Seraphic – 109.
warning; mention of trauma, relational aggression, trust issue, anxiety disorder . .
He is the one, someone who wanted to learn about your past not to punish you, but to understand how you needed to be loved.
Ada satu fragmen kilat yang terlintas dalam kepala Jungkook, sebuah adegan di mana dirinya akan benar-benar patah hati setelah hari ini berlalu. Tentu, bukanlah opsi yang ingin dia jadikan kenyataan, hanya sekadar jaga-jaga saja. Atau, upaya memperkuat pertahanan hati, jika hari ini akan benar-benar berakhir buruk.
Sunyi menemani lamunannya yang kini duduk seorang diri di pojokan kafe Anea. Kafe minimalis yang penuh dengan ornamen berwarna putih, letaknya mesti menyusuri gang-gang kecil di dekat kampusnya. Jungkook tidak akan pernah mengetahui eksistensi tempat ini, kalau saja dia tidak memenuhi saran Jimin semalam.
Pikiranya sudah keburu penuh dengan banyak pertanyaan, dirinya sibuk bergelut dengan risau dan resah. Jungkook bahkan tidak berekspektasi bisa tidur dengan nyenyak tadi malam, dan itu sungguh terjadi.
Segelas americano dingin menganggur di atas meja. Dirinya kehilangan nafsu untuk sekadar mengangkat gelas berisi kopi di hadapannya. Matanya sibuk melirik hp yang dia tidurkan di atas meja, atau jam yang melingkar di tangan kirinya.
Satu helaan napas, penuh dengan rasa syukur dan bercampur dengan rasa khawatir yang membuncah, ketika satu wajah familier memasuki kafe. Jungkook bersyukur, karena artinya sebentar lagi dia akan mendapatkan jawaban dari Taehyung yang tiba-tiba menghindarinya. Namun, di sisi lain juga Jungkook takut untuk mendengar penjelasan rinci dari Jimin.
Jimin, dia tidak perlu kesulitan untuk menemukan keberadaan Jungkook, karena hanya ada pria itu di sisi pojok kafe. Dia berjalan, menghampiri meja di mana Jungkook berada. Keduanya membungkuk kecil, berusaha sopan di pertemuan pertama mereka ini.
“Jungkook, kan?” tanya Jimin basa basi. Meskipun keduanya tahu, jawabannya sudah jelas.
“Iya, Park Jimin, temennya Taehyung?”
Jimin menjawab dengan sebuah anggukan. Lalu, mengambil posisi duduk di kursi seberang Jungkook.
Berdeham pelan, Jungkook mencoba mengumpulkan banyak keberanian untuk bertanya kepada Jimin. Dirinya sudah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahu, Jungkook begitu haus akan informasi yang ingin Jimin sampaikan hari ini. Semalaman dirinya dibuat resah dan kepikiran, rasanya sudah tidak mungkin bagi Jungkook untuk menahan itu semua lebih lama lagi.
“Jadi, mau ngomongin apa ya?” tanya Jungkook to the point.
“Gue bingung mau bahas dari mana, karena kayaknya ini bakal jadi cerita yang panjang banget,” Jimin berkata. Ada jeda di sana, karena rasa berat yang menghampiri tiba-tiba, mengingat kembali beberapa kejadian menyakitkan yang pernah dialami Taehyung. “Pertama, gue mau nanya ke lo deh. Kenapa lo pura-pura jadi dua orang? Kenapa lo ga bilang ke Taehyung, kalau ternyata lo tuh barista yang sering ngasih dia pesan di Daily Dose?”
Jungkook nampak menunduk, pelipisnya dia pijit dengan pelan karena kepalanya mendadak pening. Salah paham yang sudah dia takutkan ternyata terjadi jauh lebih buruk dari yang dia bayangkan.
“Gua engga bermaksud gitu, berani sumpah. Gua engga pernah ngomong soal itu, bukan karena sengaja mau bohongin Taehyung.”
“Tapi lo tahu kalau Taehyung itu agak 'berbeda'?” tanya Jimin.
