Seraphic – 51.
. . .
'Cause his action speaks louder than words.
Saat itu, senyuman manis Taehyung sungguh betah menghias hangat di wajahnya. Sebuah jawaban sederhana dari Jungkook, namun menyentuh hati adalah alasan di balik senyumannya tersebut. Hanya sebuah pesan singkat teks, yang mungkin bagi orang lain bukanlah hal besar. Jungkook tidak membuatnya mencari, Jungkook menejelaskan detail pakaian pria itu, seakan-akan dirinya tahu bagaimana kondisi Taehyung yang sebenarnya. Dan bagi Taehyung, itu semua adalah another level dari sikap sopan dan baik pria itu.
Taehyung yang selalu takut untuk berinteraksi dengan orang lain, dapat dengan mudahnya melupakan rasa takutnya setiap dirinya berada di dekat Jungkook. Tertawa ketika pria itu bergurau di kelas, menjawab—meski hanya seadanya—ketika Jungkook menanyakan sesuatu, dan kini, dirinya memberanikan diri untuk keluar dari zona ternyamannya.
Matanya masih fokus menatap layar ponselnya, menanti pesan selanjutnya dari Jungkook, atau sekadar mempertahankan rasa bahagia ketika dirinya membaca pesan tersebut. Dan pada hitungan menit selanjutnya, fokus Taehyung pada layar ponselnya pun teralih. Suara yang mulai terdengar familier di telinganya menggelitik indra pendengaran Taehyung, memanggil namanya dengan setengah membisik yang lembut.
Mengangkat wajahnya, mendapatkan sosok Jungkook tengah berdiri di belakangnya. Celana jeans biru, kaos yang dibalut dengan jaket tebal berwarna hitam, juga topi yang menutupi rambut kepalanya, Jungkook persis seperti apa yang dia beri tahukan ke Taehyung di pesan singkat.
Jungkook tertawa kecil, lalu mengambil posisi duduk di kursi seberang Taehyung. “Kaget ya tiba-tiba aku bisik-bisik gitu?”
Taehyung menjawabnya dengan sebuah gelengan. Bahkan, bisikan suara Jungkook yang memanggil namanya itu terlalu lembut untuk membuat dirinya kaget. Ketimbang kaget, Taehyung malah menemukan kenyamanan di sana. Di saat dirinya sendiri di tempat umum, tak jarang perasaan takut menghampirinya. Dan suara lembut Jungkook barusan menjanjikan sebuah keamanan, seakan dirinya tidak perlu takut lagi di sana, seakan ada seseorang yang menjaganya.
“Hari ini aku naik motor, engga apa-apa kan kalau ke sananya naik motorku?” Jungkook bertanya dengan hati-hati.
“Engga apa-apa sih. Tapi Jungkook... aku engga punya helm.”
Ekspresi Taehyung berubah menjadi tidak enak. Dia takut melewati batas, dia takut Jungkook merasa tidak nyaman, dia takut kalau pertemanan yang baru saja ingin mereka mulai ini tidak berjalan baik.
“Oh, aku kebetulan bawain helmet buat kamu sih. Soalnya, salahku juga karena ga bilang ke kamu mau naik motor. Eh, tapi engga apa-apa kan kalau aku ajak naik motor?”
Taehyung langsung buru-buru menggeleng. Tentu, tentu saja tidak apa-apa. Bahkan, Taehyung sangat senang sekali, dalam hatinya anak itu sedang melompat kegirangan. Pengalamannya sedikit, tidak banyak hal yang sudah Taehyung lalui di hidupnya. Keterbatasannya membuat Taehyung tidak dapat menyicip banyak hal di masa-masa remaja. Keterbatasan yang membuatnya begitu takut akan banyak hal, membuatnya bersembunyi dari dunia luar.
“Gapapa, aku suka kok. Soalnya,” Taehyung nampak menghentikan kalimatnya. Ah, rasanya malu untuk berkata yang sejujurnya. Apalagi, Taehyung dan Jungkook kan belum sedekat ini.
“Soalnya?”
“Aku belum pernah naik motor....”
