A Thousand Times – 136.
. . .
Wajahnya merengut, sebal dan memandang tidak percaya ke arah pria di hadapannya. Gael, dia hanya melakukan itu, alih-alih membukakan pintu gerbang rumahnya untuk Aidan. Kepalanya menggeleng, meskipun Aidan sudah memasang wajah paling menyedihkan seumur hidupnya. Seperti, kegiatan memandang dalam sebal dengan keadaan bisu sangat mengasikan, ketimbang membiarkan Aidan masuk dan berbicara langsung dengannya.
“El, beneran marah sama Ai?” Aidan membuka suara. Matanya menatap Gael lekat, mencoba menerobos pertahanan Gael yang sekuat baja itu.
Kepala Gael menggeleng, menjawab pertanyaan Aidan tanpa suara.
“Terus kenapa Ai didiemin aja dari semalem?”
Kali ini, tidak ada satu kata pun, atau sekadar bahasa tubuh dari Gael. Pertanyaan Aidan seakan terbang di udara, pergi tanpa sebuah jawaban.
“Ya udah, Ai pulang kalau gitu. El, semoga cepet-cepet mau ngomong sama Ai lagi ya nanti.”
Bohong, Aidan tidak benar-benar berniat untuk pergi begitu saja tanpa mendapatkan sebuah jawaban dari Gael. Dia hanya menggertak dengan halus. Berpura-pura menyerah, menggantungkan plastik berisi es podeng yang tadi dia beli di depan pasar Tebet Timur, lalu berbalik dan melangkah menuju mobilnya.
Bunyi berisik terdengar, seperti sangkutan pagar yang dibuka terburu-buru. Kemudian disusul oleh suara Gael yang terdengar begitu pelan dan pasrah. “Jangan pulang...”
Aidan terenyum kecil, sebelum akhirnya membalikkan tubuhnya lagi. Dia lihat, Gael, pria itu sedang berdiri di depan pintu gerbang yang terbuka, dengan piyama berwarna biru sambil menunduk. Menghindari tatapan Aidan, entah karena masih marah atau terlalu malu untuk beradu tatap.
Berjalan beriringan, Aidan mengikuti langkah Gael menuju teras depan rumahnya. Pria itu memberi isyarat pada Aidan untuk duduk di kursi kayu lainnya—bukan yang tadi dia duduki sebelum Aidan datang.
“Sebentar, El mau minta tolong bibi buatin minum. Kopi, teh atau air putih?” tanya Gael.
“Apa aja, soalnya tujuan Ai ke sini bukan mau numpang minum, tapi mau ngobrol sama El.”
Jawaban setengah gurauan Aidan sukses menghasilkan pelototan dari Gael, membuat dirinya tertawa meringis dan menggaruk tengkuk lehernya.
Tak lama menunggu, Aidan bahkan belum sempat merangkai kalimat pembuka untuk obrolannya dengan Gael nanti, Gael sudah kembali. Membawa secangkir kopi hitam dengan asap yang masih mengepul tebal. Kemudian, cangkir itu di letakkan pada meja kecil antara kursi Aidan dan Gael.
Dagunya menunjuk ke arah cangkir di meja, menyuruh Aidan untuk meminum terlebih dahulu. Dan, tentu saja, bibit budak cinta dalam diri Aidan bergejolak hebat dan menuruti perintah tanpa kata dari Gael. Cangkirnya diangkat, mendekatkan ke arah bibirnya, lalu menyesapnya begitu saja. Kaget dengan sensasi panas yang menjalar di area bibir dan lidahnya, Aidan meringis. Membuat Gael berdiri dari kursi, membungkuk di depan Aidan dan memeriksa wajah pria itu.
“Astaga, Ai, kenapa ga ditiup dulu? Itu kan masih panas banget.” Gael mengomel. Kakinya keburu melangkah masuk ke dalam rumahnya lagi, dan kembali dengan secangkir air mineral dingin di tangannya.
Aidan diam, memilih untuk memperhatikan Gael dalam sunyi. Rentetan kalimat penuh omelan dari Gael bagai angin yang masuk dari telinga kiri dan keluar di telinga kanannya. Alias, dirinya tidak dapat menangkap satu kata pun.
Bibirnya yang tadi terasa perih karena panas, kini melengkung, membentuk sebuah senyuman kecil. Wajah khawatir Gael, bahkan di saat seperti ini pria itu nampak begitu indah. Aidan pernah melihat wajah yang mirip dengan milik Gael, persis, Aidan mengingatnya dengan jelas. Kepingan memori dari potongan mimpinya menyatu, bagai sebuah puzzle yang berhasil dia satukan. Bayang-bayang itu menjadi jelas. Orang itu bukan hanya mirip, melainkan, dia adalah Gael. Aidan yakin sekali.
