Tacenda – 71.
. . .
We're just two ghosts swimming in a glass half empty. Trying to remember how it feels to have a heartbeat.
Jungkook merasa kalau hari ini putaran waktu pada jam di dinding berjalan begitu lama. Sejak pagi, dirinya kalang kabut dan perasaannya tak keruan. Pikirannya sibuk, menerka atmosfer apa yang akan menyelimuti dirinya dan Taehyung nanti. Kalau boleh jujur, ada sebuah perasaan senang dalam hatinya. Sejanak berhenti berlari dari rasa sakit, menikmati kebahagiaan semu yang bersifat sementara. Namun, dirinya mungkin juga sudah terlalu lelah untuk berharap lebih.
Jam putih yang terpasang di ruang tengah rumahnya sibuk berdenting, menghitung waktu mundur untuk menyambut kedatangan Taehyung. Mamanya sejak pagi sudah berkutat di dapur, bersama dengan Bi Inah, menyiapkan banyak kudapan untuk ketiga orang spesial yang akan berkunjung nanti.
Sedang Jungkook hanya duduk bersandar di sofa ruang tengahnya. Pikirannya sibuk berkelana, seakan menatap langit-langit rumahnya adalah kegiatan yang asik. Kalau orang rumahnya melihat kondisinya saat ini, kemungkinan besar, mereka berpikir kalau Jungkook sedang menghitung banyaknya nyamuk yang terbang di udara.
Pria itu bergumul dengan pikirannya sendiri. Dalam hati sibuk bertanya, Apa dirinya dan Taehyung harus berpura-pura menjadi pasangan paling bahagia lagi? Mencoba bersikap biasa saja? Apa tidak perlu banyak bicara?
Tidak tahu, Jungkook sudah kepalang pusing. Sampai-sampai, suara klakson mobil di depan pagar rumahnya pun tak terdengar olehnya. Anak sematang wayang keluarga Jeon begitu hanyut dengan sang lamun. Sang mama mengintip dari bagian dapur, mendapatkan pemandangan anaknya yang masih memandang kosong langit-langit di ruang tengah.
Alis mama Jeon mengerut. “Sayang, tolong dibukain pagernya. Itu kayaknya Taetae udah sampai deh.”
Dua detik, hingga akhirnya pikiran Jungkook kembali berpijak di waktu yang sedang berjalan. Menarik napasnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya pelan. Mencoba untuk mencari si rileks yang sangat dibutuhkan, kemudian beranjak dari sofa. “Okay, mam.”
Kakinya berlari kecil keluar dari rumah, beralaskan sandal jepit hitam kesangannya. Mengintip sedikit dari celah pagar, terlihat sedan hitam milik Taehyung terparkir di depan, atau lebih tepatnya menunggu untuk dibukakan oleh sang tuan rumah. Ketika pagar hitam yang menjulang tinggi itu dibuka, Jungkook langsung dapat menangkap siluet tubuh Taehyung di dalam mobilnya. Tubuhnya minggir sedikit, dan memberi isyarat kepada Taehyung untuk segera masuk ke dalam.
Memperhatikan dalam diam, hingga mobil Taehyung terparkir aman di dalam garasi rumahnya yang cukup luas. Jungkook berjalan mendekat ke arah mobil Taehyung, kemudian pintu penumpang bagian belakang dibuka. Sosok wanita tengah baya keluar dari sana, wajahnya cantik dihias oleh senyuman lebar. Bundanya Taehyung, atau Jungkook kerap menyapanya bunda.
Dipeluk tubuh Jungkook, seakan-akan mereka adalah sepasang ibu dan anak yang habis terpisah jauh. Punggungnya dielus lembut oleh bunda, membuat senyuman Jungkook otomatis merekah. Kenyamanan yang disalurkan bunda terasa begitu familier, seperti pelukan mamanya sendiri. Jungkook meraih tangan kanan bunda, mencium dengan keningnya. Sebuah kebiasaan yang sudah dia lakukan sejak hari pertama pertemuannya dengan kedua orangtua Taehyung.
“Aduh, anak bunda yang sibuk ini. Janjinya kemarin weekend mau ke rumah, kenapa engga jadi?”
Jungkook tertawa canggung, mencoba sebisa mungkin tidak menjawab apa pun yang membuat topik pembahasan itu menjadi panjang. Lalu, meminta izin kepada bunda untuk menghampiri ayah yang baru keluar dari pintu penumpang bagian depan. Mereka langsung mengobrol, membicarakan berita koran pagi hari. Sembari keempat orang itu melangkah memasuki rumah Jungkook.
