba-aba, tanpa sepatah kata, tanpa membiarkan Gael bereaksi dengan tindakannya, Aidan menarik tubuh Gael ke dalam pelukannya. Mendekap tubuhnya erat, seakan dirinya begitu haus, seakan dirinya sudah menantikan hal ini beribu-ribu purnama. Aidan mendekapnya dengan erat, namun terasa lembut dan hangat di saat yang bersamaan.

“Jangan kayak gitu lagi, ya? Ai takut kalau kehilangan El lagi.

Bagai tubuhnya kaku, Gael merasa begitu sulit memproses tindakan dan perkataan Aidan. Dirinya tidak mampu berpikir, apalagi memberi respons. Butuh beberapa detik, diam di posisi itu dan membalas pelukan Aidan. Gael masih belum bisa menyahut, dirinya hanya menganggukan kepala sebagai ganti. Seakan itulah hal yang memang seharusnya dia lakukan. Seakan dirinya pernah menjanjikan sesuatu yang besar pada Aidan, meski dirinya sendiri tidak ingat apa itu.

Tidak, Gael tidak akan menyakiti Aidan, Gael tidak akan membiarkan Aidan kehilangan dirinya lagi.

. . .

. . .

Lonceng kecil yang menggantung pada pintu masuk kafe berbunyi, sebuah tanda bahwa seorang pelanggan baru saja membuka pintu kayu di depan sana.

Jungkook, yang sedari pagi sudah semangat berdiri di depan konter kasir pun langsung menoleh secepat kilat. Mendapatkan sosok Taehyung yang berdiri di depan pintu. Nampak indah seperti biasanya, apalagi hari ini dirinya dibalut dengan sweater berwarna putih gading. Tangannya kanannya menenteng tas laptop, sedangkan tangan kirinya tersampir sebuah mantel berwarna abu-abu.

Jungkook tersenyum, menanti Taehyung yang sedang melangkah mendekat ke arahnya.

Good morning, iced caramel machiato?” tanya Jungkook, begitu Taehyung sudah berdiri di depan konter kasir.

Taehyung melirik sebuah tanda nama yang menempel pada baju sang barista, dia JK. Ah, begitu mudah mengenalinya dengan sebuah tanda nama itu, Taehyung harus bersyukur.

Kepalanya mengangguk kecil, menjawab pertanyaan dari Jungkook tadi. Bibirnya tidak berhenti tersenyum, sembari menunggu Jungkook menyiapkan bill pada pesanannya.

Taehyung tetap berdiri di sana, meskipun pembayaran untuk pesanannya sudah selesai. Dia berdiri sambil memperhatikan Jungkook yang sedang meracik kopi untuknya. Memperhatikan tangan pria itu yang sedang menuangkan saus karamel ke dalam gelas plastik. Alis Taehyung mengerut, seperti pernah melihat tato itu sebelumnya. Tapi di mana?

Taehyung baru menyadarinya hari ini, padahal sudah beberapa kali sejak Taehyung menyadari eksistensi si barista manis di kafe seberang apartemennya. Mungkin juga terasa familier karena Taehyung sudah sering melihatnya. Hanya saja dirinya tidak pernah benar-benar memberi perhatian lebih ke arah tangan si barista.

Mencuri-curi pandang ke arah Taehyung yang sedang berdiri dan memperhatikannya saat ini. Jungkook pun memberanikan diri untuk membuka obrolan. “Hari ini kelasnya ga terlalu pagi ya?”

Padahal berani sumpah kalau Jungkook sudah hafal jadwal Taehyung berangkat ke kampus, tanpa perlu Taehyung memberi tahunya. Memang, Jeon Jungkook ini sudah semacam penguntit gila. Dia sering melamun, memandang jalanan dan pintu masuk gedung apartemen di seberang kafe milik kakaknya, hanya untuk menunggu seorang Kim Taehyung mampir atau sekadar lewat saja.

Kebingungan dengan topik yang baru saja ditanyakan, rasanya aneh sekali kalau si barista tiba-tiba menanyakan jadwal kelasnya di kampus. “Maaf? Jadwal kelas saya?”

Jungkook mengernyit, alisnya menyatu. Kegiatan meracik caramel machiatonya berhenti sebentar, karena pertanyaan yang begitu mengejutkan dari Taehyung. Barusan itu Taehyung menggunakan bahasa formal kepadanya, seakan Jungkook ini adalah orang asing.

