begellataes

. . .

what makes you unique is what makes you beautiful.

Faceblind, suatu kondisi di mana seseorang kesulitan dalam mengidentifikasi wajah orang lain—bahkan dirinya sendiri. Dalam penglihatan Taehyung, wajah semua orang terlihat begitu kabur. Dia tidak pernah benar-benar mengetahui bagaimana nampak wajah seseorang. Karena, sejak kecil Taehyung sudah didiagnosa menginap prosopagnosia.

Ibunya dulu bercerita, tentang versi kecil Taehyung yang terlihat kebingungan, setiap kali anak itu bertemu dengan seseorang. Wajah kecil Taehyung cemberut, berulang kali mengerjapkan mata, bertanya akan siapakah orang yang berada di hadapannya.

Orangtua Taehyung semakin curiga ketika anaknya terus menerus bertanya siapakah yang berada dalam foto di ruang tengah. Padahal, seluruh dinding rumah mereka dihiasi oleh foto keluarga kecil Taehyung. Hanya ada foto Ayah, Ibu dan dirinya.

Bermodalkan nekat dengan ketakutan yang begitu besar, kedua orangtuanya membawa Taehyung ke dokter. Anak itu melakukan berbagai pemeriksaan. Dan hasilnya membuat kedua lutut orangtua Taehyung lemas, dadanya terasa sesak dan pundak mereka terasa berat. Katanya, kekurangan yang terjadi pada dirinya disebabkan oleh faktor genetik. Jelas, Taehyung tidak pernah—dan jangan sampai—tertimpa kecelakaan sebelumnya. Keluarga Taehyung merawat dan menjaga anak itu dengan begitu baik, dan apa yang terjadi pada anak mereka ini di luar kuasa kedua orangtuanya.

Ada hari di mana Taehyung begitu sedih. Ada masa di mana dirinya murka pada semesta dan membenci tulisan takdir. Ada waktu di saat dirinya hampir menyerah. Saat itu, Taehyung merasa hidup itu tidak adil dan dirinya memiliki nasib yang begitu malang. Membebankan dirinya dengan sebuah pemikiran buruk;

kenapa aku harus menjalani kehidupanku yang berat ini?

kenapa aku harus terlahir menjadi berbeda?

kenapa aku harus terlahir menjadi diriku?

Saat umurnya 13 tahun, Taehyung pernah mengunci dirinya di kamar mandi sekolah. Sebelum dering bell pulang berbunyi, dia memeluk lututnya sendiri di dalam sana. Meredam tangis yang tidak kuasa bisa dia tahan lagi. Ada begitu banyak omongan buruk yang menimpanya, dinilai sebagai anak yang sombong, anti sosial dan individualis. Padahal bukan begitu, bukan itu yang terjadi sesungguhnya.

Taehyung ingin menyapa teman-temannya, Taehyung ingin bermain bersama mereka, Taehyung ingin tertawa dan diajak jajan di toserba depan gerbang sekolah. Namun, keinginannya itu tenggelam, dikalahkan oleh rasa takut akan kekurangannya. Dia tidak bisa menyapa, karena wajah semua orang nampak sama baginya. Sebab itu Taehyung menarik diri dari pertemanannya, dari lingkungan yang berbalik menjadi kejam pada Taehyung versi remaja.

Satu-satunya teman yang tersisa hanyalah Park Jimin. Anak pindahan dari Busan yang hobinya tidur di kelas pada jam istirahat. Dia menjadi satu-satunya orang yang mengunci mulutnya rapat-rapat saat yang lain sibuk berbisik membicarakan Taehyung.

Mau makan Kimbab bersamaku? Mamaku bawa banyak banget, rasanya aku ga akan habis sih. Kalimat pertama yang dia dengar, sebuah awal dari hubungannya dengan anak laki-laki bernama Jimin itu. Dan sejak saat itu, mereka selalu menghabiskan waktu istirahat untuk berbagi bekal di atap sekolah.

Seiring dengan berjalannya waktu, umur yang kian bertambah dan melalui begitu banyak hal dalam hidupnya, Taehyung perlahan mulai menerima kekurangannya. Dirinya tidak lagi begitu sering menyalahkan takdir. Alih-alih meratap, Taehyung lebih memilih untuk mengubah sudut pandang tentang dirinya. Mengubah pandangannya tentang kurangan, menjadi sebuah kelebihan yang unik.

Toh, dia masih bisa hidup dengan baik hingga detik ini. Setidaknya, ada keluarganya dan Jimin yang bisa membantunya bertahan dan beradaptasi hingga sekarang. Selebihnya, Taehyung mungkin memang harus berusaha lebih keras lagi untuk bertahan.

Dirinya mulai mencoba menghafal suara dan gaya rambut orang-orang di sekitarnya. Memasang wajah ramah kepada siapa pun, meski tidak tahu apakah orang itu sedang menatapnya atau tidak.

Setidaknya, hidupnya terasa jauh lebih ringan sekarang.

“Kim Taehyung, di sini!” Jimin memanggil nama lengkap Taehyung dengan volume suara keras, tanpa peduli orang di sekelilingnya nampak terganggu. Tangannya melambai ke udara tinggi-tinggi, sedang punggungnya bersandar pada pintu mobil.

Taehyung tersenyum, berlari kecil menghampiri Jimin yang mungkin sudah bosan menunggunya sendirian.

“Ayooo, kita makan! Aku lapar banget, astaga.” kata Taehyung.

