Seraphic — 20.

Warning: menyebutkan tentang kecemasan dan ketakutan

He's too sad to cry, so he smiled.

Tidak ada yang dia lakukan: Taehyung hanya diam di tempat, berdiri sambil menatap cemas ke layar ponselnya. Menanti jawaban dari pertanyaannya pada Nayeon, yang mana belum mendapat balasan meski sudah lima menit berlalu.

Dia bingung, dia takut, dia khawatir. Nayeon berkata, pukul sebelas dirinya akan ada jadwal kelas. Artinya, batas waktu mengumpulkan tugas kian menipis. Taehyung tidak bisa diam di sini, sementara detik waktu terus berputar. Namun, dirinya pun tidak mampu mengambil satu langkah. Ada begitu banyak orang di lounge fakultasnya, dan Taehyung tidak akan tahu barang satu pun dari mereka.

Lounge Fakultas Ilmu Budaya di kampus Taehyung berbentuk melebar. Di sisi terdepan—dekat lobby—tersedia berbagai macam vending machine, mempermudah mahasiswa yang terlalu malas pergi ke kafetaria kampus, atau tidak memiliki jeda waktu yang terlalu banyak. Ada banyak meja dan kursi tersebar di hampir setengah ruangan, beberapanya berjejer di bawah jendela kaca besar.

Mata Taehyung langsung menangkap eksistensi tiga mahasiswa di bagian pojok lounge, kemungkinan besar itu adalah Nayeon, Sana dan Mina. Akan sangat mudah untuk menghampiri ketiga mahasiswi itu, menyapa dengan senyuman dan langsung mengumpulkan tugasnya tanpa basa-basi. Ya, akan sangat mudah bila orang itu bukanlah Taehyung.

Dia merasa begitu kecil berapa di ruangan itu, berasa begitu sesak dan ketakutan. Semua wajah yang dia lihat nampak buram, membuat dirinya semakin panik. Kakinya mulai bergetar, tangannya meremat tali tas yang menyelempang tubuhnya.

Bagaimana ini?

Haruskah Taehyung cuek saja dan menghampiri mereka?

Sayangnya, Taehyung tidak memiliki banyak keberanian untuk melakukannya. Dia hanya dapat membeku, wajahnya nampak kebingungan dan ketakutan. Bahkan, untuk berharap orang lain tidak memperhatikan dirinya yang hanya diam di tempat sedari tadi saja Taehyung tidak mampu. Dia tidak tahu apakah orang-orang kini sedang memperhatikannya atau tidak. Apakah seluruh manusia di ruangan itu sedang melayangkan pandangan aneh padanya atau tidak. Demi Tuhan, Taehyung tidak tahu.

Kakinya kian melemas. Jika terus-terusan membiarkan rasa panik dan takut menguasai dirinya, mungkin dalam beberapa saat Taehyung akan ambruk di tempat. Kemungkinan terbesar, tangisannya akan pecah. Sebuah kejadian yang terasa begitu familier, karena Taehyung sudah pernah melalui kejadian seperti ini sebelumnya.

Kenapa Nayeon belum juga membalas?

Dalam hati, Taehyung berdoa, dia meminta agar dirinya dapat keluar dari situasi yang dia benci ini. Tolong, Taehyung meminta tolong kepada siapa pun.

Tanpa dia sadari, ada orang lain yang sejak tadi memperhatikannya dalam diam. Merekam tiap gerakan kecil yang Taehyung lakukan; kakinya mulai bergerar, tangannya yang meremat tali tas, wajah gugup yang nampak begitu jelas. Sebuah tindakan yang menandakan kalau orang itu sedang cemas luar biasa.

Dia, Jeon Jungkook, berdiri di pojokan pintu masuk lounge. Menatap Taehyung dengan bingung, namun begitu ragu untuk menghampirinya. Dia tengok jam yang melingkar di tangan kiri, waktu menunjukkan pukul 10.55. Kalau terus-terusan mengikuti kegiatan Taehyung, diam di tempat sampai entah kapan, mungkin mereka berdua akan terlambat mengumpulkan tugas multikulturalisme.

Mengambil napas panjang, ya mau tidak mau dia harus bergerak. Pada akhirnya, Jungkook melangkah mendekati Taehyung. Langkahnya berhenti tepat di sebelah kanan Taehyung, mungkin mereka hanya berjarak satu langkah kecil kaki Jungkook.

“Kim Taehyung, udah ngumpulin tugas ke Nayeon?”

Yang dipanggil nampak kaget. Kepalanya menoleh ke arah Jungkook, lalu mengerjapkan mata beberapa kali. Besar harapan Taehyung akan keajaiban, bahwa dengan mengerjapkan mata dia dapat mengetahui sosok siapa yang berada di sampingnya itu. Namun, jawabannya tentu saja tidak berpengaruh apa-apa. Wajah orang itu tetap kabur, Taehyung tetap tidak tahu siapakah orang itu.

Ada sebuah rasa takut dan bingung, Jungkook menangkap itu semua di mata Taehyung. Pikirnya, mungkin Taehyung sedang tidak dalam keadaan yang baik, atau dirinya tidak mengenali Jungkook lagi. “Ini Jeon Jungkook, yang suka duduk di sebelah kamu di kelas Multikulturalisme.” jelas Jungkook akhirnya.

“A-ah... sorry.”

Taehyung ingin menjawab sesuatu, merasa tidak enak karena Jungkook harus menjelaskan hal tersebut kepadanya. Padahal, Taehyung tahu siapa itu Jeon Jungkook. Si pria lucu berkacamata yang sering kali mengajaknya mengobrol, atau sesekali melontarkan gurauan konyol di kelas. Taehyung ingat namanya Jeon Jungkook, Taehyung ingat suara pelannya ketika pria itu berbisik agar tidak ketahuan pak Alex, Taehyung ingat kacamatanya.

