A Thousand Times – 160

. . .

Come back, even as a shadow; even as a dream.

Gael benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya. Dia tidak tahu bagaimana dirinya bisa sampai di tempat itu tiba-tiba, tanpa dapat mengingat apa pun yang terjadi sebelumnya. Karena, yang diingat Gael hanyalah dirinya pergi tidur lebih awal, akibat dari kepalanya yang luar biasa sakit.

Setelah itu, setelah dia membuka matanya, Gael malah mendapatkan dirinya berdiri di sebuah tempat asing. Di depan sebuah bangunan tinggi, dengan pekarangan yang luas dan pohon-pohon yang mulai gundul daunnya. Tempat ini jelas-jelas asing untuk Gael. Lalu, kenapa dirinya bisa tiba-tiba berada di sana?

Setelah mengambil waktu sebentar untuk mencerna situasi, tiba-tiba saja sekelilingnya berputar begitu cepat. Seakan dirinya masuk ke dalam sebuah film lama yang sengaja diputar cepat. Sekelilingnya, segalanya yang berada di sekitarnya berjalan dengan cepat. Semua, kecuali dirinya. Kecuali Gael, yang hanya bisa berdiri dengan sebuah tanda tanya besar dalam benaknya.

Dalam hatinya Gael bertanya-tanya akan apa yang sedang terjadi padanya. Seperti, dirinya sedang tidak menghadapi situasi yang dapat ditemukan jawabannya menggunakan logika. Lalu apa ini semua? Apakah dia sedang bermimpi? Ya, pasti dia sedang bermimpi.

Mimpi yang anehnya terasa asing dan familier di saat yang bersamaan. Terasa sehangat teriknya matahari di pertengahan bulan Agustus, namun juga terasa dingin seperti akhir bulan Desember. Gael tidak tahu di mana keberadaan dirinya, namun dia seperti sangat mengenal tempat itu. Gael dapat mencium aroma musim semi, Gael bisa merasakan teriknya matahari, bisa merasakan sejuknya angin musim gugur, bahkan dinginnya salju di sana. Seakan dirinya pernah menghabiskan banyak waktunya di gedung itu.

Hingga dirinya sampai di putaran akhir, ketika semuanya kembali bergerak dengan normal. Ketika langit kembali menggelap dan dia melihat eksistensi dua pria yang sedang berdiri tidak jauh dari dirinya. Dua pria dengan perawakan dan wajah yang sama persis seperti dirinya, dan juga… “Ai…?”

Gael mengambil langkahnya, mendekat ke arah dua orang yang tidak menyadari keberadaannya sama sekali. Sosok yang mirip dengan dirinya, namun wajahnya dibingkai oleh kacamata, dia nampak tidak nyaman dan banyak menunduk. Seakan, menghindari tatapan mata pria di hadapannya hanyalah satu-satunya hal yang benar dan dia tidak punya pilihan lain.

Mereka berbicara dengan bahasa yang terdengar asing di telinga Gael. Tapi, entah mengapa, Gael dapat mengerti dengan isi dari perbincangan mereka.

Tangan mereka bertaut, atau setidaknya, sosok yang mirip sekali dengan Aidan itu kini sedang memegang cerminan dirinya. tatapannya tegas, namun terlihat ada sedikit rasa waswas di sana, seakan takut dengan hal tidak pasti yang mungkin akan terjadi.

Gimana kalau gua berharap lo mau nyoba buka hati lo buat gua?

Gua boleh egois kan kali ini, Kim?

Kim Tae…?

Rasanya sakit sekali, Gael tidak tahu kenapa tiba-tiba dadanya terasa nyeri dan matanya terasa panas. Pria itu, pria yang terlihat mirip sekali dengan Aidan, namun rambutnya dicat pirang, sedang memohon kepada sosok yang mirip dengan dirinya. Dia memohon, dengan segenap hatinya. Terdengar tulus, dan juga begitu putus asa. Seakan-akan, jawabannya adalah pertaruhan nyawanya.

Hati Gael terasa perih. Dia bahkan dapat merasakan genggaman hangat pria itu, padahal bukan sosok dirinya yang sedang digenggam saat ini. Gael merasakan sakit dan sesak yang luar biara. Terlebih, saat sosok yang mirip dengan dirinya itu melepaskan genggaman tangan mereka.

Lalu, meninggalkan si pria pirang begitu saja. Meninggalkan sosok yang mirip sekali dengan Aidan dalam keadaan hancur. Pria itu, pria yang nampak persis dengan Aidan, dia masih berdiri di tempatnya. Meski dirinya sudah ditinggal begitu saja. Satu tangannya terangkat, untuk memegang bagian dadanya yang terasa sakit. Ada beberapa tetes air mata yang menghiasi pipinya, Gael dapat melihatnya dengan jelas. Namun, pria itu lekas menghapus pipinya yang basah. Menghilangkan jejak luka yang sudah tertoreh dalam hatinya. Kemudian, tarik napasnya dalam-dalam, seakan tindakannya dapat membuang si rasa sakit yang sedang membalut utuh jiwa dan raganya.

Setelah itu dia pergi dari sana. Dia pergi dalam keadaan kacau dan hancur. Dan, hal selanjutnya yang dilihat oleh Gael hanyalah langit-langit kamarnya yang gelap. Dia lap keningnya yang berkeringat, lalu merasakan bahwa pakaiannya juga tidak kalah basah.

Apa itu barusan? Apa benar hanya mimpi sebuah mimpi acak yang kebetulan saja memiliki jalan cerita yang buruk?

Entah. Yang pasti, Gael sangat bersyukur akan hal itu. Gael bersyukur kalau yang dia lihat barusan hanyalah mimpi. Meski rasa sesak dan sakit itu masih tertinggal di dadanya. Meski detain tiap adegan menyakitkan itu masih terekam dan tertinggal dalam memorinya. Meski rasanya begitu sakit dan terlalu nyata.

. . .