Taehyung, don't give up on us... please?
TW: sedikit menyinggung tentang serangan panik.
.
.
.
Satu tarikan napas berhasil Taehyung lakukan. Setidaknya sosok di hadapannya hanya membuat dirinya menarik napas dalam-dalam, tidak sampai membuat Taehyung pingsan di tempat.
Bukan waktu yang singkat bagi Taehyung untuk membuat pertahanan yang kokoh. Taehyung sudah tersiksa selama hampir dua bulan ini demi menghindari sosok itu. Dia menghindar sekeras mungkin, agar benteng pertahanan yang dia bangun tidak dengan mudah dihancurkan begitu saja. Dan kini dia harus kembali berhadapan dengan Jeon Jungkook, pria yang paling dia sayangi melebihi semesta.
Memang hidup itu terkadang lucu. Takdir pahit tidak merestui keduanya untuk bersatu, namun semesta terus-menerus mempertemukan mereka. Dan Taehyung hanya bisa menghela napasnya dengan berat.
Kakinya yang sempat terpaku di tempat akhirnya bisa kembali dia gerakkan. Wajahnya yang sendu bisa kembali bersembunyi di balik topeng senyuman manis. Mencium wajah bunda, seakan segalanya baik-baik saja. Lalu Taehyung mengambil tempat tepat di sebelah Jungkook.
Bunda meletakkan satu piring berisi nasi di hadapan Taehyung. Kemudian kembali duduk ke tempat yang biasa diisi oleh beliau, tepat di sebelah ayah. “Loh, sayangnya bunda kenapa tadi berangkatnya ga bareng Jungkook?”
Taehyung memaksakan tawa, sedang Jungkook membeku di tempatnya. Pria itu bingung harus menjawab apa atas segala pertanyaan yang akan dilontarkan oleh ayah dan bunda. Bisa jadi jawaban mereka tidak akan serempak, karena keduanya tidak pernah membayangkan akan terjebak di situasi seperti ini. Boro-boro memikirkan skenario duduk di meja makan yang sama dengan ayah dan bunda. Taehyung sudah menutup semua jalan masuk bagi Jungkook untuk kembali.
“Kasian kalau Kookoo ke kantorku dulu bun, nanti jadinya muter-muter dia.”
Kookoo.... Jungkook sungguh merindukan suara lembut Taehyung ketika memanggil namanya dengan sebutan itu. Rindu sekali, hingga rasa bahagia dan gelora semangat yang menguasai dirinya beberapa saat lalu menguap. Kini rasa nyeri kembali meninggalkan jejak di dadanya.
Sepanjang makan malam berlangsung, Taehyung hanya bisa bersandiwara. Berpura-pura di hadapan bunda dan ayah kalau dia dan Jungkook adalah pasangan paling bahagia di dunia ini—ya, setidaknya dulu memang begitu. Sebelum Taehyung mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya. Keputusan untuk melepaskan Jungkook, meski dirinya harus menahan sakit sampai begitu sulit untuk bernapas, menahan pedihnya luka sampai air matanya mengering.
Tolong, Taehyung merasa waktu berputar begitu lama saat Jungkook berada di sebelahnya. Lehernya sudah seperti tercekik, mungkin dalam beberapa saat dirinya akan kesulitan untuk bernapas. Pikirannya terbelah ke mana-mana dengan dilema. Antara memanfaatkan waktu ini untuk melepas rindu yang melilit dan mencengkam dirinya hingga menimbulkan luka. Atau tetap menjaga jarak; sebuah tindakan preventif agar luka itu tidak terus melebar.
Sentuhan lembut Jungkook pada telapak tangannya, senyuman teduh, suara lembutnya ketika menyebutkan nama Taehyung. Semua itu begitu memabukkan. Mungkin Taehyung akan kalah. Mungkin segala usahanya untuk mencegah luka yang begitu dalam akan sia-sia.
Dan sandiwara itu harus tetap berlanjut, meski acara makan malam sudah selesai.
