A Thousand Times – 240
. . .
The most beautiful things in life; people, places, memories, feelings and moment.
Kalau Gael disuruh memilih menyebutkan hal terindah dalam hidupnya, sudah jelas Aidan akan masuk ke dalam jajaran teratas.
Kata orang, hal indah itu terkadang bisa berbentuk apa saja. Bisa tempat, bisa kejadian, bisa memori dan bisa juga dalam wujud manusia; makhluk yang paling sering kita temui di kehidupan ini.
Dan bentuk nyata dari hal indah itu, kini sedang berdiri di depan pagar rumahnya. Memakai jaket hitam dengan kaos dalaman abu-abu. Berdiri sambil menyengir, ketika melihat sosok Gael yang berlari kecil menuju pagar.
Tangan direntangkan, menyambut tubuh Gael ke dalam dekapannya. Hangatnya dekapan dan perasaan yang tersalurkan kian nyata, ketika angin kecil berembus di malam pertengahan Agustus. Membiarkan bising dan gaduhnya debaran jantung keduanya menyatu, terpacu, namun selaras berpadu.
Punggung Gael diusap lembut, dan senyumannya merekah lebar. Hangat tubuhnya menjalar hingga ke pipi yang dihias senyum, disusul dengan gurat merah setelah itu. Namun, Gael dapat bernapas lega, karena dapat menyembunyikan senyum malu dan rona merah itu dari Aidan. Saat wajahnya bersembunyi pada leher pria itu, meski pacarnya sudah terkikik geli dengan tingkah lakunya. Karena Gael sudah terlalu nyaman dengan posisi itu.
Aidan tidak memberikan jarak, bahkan tidak berpikir untuk buru-buru melepaskan pelukan. Dia membiarkan Gael yang dengan nyaman memeluk balik tubuhnya dengan erat, menyembunyikan wajah lucunya yang sangat ingin Aidan lihat saat ini. Yang dia lakukan hanyalah melanjutkan usapan lembut di punggung Gael, sambil tertawa kecil, kemudian berkata, “El kangen banget sama Ai atau gimana, hum?”
Gael mendengus, dan Aidan dapat merasakan dan mendengarnya. Meski Gael melakukan itu sambil menyembunyikan wajahnya di lehernya.
Mereka bertahan dalam posisi itu. Berdiri dengan saling memeluk tubuh satu sama lain. Ada sekelebat bayangan, sepotong kecil bayangan acak, yang tidak asing namun juga asing. Saat keduanya berpelukan di atap gedung, dengan hangatnya matahari pada sore hari di musim panas. Sebuah pelukan, yang sayangnya kala itu hanya berisi luka.
Luka yang teramat perih; pedihnya takdir dari dua insan yang tidak sejalan.
Dan kini, mereka saling meraup tubuh satu sama lain ke dalam dekapan. Memeluk begitu erat, seakan berkata pada takdir yang dulu begitu jahat, kalau kini mereka benar-benar memiliki satu sama lain. Sebuah memori yang terasa pedih itu menghambar, kalah oleh rasa bahagia yang membungkus keduanya begitu erat.
“Engga kangen tuh, biasa aja.” ucap Gael. Meski tubuhnya berkata sebaliknya, mengeratkan lingkaran tangannya pada tubuh Aidan. Tidak membiarkan ada sedikit jarak pun di antara mereka.
“Yah, padahal udah Ai kangenin. Ternyata kangennya satu arah aja, nih?”
Gael keluar dari persembunyian. Wajahnya kini sejajar dengan Aidan. Menatap pria itu, lalu menggeleng. “Engga satu araaaah.”
Terkikik semakin geli dengan tingkah pacarnya. Aidan melepaskan satu tangannya yang tadi memeluk erat pinggang Gael. Dia usap puncak kepala Gael dengan gemas.
“Denger-denger ada yang bantuin bibi masak, tapi malah buat gosong ayam seekor.” ledek Aidan. Membuat Gael mendecak sebal, dan bibirnya memgerucut kecil. “Ih, tau-tauan aja siiiih. Siapa nih yang jadi mata-matanya Ai, huuuuh?”
“Rahasiaaa, hahaha. Aduh, recharge banget deh Ai balik latihan dipeluk begini.”
“HALAAAAH.”
Dan keduanya tertawa. Meski harus berlama-lama berdiri, ditemani angin malam yang untungnya tidak begitu kencang malam ini. Mereka berdua tetap menikmati momen itu. Saat rasa bahagia mereka dapatkan melalui hal kecil. Hal kecil, bersama seseorang yang begitu istimewa.
. . .