Sorry, tapi kenapa kamu pakai bahasa formal ke aku?”

Loh, sebentar, Taehyung semakin bingung. Memangnya, Taehyung harus membuang formalitas di antara mereka? Rasanya tidak mungkin, meskipun si barista sudah sering memberikannya pesan manis, tetap saja mereka adalah dua orang asing untuk satu sama lain.

“Karena... ya, memang harusnya begitu bukan?”

“Kamu engga ngenalin aku?”

Taehyung diam sebentar. Matanya bolak-balik melihat ke arah nametag dan wajah si barista. Memperhatikan postur tubuh, gaya rambut dan pakaian pria itu. Tidak, Taehyung yakin kalau pria ini adalah si barista yang biasanya.

“Eoh, kakak barista? Kak JK, yang sering beri pesan manis kan?” jawab Taehyung, begitu pelan dan ragu. Dalam hati dirinya takut sekali, takut kalau ternyata dia salah orang.

Tidak ada jawaban dari Jungkook, karena pria itu hanya bisa mematung. Ekspresinya begitu acak, siapa pun yang melihatnya saat ini tidak akan bisa menebak apa yang ada di pikiran pria itu.

“Maaf, saya salah ya?” Taehyung kembali bertanya.

Jungkook langsung buru-buru menggeleng, lalu tersenyum dan tertawa canggung. Dirinya tidak akan tahu kalau ekspresi bingung dan senyuman paksanya itu tidak akan bisa dilihat oleh Taehyung. “Bener kok. Iya, aku JK, yang selalu ngasih surat penyemangat hari buat kamu.”

Taehyung membuang napasnya lega. Kemudian, dirinya bisa kembali tersenyum lebar. Beberapa menit lalu rasanya begitu sesak dan menakutkan.

Keduanya terdiam. Jungkook fokus melanjutkan pekerjaannya, menyampingkan rasa bingung dan penasarannya akan ucapan Taehyung. Sedangkan Taehyung, pria itu benar-benar clueless dengan apa yang terjadi. Merasa semuanya begitu normal, tanpa memusingkan detail kecil yang terlewatkan; tato di tangan barista dan suara lembutnya.

Mata Jungkook terus memperhatikan gerak-gerik Taehyung, mencoba mencari tahu kejanggalan yang terjadi. Namun, yang dia dapatkan hanyalah wajah ceria Taehyung dengan senyuman mengembang yang tak pudar. Langkahnya ringan, bahkan saat mengucapkan terima kasih dan berjalan keluar dari kafe. Meninggalkan Jungkook dengan seribu tanda tanya besar di dalam kepalanya.

JK? ya, secara teknis memang namanya JK, Jungkook. Tapi, mengapa rasanya seperti Taehyung berpikir kalau Jungkook dan JK adalah dua orang yang berbeda?

Sebenarnya ada apa?

Apa Taehyung tidak mengingatnya lagi? Jelas-jelas kemarin mereka menghabiskan banyak waktu bersama.

. . .

Warning: menyebutkan tentang kecemasan dan ketakutan

He's too sad to cry, so he smiled.

Tidak ada yang dia lakukan: Taehyung hanya diam di tempat, berdiri sambil menatap cemas ke layar ponselnya. Menanti jawaban dari pertanyaannya pada Nayeon, yang mana belum mendapat balasan meski sudah lima menit berlalu.

Dia bingung, dia takut, dia khawatir. Nayeon berkata, pukul sebelas dirinya akan ada jadwal kelas. Artinya, batas waktu mengumpulkan tugas kian menipis. Taehyung tidak bisa diam di sini, sementara detik waktu terus berputar. Namun, dirinya pun tidak mampu mengambil satu langkah. Ada begitu banyak orang di lounge fakultasnya, dan Taehyung tidak akan tahu barang satu pun dari mereka.

Lounge Fakultas Ilmu Budaya di kampus Taehyung berbentuk melebar. Di sisi terdepan—dekat lobby—tersedia berbagai macam vending machine, mempermudah mahasiswa yang terlalu malas pergi ke kafetaria kampus, atau tidak memiliki jeda waktu yang terlalu banyak. Ada banyak meja dan kursi tersebar di hampir setengah ruangan, beberapanya berjejer di bawah jendela kaca besar.