Dan jawaban Taehyung sukses membuat Jungkook tertawa geli. Dirinya bukan menertawakan pengalaman Taehyung yang kurang, melainkan wajah pria itu yang langsung menunduk malu. “Ya, emang ga banyak orang yang suka naik motor sih. Jadi engga apa-apa ya kalau kita naik motor hari ini? Soalnya, aku belum punya mobil hehe.”
“Hi, engga apa-apa dong. Naik bus juga aku suka kok.” jawab Taehyung.
Keduanya berjalan keluar dari lounge. Taehyung mengekori di belakang Jungkook, ada setitik rasa gugup dalam hati. Ini adalah pertemuan kedua mereka di luar jam kelas, dan mereka akan berada di dalam satu boncengan motor yang sama. Sial, membayangkannya membuat pipi Taehyung terasa panas.
Mereka berhenti di depan motor hitam milik Jungkook yang terparkir sendirian di sana, di bawah naungan pohon besar yang dedaunannya sudah mulai menguning. Dua helm terlihat menggantung di kaca spion, satu helm full face berwarna hitam, yang satunya helm bogo berwarna putih gading. Ya, sudah pasti ini motor Jungkook.
Jungkook memberikan helm berwarna putih gading tersebut ke Taehyung. “Bisa kan pakai helm sendiri?”
Taehyung mengambil helm tersebut sambil merengut. Agak sebal mendengar ledekan dari Jungkook barusan, meski dia sudah tahu kalau Jungkook hanya bercanda saja. “Enak aja, kalau pakai helm doang mah aku bisa ya.”
Memasang helm di kepalanya dengan merengut, malah membuat fokus Jungkook sepenuhnya tertuju pada Taehyung. Pria itu dengan susah payah mengaitkan tali pengaman, bibirnya tanpa disadari mengerucut, karena terlalu fokus dengan kegiatannya tersebut.
Jungkook sungguh gatal ingin menghampiri Taehyung, membantu pria itu memasang kaitan di helmnya. Memastikan kalau semuanya sudah terpasang dengan benar dan aman, namun tentu saja tidak dia lakukan. Karena Taehyung sudah keburu selesai memasang helmnya sendiri. Setelah itu, dia tersenyum dengan lucu ke arah Jungkook. Membuat senyuman Jungkook otomatis merekah.
Taehyung membatu, memperhatikan Jungkook yang sudah naik ke atas motornya. Sedangkan dirinya kini malah kebingungan, langsung naik saja atau bagaimana? lalu, nanti apa perlu tangannya berpegangan pada badan Jungkook? Aduh, kalang kabut Taehyung dibuat oleh pikirannya sendiri.
“Kamu engga mau naik? Hahaha.”
Dengan kikuk, Taehyung pun naik ke boncengan belakang Jungkook. Duduk dengan kaku dan menjaga sikap badannya untuk tetap tegak. Tangannya kaku, bingung untuk berpegangan ke mana, karena sumpah ini adalah pengalaman pertamanya.
“Pegangan ke jaketku gapapa kok, dari pada kamu duduk tegap begitu. Atau, lingkarin tangan di pinggangku, itu kayaknya lebih aman.”
Aduh, mama, papa, Jimin, aku malu bangeeeet.
Tentu saja Taehyung memilih untuk mencengkeram jaket tebal Jungkook. Berusaha sehati-hati mungkin untuk tidak menariknya begitu keras, dengan sekuat tenaga juga menjaga keseimbangan tubuhnya. Untungnya, Jungkook menjaga kecepatan motornya sepanjang perjalanan, sedikit membantu Taehyung untuk tetap nyaman di belakang sana.
Dengan posisi itu, keduanya menyusuri jalanan kota Seoul yang tidak begitu padat di siang hari. Taehyung merasakan tamparan angin dingin menyengat di wajahnya. Senyuman bahagia itu tidak dapat dia tahan, bibirnya melengkung dengan indah. Membuat Jungkook, yang sedari tadi mencuri-curi pandang dari kaca spion ikut tersenyum.
