A Thousand Times – 219.
. . .
Deja vu, kata yang sudah cukup familier untuk banyak orang, termasuk Gael. Ya, biasanya, digunakan untuk mengekspresikan sebuah perasaan tidak asing yang tiba-tiba dialami oleh seseorang.
Gael pernah mendengarkan bang Gio bercerita, tentang seorang filosofis dan parapsychologist asal perancis, bernama Emile Boirac. Beliau adalah sosok yang mencetuskan istilah deja vu pada tahun 1876, yang berarti “pernah merasa”, atau “pernah melihat”. Saat itu, sang kakak dengan semangat menjelaskan istilah tersebut kepada Bunda, di tengah-tengah acara makan malam keluarga.
Terkadang, fenomena ini sering kali disangkut pautkan dengan hal mistis. Sedangkan, dari sisi ilmu dan medis, biasanya disangkut pautkan dengan kerja otak manusia. Namun, Gael tidak pernah benar-benar mendalami makna dari kata tersebut. Tidak juga berminat untuk mencari tahu lebih dalam. Karena, dirinya memang tidak menganggap serius hal itu.
Ya, biasanya memang begitu. Tapi, tidak untuk malam ini. Di mana dirinya kembali dihadapkan dengan situasi aneh; berada di tempat asing yang terasa begitu familier. Semuanya terasa begitu akrab untuknya. Atap gedung sebagai latar, pria berambut pirang yang sedang bersandar pada pembatas, dan perasaan aneh yang membuat dadanya bergetar.
Ada berbagai macam perasaan yang bercampur aduk, ada berbagai macam rasa yang sulit untuk dia jelaskan. Semuanya seakan berkecamuk, mungkin sebentar lagi meluap dan Gael tidak menaruh ekspektasi apa pun untuk respons dirinya.
Rasanya hangat, rasanya sedih, rasanya kecewa, yang mungkin lebih banyak didominasi oleh perasaan kurang mengenakan.
Dirinya berusaha mencari jawaban, namun tidak dapat menemukan apa pun.
Yang dia temukan hanyalah sosok lain dirinya, yang sedang melangkah menghampiri si pria berambut pria. Pria dengan paras yang sangat mirip dengan Aidan, yang sedari tadi berdiri bersandar pada tembok pembatas di atap.
Mereka berbincang, bersisian sembari menatap pemandangan dari atas gedung itu. Basa-basi tentang cuaca, tentang bagaimana mereka akan merindukan suasana dan tempat itu. Dan entah mengapa Gael dapat paham dengan jelas seluruh isi pembicaraan mereka.
Saat itu Gael mulai berpikir, bahwa seperti inilah deja vu yang dijelaskan oleh bang Gio.
Kedua sosok di hadapannya, latar tempat, suasana, obrolan mereka, semuanya terasa begitu akrab di telinga dan matanya. Gael serasa sedang menonton cuplikan film, yang kini terputar di dalam kepalanya. Sebuah adegan yang sudah dia tonton berjuta-juta kali, namun tetap menimbulkan efek yang sama pada dirinya.
Dadanya nyeri, rasanya sakit sekali.
Saat kedua orang itu berpelukan, saat pria berambut pirang mendekap tubuh sosok yang sangat mirip dengan dirinya.
Kalau kita ketemu di kehidupan selanjutnya, jangan pilih orang lain lagi ya?
Rasa nyeri itu, seakan-akan ada yang menggores dadanya. Perasaan buruk itu datang, menyerang Gael yang masih tidak mengerti tentang apa yang sebenarnya terjadi. Cerminan dirinya sedang menahan sakit dan tangis, seakan-akan Gael turut merasakan hal tersebut.
Air matanya pecah, baik pria di dalam pelukan itu, maupun Gael. Keduanya menangis penuh luka.
Si pria yang mirip dengan Aidan membantu sosok lain dirinya yang sedang menghapus jejak air mata. Ada sedikit tawa, tawa palsu sekadar pencair suasana.
Janji dulu, Kimtae. Jawab pertanyaan gua itu.
Untuk sesaat, kedua orang itu diam. Mereka hanya saling menatap bola mata satu sama lain. Tidak ada kata di sana. Namun, Gael paham, Gael mengerti, kalau mata keduanya berbicara lebih dalam ketimbang kata mana pun yang dapat terucap oleh mulut.
Ada sebuah janji di sana. Ada sebuah ketulusan di sana.
Ditutup dengan senyuman lega oleh si rambut pirang. Dan berakhir oleh air mata yang tidak dapat berhenti menetes, membanjiri pipinya tanpa ampun.
Gael hanya dapat berjongkok. Menangis sejadi-jadinya di tempat, sambil memegangi dadanya yang masih terasa sakit.
Dia berteriak dalam hati.
Dan tidak lama, matanya terbuka. Gael terbangun dari mimpi menyakitkan itu. Napasnya memburu, tidak stabil. Wajahnya banjir oleh keringat dan air mata yang menyatu menjadi satu.
Setelah itu Gael menangis sejadi-jadinya di atas kasur. Memeluk dirinya, meringkuk di dalam selimut. Dan entah mengapa dalam hati dirinya terus menerus memanggil nama Aidan.
Aidan, yang saat itu juga sedang menghubunginya melalui panggilan telepon. . . .