Jungkook mengangguk. “Awalnya gua engga tahu, tapi setelah beberapa kali ketemu dan dia ga ngenalin gua, di situ gua mulai bingung. Sampai ada satu momen di mana gua mulai curiga, gua cari tahu semua hal tentang Prosopagnosia, dan ya...”
“Kenapa lo engga jujur aja ke Taehyung dari awal?”
Benar, Jungkook juga sadar kalau tindakannya bodoh. Dia pikir, dirinya bisa menjelaskan semuanya pada Taehyung di waktu yang tepat. Namun, nyatanya tidak akan semudah itu. Tidak, dengan Taehyung yang memiliki masa lalu menyakitkan. Tidak, dengan Taehyung yang memiliki ketakutan yang begitu besar dari masa lalu. Ketakutan yang membuatnya sulit untuk mempercayai orang lain, membuatnya ketakutan dan khawatir akan banyak hal.
“Engga tahu, emang gua bodoh banget. Tapi, gua beneran engga ada niat buat bohongin dia. Gua cuma engga cerita, bukan bohong. Karena bingung juga, engga mungkin gua tiba-tiba bahas hal yang sensitif begini kan ke Taehyung?”
Kini wajah Jungkook nampak begitu frustasi. Sungguh jauh berbeda dengan kepribadiannya sehari-hari. Jungkook yang biasanya jenaka, ceroboh dan memiliki kepribadian yang unik, seakan lenyap untuk beberapa saat. Wajahnya kini begitu serius.
Jimin mengangguk, sedikitnya dia mulai paham dari perspektif Jungkook saat ini. Memang, tidak sepenuhnya ini adalah kesalahan pria itu. Yang ada hanyalah kesalah pahaman di antara Jungkook dan Taehyung saja.
Mengenang kembali sebuah kejadian di masa lalu, Jimin pun mulai membuka ceritanya. Tentang kisah pedih yang pernah dilalui oleh Taehyung, alasan dari Taehyung menjadi individu yang tertutup seperti sekarang. Alasan dari Taehyung yang sulit menaruh rasa percaya pada orang lain, dan cemas ketika anak itu berada di ruang bebas penuh dengan orang asing.
Jungkook mengepal tangannya, begitu mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir Jimin. Hatinya terasa ikut sakit, dirinya seakan dibawa kembali ke masa-masa itu. Seakan, dia bisa melihat Taehyung yang tengah menangis sendirian di kamar mandi, melihat sosok Taehyung kecil yang menunduk ketika melewati orang-orang di lorong sekolah. Bahkan, Jungkook bisa membayangkan bagaimana tatapan semua teman-teman tidak berguna Taehyung di SMP dulu.
Seisi sekolah waktu itu bicarain dia, ada banyak kabar burung yang ga ngenakin. Tentu aja faktanya kebalikan dari yang sebenarnya terjadi, mereka ga tahu keadaan Taehyung yang sebenarnya. Begitu kata Jimin.
Kiranya, menarik napas dalam-dalam adalah hal terbaik yang dapat Jungkook lakukan saat ini. Amarahnya membuncah, meski dirinya tahu kalau tindakannya ini sudah begitu terlambat. Jungkook hanya mendengar secuil kisah menyakitkan tentang Taehyung, namun dirinya sudah bisa bereaksi seperti ini.
Dia ingin tahu lebih banyak, Jungkook butuh mendengar lebih banyak lagi. Sebanyak dirinya ingin memberikan rasa aman dan sayang kepada Taehyung, sebesar dirinya ingin membuktikan pada Taehyung, kalau apa yang terjadi di masa lalunya, bukanlah hal yang menentukan nilai dirinya saat ini. Entah itu dulu, atau sekarang, menurut Jungkook, Taehyung layak dicintai seluas jagat raya. Jiwa yang murni seperti Taehyung, dia hanya boleh diberikan kebahagiaan dan rasa cinta yang begitu besar.
. . .