Semua terlihat begitu normal, sampai sebuah fakta menyakitkan bisa terlupakan sesaat. Dua keluarga dengan latar belakang yang berbeda, terlihat diselimuti oleh kehangatan dan keharmonisan. Hubungan ini sudah terjalin selama bertahun-tahun, menyatukan segala perbedaan terasa begitu indah bagi kedua keluarga itu. Pada hari Natal, bunda, ayah dan Taehyung akan berkunjung ke rumah Jungkook, membawa kue kering buatan bunda yang selalu menjadi kesukaan Jungkook. Begitu pula sebaliknya, pada saat perayaan Lebaran, Jungkook dan kedua orangtuanya akan berkunjung ke kediaman orangtua Taehyung. Bersilaturahmi, berbincang dan menyantap ketupat beserta teman-temannya.
Seakan tembok penghalang itu tidak ada, seakan garis perbedaan itu terputus, mereka begitu nyaman dan bahagia dengan saling menghargai perbedaan satu sama lain.
Semuanya terasa begitu indah, hingga Jungkook kembali dibawa ke masa-masa itu. Hari-harinya yang penuh dengan tawa Taehyung. Makan malam keluarga bersama, mengobrol dengan papanya dan juga ayah. Melihat mama dan bunda berkutat di dapur bersama, lalu Taehyung akan dipanggil untuk membantu mereka. Atau terkadang Taehyung bergabung dengan Jungkook, papa dan ayah. Semua terulang kembali hari ini.
Kecanggungan yang sempat Jungkook khawatirkan menghilang dengan sendirinya.
Hari itu, di ruang makan keluarga Jeon, hanya ada tawa dan rasa bahagia. Luka yang terasa basah dan perih, sementara waktu dapat tertutup dan tersamarkan. Senyuman bahagia Taehyung yang sudah lama menghilang, kini dapat kembali Jungkook saksikan.
Prianya, Taehyung, yang selalu terlihat indah tertawa mendengan lelucon dari papa. Matanya menyipit, pertanda bahwa tawanya adalah sebuah ketulusan, bukan sandiwara palsu yang beberapa bulan ini mereka lakonkan. Jungkook membeku di sebelah Taehyung, hanya dapat mengabadikan momen ini dalam diam. Merekam setiap detik yang berlalu, menarik napasnya dengan pelan, seakan takut kalau momen membahagiakan ini akan segera berakhir.
Namun, Jungkook tidak sadar. Dia tidak akan menyadari kalau jejak sendu itu tergambar jelas di wajahnya. Mungkin, dirinya bisa memperhatikan dan menikmati momen ini dalam sunyi. Tetap, hatinya tidak bisa berbohong. Semua kepedihan dalam hati itu tersalurkan melalui tatapan matanya, seakan matanya dapat berbicara. Tatapan penuh dampa yang biasa terpajang di wajahnya sudah tergantikan dengan gurat sedih.
Bunda menangkap detail itu dengan jelas. Bagaimana sikap kedua anak itu tidak semanis biasanya. Keduanya memang tersenyum, tapi ada saat di mana senyuman mereka terlihat begitu palsu. Detik itu, bunda sadar kalau ada yang disembunyikan oleh Jungkook dan Taehyung. Meski begitu, beliau memilih diam. Baik orangtua Jungkook, ataupun Taehyung, keduanya tidak pernah sekali pun mencampuri urusan anak-anak mereka. Yang dilakukan oleh kedua keluarga itu hanyalah mendukung apa pun keputusan kedua anak mereka.
Selesai dari makan malam, kedua orangtua mereka begitu sibuk. Melepas rindu akan hari-hari yang terlewati tanpa kabar satu sama lain. Hingga melupakan absensi Taehyung dan Jungkook di ruang tengah keluarga Jeon. Kedua anak itu lebih memilih untuk duduk di teras rumah Jungkook, ketimbang bergabung dengan para orang tua di dalam sana.
Mereka duduk bersisian, ditemani oleh sunyi. Membiarkan atmosfer dingin menyelimuti, tanpa ada sepatah kata yang terucap. Meskipun, sebenarnya ada begitu banyak hal yang ingin mereka katakan pada satu sama lain. Ada berjuta rasa yang ingin disingkap, sudah mengamuk dan hampir meluap. Namun, si ego dan gengsi menguasai keduanya.
“Makasih ya udah dateng.” Jungkook berkata, memberanikan diri untuk memulai percakapan. Karena dia tahu, Taehyung tidak akan melakukannya duluan.
