A Thousand Times – 231.

. . .

Setelah makan malam sederhana dan singkat di rumah Aidan, Gael disuruh pergi terlebih dahulu ke kamar pria itu. Sementara Aidan membereskan beberapa hal di dapur. Kedua orangtua-nya sudah masuk ke dalam kamar, sedangkan ART di rumahnya tidak pernah menginap. Jadi, kalau sudah malam begini dirinya terbiasa membersihkan sisa makannya sendiri.

Gael menolak dengan keras, tentu saja. Dirinya malah merasa tidak enak kalau meninggalkan Aidan membersihkan piring kotor mereka sendirian. Maka dari itu, mereka berdua berakhir di depan sink dapur. Aidan bertugas untuk membersihkan dengan sabun, dan Gael dapat kebagian membilasnya.

Mereka tertawa beberapa kali, entah apa yang ditertawai. Cara Gael yang membilasnya dengan kaku, atau kegiatan mereka saat ini secara keseluruhan. Menggelikan, ya? Namun terasa menyenangkan dan lucu untuk dibayangkan kembali nantinya. Mungkin mereka berdua akan sering memutar ulang adegan ini ketika bosan.

Setelah selesai dengan acara mencuci piring bersama itu, Aidan menyerahkan lap bersih kepada Gael. Kemudian membantu Gael untuk mengeringkan tangannya, membuat pria itu senyum malu sambil menunduk, melihat cara Aidan bertindak saat ini. Gael pura-pura batuk kecil, kemudian berkata, “Ai, emangnya El engga bisa ngeringin tangan sendiri?”

Tawa Aidan yang renyah menyambut pertanyaan pura-pura dari Gael itu. Bagaimana tidak ditertawakan, kalau yang dilakukan Gael hanyalah diam sambil senyum-senyum saat Aidan melakukannya tadi.

“Oh iya? Tapi kayaknya El juga menikmati aja tadi, soalnya diem aja.” jawab Aidan, semakin gencar meledek Gael yang kini wajahnya sudah merah padam akibat rasa malu. Kemudian, satu tonjokan ringan melambung ke arah lengan Aidan. “Emang kalau engga ngeledek El kayaknya engga seru, ya?”

Aidan kemudian mendorong Gael keluar dari area dapur. Menuntunnya ke arah tangga, menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua. Karena inti dari kunjungan mereka ke rumah Aidan sebenarnya untuk mengobrolkan sesuatu. Sesuatu yang mungkin saja berhubungan dengan satu sama lain.

Pintu di hadapannya terbuka, kemudian Aidan mempersilahkan Gael masuk terlebih dahulu. Untuk beberapa saat mata Gael sibuk menyusuri tiap sudut kamar Aidan, kemudian mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil. Aidan yang sedari tadi menonton ekspresi lucu Gael itu langsung ikut tersenyum, kedua alisnya terangkat sebelum memberikan tanya, “Kenapa ngangguk terus senyum begitu?”

Gael menggeleng. “Kamar Ai lumayan rapih, hehehe.”

Pintu kamar tertutup. Kini Gael sudah duduk di pinggiran kasur Aidan, dan si pemilik kamar lebih memilih duduk di kursi belajarnya. Sempat hening beberapa saat, karena bingung harus memulainya dari mana. Aidan bimbang, mana yang sebaiknya dia bahas terlebih dahulu.

Haruskah mereka mengobrol tentang mimpi, atau haruskah Aidan mengajak Gael berpacaran secara resmi?

“Jadi mau ngobrolin apa?” tanya Gael, berbarengan dengan Aidan yang juga bertanya, “Mulai dari mana, ya?”

“Terserah Ai deh.” kata Gael menyerahkan keputusannya kepada Aidan.

Dan setelah itu, Aidan memulai ceritanya. Menumpahkan segala perasaan aneh yang dia rasakan dan pendam seorang diri. Tentang mimpi yang dialami, tentang perasaannya pada Gael sejak mereka pertama kali bertemu. Juga, tentang Jeongguk dan Kimtae. Dua nama itu yang kini juga mulai terdengar familier untuk Gael.

Tubuh Gael kaku, dia benar-benar merasa tegang dan campur aduk sekali saat ini. Telinga dan otaknya begitu fokus mencermati setiap kata yang terucap dari Aidan. Hatinya sibuk mengantisipasi tiap kata berikutnya, entah apa yang membuatnya merasa begitu. namun ketakutan itu jelas ada di sana.