Taehyung akan membantu bunda membersihkan sisa-sisa piring kotor bekas makan malam, lalu ayah dan Jungkook akan duduk sambil mengobrol di saung kayu halaman belakang. Sudut yang paling ayah gemari untuk membagi rasa nyaman. Di sanalah tempat ayah membaca portal berita online sembari menyesap kopi sebelum berangkat kerja. Tempat ayah mengerjakan sisa-sisa pekerjaan kantor yang belum sempat beliau selesaikan. Juga tempat favorit ayah dan Jungkook bertukar pikiran atau sekadar obrolan santai.
Spons di tangan kanannya terus berputar, menyapu bersih noda yang tadi menjejak di piring. Namun pikiran Taehyung berkelana. Mengembara ke hari di mana pertama kali dia mengajak Jungkook main ke rumahnya. Saat itu sudah hampir satu tahun sejak Jungkook mencoba melakukan pendekatan pada dirinya. Hampir satu tahun dan Taehyung baru mencoba untuk membuka hatinya untuk Jungkook.
Beralasan tentang koleksi kaset dan dvd band pop rock sang ayah, Taehyung mengajak Jungkook main ke rumahnya. Melihat rak kayu besar yang menjulang hampir setinggi ceiling rumahnya, penuh berisikan kaset, CD dan piringan hitam dari macam-macam band pop rock semasa ayah muda.
Jungkook terkesima sambil mengangguk-angguk kagum. Hanya dapat mengeluarkan sebuah kata: waaah. Itulah awal mula pertemuan ayah dan Jungkook. Suatu hari di akhir pekan pada bulan Februari yang lembab. Pekat dalam ingatannya, bagaimana senyum ayah merekah ketika Jungkook meninggalkan sebuah impresi baik di pertemuan pertama mereka. Bahkan mereka sudah sangat cocok. Taehyung sering meledek kalau ayah dan Jungkook itu seideologi dan sejalan.
Hari-hari indah itu. Bagaimana bisa Taehyung menghapusnya dalam memori?
“Sayang...? Taehyung, anak baik anak manis?”
Hal yang Taehyung sadari selanjutnya adalah bajunya sudah basah terkena cipratan air keran. Piringnya sudah kesat dan mengkilap, mungkin bisa dia pakai untuk bercermin saking bersihnya.
“Kok ngelamun, hm?” bunda kembali bertanya.
Buru-buru kepalanya menggeleng. Kemudian memberikan senyuman termanisnya seperti biasa. Ya, topeng itu kembali menutupi wajahnya yang penuh dengan luka. “Kepikiran kerjaan bunda, numpuk banget akhir-akhir ini. Kantorku habis kerja sama proyek baru sama APG, tahu kan bun perusahaan properti yang gede itu? Haduh, pusing deh, mana permintaan iklannya agak ribet.”
Terima kasih kepada otak lambatnya yang kini bisa diajak bekerja sama. Taehyung salut dengan seberapa cepat dirinya membuat alasan seperti tadi. Untung saja klien barunya yang rewel bisa membuat dirinya beralasan hari ini.
“Oalah, ya sudah. Ini anterin kopi buat ayah sama Jungkook dulu.”
Bunda menyodorkan nampan dengan dua cangkir berisikan kopi hitam. Ya, ayah dan Jungkook penggemar kopi hitam tanpa gula. Sedangkan Taehyung lebih menyukai latte yang lembut. Asapnya mengepul di udara, wangi kopi yang kuat menyerbak hingga ke indra penciuman Taehyung.
Astaga, ini sudah pukul setengah sembilan malam. Gila saja kalau ayah dan Jungkook mau minum kopi di jam segini, bisa-bisa mereka tidak tidur hingga pagi. Taehyung ingin memprotes. Namun tubuhnya sudah keburu didorong oleh bunda.