“Hm, Ayah dan Bunda nanyain terus. Aku juga engga enak sama mama, soalnya keburu janji waktu itu di telepon.” jawab Taehyung.
Jungkook mengangguk, cukup tahu diri kalau alasan Taehyung ke sini memang bukanlah karena dirinya. Meski, dalam hati ada sepercik harapan akan hal itu.
“Kamu keliatan okay. And good for you, tho.” kata Jungkook, dengan sebuah senyuman luka terpasang di wajahnya. Tidak bohong, kalau hatinya begitu nyeri setiap memikirkan Taehyung sudah baik-baik saja sekarang.
Jungkook tidak paham kenapa. Padahal, seharusnya dia senang kalau Taehyung baik-baik saja, 'kan? Dirinya merasa begitu kejam saat merasa kecewa dan marah atas perasaan orang lain, atas kebahagiaan pria yang paling dicintainya.
Sedang Taehyung, dia tidak menjawab perkataan terakhir dari Jungkook. Tangannya sibuk memeluk dirinya sendiri, wajahnya berpaling untuk menatap ke arah lain.
“Taehyung, aku engga tahu apa aku pantes ngomong begini atau engga. Tapi, kayaknya aku harus ngomong ini ke kamu,”
Kepala Taehyung menoleh, matanya yang tadinya tidak berani menatap Jungkook 'pun kini beralih untuk menatap mata pria di sebelahnya. Rasanya panas dan perih, mungkin Taehyung tidak sadar kalau air mata mulai menggenang.
“Maaf, aku belum bisa okay kayak kamu. Maaf, aku masih belum baik-baik aja, karena ini engga mudah buat aku. Ada begitu banyak masa depan yang aku impikan, yang aku bayangin bareng sama kamu, dan perpisahan bukanlah salah satunya. Aku engga persiapin hatiku buat rasa sakit dari perpisahan kita, mungkin karena itu butuh waktu yang lama bagi aku untuk baik-baik aja.”
Jungkook tidak menatapnya, Jungkook tidak melihat bagaimana air mata Taehyung siap jatuh kapan saja. Jungkook tidak lihat bagaimana Taehyung mempererat pelukan pada tubuhnya sendiri. Semua itu, semua yang dilakukan Taehyung adalah tanda bahwa Taehyung juga belum baik-baik saja.
“Tapi, aku jahat banget. Aku ngerasa sedih dan kecewa setiap mikirin kamu baik-baik aja. Taehyung, aku... rasanya udah capek. Aku capek sama ekspektasiku sendiri.”
Menahan napas dan tangisnya, Taehyung kembali memalingkan wajahnya. Mendengar kalimat Jungkook yang terakhir, jujur saja, Taehyung merasa kalau dunianya runtuh untuk yang sekian kali. Harusnya, rasa sakit sudah menjadi teman baiknya selama setengah tahun ini. Namun nyatanya, Taehyung belum juga membiasakan diri dengan rasa sakit kehilangan Jungkook.
Kalimatnya selesai di sana, tanpa ada tambahan apa pun dari Jungkook, juga tanpa tanggapan dari Taehyung. Jungkook berdiri dari duduknya, kemudian masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata. Meninggalkan Taehyung yang pada akhirnya menumpahkan seluruh air matanya yang sejak tadi tertahan. Taehyung menutup mulutnya sendiri, upaya untuk menahan suara tangisnya dan isakkannya.
Taehyung hancur. Taehyung sudah mengahancurkan dirinya, menghancurkan Jungkook, menghancurkan kisah indah yang mereka lalui selama bertahun-tahun, semua hancur karena keegoisannya.
. . .
Bunda selalu tahu setiap kali ada yang salah dengan anaknya. Dan kini, bunda merasakan hal itu. Bunda merasa kalau Taehyung sedang di kondisi yang tidak baik-baik saja.
Berhari-hari anaknya menginap di rumah, memilih untuk mengambil 2 hari cuti jelang ulang tahunnya. Menghabiskan banyak waktunya di kamar lamanya di rumah orangtuanya, dan berpura-pura kalau dirinya baik-baik saja.
Sejak kepulangan mereka dari rumah keluarga Jeon di hari Natal, bunda merasa kalau Taehyung jauh lebih pendiam. Tentu saja itu bukanlah hal yang wajar, itu bukan Taehyung yang biasanya. Karena bunda tahu sekali bagaimana manja dan cerewet anaknya itu setiap kali dekat dengan orang yang disayanginya. Mengingat Taehyung cenderung mengungkapkan rasa sayangnya dengan perkataan manis dan banyak afeksi.