“Udah kumpulin tugas atau belum?” Jungkook bertanya lagi.

Taehyung menjawab dengan sebuah gelengan. Ekspresi sedihnya kembali menghiasi wajah yang indah itu. Sialnya, Jungkook bahkan tidak melakukan kesalahan apa pun, namun langsung merasa begitu bersalah begitu melihat ekspresi sedih Taehyung.

“Mau bareng engga? Kebetulan mau ngumpulin juga nih, hehehe. Btw, itu Nayeon kayaknya udah siap-siap mau pergi.”

Dan mulut Taehyung masih terkunci rapat. Dirinya hanya dapat mengangguk lesu. Kakinya masih lemas, jantungnya masih berdetak dengan cepat, sisa-sisa ketakutan dan kecemasan yang tadi masih terasa.

Jungkook tersenyum, lalu mengajak Taehyung untuk berjalan ke arah Nayeon dan kedua teman perempuannya. Langkah kecilnya mengekor di balik tubuh Jungkook, membiarkan pria itu menuntunnya yang masih begitu linglung. Syukurnya, keduanya berhasil mengumpulkan tugas, tepat sebelum Nayeon pergi meninggalkan lounge fakultas mereka.

. . .

Sudah hampir sepuluh menit dan Taehyung masih bungkam. Anak itu terlihat begitu hanyut dengan pikiran di dalam kepalanya sendiri. Jungkook jadi bingung harus melakukan apa sekarang. Mulutnya sibuk mengunyah sosis sapi instan yang dia beli di toserba kampus. Beberapa kali matanya mencuri pandang ke arah Taehyung, menanti kalau pria itu mungkin akan mengatakan sesuatu pada akhirnya.

Tidak tahan lagi dengan kebisuan, Jungkook pun akhirnya membuka suara. “Taehyung, kok diem aja sih? Aku ada salah ya? Kaget ya tadi karena tiba-tiba ada aku? Muka kamu murung banget, nanti disangka orang aku ngapa-ngapain kamu.”

Taehyung mengangkat wajahnya, beralih memandang ke arah Jungkook. Wajahnya masih terlihat sendu, bahkan ada jejak genangan air mata di sana. Dalam hati, dalam pikirannya, Taehyung sibuk memikirkan kemungkinan yang terjadi kalau saja tadi Jungkook tidak datang.

Menarik napasnya dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Mencoba menemukan perasaan tenang yang lebih dalam lagi, agar dirinya bisa bersikap normal. Saat rasa berat di dadanya sudah mulai meringan, Taehyung langsung buru-buru menggelengkan kepala. Bibirnya melengkunkan senyuman, meski mata itu tidak bisa bohong. Senyumannya palsu, namun Taehyung berusaha melakukannya dengan tulus.

“Engga kok, aku tadi engga dalam kondisi yang baik aja. Untung kamu datang, hehehe.” jawab Taehyung.

“Kamu inget aku?” tanya Jungkook tiba-tiba.

Taehyung diam sebentar, berusaha mencerna pertanyaan Jungkook tersebut. Ah, pasti karena kejadian tadi. Pasti Jungkook mengira Taehyung tidak mengenal teman sekelasnya sendiri, ya, begitu yang Taehyung kira.

“Hah? Inget kok, kamu Jeon Jungkook yang sering duduk di sebelahku kan di kelas multikultural? Hehehe, maaf, penglihatanku agak buruk makanya tadi ga ngenalin kamu.” jawab Taehyung, anak itu tidak sepenuhnya berbohong. Secara teknis, penglihatannya memang buruk.

Padahal bukan itu maksud dari pertanyaan Jungkook. Jungkook menanyakan perihal kejadian di kafe kemarin. Apa Taehyung tidak sadar kalau mereka tidak hanya bertemu di kelas saja?

Jungkook ingin bertanya lebih lanjut. Ingin bertanya, kenapa Taehyung terdiam kebingungan di lounge tadi. Ingin bertanya kenapa dia tidak mengenalinya saat di kafe. Ingin bertanya kenapa matanya terlihat begitu sedih meskipun bibirnya tersenyum.

Alih-alih menanyakan semua itu, Jungkook malah mengatakan hal lain. “Kapan-kapan, mau aku traktir caramel machiato di kafe kakakku?”

Mata Taehyung langsung berbinar, begitu telinganya mendengar minuman kesukaannya disebutkan Jungkook. Kepalanya mengangguk semangat, dengan itu jawaban Taehyung adalah iya.

Jungkook tersenyum. Hatinya menghangat saat melihat senyuman lucu Taehyung mengembang, matanya menyipit dan kepalanya mengangguk berkali-kali.

“Sip kalau gitu. Omong-omong, aku ada kelas di gedung B nih. Nanti aku chat kamu ya?” kata Jungkook. Sebenarnya, dia sedang panik setengah mati saat ini. Namun berusaha untuk tetap stay cool di hadapan Taehyung. Kelas theory of literature akan dimulai dalam 5 menit, alamat Jungkook harus berlari secepat angin menuju gedung B setelah ini.

Taehyung tersenyum kecil, kemudian mengangguk. “Okay, Jungkook. Makasih ya udah ditemenin.”

Jungkook membalas senyuman Taehyung, melambai-lambaikan tangan sebelum membalik badan dan lari sekencang mungkin. Rasa sedih yang tadi menyelimuti hati langsung luntur. Taehyung kini tersenyum, sambil memandang punggung Jungkook yang kian menjauh.

. . .