Dia buka pintu kaca yang menyekat antara bagian utama rumah dan halaman belakang. Kakinya berjalan, mengambil langkah berat ke arah dua sosok yang sedang asik berbincang. Ayah dengan puntung rokok yang terjepit di antara jari tengah dan telunjuk. Jungkook dengan rokok elektriknya. Dia terpaku menatap Jungkook yang sedang menyesap benda tersebut. Hampir dua bulan, ternyata sudah ada hal yang berubah darinya. Jungkook kembali mengonsumsi benda bernikotin itu. Dulu, Jungkook hanya akan merokok ketika dirinya benar-benar penat dengan pekerjaan. Itu pun dia tidak akan pernah merokok di hadapan Taehyung, karena tahu kadar toleransi Taehyung terhadap asap rokok bagaimana.
Pembahasan tentang hobi memancing ayah terputus saat Taehyung meletakkan dua cangkir kopi di ruang kosong antara ayah dan Jungkook.
Tangan Jungkook yang memegang rokok elektrik dijauhkan, entah bermaksud agar Taehyung tidak melihatnya atau apa. Padahal Taehyung juga sudah terlanjur melihat. Memang ada sedikit rasa kecewa, namun dia berusaha keras untuk tidak peduli.
“Ayah yakin mau minum kopi jam segini? Udah malem loh, besok kan masih harus kerja. Kamu juga, Kook.”
Ayah terkekeh, lalu kembali menghisap rokoknya. Membuat asap mengepul di dekat Taehyung. Anak itu terbatuk, tidak pernah suka dengan asap rokok ayah yang terlalu kuat dan membuat kepalanya sakit. Sementara itu Jungkook sibuk mengibas-ngibaskan udara, berusaha agar asap rokok ayah tidak berani mendekati Taehyung lagi. Rokok listriknya kembali menganggur, dia letakkan di lantai saung.
“Ayah, sebentar ya. Jungkook anter Taehyung dulu ke dalem.” katanya. Kemudian dia berdiri, menuntun—dengan paksa—badan Taehyung untuk kembali masuk ke dalam rumah.
Setengah perjalanan, ketika langkah mereka tiba di teras belakang, Taehyung menepis tangan Jungkook dari bahunya. Ada gurat ketidaknyamanan dari pria itu, mungkin sedari tadi ditahan karena ada ayah di sana.
“Maaf...” hanya itu yang dapat Jungkook katakan.
“Pulang gih, udah malem. Kamu besok masih harus kerja.”
Jungkook tersenyum miris. Entah kalimat Taehyung barusan terdengar sebagai bentuk perhatian pria itu atau sebuah cara untuk mengusir Jungkook dengan halus.
Jungkook sadar, sepenuhnya sadar. Taehyung benar-benar kukuh dengan pendiriannya kali ini. Seperti keputusan mereka buntuk berpisah adalah sebuah harga mati bagi Taehyung. Mau pria itu berpura-pura tersenyum di depan bunda dan ayah, Jungkook bisa merasakan kalau itu semua hanyalah topeng.
“Aku engga enak ninggalin ayah. Udah lama banget engga ketemu, bunda bilang ayah nyariin aku terus.”
Sebuah helaan berat seakan menjawab perkataan Jungkook. Hatinya terasa ngilu mendapatkan jawaban seperti itu.
“Biar aku yang cari alesan ke ayah, kamu engga perlu khawatir. Mending kamu pulang.”
Tuhan, mata Jungkook sudah terasa begitu panas. Taehyung bahkan tidak ada nyali untuk menatap mata Jungkook, namun tetap saja perkataannya dapat menimbulkan sebuah luka. Jungkook palingkan wajahnya, menyeka sedikit titik air mata yang mulai meluap. Taehyung masih tertunduk, lamun dirinya tahu kalau satu tarikan napas Jungkook itu mengandung pilu.
“Kamu tidur aja, aku masih mau ngobrol sama ayah. Aku engga akan ganggu kamu.”
Fakta bahwa Jungkook berada di rumahnya saat ini saja sudah sangat mengganggu Taehyung.
hhh... “Terserah kamu ajalah.”