Anak itu tidak menyambut rentangan tangan Jimin, yang awalnya meminta untuk disambut dan dibalas dengan pelukan. Taehyung memilik untuk langsung masuk ke dalam mobil sedan sahabatnya, duduk dengan manis dan memasang sabuk pengaman. Jimin mendecak, namun buru-buru menyusul Taehyung untuk masuk ke dalam mobilnya.

“Jim, ayo makan gomtang. Perutku keroncongan, dari tadi di kelas kebayang itu terus.”

“Kenapa engga ke kafe depan apartemen kamu aja, biar ketemu sama barista yang naksir kamu itu.” jawab Jimin.

Taehyung hanya dapat menjawabnya dengan sebuah decihan, tanpa tahu kalau sahabatnya itu sedang memasang wajah jahilnya saat ini. Ya, tentu saja Taehyung tidak akan pernah tahu bagaimana ekspresi jahil yang sering Jimin tunjukkan.

“Diem deh, engga usah ngeledek aku. Buruan, aku udah lapaaaar. Aaaaaa.”

Menoleh sebentar untuk mendapatkan ekspresi wajah sebal dari Taehyung. Bibirnya mengerucut, pandangannya lurus ke arah parkiran kampus mereka. Pasti, saat ini dia sedang sebal sekali. Taehyung paling sebal kalau Jimin sudah menyebut barista manis dan baik hati itu dengan embel-embel kata 'naksir'. Padahal, dirinya sendiri yang sering sekali ribut menceritakan tentang pesan manis yang diberikan si barista.

Meninggalkan obrolan dan ledekan tentang barista itu, Jimin mulai menyalakan mesin mobilnya. Meninggalkan parkiran kampus yang lumayan sepi, dan melajukan mobilnya keluar dari komplek kampus. Sepertinya, kalau dirinya masih kukuh meledek dan berlama-lama di sana, akan ada seseorang yang mengamuk. Ditambah, perutnya sudah merengek minta diisi oleh gomtang yang lezat. . . .

. . .

Sweden; a country with a lot of light. During the summer in the very north of Sweden, the sun never sets between the end of May until the middle of July. We can see the sun 24 hours a day, which called the midnight sun.

. . .

Grundtjärn, sebuah desa kecil di bagian utara Swedia. Desa yang dikelilingi oleh hutan, padang rumput, danau dan sungai, jauh dari segala hiruk pikuk kota. Tempat yang Jungkook janjikan pada Taehyung, kalau mereka berdua akan menemukan sesuatu berharga di sana. Harta berharga itu adalah pengalaman yang mungkin hanya akan Taehyung rasakan sekali seumur hidupnya.

Kaki Taehyung melangkah kecil, mengekori sosok Jungkook yang tidak henti berjalan tanpa arah. Ini sudah berjam-jam sejak mereka meninggalkan kabin, kakinya bahkan mungkin sudah lecet di balik sepatu sandal yang dia pakai. Ya, mereka sudah melewati jalanan berbatu, dataran yang tidak rata dan bahkan memanjat tebing-tebing kecil yang dikelilingi pohon-pohon pinus raksasa selama berjam-jam.

Taehyung tidak tahu di mana sebenarnya posisi mereka berdua saat ini. Baik Taehyung ataupun Jungkook, keduanya adalah orang asing yang buta akan Grundtjärn. Kaki mereka sudah melangkah cukup jauh dari pondok kayu bercat merah yang dilewati tadi. Pondok itu adalah bangunan terakhir yang Taehyung lihat, sebelum semua pemandangan berganti menjadi pepohonan besar dan jalanan mendaki penuh dengan bebatuan.

Bibirnya mengerucut sebal, namun tetap dia mempercayakan Jungkook memimpin jalan. Membiarkan pacarnya yang menyebalkan itu menuntun mereka kembali ke kabin kecil di pinggir danau yang kini terasa sangat nyaman dalam bayangan Taehyung.

Ponselnya habis daya, kalaupun tidak, benda itu tetap saja tidak berguna. Sepertinya, Jungkook dan Taehyung berjalan terlalu jauh ke dalam hutan, hingga ponsel pintarnya tidak mampu menangkap sinyal sama sekali. Begitu juga yang terjadi pada ponsel Jungkook.

“Jungkook, kita mau ke mana lagi? Mending putar balik deh, sebelum kamu bawa kita makin masuk ke antah berantah!”

Jungkook terkekeh, omelan Taehyung saat ini justru terdengar sangat lucu. Pacarnya sudah mengomel panjang lebar sejak beberapa jam lalu, saat Jungkook sadar kalau mereka kehilangan arah untuk kembali. Kalau memang semudah itu mencari jalan kembali, Jungkook tidak mungkin mengajak Taehyung berputar-putar selama berjam-jam di dalam hutan. Dirinya juga tidak mungkin tega membiarkan pacar lucunya itu kelelahan seperti sekarang.

Dia tidak tahu sudah berapa lama mereka tersesat, yang dia ingat hanyalah waktu menunjukkan pukul 20.35 sebelum ponselnya mati total. Totalnya, sudah dua kali dia dan Taehyung melewati danau yang berbeda, berjalan mengikuti ke mana hilir sungai mengarus. Saat dilihatnya sang pepohonan mulai menipis dari pandang, ada harapan keduanya kalau mereka sudah keluar dari hutan. Namun, yang ditemukan hanyalah padang rumput yang membentang di tengah-tengah hutan pinus. Langkahnya terhenti di ujung jalan, berbalik menghadap Taehyung yang napasnya sudah terengah. Mereka kembali menemukan padang rumput lainnya, ya, ada sedikit rasa kecewa di sana. Tapi setidaknya, Jungkook bisa bernapas lega, karena matahari masih bertengger di atas sana.