Mata Taehyung langsung menangkap eksistensi tiga mahasiswa di bagian pojok lounge, kemungkinan besar itu adalah Nayeon, Sana dan Mina. Akan sangat mudah untuk menghampiri ketiga mahasiswi itu, menyapa dengan senyuman dan langsung mengumpulkan tugasnya tanpa basa-basi. Ya, akan sangat mudah bila orang itu bukanlah Taehyung.

Dia merasa begitu kecil berapa di ruangan itu, berasa begitu sesak dan ketakutan. Semua wajah yang dia lihat nampak buram, membuat dirinya semakin panik. Kakinya mulai bergetar, tangannya meremat tali tas yang menyelempang tubuhnya.

Bagaimana ini?

Haruskah Taehyung cuek saja dan menghampiri mereka?

Sayangnya, Taehyung tidak memiliki banyak keberanian untuk melakukannya. Dia hanya dapat membeku, wajahnya nampak kebingungan dan ketakutan. Bahkan, untuk berharap orang lain tidak memperhatikan dirinya yang hanya diam di tempat sedari tadi saja Taehyung tidak mampu. Dia tidak tahu apakah orang-orang kini sedang memperhatikannya atau tidak. Apakah seluruh manusia di ruangan itu sedang melayangkan pandangan aneh padanya atau tidak. Demi Tuhan, Taehyung tidak tahu.

Kakinya kian melemas. Jika terus-terusan membiarkan rasa panik dan takut menguasai dirinya, mungkin dalam beberapa saat Taehyung akan ambruk di tempat. Kemungkinan terbesar, tangisannya akan pecah. Sebuah kejadian yang terasa begitu familier, karena Taehyung sudah pernah melalui kejadian seperti ini sebelumnya.

Kenapa Nayeon belum juga membalas?

Dalam hati, Taehyung berdoa, dia meminta agar dirinya dapat keluar dari situasi yang dia benci ini. Tolong, Taehyung meminta tolong kepada siapa pun.

Tanpa dia sadari, ada orang lain yang sejak tadi memperhatikannya dalam diam. Merekam tiap gerakan kecil yang Taehyung lakukan; kakinya mulai bergerar, tangannya yang meremat tali tas, wajah gugup yang nampak begitu jelas. Sebuah tindakan yang menandakan kalau orang itu sedang cemas luar biasa.

Dia, Jeon Jungkook, berdiri di pojokan pintu masuk lounge. Menatap Taehyung dengan bingung, namun begitu ragu untuk menghampirinya. Dia tengok jam yang melingkar di tangan kiri, waktu menunjukkan pukul 10.55. Kalau terus-terusan mengikuti kegiatan Taehyung, diam di tempat sampai entah kapan, mungkin mereka berdua akan terlambat mengumpulkan tugas multikulturalisme.

Mengambil napas panjang, ya mau tidak mau dia harus bergerak. Pada akhirnya, Jungkook melangkah mendekati Taehyung. Langkahnya berhenti tepat di sebelah kanan Taehyung, mungkin mereka hanya berjarak satu langkah kecil kaki Jungkook.

“Kim Taehyung, udah ngumpulin tugas ke Nayeon?”

Yang dipanggil nampak kaget. Kepalanya menoleh ke arah Jungkook, lalu mengerjapkan mata beberapa kali. Besar harapan Taehyung akan keajaiban, bahwa dengan mengerjapkan mata dia dapat mengetahui sosok siapa yang berada di sampingnya itu. Namun, jawabannya tentu saja tidak berpengaruh apa-apa. Wajah orang itu tetap kabur, Taehyung tetap tidak tahu siapakah orang itu.

Ada sebuah rasa takut dan bingung, Jungkook menangkap itu semua di mata Taehyung. Pikirnya, mungkin Taehyung sedang tidak dalam keadaan yang baik, atau dirinya tidak mengenali Jungkook lagi. “Ini Jeon Jungkook, yang suka duduk di sebelah kamu di kelas Multikulturalisme.” jelas Jungkook akhirnya.

“A-ah... sorry.”

Taehyung ingin menjawab sesuatu, merasa tidak enak karena Jungkook harus menjelaskan hal tersebut kepadanya. Padahal, Taehyung tahu siapa itu Jeon Jungkook. Si pria lucu berkacamata yang sering kali mengajaknya mengobrol, atau sesekali melontarkan gurauan konyol di kelas. Taehyung ingat namanya Jeon Jungkook, Taehyung ingat suara pelannya ketika pria itu berbisik agar tidak ketahuan pak Alex, Taehyung ingat kacamatanya.