Memasuki gang demi gang, melewati pemukiman yang dikelilingi kafe dan toko-toko, hingga akhirnya Taehyung sadar kalau jalan ini begitu familier. Jalan yang setiap hari selalu dia lewati, jalan menuju apartemennya. Di ujung pertigaan sana ada CU yang buka 24 jam, dan di sebelahnya ada barbershop yang selalu terlihat begitu sepi. Taehyung hafal, karena ini adalah kawasan tempat tinggalnya.
Motor Jungkook berhenti di depan kafe bertuliskan Daily Dose, tepat di seberang gedung apartemennya. Alisnya mengerut, sembari dia turun dari motor Jungkook. Melepas helm dengan pikiran yang masih penuh dengan tanda tanya.
“Kamu tau kafe ini?” Taehyung bertanya, tangannya menyerahkan helm yang tadi dia pakai ke Jungkook.
Pria itu menyambut dan menggantung helm yang tadi dipakai oleh Taehyung ke kaca spion motornya, seperti sebelumnya. Kemudian mengangguk. “Hahaha, iya. Kebetulan aku kenal sama yang punya.”
Taehyung hanya mengangguk-angguk. Kemudian melangkah masuk ke dalam kafe bersama dengan Jungkook. Matanya menyusuri ruangan, mencari keberadaan seseorang yang biasanya berdiri di balik konter kasir. Rasa kecewa langsung menghampiri, begitu dirinya tidak menemukan sosok itu.
“Kamu duduk aja, biar aku yang pesen. Iced Caramel Machiato, 'kan?”
Setelah membenarkan pesananya, Taehyung menuruti perkataan Jungkook untuk berjalan terlebih dahulu. Dia memilih kursi yang biasa diduduki setiap berkunjung ke kafe ini, di pojok ruangan yang terasa begitu nyaman dan tenang. Menunggu Jungkook untuk kembali dan menghampirinya, sembari memandang ke arah luar jendela.
“Aku udah pesenin *iced caramel machiato, nanti dianterin katanya.” kata Jungkook, yang tiba-tiba sudah duduk di kursi seberangnya. Menghalangi pemandangan bagian luar kafe yang sedang Taehyung nikmati tadi.
Wah, sepertinya Taehyung mulai hafal kebiasaan pria ini; Jungkook suka sekali muncul tiba-tiba.
“Ah, thanks.” jawab Taehyung.
Jungkook mulai bercerita tentang pengetahuannya akan kopi, pengalamannya menemani sang kakak untuk berkeliling daerah dan mencari petani kopi terbaik di negeri. Cara Jungkook bercerita, entah kenapa terasa begitu menghipnotis. Membuat Taehyung begitu fokus mendengarkan kata demi kata yang terlontar dari mulutnya.
Pria itu bagai buku terbuka, Jungkook bahkan tidak segan bercerita segala hal tentang dirinya. Kalau dipikir-pikir, dia terasa seperti kebalikan dari Taehyung. Jungkook itu hangat, menyenangkan, mudah bergaul dan hidupnya terdengar begitu seru. Membuat Taehyung merasa berkecil hati akan dirinya.
“Kok kamu diem aja? Aku kebanyakan omong ya kayaknya? hehehe.” tanya Jungkook, begitu menyadari Taehyung yang sedari tadi mengunci rapat mulutnya. Bibirnya hanya tersenyum kecil sesekali, dan hal itu membuat Jungkook terganggu. Jungkook takut kalau Taehyung merasa kurang begitu nyaman.
“Hah, engga kok hehehe. Aku emang lebih suka nyimak dibanding cerita.” jawab Taehyung.
Kemudian, pesanan mereka datang. Segelas iced americano untuk Jungkook, dan iced caramel machiato untuk Taehyung. Taehyung dengan teliti memperhatikan si pelayan yang mengantarkan pesanan tersebut, memperhatikan model rambutnya, lalu wajah kecewanya kembali muncul setelah melihat tanda nama yang dikenakan oleh si pelayan tersebut. Orang itu bukanlah JK, jelas, tentu saja. Karena JK, si barista yang dari tadi dia cari-cari itu ada di hadapannya. Sedang memperhatikan wajah kecewa Taehyung.