Di Grundtjärn, matahari engga kenal kata terbenam selama bulan Mei hingga pertengahan Juli. Itu yang dikatakan kak Seokjin pada Jungkook dan Taehyung, begitu mereka tiba di desa ini pagi tadi.

“Capek, ya? Mau duduk dulu sebentar?” tanya Jungkook. Kakinya melangkah, mendekat ke arah Taehyung. Dia tuntun prianya untuk duduk di potongan kayu besar di tanah. Taehyung menjawabnya dengan sebuah anggukan lesu, dan membiarkan tubuhnya dituntun oleh Jungkook.

Keduanya duduk, melihat padang rumput yang terbentang indah dengan hamparan bunga liar. Campuran hijau dengan warna-warni dari kelopak bunga menghiasi pemandangan di hadapan mereka. Kalau tidak kenal lelah, mungkin Taehyung sudah berlarian menerobos padang bunga di depan sana.

Langit masih terlihat biru, meski tidak secerah beberapa jam lalu, karena kini ada dominasi dari warna jingga. Jungkook terpaku, dia terpukau, bukan dengan keindahan bentang alam di hadapannya yang menyejukkan mata. Melainkan, karena keindahan Kim Taehyung yang kini dengan damai menikmati suasana di sekeliling mereka. Bibirnya terkatup, matanya kedip beberapa kali. Kemudian, bola matanya mengekori gerak kupu-kupu yang sibuk beterbangan, hinggap dari satu bunga ke bunga lainnya.

“Kira-kira sudah jam berapa, ya? Kak Seokjin pasti lagi marah-marah nyariin kita,” kata Taehyung, dengan mata yang sibuk berkeliaran, menyusuri berbagai macam citra yang terekam dalam penglihatannya saat ini. Namun pikirannya juga tidak kalah berkeliaran ke mana-mana. “atau, kak Seokjin malah lagi pelukan sama kak Namjoon sekarang. Boro-boro mikirin kita.” tambah Jungkook, dengan tawa kecil di ahir.

Jawaban Jungkook tersebut mendapat sambutan hangat dari kepalan tangan Taehyung. Ya, lengannya sudah habis ditinju oleh pacar lucunya itu. “Kamu tuh ya, dari tadi sempet-sempetnya becanda ya!”

Tetap, omelan dan tinju kecil dari Taehyung tidak akan membuat tawa dan senyuman Jungkook luntur. Badannya beralih, dari menghadap ke arah Taehyung menjadi ke arah kirinya—tepatnya, posisi ransel besarnya berada. Dia keluarkan roti isi daging cincang, sisa makan siang yang belum sempat dia makan, lalu sebotol air mineral yang selalu Taehyung siapkan di tasnya. Kedua barang itu kemudian dia sodorkan ke arah Taehyung.

“Makan dulu, biar ada tenaga lagi buat nanti.” kata Jungkook.

Perut Taehyung keroncongan, mungkin terdengar seperti ada sebuah konser band metal di dalam sana, saking gaduhnya. Jungkook pun menyadari itu, membuat dirinya harus menahan tawa dan gemas sepanjang perjalanan.

“Setengah-setengah, oke? Kamu juga harus makan dan minum!” jawab Taehyung, sebelum akhirnya sibuk mengunyah roti. Jungkook hanya menjawab dengan gumaman.

Dia kemudian berjongkok di hadapan Taehyung, membungkuk sedikit dan menyemprotkan sesuatu ke arah kaki pria itu. Obat anti serangga dengan harum lavender kesukaan Taehyung, untuk mengusir para nyamuk yang sedari tadi sudah siap menyantap kulit mulus pacarnya. Wah, Jungkook ini bukankah terlalu penuh dengan persiapan untuk seseorang yang tidak sengaja tersesat di hutan?

Setelah kegiatannya dengan obat anti serangga, Jungkook kembali duduk di sebelah Taehyung. Mencoba untuk mengalihkan fokusnya pada si panorama, matahari di tengah malam di bulan Juni. Sebuah fenomena yang tidak akan dia dapatkan di Korea Selatan. Jungkook tidak tahu tepatnya jam berapa, namun dia yakin kalau kini waktu sudah begitu larut. Langit mulai sedikit menggelap. Kini sang biru dan jingga mendapatkan teman baru, ada guratan merah muda dan sedikit sentuhan ungu. Namun tidak berlangsung lama.

Taehyung diam, sibuk mengunyah dan membiarkan Jungkook larut dengan kegiatannya. Karena dia tahu, pacarnya begitu mencintai alam, dan pemandangan di depan mereka ini tidak akan bisa dibeli dengan apa pun. Disobek sedikit roti yang sedang dia makan, kemudian mencoba untuk menyuapi Jungkook tanpa aba-aba. Sobekan roti itu pun langsung masuk ke dalam mulut Jungkook, membuat Taehyung tersenyum.

“Ini gara-gara kamu nih, kita jadi tersesat gini.”

“Iya, gara-gara aku emang.”

“Jelek kamu, Koo!”