“Udah kumpulin tugas atau belum?” Jungkook bertanya lagi.

Taehyung menjawab dengan sebuah gelengan. Ekspresi sedihnya kembali menghiasi wajah yang indah itu. Sialnya, Jungkook bahkan tidak melakukan kesalahan apa pun, namun langsung merasa begitu bersalah begitu melihat ekspresi sedih Taehyung.

“Mau bareng engga? Kebetulan mau ngumpulin juga nih, hehehe. Btw, itu Nayeon kayaknya udah siap-siap mau pergi.”

Dan mulut Taehyung masih terkunci rapat. Dirinya hanya dapat mengangguk lesu. Kakinya masih lemas, jantungnya masih berdetak dengan cepat, sisa-sisa ketakutan dan kecemasan yang tadi masih terasa.

Jungkook tersenyum, lalu mengajak Taehyung untuk berjalan ke arah Nayeon dan kedua teman perempuannya. Langkah kecilnya mengekor di balik tubuh Jungkook, membiarkan pria itu menuntunnya yang masih begitu linglung. Syukurnya, keduanya berhasil mengumpulkan tugas, tepat sebelum Nayeon pergi meninggalkan lounge fakultas mereka.

. . .

Sudah hampir sepuluh menit dan Taehyung masih bungkam. Anak itu terlihat begitu hanyut dengan pikiran di dalam kepalanya sendiri. Jungkook jadi bingung harus melakukan apa sekarang. Mulutnya sibuk mengunyah sosis sapi instan yang dia beli di toserba kampus. Beberapa kali matanya mencuri pandang ke arah Taehyung, menanti kalau pria itu mungkin akan mengatakan sesuatu pada akhirnya.

Tidak tahan lagi dengan kebisuan, Jungkook pun akhirnya membuka suara. “Taehyung, kok diem aja sih? Aku ada salah ya? Kaget ya tadi karena tiba-tiba ada aku? Muka kamu murung banget, nanti disangka orang aku ngapa-ngapain kamu.”

Taehyung mengangkat wajahnya, beralih memandang ke arah Jungkook. Wajahnya masih terlihat sendu, bahkan ada jejak genangan air mata di sana. Dalam hati, dalam pikirannya, Taehyung sibuk memikirkan kemungkinan yang terjadi kalau saja tadi Jungkook tidak datang.

Menarik napasnya dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Mencoba menemukan perasaan tenang yang lebih dalam lagi, agar dirinya bisa bersikap normal. Saat rasa berat di dadanya sudah mulai meringan, Taehyung langsung buru-buru menggelengkan kepala. Bibirnya melengkunkan senyuman, meski mata itu tidak bisa bohong. Senyumannya palsu, namun Taehyung berusaha melakukannya dengan tulus.

“Engga kok, aku tadi engga dalam kondisi yang baik aja. Untung kamu datang, hehehe.” jawab Taehyung.

“Kamu inget aku?” tanya Jungkook tiba-tiba.

Taehyung diam sebentar, berusaha mencerna pertanyaan Jungkook tersebut. Ah, pasti karena kejadian tadi. Pasti Jungkook mengira Taehyung tidak mengenal teman sekelasnya sendiri, ya, begitu yang Taehyung kira.

“Hah? Inget kok, kamu Jeon Jungkook yang sering duduk di sebelahku kan di kelas multikultural? Hehehe, maaf, penglihatanku agak buruk makanya tadi ga ngenalin kamu.” jawab Taehyung, anak itu tidak sepenuhnya berbohong. Secara teknis, penglihatannya memang buruk.

Padahal bukan itu maksud dari pertanyaan Jungkook. Jungkook menanyakan perihal kejadian di kafe kemarin. Apa Taehyung tidak sadar kalau mereka tidak hanya bertemu di kelas saja?

Jungkook ingin bertanya lebih lanjut. Ingin bertanya, kenapa Taehyung terdiam kebingungan di lounge tadi. Ingin bertanya kenapa dia tidak mengenalinya saat di kafe. Ingin bertanya kenapa matanya terlihat begitu sedih meskipun bibirnya tersenyum.

Alih-alih menanyakan semua itu, Jungkook malah mengatakan hal lain. “Kapan-kapan, mau aku traktir caramel machiato di kafe kakakku?”

Mata Taehyung langsung berbinar, begitu telinganya mendengar minuman kesukaannya disebutkan Jungkook. Kepalanya mengangguk semangat, dengan itu jawaban Taehyung adalah iya.