Taehyung melangkah masuk. Menaruh nampan di tempat semula dalam kabinet dapur. Lalu berjalan menuju ruang keluarga, menghampiri bunda yang masih sempat menonton serial drama malam hari. Ibunya sudah menguap berkali-kali, namun tetap memaksakan sepasang matanya berfokus pada layar televisi.
Taehyung memposisikan tubuhnya untuk duduk dengan nyaman di sebelah bunda. Badannya yang jauh lebih besar itu menempel, mencari sebuah kenyamanan yang tidak pernah gagal bunda berikan kepada sang anak. Dia peluk sang bunda dari samping, kemudian pandangannya kembali menerawang. Taehyung melihat ke arah tertentu tanpa menaruh fokusnya.
Bunda menepuk-nepuk lengan Taehyung tanpa bicara. Masih sibuk mendengarkan dialog penuh amarah dari pemeran utama dalam drama yang ditontonnya.
“Kalau ngantuk naik aja sana ke kamar. Jungkook mah kalau udah ngobrol sama ayah bisa sampai jam 2 pagi.”
Taehyung mendongak ketika mendengar informasi dari bunda. “Emangnya iya, bun? Jadi selama ini mereka suka ngobrol sampai pagi? ckckck.”
Bunda tertawa kecil, disusul dengan sebuah anggukan.
“Iya, engga tahu deh mereka ngobrolin apa aja. Emang udah seneng banget si ayah kalau ketemu sama Jungkook, dari dulu klop banget kan kamu tahu.”
Ya, Taehyung tahu. Selera musik ayah dan Jungkook itu sama. Saat pertama kali bertemu Jungkook, kesan ayah pada pria itu sudah bagus. Karena Jungkook mengklaim dirinya sebagai penggemar dari salah satu band British dengan aliran rock ballad yang juga ayah gemari. Sama-sama mengambil kuliah jurusan Hukum. Suka kopi hitam tanpa tambahan perasa manis. Sama-sama memiliki pengetahuan umum yang luas. Jungkook dan ayah gigih untuk mencapai target hidup mereka. Tidak heran kalau Jungkook sudah memiliki posisi yang cukup tinggi di perusahaan tempatnya bekerja.
Lama melamun, Taehyung akhirnya menyetujui perkataan bunda. Ya, ayah dan Jungkook memang klop sekali.
Waktu terkikis tanpa Taehyung sadari. Kini jam di dinding sudah menunjukkan hampir pukul setengah sepuluh malam. Mata bunda sudah tidak dapat lagi menahan rasa kantuk. Dikecup kepala anaknya, lalu berkata kata beliau akan pergi tidur.
Namun langkah bunda tidak menuju ke kamarnya yang terletak di sebelah ruang keluarga. Bunda berjalan menuju pintu teras belakang, di dekat dapur dan ruang makan. Kemudian kepalanya mengintip keluar, melihat sosok ayah dan Jungkook yang sedang tertawa diselipi dengan obrolan.
“Jungkook, mobilnya nanti masukin aja ke garasi ya, nak. Kamu nginep aja. Soalnya udah malem, bahaya kalau nyetir malem-malem. Nanti jangan lupa gerbang digembok. Kalau mau tidur di kamar sebelah Taehyung, atau kalau di kamar Taehyung jangan lupa dipisahin guling! hahaha.” Bunda setengah berteriak untuk mengatakan rentetan kalimat tersebut.
Untuk sekelian kalinya, Taehyung hanya bisa menghela napasnya. Aduh, rasanya pening sekali. Memang benar-benar kerja semesta yang begitu keji padanya. Perasaannya seakan hanya sebuah candaan. Rasa sakitnya hanyalah sebuah gurauan. Seakan semesta dan orang-orang di sekelilingnya tidak membiarkan rencana Taehyung untuk melepaskan Jungkook itu berjalan lancar.