Jungkook terkikik. “Jelek juga kamu sayang, gimana aku ganteng?”

Dan, kini lengannya habis dicubiti oleh Taehyung, baru juga beberapa menit lalu tangannya menjadi samsak untuk kepalan tangan Taehyung. Namun berani sumpah, Jungkook tidak keberatan atau merasa sakit sama sekali. Meledek Taehyung itu adalah sebuah kegiatan menghibur dirinya, karena pacarnya sungguh terlihat menggemaskan di saat merajuk.

Kamera besar milik Jungkook dikalungkan. Tangan kirinya menepuk-nepuk pundak bagian kanannya, mengisyaratkan Taehyung untuk bersandar di sana. “Sini kepala kamu. Kamu bobo aja dulu sebentar, pasti ngantuk kan?”

Taehyung menggeleng. Mana bisa dia memutuskan untuk tidur di saat seperti ini. Dia dan Jungkook sedang berada di antah berantah, bisa saja ada binatang buas atau hal buruk terjadi saat dirinya tidur nanti.

“Yaudah, istirahatin aja matanya. Merem-merem gitu, sambil temenin aku ngobrol.” bujuk Jungkook.

Pada akhirnya, Taehyung pun luluh. Dia sandarkan kepalanya pada bahu Jungkook, tempat ternyaman dan teraman yang pernah Taehyung rasakan. Matanya terpejam sebentar, mencoba menebus rasa lelah dengan sebuah kenyamanan yang ditawarkan Jungkook. Taehyung tidak mengantuk, tidak juga ingin tertidur. Dia hanya memejamkan matanya karena lelah, juga, karena kenyamanan yang dirasakan.

Tangan Jungkook melingkar di balik punggungnya, kemudian mengelus-elus lembut pungguh Taehyung. Membuat Taehyung semakin merapatkan badan mereka. Suara serangga yang beterbangan menjadi latar suara, Taehyung membiarkan mereka diam seperti itu untuk sementara waktu. Tak lama, dirinya kembali berbicara, “sebenarnya, kalau dipikir-pikir seru juga ya.”

Menoleh, mendapatkan wajah Taehyung yang masih terpejam damai di sandaran bahunya. Jungkook membenarkan poni Taehyung yang acak-acakan dan sedikit menutupi mata pria itu.

“Seru gimana, hum?”

Taehyung membuka matanya, mendapatkan pemandangan wajah tampan Jungkook yang sedang memperhatikannya dalam jarak dekat. Pacarnya itu tersenyum hangat, menanti jawaban dari Taehyung.

“Seru, karena bisa nyasar di hutan sama kamu.” jawab Taehyung. Ada sedikit nada sarkasme di sana, tentu saja hanyalah sebuah candaan.

Jungkook tertawa, karena tahu kalau Taehyung itu sedang bercanda saat ini. “Iya, kapan lagi kita nyasar di hutan tengah malam begini. Tapi dapat pemandangan yang indah banget-banget.”

Senyuman lebar Taehyung, sebuah tanda kalau anak itu menyetujui perkataan Jungkook. Ya, indah sekali. Meskipun kakinya hampir habis digigiti oleh nyamuk.

Tanpa aba-aba, apalagi meminta izin, Jungkook tiba-tiba saja mencium bibir merah muda milik Taehyung. Dia lumat dengan pelan, tanpa dorongan atau paksaan untuk meminta Taehyung lebih jauh. Jungkook menciumnya dengan perasaan hangat yang mengalir. Membuat Taehyung membalas lumatan pada bibir bawah Jungkook, mengigitnya pelan, kemudian mengeluarkan tawa kecil di sela-sela ciuman mereka. Kedua tangannya melingkar, memeluk leher Jungkook agar keduanya dapat lebih leluasa mencium bibir satu sama lain. Tangan Jungkook yang melingkar di punggung Taehyung terlepas. Kini kedua tangannya dipakai untuk menangkup pipi Taehyung. Hingga akhirnya mereka melepas ciuman mereka, menutupnya dengan sebuah tawa renyah.

Tangan kanannya menggenggam tangan kiri Taehyung dengan erat, kemudian menyuruh Taehyung untuk kembali bersandar di tempatnya semula. Matanya memandang lurus ke arah seberang, tumpukan pohon pinus menjulang tinggi, di belakangnya terlihat sebuah bukit atau mungkin gunuh, Jungkook tidak tahu. Di sana, jauh di depan sana, matahari sedang bersembunyi di balik puncak bukit. Warnanya kuning kemerahan sekarang.

“Tahu engga kira-kira sekarang jam berapa?” tanya Jungkook.

Taehyung hanya menggeleng, karena kondisi ponsel mereka berdua sudah mati dan keduanya juga tidak memakai jam tangan. “Kata kak Namjoon, di bulan Juni matahari engga terbit di sekitar Kutub Selatan, karena rotasi matahari mendekat ke Kutub Utara,”

“Sebaliknya, matahari tengah malam di lingkaran Kutub Selatan cuma terjadi sekitar tanggal 22 Desember, atau pada musim dingin. Pada hari itu, Kutub Utara engga terbit di sekitar Arktik, karena rotasi matahari mendekat ke Kutub Selatan. Ngerti yang aku omongin?”

Taehyung kembali menggeleng dengan polosnya. Membuat tawa Jungkook pecah.