Taehyung berubah menjadi pendiam, tatapannya jauh lebih kosong dan tubuhnya sering sekali lemas. Seakan anak itu sedang memikul beban masalah yang begitu besar. Bunda merasa khawatir, karena Taehyung kian memburuk tiap harinya. Semuanya terasa semakin jelas sekarang.
Mengetuk pintu kamar anaknya dengan pelan, kemudian bunda meminta izin Taehyung untuk masuk ke dalam kamar anak itu. Menunggu sang anak memberi jawaban, dengan membawa nampan berisikan teh hangat manis dan camilan.
“Masuk aja bunda, engga aku kunci.” jawab Taehyung dari dalam kamarnya. Suara anaknya terasa begitu lemah, tidak bertenaga.
Bunda membuka pintu kamar Taehyung perlahan, melangkah masuk dengan hati-hati dan menaruh nampan yang dibawa ke atas nakas di sebelah ranjang Taehyung. Beliau kemudian duduk di sisi ranjang yang kosong, memperhatikan anaknya yang tertidur di dalam balutan selimut.
“Sayangnya bunda lagi ada masalah, ya?” tanya bunda hati-hati. Tangannya mengusap poni Taehyung, merapihkannya sedikit, hingga kening Taehyung sedikit terekspos.
Taehyung tentu saja berbohong, menjawabnya dengan gelengan pelan. Namun, matanya tidak berani untuk menatap sang bunda sama sekali. Takut, karena bunda pasti bisa menangkap kebohongan dari tatapan.
“Cerita aja sama bunda, sayang. Masalah sama Jungkook, ya?” tanya bunda lagi.
Taehyung mengubah posisinya, dari berbaring menjadi duduk bersandar pada kepala ranjangnya. Dia tatap mata sang bunda dengan air mata yang mulai menggenang. Bibirnya bawahnya digigit kencang, menahan rasa tangis yang hampir pecah sebentar lagi. Rasa sakit dalam dirinya mengamuk, meminta untuk disikap, mungkin sudah tak terbendung lagi. Bunda 'pun langsung menarik tubuh anaknya ke dalam pelukan. Mengusap punggung Taehyung dengan lembut, karena hanya itu yang kini dibutuhkan oleh sang anak.
Tangisan Taehyung pecah dalam pelukan sang ibu. Segala beban dan pedih yang dia tahan dalam hati pun meluap. Taehyung terisak, air matanya terjun bak air hujan yang turun begitu deras, dirinya kini terasa begitu rapuh dan kalah dengan rasa sedih.
“A-aku, aku udah putus sama Jungkook, bunda. Aku dan Jungkook udah engga bareng lagi. Aku jahat bunda, aku ngusir Jungkook berulang kali, aku udah buat Jungkook sakit, aku egois...” kata Taehyung di sela-sela tangisnya.
Bunda tidak bisa melakukan apa pun, tidak bisa menjanjikan penawar luka, selain pelukan dan rasa aman untuk saat ini. Beliau hanya diam, membiarkan sang anak mengluapkan semua yang tengah dia pendam sejak lama.
“Jungkook bilang dia capek bunda. Aku egois, aku udah nyakitin dia, tapi aku sedih waktu dia bilang kalau dia capek.”
Akhirnya pun, Taehyung menceritakan semuanya pada bunda, tanpa dikurangi ataupun dilebihkan. Taehyung menceritakan semua dari sudut pandangnya. Tentang rasa takutnya, tentang perkataan tante Jungkook, tentang dirinya yang dengan egois memutuskan hubungan mereka.
Bunda tidak menyalahkan, tidak juga membenarkan perbuatan Taehyung yang mengantarkan kedua anak itu dengan rasa sakit. Yang bunda tahu, kalau mereka berdua masih begitu saling menyayangi, namun diri mereka sudah terlanjur tertutup oleh luka.
Bunda berkata, kalau beliau percaya pada Taehyung dan Jungkook. Bunda percaya, kalau kedua anak itu akan menemukan akhir terbaik untuk keduanya. Namun, bunda merasa kalau anaknya memang bertindak begitu gegabah dalam membuat keputusan itu. Maka dari itu, bunda menyuruh Taehyung untuk kembali merenungi perbuatannya. Untuk memikirkan apa yang sebenarnya dia inginkan.
Apakah berpisah dari Jungkook adalah hal yang dia inginkan? Tentu saja bukan. Harusnya, ini adalah hal yang jelas untuk Taehyung.
. . .