Jungkook tersenyum. Hatinya menghangat saat melihat senyuman lucu Taehyung mengembang, matanya menyipit dan kepalanya mengangguk berkali-kali.

“Sip kalau gitu. Omong-omong, aku ada kelas di gedung B nih. Nanti aku chat kamu ya?” kata Jungkook. Sebenarnya, dia sedang panik setengah mati saat ini. Namun berusaha untuk tetap stay cool di hadapan Taehyung. Kelas theory of literature akan dimulai dalam 5 menit, alamat Jungkook harus berlari secepat angin menuju gedung B setelah ini.

Taehyung tersenyum kecil, kemudian mengangguk. “Okay, Jungkook. Makasih ya udah ditemenin.”

Jungkook membalas senyuman Taehyung, melambai-lambaikan tangan sebelum membalik badan dan lari sekencang mungkin. Rasa sedih yang tadi menyelimuti hati langsung luntur. Taehyung kini tersenyum, sambil memandang punggung Jungkook yang kian menjauh.

. . .

. . .

Entah ketiban sial apa dia hari ini, yang jelas, Taehyung tidak mau membayangkan hari minggunya dihabiskan tanpa adanya listrik yang mengalir di unit apartemennya. Sial benar, mati listrik di gedung apartemennya sudah berlangsung sejak pagi. Lebih tepatnya, dua lantai pada gedung apartemennya terpaksa dimatikan aliran listriknya, karena terjadi gangguan.

Demi Tuhan, ini hari minggu dan besok adalah hari senin; yang mana ada kelas mata kuliah critical reading. Taehyung meringis, mengingat tugasnya untuk esok hari masih belum rampung dia kerjakan. Bisa-bisa, Mr. Carter—dosen mata kuliah critical reading—tidak segan memberinya nilai E untuk semester ini.

Mengapit beberapa buah buku dan tumpukan kertas jurnal pada tangan kanan, sedangkan menggendong tas laptopnya pada tangan kiri. Taehyung berhati-hati, dengan susah payah tangannya mendorong pintu kafe. Gema suara lembut dari Billie Eilish pada lagu ocean eyes memenuhi ruangan, Taehyung hafal lagu ini. Jimin sering memutarnya ketika berada di mobil pria itu, hingga Taehyung bosan mendengarnya.

Kepalanya menoleh, matanya menelusuri tiap sudut kafe yang sepi akan pembeli. Huaa, syukurlah. Sudut bibirnya terangkat, sebuah perasaan lega terpancar. Untungnya, suasana kafe minggu itu cukup tenang dan tidak bising. Kalau begini, Taehyung tidak keberatan berada berjam-jam di kafe untuk mengerjakan tugas. Menaruh segala barangnya ke atas meja di sisi pojok kanan kafe, dekat dengan lukisan akrilik karya dari Joongwon Jeong. Barang-barangnya dia rapihkan sebentar, lalu, dia ambil ponsel pintarnya dan berjalan ke arah konter kasir.

Di sana berdiri seorang pria, Taehyung yakin begitu. Rambutnya ditata dengan baik, namun si pria tidak memakai seragam ataupun tanda nama dari kafe itu. Dalam hatinya, ada secuil rasa kecewa saat mengetahui fakta tersebut. Padahal, Taehyung ingin sekalian bertemu dengan barista manis itu. Si pria bernama JK yang selalu menyelipkan pesan manis pada caramel macchiato-nya. Taehyung pikir, harinya akan sedikit membaik kalau bertemu dengan JK. Hatinya akan menghangat dan perasaan buruknya akan luntur, karena membaca untaian kata manis lainnya dari JK.

Sayangnya, Taehyung harus mengubur dalam-dalam harapan itu untuk hari ini.

Kepala Taehyung menunduk, seakan membaca menu di hadapannya, padahal dirinya hanya sedang menutupi rasa kecewa. Hening beberapa saat, pria di balik konter kasir pun membatu di tempat. dia, Jungkook, si pria yang sedang sibuk mengatur debaran jantungnya yang sedang berdetak tidak keruan. Tangannya langsung keringat dingin, belum sempat mengantisipasi pertemuannya dengan Taehyung secepat ini. Padahal, beberapa menit yang lalu dirinya baru saja bersumpah serapah, demi jenggot Merlin dan saus tartar di Spongebob, Jungkook kesal karena dibohongi oleh kak Seokjin. Lalu, tiba-tiba saja Taehyung datang. Seakan sumpah-serapahnya adalah sebuah panggilan yang mendatangkan pria yang disukainya itu.