“Ini namanya midnight sun, sayang. Lihat di atas bukit sana?” tangan kiri Jungkook menunjuk ke arah bukit di hadapannya dengan Taehyung. “Matahari ga terbenam, padahal sekarang mungkin udah lewat dari tengah malam.”

Taehyung mengangguk paham. “Indah, ya? aku dari tadi juga perhatiin itu, perasaanku kita udah tersesat di hutan berjam-jam. Tapi langit dari tadi masih terang, ya sekarang lebih gelap sedikit sih memang.”

“Iya, indah. Tapi kasihan juga pacarku jadi capek, soalnya dibuat keliling hutan setengah hari ini.”

“Iyaaa, karena siapa ya aku dibuat capek hummmm?” Taehyung meledek, hanya ingin membuat Jungkook semakin merasa bersalah saja. Kemudian kembali menambahkan kalimatnya. “Seru kali ya kalau kita tinggal di sini suatu hari nanti?”

Pikiran Jungkook melayang jauh akan bayang-bayang menghabiskan waktunya dengan Taehyung di sana. Di rumah kayu kecil milik mereka, di tengah-tengah hutan pinus dan danau yang tenang. Di belahan bumi yang paling dekat dengan kutub utara, di saat matahari tidak terbenam selama 24 jam di musim panas, atau langit yang menggelap hampir 24 jam pada saat musim dingin.

Saat musim panas tiba, mereka akan berkeliling hutan, mengambil potongan kayu untuk persediaan musim dingin nanti. Memetik berbagai macam daun atau bunga, menjadikannya herbs yang akan Taehyung jadikan teh hangat di puncak musim dingin yang beku, mengingatkan mereka akan wangi musim semi yang sejuk. Pada musim dingin tiba, Jungkook akan mengajak Taehyung berkeliling dengan anjing peliharaan mereka. Meninggalkan jejak-jejak kecil pada tumpukan salju yang tebal, sebelum akhirnya kembali tertimbun oleh salju-salju lainnya. Atau menyalakan perapian di dalam rumah, menggunakan kayu yang mereka kumpulkan semasa musim panas berlangsung.

“Bukan seru, tapi indah dan nyaman pastinya. Kamu mau emangnya tinggal di sini?” Jungkook bertanya kembali.

“Di sini? Maksudnya di Swedia? Stockholm atau Grundtjärn? Kalau di Stockholm nanti tetanggaan sama kak Seokjin dan kak Namjoon, dong?”

“Kamu maunya di mana?”

“Di Grundtjärn aja. Lebih nyaman, karena sepi dan banyak hijau-hijaunyaaa. Terus tinggalnya sama Koo, aku mau kalau begini!” Taehyung menjawab dengan semangat.

“Siap, nanti kita buat pondok dekat danau di Grundtjärn, ya? terus kamu mau tanam apa di halamannya nanti?”

Taehyung nampak menimbang sebentar. “Banyak bunga dan buah-buahan? Eh, tapi katanya banyak buah berry liat yang tumbuh di sini ya? Coba nanti kita cari ya Koo, mau aku petik. Terus di kabin bisa kita jadiin jus juga. Waaah, kayaknya enak.”

Jungkook tersenyum kecil. Dalam hati, dirinya mengaminkan perkataan dan keinginan pacarnya itu. Tentu saja, suatu hari nanti Jungkook pasti akan mewujudkan mimpinya dengan Taehyung. Tentang Grundtjärn, tentang rumah kayu kecil milik mereka, tentang musim panas tanpa matahari terbenam, atau musim dingin yang gelap tiada akhir, juga tentang semua yang Taehyung impikan untuk terjadi.

Bayang-bayang indah itu membuat rasa kantuk Taehyung pun datang. Tidak lama, matanya terpejam tanpa bisa dia kendalikan lagi. Taehyung tertidur di sandaran bahu Jungkook yang nyaman dan hangat. Usapan lembut pada tangannya yang digenggam Jungkook, semakin mengantarkan anak itu ke gerbang mimpi yang indah.

Jungkook bergeming di tempat, tidak berniat untuk bergerak sama sekali. Dia takut kalau deru napasnya akan membangunkan Taehyung, dia takut mengganggu tidur pria yang paling dikasihi itu. Dan dia terjaga, meski tidak tahu perbedaan antara siang dan malam. Jungkook terjaga sepanjang jam, detik dan menit, dengan bahu yang dia pinjamkan sebagai sandaran Taehyung. Jungkook terjaga, untuk sekadar merekam detik-detik terindah dalam hidupnya.

. . .

. . .

“You can't start a new chapter of your life, if you keep re-reading the last one.”

Entah mana yang lebih buruk; duduk di depan orang asing dan mendengarkan orang itu berceloteh panjang lebar, atau, pikiranmu melayang jauh pada sosok yang tidak ingin kamu ingat kembali. Mungkin keduanya bukanlah pilihan yang bagus. Mungkin juga, sejak awal memang tidak ada yang namanya sebuah pilihan untuk Taehyung.

Sudut bibirnya terangkat beberapa kali, sudah sejak sepuluh menit yang lalu. Sebuah etika dasar menghargai lawan bicara di hadapannya. Anak itu memaksa sebuah senyuman mengiasi wajah, di saat hatinya menginginkan hal sebaliknya.

Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja, hingga menimbulkan suara benturan kecil antara kuku dan kayu. Ada saat di mana Taehyung akan melamun, memandang kosong ke arah acak. Suara orang di sekitarnya tidak mampu menarik jiwanya kembali ke tempat di mana raganya berada. Taehyung larut dalam bayangan indah akan harinya dengan sosok itu, dia yang selalu memiliki hati Taehyung.

“Hei? Tae, gue terlalu berisik, ya? hehehe. Sorry.”

Buru-buru kepalanya menggeleng. Tentu, orang di hadapannya ini tidak melakukan kesalahan apa pun. Di sini dirinyalah yang bersalah. Taehyung yang salah, karena dengan angkuhnya menerima tawaran Jimin. Taehyung begitu angkuh, mengira kalau kegiatannya saat ini bukanlah apa-apa. Menemui pria yang hendak Jimin kenalkan padanya, Taehyung pikir ini adalah hal yang mudah. Namun, kenyataan selalu berbanding terbalik dengan sebuah harapan, dengan bayang-bayang di dalam benaknya.

Ternyata rasanya begitu sulit. Sulit sekali. Terlebih, saat bayangan Jungkook yang malah memenuhi pikirannya saat ini. Di saat ada seorang pria—yang mungkin—baik sedang mencoba mengenal dirinya, Taehyung justru terjebak dalam banyang semu akan masa lalu.

“Maaf, nu. Kayaknya gue lagi kurang enak badan, makanya engga fokus gini. Duh, maaf banget.” ucap Taehyung, yang tentu saja penuh dusta. Ekspresi bersalah langsung terpasang di wajahnya, karena sejujurnya, Taehyung juga tidak ingin untuk membohongi pria itu.

Senyuman hangat dari Eunwoo terpasang, malah membuat dada Taehyung terasa nyeri. Taehyung tidak hanya sedang menyakiti dirinya sendiri, namun juga menyakiti hati Eunwoo saat ini. Mungkin saja pria itu merasa tidak dihargai, karena perkataannya diabaikan sedari tadi oleh Taehyung.

“Mm, kita balik aja gimana? Gue anter pulang, ya? Engga ada penolakan pokoknya, hehehe.”

Taehyung tertawa miris, merasa semakin tidak enak hati. Sudah sebulan ini Jimin berusaha mengenalkan mereka berdua, Eunwoo si teman SMP Jimin dulu, dengan Taehyung yang masih terpuruk dengan luka. Jimin berkata, tidak baik kalau Taehyung terus-terusan menutup hati dan mengabaikan lukanya. Tidak dengan berpura-pura baik-baik saja, atau sengaja menyibukkan diri dengan lembur kerja selama berbulan-bulan. Sudah waktunya dia membuka lembaran baru, sudah waktunya Taehyung memberi kesempatan untuk dirinya dan untuk masa depannya.

Nyatanya, tidak akan ada masa depan tanpa seorang Jungkook di hidupnya. Tidak akan ada seorang pun yang dapat menggantikan posisi Jungkook di hati Taehyung. Mau Taehyung membohongi dirinya dan orang di sekitarnya, mau dia berbohong dengan Jungkook sekalipun, kenyataannya akan selalu sama.

Seperti dedaunan yang jatuh di musim gugur, seperti ranting yang membeku di puncak musim dingin. Perasaannya sudah tidak tersisa lagi. Hati Taehyung sudah mati untuk hati yang baru, sejak dirinya memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Jungkook.

Eunwoo meminta izin untuk membayar pesanan mereka, meminta Taehyung untuk pergi terlebih dahulu keuar dari Pison—kafe tempat di mana mereka berada. Taehyung berupaya untuk mencegah pria itu, membayar bill mereka masing-masing, namun Eunwoo dengan kukuh menolaknya.

Minuman yang masih memenuhi gelas tertinggal di atas meja. Taehyung berdiri, mengambil langkah kecil untuk keluar dari tempat kafe yang sedang sepi itu. Kepalanya menunduk, seakan di bawah sana lantai menjanjikan sebuah ketenangan hati. Suara decitan pintu di hadapan Taehyung terdengar, membuat tubuhnya membatu di tempat sebentar.

“Loh, Taetae?”

Detik selanjutnya, Taehyung sudah tidak bisa merasakan apa pun di sekelilingnya. Semuanya membisu, seakan telinganya tidak dapat lagi berfungsi untuk mendengar suara. Laras dari bisik suara sosok di hadapannya, ataupun lagu yang berputar dari pengeras suara kafe, keduanya tak mampu menembus indra pendengaran Taehyung. Dari sekian banyak kemungkinan yang terjadi tentang kebetulan, mengapa harus kebetulan ini yang datang menghampirinya?

Taehyung rasanya ingin mengutuk sang nasib atau si kebetulan.

Figur wanita dewasa dan cantik itu mengampiri Taehyung. Tangannya mengelus lengan Taehyung, yang kini masih membatu di tempat. “Sayang? Kebetulan banget ketemu di sini,” katanya.

Kemudian dia datang. Dia, yang sedari tadi bayangnya memenuhi pikiran Taehyung. Jungkook memasuki kafe, dengan pakaian santai yang biasa dia kenakan. Wajahnya panik dua detik, namun kemudian berhasil dia normalkan kembali.

“Mama...?” kata Taehyung. Setelah dengan susah payah mengumpulkan suaranya kembali.

“Taetae sayang ke mana saja? Kok engga malam mingguan sama Jungkook, ini bocahnya malah ngajak mama makan malem bareng.”