Jungkook mengehela napasnya, padahal dia sudah mempersiapkan diri sejak semalam. Banyak membaca artikel yang terkait dengan prosopagnosia, bahkan meminta bantuan orang-orang di kafe untuk tidak menyapanya ketika kemari. Nyatanya, yang Jungkook persis seperti apa yang sudah dia duga. Dirinya merasa tidak nyaman, merasa terbebani akan situasi. Bukan karena kemungkinan besar, atau dugaannya terhadap Taehyung adalah benar. Bukan karena itu. Jungkook merasa terbebani, karena merasa dirinya sedang membohongi Taehyung saat ini.
Dia pikir, mempersiapkan hatinya dengan kemungkinan terburuk, dirinya dapat merasa lebih tenang. Ternyata tidak semudah itu. Dan bodohnya, Jungkook tetap melanjutkan sandiwaranya itu. Dia tetap berpura-pura tidak mengetahui apa pun tentang Taehyung.
Sekitar satu setengah jam mereka menghabiskan waktu di sana. Sebuah rekor bagi Taehyung untuk mengobrol dengan temannya—selain Jimin—dalam durasi waktu yang selama itu. Dia juga mulai sedikit terbuka, meski yang dapat dia ceritakan hanyalah sedikit.
Untung saja Taehyung tidak dapat melihat dengan jelas ekspresi Jungkook sepanjang obrolan mereka. Terkadang, pria itu akan terlihat seperti orang yang dimabuk cinta saat menatapnya, terkadang wajahnya penuh dengan rasa bersalah. Dan itu semua terjadi tanpa Jungkook sadari.
Di sela-sela obrolan mereka, Jungkook meminta izin kepada Taehyung untuk pergi sebentar ke toilet. Membiarkan Taehyung larut dalam lamunan, sembari mengaduk caramel machiato yang sudah sisa sepertiga gelas. Alibi saja, padahal dia sedang bersekongkol dengan temannya di ruang pegawai. Meminta pertolongan pada Hoseok—teman kak Jin yang sedang membantu di kafe hari in. Jungkook meminta tolong pada pria yang lebih tua tiga tahun darinya itu, untuk memberikan selembar post it kepada Taehyung nanti. Disambut dengan sebuah gelengan heran dari Hoseok, namun tetap diterima olehnya.
Jungkook berbisik, mengucap terima kasih puluhan kali pada Hoseok. Lalu, dia kembali ke tempat duduknya bersama dengan Taehyung. Melanjutkan obrolan mereka, meskipun dalam pikirannya dia tak kalah sibuk.
Taehyung berkata kalau dirinya tidak bisa terlalu lama, temannya tiba-tiba saja menghubungi dan mengajaknya untuk bertemu. Tentu saja dia adalah Jimin, menunggu Taehyung di depan kafe sambil melambai-lambaikan tangan. Mata Taehyung menyipit, memperhatikan pakaian yang dikenakan oleh Jimin dan menyadari model rambut sahabatnya itu.
“Jungkook, aku minta maaf banget. Temenku ini emang suka seenaknya aja, dia mau minta tolong aku sesuatu soalnya.” ucap Taehyung, wajahnya benar-benar merasa bersalah sekali.
“Eh, engga apa-apa kok. Aku juga mau balik bantu kakakku habis ini, beneran gapapa ini mah.” jawab Jungkook.
“Lain kali aku yang traktir, ya? Terserah kamu mau minta apa aja.” kata Taehyung, sebelum akhirnya berdiri dari tempat duduknya.
“Taehyung, nanti aku chat gapapa kan?”
Taehyung tersenyum dan mengangguk. Pria itu melangkah menuju ke pintu keluar kafe, kemudian Hoseok berlari menghampirinya. Jungkook tidak bisa melihat bagaimana ekspresi Taehyung, karena pria itu memunggunginya. Namun, dia melihat tangan Taehyung terulur, menyambut surat darinya yang sudah dititipkan pada Hoseok tadi.
Akhirnyaaaaa, akhirnya Jungkook dapat tersenyum dan bernapas lebih lega. Dia perhatikan langkah kaki Taehyung yang sedang keluar dari kafe, matanya tidak sengaja bertatapan selama dua detik dengan sahabat Taehyung yang—dia yakin sekali—bernama Jimin.
. . .