Taehyung hanya dapat memijit pelipisnya. Kemudian dia melangkah naik ke lantai dua, tempat di mana kamarnya berada. Taehyung hanya butuh pura-pura tidak ada Jungkook di sana, lalu pergi tidur. Ya, semoga saja rencananya berhasil.
.
.
.
Penderitaan Taehyung tidak cukup sampai di situ saja ternyata. Pagi harinya ini dibuka dengan pemandangan Jungkook yang sedang membantu sang bunda menyiapkan sarapan. Peninglah itu kepala Taehyung rasanya. Semalam tidurnya tidak nyenyak sama sekali. Taehyung berulang kali terbangun dengan kaget tanpa sebuah alasan, mungkin efek dari pikirannya yang tidak mau disuruh istirahat meski tubuhnya sudah begitu lelah.
Bagi Taehyung, bangun pukul tujuh di pagi hari itu akan sangat jarang terjadi. Dirinya terbiasa bangun di pukul delapan dan berangkat ke kantor kurang dari dua puluh menit sebelum batas waktu absensi kedatangan ditutup.
Sedangkan Jungkook, pria itu terbiasa bangun lebih pagi. Karena jarak kantor dengan rumahnya lebih jauh jika dibandingkan dengan apartemen Taehyung. Makanya Jungkook lebih suka menginap di apartemen pria itu saat lembur gila-gilaan.
Bunda mengucap salam selamat pagi, mengecup pipi anak semata wayangnya tanpa sadar kalau wajah anak itu terlihat masam. “Pagi sayangnya bunda. Sana duduk, nanti bunda bikinin jus apel kesukaan kamu.”
Taehyung hanya dapat menurut. Dia berjalan ke arah meja makan, mengambil posisinya di kursinya yang biasa. Jungkook sibuk mondar-mandir menata makanan bersama bunda, sedang ayah masih dengan rutinitas paginya membaca berita di saung sembari menyesap kopi hangat. Pusing, kepalanya hanya bisa dia sandarkan ke meja dan berusaha tidak mempedulikan aktivitas menata meja dari Jungkook dan bunda di hadapannya.
Berada di satu meja makan yang sama dengan mantan pacar, yang sudah menghabiskan waktu lebih dari enam tahun bersama, lalu harus putus karena sebuah tulisan takdir yang pahit, itu bukanlah hal mudah. Terlebih keduanya harus putus dengan perasaan yang masih mutual. Saling mencinta sebesar dunia, namun dunia terlalu kejam terhadap mereka.
Rambutnya terelus lembut, disusul dengan banyak kecupan. Bunda bertanya tentang kondisi Taehyung yang pagi ini nampak tidak bergairah. Tentu saja anaknya akan menjawab dengan sebuah kebohongan, lagi. Rasanya begitu sulit untuk jujur. Padahal Taehyung tinggal mengatakan kalau dirinya dan Jungkook sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Pasti kondisi mereka tidak akan serumit ini.
“Sayang, tolong ayahnya dipanggil. Suruh sarapan dulu.” Bunda meminta tolong dengan suara lembutnya.
Kepalanya tadi tertunduk dan menempel ke meja, kini diangkat oleh Taehyung. Dirinya sudah siap untuk berdiri, kemudian menghampiri ayah di halaman belakang. Namun Jungkook buru-buru mencegah. “Jungkook aja bunda yang panggilin ayah.”
Pria itu tersenyum dan sudah langsung melangkah keluar rumah. Samar-samar Taehyung dapat mendengar suara tawa ayah yang entah sedang membicarakan apa dengan Jungkook di belakang sana.
Taehyung hanya berharap setidaknya Tuhan mengirimkan kekuatan super untuknya hari ini. Kekuatan penangkal rasa sakit di dadanya, yang mungkin harus dia tahan hingga jam sarapan selesai. Setelah itu Taehyung hanya perlu buru-buru beralasan berangkat ke kantor. Kemudian dia tidak akan melihat wajah pria itu lagi. Ya, skenario terbaik yang ada dalam pikiran Taehyung.