Sial, lidah Taehyung kelu. Entah bagaimana dirinya harus menjelaskan situasi yang sebenarnya terjadi kepada ibunda dari mantan pacarnya itu. Mirisnya, sang mama—begitu Taehyung menyapa wanita yang melahirkan Jungkook—pun tidak tahu apa pun. Baik orangtuanya, maupun orangtua Jungkook, mereka sama-sama belum mengetahui kalau hubungan kedua anak mereka telah kandas.

Jungkook diam di tempat, tak bereaksi apa pun pada pertanyaan ibunya. Taehyung ingin berteriak, meminta pertolongan pada pria itu agar membantunya keluar dari situasi rumit ini.

“A—mm, aku beberapa bulan ini heboh urusan kantor, ma.”

Sosok yang dipanggil mama cemberut, merespons jawaban Taehyung yang terdengar mengecewakan. Kira-kira, sudah 5 bulan pacar dari anaknya absen mengunjungi kediaman keluarga Jungkook. Biasanya, anak itu akan berkeliaran di sana pada akhir pekan, atau hari besar lainnya. Bagai ditelan bumi, Taehyung tiba-tiba saja tidak lagi berkunjung. Sang anak pun tidak pernah memberikan jawaban yang jelas.

Seperti tidak bisa membaca situasi, atau malah melakukannya dengan sengaja, perkataan selanjutnya dari sang ibu sukses membuat keduanya ketar-ketir. “Kalian aneh ih, diem-dieman begini. Lagi berantem ya? Kayak ketemu mantan, sok cuek begitu.”

Ya, memang sudah jadi mantan ma. Jungkook sih ingin sekali menjawab begitu.

Mulut Taehyung sudah terbuka, hendak menjawab sesuatu. Namun lidahnya seakan tidak bisa bergerak, beribu diksi yang ada di kepalanya menguap tak tersisa. Tangannya yang basah akan peluh mengepal, menyalurkan rasa gugup yang menyelimutinya.

Eunwoo, pria itu memperhatikan tiga sosok itu. Merekam bagaimana punggung Taehyung yang sedikit bergetar, kakinya diam membeku di depan dua sosok asing. Wanita yang terlihat sepantaran ibunya masih sibuk memberikan afeksi pada Taehyung, sedang sosok pria yang berjarak lebih jauh dari Taehyung sibuk memalingkan pandangan.

Eunwoo tahu siapa pria itu. Tentu saja, Jimin pernah menunjukkan foto Taehyung dan pria dari masa lalu pria itu. Eunwoo tahu secuil kisah tentang pasangan itu, sebagai bekal ilmu mendekati Taehyung katanya.

Langkahnya mendekat, tersenyum ramah kepada sang wanita asing. Kemudian berkata pelan pada Taehyung, “gue tunggu di mobil, ya?”

Taehyung hanya bisa menjawabnya dengan anggukan kecil, kemudian kembali terjebak pada situasi canggung.

Tangannya mendorong pelan pundak sang ibu. “Ma, masuk duluan aja gih cari tempat duduk. Aku nanti nyusul, mau bicara dulu sama Taehyung. Kasihan itu temennya Taehyung nungguin.”

Setelah ibunya pergi, Jungkook dan Taehyung akhirnya mendapat ruang untuk mereka berdua. Rasanya aneh. Berbulan-bulan mencoba lari dari rasa sakit, mencoba kabur dari bayang-bayang satu sama lain, mereka kini harus kembali bertemu. Dengan situasi yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Taehyung berkata, sebaiknya mereka berdua tidak perlu bertemu. Tidak seharusnya mereka bertatap muka, tidak dengan keadaan luka yang masih terasa basah dalam kedua hati mereka.

Namun, tidak ada jalan lain selain bertemu dengan si luka dan pembuat luka saat ini.

“Mama belum tahu?” kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Taehyung. Membuat dirinya harus merutukki perkataannya sendiri dalam hati.

“Hm, tapi kayaknya udah mulai curiga. Bunda dan Ayah juga belum tahu kan.” jawab Jungkook. Sebuah penekanan di kalimat akhir, bukan pertanyaan melainkan pernyataan. Dirinya tahu kalau kedua orangtua Taehyung juga buta akan fakta perpisahan keduanya. Pasti bunda dan ayah masih sering menghubungi Jungkook. Mungkin juga pria itu masih diam-diam mengunjungi kedua orangtua Taehyung.

Taehyung diam. Harusnya dia pergi dari sana, menyusul Eunwoo yang sudah terlebih dahulu menunggunya di dalam mobil. Namun kakinya terasa begitu berat. Taehyung malah berdiri, menunggu kalimat apa lagi yang mungkin diucapkan Jungkook, karena sialnya dia merindukan suara pria itu.

“Cowok kamu nungguin, sana cepet nyusul. Urusan mama biar aku yang handle.”

Taehyung buru-buru menyanggah perkataan Jungkook. “Dia bukan cowokku. Cuma temen yang dikenalin Jimin.”

“Berarti, belum, nanti mungkin bakal jadi cowok kamu.”

Mata Taehyung terasa panas. Mungkin saja air mata sudah menggenang di sana, siap untuk terjun bebas kapan saja. Mendengar Jungkook dengan entengnya berkata begitu membuat hatinya terasa sakit.

Egois, memang. Padahal dia yang kukuh untuk menyudahi hubungan mereka. Taehyung yang mengukir luka pada hati Jungkook dan hatinya. Namun, dirinya tidak mampu mendengar kata-kata menyakitkan dari Jungkook berbalik padanya.