“Awalnya Ai engga punya pikiran apa pun, mungkin cuma kebetulan aja. Kebetulan aja mimpi yang Ai alamin itu sakitnya beneran terasa sampai Ai bangun.” kata Aidan, mengenang kembali saat di mana mimpi-mimpi itu mulai datang. Dia tersenyum kecil, kemudian kembali melanjutkan ceritanya. “Sampai hari itu Ai ketemu El di stasiun Tebet. Kebetulan macem apa itu? hahaha. Pas banget motor Ai rusak, mobil engga ada yang nganggur dan tumben-tumbenan Ai naik kereta. Dan di hari itu juga Ai ketemu sama orang yang wajahnya mirip banget sama sosok yang di mimpi Ai.”

Gael menahan napasnya selama beberapa detik. Jarinya meremat sprei yang membalut kasur Aidan, karena tiba-tiba saja rasa nyeri itu kembali datang.

Aidan bercerita tentang perasaan aneh yang dia rasakan itu. Bagaimana dadanya terasa sakit dan sesak saat melihat Gael. Tentang perasaan sedih tanpa dasar yang tiba-tiba saja membelenggunya. Kebingungan yang membuatnya bertanya-tanya tentang sosok Gael dan pria di dalam mimpinya.

Awalnya memang semuanya terasa aneh dan rumit. Namun, semuanya kini menjadi lebih mudah untuk dia pahami. Mimpi yang sempat terlihat kabur, kini mulai semakin jelas. Puzzle yang hancur berkeping-keping, pelahan-lahan mulai berhasil dia satukan.

“Menurut El, pertemuan kita itu takdir atau kebetulan?” Aidan kembali mengulang pertanyaannya yang sempat dia ajukan di chat. Dan kini, Gael harus dihadapkan dengan situasi sulit. Karena dirinya belum mempersiapkan jawabannya sama sekali. Kemudian Aidan kembali berkata, “Karena, menurut Ai ini bukan kebetulan.”

Kalimat itu membuat Gael termenung sesaat, meski dirinya memang sudah sempat memikirkan hal ini sebelumnya. Ya, memang pertemuan mereka itu terlalu unik untuk menjadi sekadar kebetulan. Perasaan nyaman dan tidak asing antara dirinya dan Aidan juga mustahil dapat tumbuh begitu saja.

Tiba-tiba Gael mendapati dirinya bertanya-tanya akan hal serupa. Apa memang kebetulan di kehidupan seperti ini? Atau sungguh ada campur tangan takdir Tuhan di sana?

Napasnya tertahan di tenggorokan, membuat rasa sesak yang timbul entah karena terlalu banyak hal yang dipikirkan atau karena rasa sakit itu kembali datang. Membuat Aidan berjalan menghampiri Gael, duduk tepat di sebelahnya dan kembali memeluk tubuh pria itu. Aidan paham, segala hal aneh ini memang terdengar tidak masuk akal, namun begitulah yang terjadi.

“Menurut Ai, Jeongguk dan Kimtae itu beneran ada?” tanya Gael di dalam pelukan Aidan. Dan disambut dengan anggukan kepala Aidan sebagai jawaban. “Menurut Ai, mereka beneran nyata. Karena yang Ai rasain juga nyata.”

Gael melonggarkan pelukan mereka, wajahnya sedikit mendongak untuk menatap langsung ke arah Aidan. “Menurut Ai, mereka berdua itu masa lalu kita? Tapi, emangnya mungkin? El pernah nonton film tentang reinkarnasi beberapa kali, tapi ga pernah kepikiran kalau hal begitu beneran ada.”

Who knows?” jawab Aidan. Tangannya masih tidak berhenti mengelus punggung Gael, mengantarkan kenyananan untuk pria itu.

“T-tapi… El kemarin mimpiin bagian itu, di atap gedung. Waktu cowok pirang itu minta orang yang mirip banget sama El buat ga pilih orang lain lagi di kehidupan selanjutnya.” kata Gael, kemudian dia diam sebentar untuk mencari-cari kata yang pas untuk kalimat selanjutnya. “Mungkin engga kalau itu ada hubungannya juga sama pertemuan kita?”