“Hei…?” sapa Jungkook, memecah keheningan aneh di sana.

Dalam hati, pria di bayangan Jungkook sedang memberi semangat pada dirinya untuk membuka obrolan pada Taehyung. Seperti, coba tanya tentang ramalan cuaca. Atau, tanya menu sarapannya paginya hari ini. Hm, mungkin juga bisa langsung to the point bertanya apakah Taehyung benar-benar tidak mengenalnya?

Caramel Machiato with less ice, right?” alih-alih, kalimat itulah yang meluncur dengan bebas dari mulut Jungkook.

Persetan dengan nyalinya yang ciut, Jungkook tidak bisa bertanya apa pun saat ini. Bahkan, berdiri di depan Taehyung saja dirinya membutuhkan banyak tenaga dan keberanian.

“Ah? OH, ASTAGA.” butuh beberapa detik bagi Taehyung untuk mengenali suara itu. Merasa bodoh dengan dirinya sendiri, ternyata pria yang dia cari ada di hadapannya sedari tadi.

Bagaimana wajah Taehyung di mata si barista?

Apa penampilannya baik-baik saja?

Apakah dirinya nampak seperti orang aneh?

Ternyata, barista yang dia cari ada di sana. Dengan pakaian dan gaya rambut, ditambah, tanda nama yang tidak terpasang bajunya. Alih-alih kemeja pegawai, pria itu kini memakai setelah serba hitam dari ujung kaki hingga kepala. Celana jeans hitam, sepatu boots walker, leather jacket yang tampak begitu pas di badannya yang bidang. Sial, Taehyung hampir pangling dengan penampilan si barista manis itu.

Salah tingkah, Taehyung buru-buru membenarkan pesanannya yang disebutkan sang barista. Tersenyum kikuk, lalu kabur ke mejanya setelah selesai membayar.

Tuhan, entah sudah berapa kali nama-Nya dipanggil oleh Taehyung hari ini. Tapi, please, Taehyung malu sekali. Rasanya, dirinya ingin melebur oleh rasa malu di tempat.

Tiga menit berlalu, sejak kejadian yang Taehyung anggap memalukan di depan konter kasir terjadi. Tubuhnya memunggungi posisi si barista, alias, Taehyung lebih memilih menghadap ke arah luar kafe. Memandangi jalanan kecil yang membelah, di antara kafe ini dengan pintu masuk apartemen kecilnya. Laptop masih anteng di dalam tasnya, buku dan lembaran kertas jurnal masih nyaman berada di sisi lain dari meja. Seakan lupa apa tujuan awalnya kemari, Taehyung justru sibuk menggerutu dalam hati dan membuang rasa malu.

Alat pemberitahuan berbentuk bulat bergetar, sebuah pertanda kalau pesanannya sudah siap untuk diambil. Taehyung menarik napasnya dalam-dalam, membuangnya pelan, lalu beranjak dari kursi yang dia duduki. Tubuhnya kembali mundur, jantungnya hampir melompat keluar dari dalam dadanya, matanya melihat kalau si barista sedang berjalan ke arahnya. Tangannya nampan berisikan pesanan Taehyung, membuat yang bersangkutan terpaksa duduk kembali ke kursinya.

Iced caramel machiato untuk Kim Taehyung,” katanya, sambil meletakkan gelas berisikan minuman kesukaan Taehyung ke atas meja. “Oh iya, hari ini ada spesial menu lemon cheesetart, fresh from the oven banget.”

“Ah, iya, terima kasih kak. Nanti aku pesan sesuatu lagi ya, atau aku cobain menu spesialnya.”

Merasa perkataannya tidak diberi respon yang baik sama sekali; Taehyung hanya menatapnya dengan penuh kebingungan, terlebih dengan panggilan kak yang diberikan olehnya tadi, JK hanya dapat tertawa canggung. Kemudian dia memberikan senyuman kecil, lalu pamit untuk kembali lagi ke tempatnya. Sepanjang perjalanannya kembali ke konter jaga, Jungkook dibuat tenggelam akan kebingungan, akisnya mengerut dan bola matanya berputar berkali-kali, nampak sangat keras otaknya bekerja untuk memikirkan suatu hal. . . .