Jimin berkata, kalau dia butuh bertemu dengan Taehyung malam ini. Dari nada bicaranya, Taehyung bisa menangkap ada sebuah keseriusan di sana. Membuat keningnya mengerut dan berulang kali bertanya ada apa. Jimin jarang sekali menggunakan nada begitu saat berbicara dengan Taehyung. Yang Taehyung ingat, saat itu Jimin bear-benar kecewa karena Taehyung begitu lemah saat orang membicarakan dirinya dari belakang.
Gapapa, nanti bukain aja pintu apartemen ya. Soalnya batre hpku low nih. Begitu katanya melalui sambungan telepon.
Untuk sekadar menikmati membaca buku atau mendengar musik saja jadi tidak bisa. Kepalanya sibuk bertanya-tanya, sembari menanti kedatangan Jimin ke apartemennya. Lama berkutat dengan isi kepalanya sendiri, kemudian bell dari depan pintu apartemennya berdenting, menyadarkan Taehyung. Dirinya buru-buru loncat dari atas sofa, berlari ke arah pintu depan untuk membukakan pintu. Itu pasti Jimin!
Pintu apartemennya terbuka, Taehyung sudah siap dengan hujaman pertanyaan untuk Jimin. “Jimoo, ada ap—” anak itu diam sebentar, begitu menyadari kalau bukan sosok Jimin yang berada di depan pintu apartemennya.
Rambut Jimin caramel brown dan poninya panjang, hingga bisa Jimin atur ke arah samping. Sahabatnya itu juga beberapa senti meter lebih pendek dari Taehyung, sedangkan orang di hadapannya tidak. Wajah mereka sejajar, Taehyung dapat melihat rambut hitamnya dengan jelas. Ini bukan Jimin, dan entah mengapa Taehyung bisa merasakan kalau orang ini adalah seseorang yang dia kenal betul juga.
Pandangan mata Taehyung turun, memeriksa satu hal yang bisa memberinya jawaban. Dan, tentu saja dugaannya benar. Tangan dengan tato yang terlukis begitu indah, hanya ada satu orang yang memiliki tangan bertato seperti itu. Dia, Jeon Jungkook.
“Hei...? Maaf, Jimin jadi bohongin kamu demi bantuin aku.” katanya.
Taehyung mundur selangkah. Dia memalingkan wajahnya, jemarinya mencengkeram erat kenop pintu. “K-kamu ngapain?”
“Mau minta maaf, soalnya aku salah udah buat Taehyung sedih,” jawab Jungkook.
Bohong, kalau Taehyung bilang hatinya tidak bergetar dan jantungnya tidak berdebar berkali-kali lipat mendengar jawaban Jungkook. Bohong sekali.
“Engga apa-apa kalau masih mau marah, aku emang pantes dimarahin sama Taehyung. Soalnya aku salah. Tapi, boleh engga kalau aku gatau diri sedikit, minta kamu marahnya jangan lama-lama?” kata Jungkook.
Taehyung masih memilih jalan bisu untuk menanggapi perkataan Jungkook.
“Aku nakal udah buat Taehyung marah. Tapi, cuma mau kamu tahu, kalau semuanya aku lakuin dengan tulus. Sebagai Jungkook, ataupun JK, dua-duanya itu aku, dan aku bener-bener ngelakuin semuanya tulus buat kamu.”
“Kenapa?” Taehyung bertanya.
Alis Jungkook mengerut. “Ya engga ada alesan. Karena aku emang mau lakuin itu semua buat kamu.”
Namun, nampaknya Taehyung kurang puas dengan jawaban Jungkook tersebut.
“Aku suka sama kamu, Taehyung. Tapi, emangnya ini bisa dijadiin alesan? Semuanya, rasa sukaku, rasa nyamanku, semua hal yang aku lakuin, semuanya tulus.” kata Jungkook.
Detik itu, Taehyung merasa jantungnya jatuh dan keluar dari dadanya. Ada getaran aneh begitu mendengar perkataan—pernyataan perasaan—Jungkook barusan. Sesuatu asing, yang belum pernah Taehyung alami sebelumnya.
Tangan kanannya terangkat, memegang dada bagian kirinya. Jantungnya berdebar begitu kencang, hingga Taehyung bisa merasakan ketukan dari dalam dadanya sendiri. Perasaan apa ini?
. . .