Kalau iya, berarti pertemuan kita memang engga terjadi begitu aja? Kalau rasa sayang El sama Ai, apa itu nyata atau cuma karena sebuah janji di masa lalu aja?

Gael mempertanyakan itu dalam hatinya. Ketakutan lama belum berhasil dia hadapi, kini muncul ketakutan baru dalam dirinya.

“Ai engga tahu, El. Yang Ai tahu ya perasaan Ai sendiri saat ini, perasaan Ai ke El yang emang ada terlepas dari apa yang terjadi di mimpi kita. Apa yang dulu pernah terjadi sama Jeongguk dan Kimtae, yang mukanya kayak kembar indentik sama Ai dan El.

Yang Ai tahu, Ai jatuh cinta sama El karena sikapnya El. Yang lucu, yang baik, yang cerewet meskipun Ai dulu suka kabur-kaburan. Ai mulai terbiasa sama semua itu, ngebuat Ai lupa hari-hari waktu belum ketemu El tuh gimana.”

Aidan hanya ingin meluruskan sebuah perasaan yang mengganjal. Bukan bermaksud untuk mengungkit masa lalu, kalau memang benar apa yang mereka duga benar. Karena bagi Aidan, kehidupan yang dia miliki saat ini adalah kehidupannya. Dia Aidan Maheswara, bukan Jeongguk atau siapa pun itu. Meskipun mereka benar-benar berbagi masa lalu yang sama, bagi Aidan masa depan tidak ada sangkut pautnya dengan itu. Karena Aidan yang dapat menentukan jalan cerita hidupnya sendiri.

“Ai, si Kimtae jahat ya dulu sama Jeongguk? Takdir mereka semenyedihkan itu ya dulu?”

Dan yang tidak Aidan ceritakan dengan jujur adalah kalau dirinya memiliki jauh lebih banyak memori tentang Jeongguk dan Kimtae, dibanding dengan Gael. Sayangnya, Aidan harus merasakan rasa sakit yang mendalam itu sebanyak dua kali. Dirinya tidak ingin Gael merasakan hal yang sama.

Kepalanya menggeleng. Ibu jarinya menghapus tetesan air mata pada pipi Gael. “Engga kok, emang jalan ceritanya mereka ga berakhir sesuai yang Jeongguk inginin aja. Tapi mereka bahagia, Ai yakin. Dan apa yang terjadi di kisah mereka, itu semua engga ada sangkut pautnya sama Ai dan El di sini. Kita punya kisah kita sendiri.” kata Aidan. Berusaha sebisa mungkin memberi pengertian kepada Gael, sebuah sudut pandangnya tentang Jeongguk dan Kimtae, dan berharap Gael akan mengerti.

“Jadi, El mau engga ngeresmiin hubungan kita? El mau atau engga laluin hari-hari El jadi pacarnya Ai?” tanya Aidan.

Yang Aidan dapatkan hanyalah tatapan Gael selama beberapa detik. Mungkin Gael masih sibuk dengan jutaan pertanyaan dalam kepalanya, atau ada hal lain yang dia lakukan. Misalnya, hanya ingin memandangi wajah Aidan saja.

Lima detik, hingga akhirnya Gael mengangguk. Menjawab pertanyaan Aidan tanpa ada kata yang mewakili isi hatinya.

Kemudian tubuhnya dipeluk erat oleh Gael. Bahunya digunakan sebagai tempat beristirahat dagu Gael, lalu beberapa kali mencuri cium di sana. Gael melakukannya semata-mata untuk membuang sisa gundah dan risau yang menjejak dalam hatinya. Kemudian, puncak kepala Gael habis dikecupi oleh Aidan.

“El nginep aja apa, ya? Hahaha.” tanya Gael, setengah bergurau sebenarnya.

“Mau nginep? Bobonya nanti Ai peluk, biar engga mimpi sedih lagi.”

Sedikit banyak kerisauan di hatinya mulai terkikis, Gael bisa tersenyum dengan senang. Buru-buru dirinya menghubungi Bunda dan bang Gio, memberi kabar kalau malam ini dirinya akan menginap di rumah sang pacar. Meski harus memakan banyak petuah dari bang Gio terlebih dahulu.

Yang terpenting, malam ini dirinya bisa tidur nyenyak dalam pelukan Aidan.

. . .