Namun tentu saja nasib baik tidak pernah berpihak kepadanya. Pagi itu Taehyung berakhir di kursi penumpang mobil Jungkook, dengan sebuah senyuman terpaksa agar tidak membuat ayah dan bunda curiga. Di kursi belakang sudah penuh dengan nasi tumpeng dan macam-macam lauk yang ternyata bunda pesan pada Bu Mala, rumahnya terletak di paling ujung depan pos jaga warga.
Mereka melewati setengah perjalanan dengan suasana dingin yang sangat tidak nyaman. Radio dalam mobil Jungkook menyala, suara penyiar pagi dari Prambors radio yang terdengar konyol seharusnya bisa mencairkan suasana sedingin salju di antara mereka. Biasanya Taehyung akan tertawa mendengar ocehan Gina dengan suara khasnya, lalu menepuk-nepuk lengan Jungkook sambil tertawa geli. Lamun, pria itu kini hanya menutup rapat bibirnya sambil menerawang ke jalanan Jakarta yang selalu padat di pagi hari.
Harusnya jarak rumah orangtuanya ke kantornya yang berada di daerah Sudirman tidak akan memakan waktu yang banyak. Namun entah kenapa Taehyung merasa jalanan pagi ini terasa lebih padat dari biasanya dan waktu berputar begitu lama.
Jungkook meninggikan volume radio ketika sang penyiar menyebutkan lagu dari penyanyi kesukaan Taehyung. Alunan lagu Harry Styles yang berjudul Falling memenuhi kekosongan di dalam mobil. Entah kenapa kini lagu itu terasa begitu menusuk relung hatinya, padahal Taehyung sering sekali mendengarkan dan menyanyikan lagu itu sebelumnya.
Taehyung memejamkan matanya. Membiarkan rentetan lirik indah yang dengan rasa pedih yang di alunkan Harry Styles memehuni kepalanya.
“Mau mampir ke sbux dulu beli hot latte?” tanya Jungkook. Namun tidak ada sepatah kata pun yang Taehyung keluarkan sebagai sebuah jawaban.
Jungkook paham, kalau itu berarti jawaban tidak dari Taehyung.
I’m falling again,
i’m falling again,
i’m falling….
Taehyung harus bertahan, setidaknya sampai mereka tiba di depan gerbang kantornya. Taehyung hanya perlu mengatur napasnya, menahan air mata yang mungkin sedang siap-siap membuat genangan. Sebentar lagi, Taehyung hanya perlu bertahan sebentar lagi.
Tidak ada kata apa pun selain sebuah ucapan terima kasih yang singkat dari Taehyung. Pria itu melepas sabuk pengaman, kemudian siap untuk keluar dari mobil Jungkook yang begitu menyesakkan. Rasanya Taehyung seperti berada di penjara sepanjang tiga puluh menit perjalanan. Namun pergelangan tangannya ditahan oleh Jungkook dengan lembut, tepat ketika Taehyung hendak membuka pintu mobil.
“Nanti aku jemput, ya? Taehyung, kita perlu bicara banget. Aku mohon.”
Tentu saja Taehyung hanya membisu. Wajahnya menoleh, matanya kini dengan tegas menatap Jungkook. “Aku engga bisa, sorry. Thanks buat tumpangannya.”
“Taehyung, aku mau egois kali ini. Aku mau egois buat minta kamu ga nyerah. Don’t give up on us, please?”
Taehyung melepaskan genggaman Jungkook pada pergelangan tangannya. Tanpa kata, tanpa suara, Taehyung menggantung perkataan Jungkook. Meninggalkan pria itu begitu saja dan kakinya dengan gontai memasuki gedung besar yang dipenuhi oleh kaca tersebut.
Meski begitu, Jungkook tetap kukuh dengan keputusannya. Jungkook tidak mau menyerah dan tidak akan menyerah akan Taehyung dan hubungan mereka.
.
.
.