Bahkan, jauh sebelum pertemuan mereka di stasiun kereta waktu itu, Gael sudah ada di dalam pikirannya. Ada sebuah misteri yang masih belum terpecahkan, tentang dirinya dan Gael. Namun, Aidan yakin kalau pertemuannya dan Gael bukanlah sebuah kebetulan, melainkan takdir. Ada perasaan familier tentang Gael, perasaan senang dan sedih yang menyatu, membuatnya menjadi begitu kompleks dan rumit untuk dijelaskan.
Aidan senang setiap kali berada dekat dengan pria itu, dan dia takut di saat Gael jauh dari penglihatannya.
Tenggelam dan hanyut akan pertanyaan dan jawaban dengan diri sendiri, Aidan langsung disambut dengan wajah sebal Gael saat dirinya tersadar. “Mikirin apa sih? Si pete pete itu, hm?”
Alisnya mengerut. Kenapa tiba-tiba Gael membahas Pete?
“Kok tiba-tiba nanya gitu?” tanya Aidan, kebingungan.
“Ya gapapa, kan kamu kemarin mimpiin dia.”
Aidan berusaha dengan kuat untuk menahan senyumnya di saat mendengar kata kamu meluncur dari mulut Gael.
“Jadi, ini alesan El diemin Ai?”
Gael langsung buru-buru menggeleng. “Engga tuh.”
“Gemes.” kata Aidan, sambil tersenyum lebar, tanpe berniat untuk menahannya lagi.
Sementara, Gael sibuk mengalihkan wajahnya. Menyembunyikan ekspresi salah tingkah dan malu dari Aidan. Siapa sih yang ingin ketahuan saat dirinya sedang cemburu? Apalagi, Gael cukup tahu diri untuk mengingat status mereka yang tidak jelas.
Diraih tangan Gael yang mulai dingin karena keringat, membuat orang yang bersangkutan langsung menoleh ke arah Aidan. Wajahnya seakan tergambar oleh seribu tanda tanya karena tindakan Aidan tersebut.
“Lain kali kalau ada hal yang ganggu El, tolong langsung bilang aja ke Ai. Ai engga akan ngerti kalau El diem aja, Ai juga jadinya bingung harus gimana, kan Ai enggga bisa baca pikirannya El,” kata Aidan, sambil mengelus lembut punggung tangan Gael. “El engga perlu khawatir juga sama mimpi Ai, karena orang yang di mimpi Ai tuh Gael. Engga ada lagi orang di dunia ini yang mukanya kayak gitu. Yang bisa buat Ai degdegan, Ai uring-uringan dan campur aduk perasaannya, ga ada selain El.”
Gael membatin, merutuki perkataan Aidan yang berhasil mencairkan batu es di dalam hatinya. Lumer sudah, perasaan, hatinya, semuanya mencair karena Aidan, dan kalimatnya barusan.
“El baca balesannya Gavin di tweet Nabil kemarin, ada nama dia disebut. Kepikiran banget awal ketemu Ai karena apa, ya karena Ai mikir El itu dia. Jadi, ya gitu, sebel, sebel banget dan takut. Takut kalau El cuma bayang-bayangnya dia aja buat Ai.” ucap Gael, tidak peduli kalau perkataannya begitu panjang. Yang terpenting, dirinya sudah merasa lebih lega sekarang.
Aidan tersenyum, ada perasaan bahagia yang membuncah di dalam dadanya. Seakan baru saja mendengar pengumuman dirinya menang di kejuaraan karate, atau diberi hadiah seperangkat PC gaming, padahal itu hanyalah unek-unek dari isi hati Gael. Rasa tidak suka Gael pada sosok yang begitu mirip dengan dirinya, orang lain yang berhasil masuk ke dalam mimpi Aidan, entah mengapa hal itu membuat Aidan bahagia.
Dia berdiri, berjalan mendekat ke arah Gael, menarik tangan pria itu dengan lembut hingga mereka berdiri berhadapan dengan jarak yang begitu tipis. Tanpa aba-aba, tanpa sepatah kata, tanpa membiarkan Gael bereaksi dengan tindakannya, Aidan menarik tubuh Gael ke dalam pelukannya. Mendekap tubuhnya erat, seakan dirinya begitu haus, seakan dirinya sudah menantikan hal ini beribu-ribu purnama. Aidan mendekapnya dengan erat, namun terasa lembut dan hangat di saat yang bersamaan.
“Jangan kayak gitu lagi, ya? Ai takut kalau kehilangan El lagi.“
Bagai tubuhnya kaku, Gael merasa begitu sulit memproses tindakan dan perkataan Aidan. Dirinya tidak mampu berpikir, apalagi memberi respons. Butuh beberapa detik, diam di posisi itu dan membalas pelukan Aidan. Gael masih belum bisa menyahut, dirinya hanya menganggukan kepala sebagai ganti. Seakan itulah hal yang memang seharusnya dia lakukan. Seakan dirinya pernah menjanjikan sesuatu yang besar pada Aidan, meski dirinya sendiri tidak ingat apa itu.
Tidak, Gael tidak akan menyakiti Aidan, Gael tidak akan membiarkan Aidan kehilangan dirinya lagi.
. . .