“Kamu apa kabar?” tanya Taehyung, kembali membuka pertanyaan. Otomatis, dirinya kini memperpanjang percakapan di antara mereka.

Ekspresi wajah Jungkook tidak bisa ditebak, Taehyung tidak mampu membaca apa yang ada dalam pikiran pria itu.

“Kamu harapin kabarku gimana, Tae? Aku masih sama setiap hari. Masih sakit, masih penuh luka. Kata kamu, lebih baik kita engga perlu ketemu dulu kalau masih penuh luka.”

Taehyung tertegun. Dirinya berasa ditampar ribuan kali oleh perkataan Jungkook. Dadanya nyeri, sakit sekali.

“Aku masih penuh dengan luka, masih berusaha buat nutup lukaku setiap harinya. Masih nyoba buat ngisi kekosongan yang kamu buat, aku kerja gila-gilaan, aku habisin banyak waktu. Tapi rasanya masih sama. Rasa sakitnya malah bertambah setiap harinya.”

Ada begitu banyak hal yang ingin Taehyung katakan. Ada ribuan kata yang siap untuk Taehyun ucapkan, agar Jungkook paham keadaannya. Bahwa Taehyung juga sama sepertinya, sama-sama terluka. Taehyung masih terluka, Taehyung masih dan selalu memikirkannya. Sedang bukan itu yang Jungkook tangkap. Jungkook salah memahami situasi, tentu bukan murni kesalahannya. Jungkook hanya mencerna dari apa yang dia lihat saat ini. Di mana Taehyung sudah mulai melanjutkan hidupnya. Taehyung mulai membuka hatinya untuk sosok yang baru.

“Mending kamu susulin temen kamu, kasihan dia nunggu lama. Mama juga pasti nungguin aku. Goodluck, semoga bahagia menyertai kamu.”

Begitu kalimat terakhirnya, sebelum Jungkook memutuskan untuk berlalu. Meninggalkan Taehyung yang lemas hingga ke kakinya, bahkan untuk sekadar menahan bobot tubuhnya.

. . .

Dalam perjalanan pulang, Taehyung hanya dapat duduk dengan kaku di atas kursi penumpang. Sesak di dada masih tertinggal. Bayangan wajah Jungkook yang penuh dengan rasa kecewa memenuhi pikirannya. Taehyung larut dalam lamunan, membiarkan Eunwoo sibuk dengan roda kemudi, menyusuri jalanan Jakarta yang tidak pernah sepi. Lagu mengalun dari radio, membuat Eunwoo sedikit bersyukur. Setidaknya, kecanggungan ini tidak terlalu kentara.

“Taehyung, maaf ya?” ucap Eunwoo, begitu tiba-tiba. Membuat Taehyung menoleh, menatapnya dengan seribu tanda tanya. Bukankah seharusnya Taehyung yang meminta maaf?

“Kenapa minta maaf?”

Pria itu tertawa kecil, bukan sebuah tawa menghina atau meledek. Eunwoo tertawa dengan tulus, setulus senyumannya yang diberikan pada Taehyung. “Karena Jimin maksa lo buat ketemu sama gue mulu. Iya kan?”

Bibir bawahnya digigit olehnya sendiri, kepalanya menggeleng kecil. Ini semua bukan karena paksaan Jimin, melainkan keangkuhannya sendiri. Taehyung yang memilih untuk menerima tawaran Jimin, dirinyalah yang salah di sini.

“Engga kok, ini emang murni kemauan gue. Jimin engga maksa, hehehe.”

Ada jeda sedikit, membiarkan keheningan kembali menyelimuti keduanya. Taehyung kembali menatap ke arah luar jendela, sedang Eunwoo kembali fokus pada jalanan di depan sana. Satu menit, tiga menit, lima menit, sepuluh menit, waktu mereka lewati dengan sunyi. Hingga mereka begitu nyaman dalam kekosongan yang terjadi. Mereka nyaman dalam bungkam, mungkin memang begitu seharusnya untuk tidak menambah kecanggungan.

Ketika mobil Eunwoo telah sampai di lobby utama apartemennya, Taehyung hanya mengatakan terima kasih berulang kali. Pria itu membalas dengan senyuman, kemudian berpamitan pada Taehyung. Tidak ada kalimat lainnya, tidak ada ajakkan untuk pertemuan yang lain, tidak ada juga basa-basi dari Taehyung untuk mengajak Eunwoo mampir ke apartemennya. Ya, semua berakhir di situ.

Karena Taehyung sadar betul, dirinya belum benar-benar siap. Taehyung tidak akan pernah siap untuk membuka lembaran pada buku yang baru, karena dirinya terlalu nyaman dengan buku lama. Buku lama yang sudah usah dan penuh dengan luka.

. . .

. . .

No matter how far the distance is, he can still make you smile.

Ibu jarinya sibuk menari di atas layar, membalas sebuah pesan singkat dalam ponsel pintarnya dengan semangat. Tanpa Taehyung sadari, sudut bibirnya sudah terangkat berulang kali, reaksi alami atas kegiatannya tersebut. Entah pesan ajaib dari siapa itu atau apa pun isinya, hingga membuat anak itu melupakan sekitarnya. Tubuh Taehyung memang berada di sana, sedang menatap layar ponsel sambil tersenyum. Namun, pikirannya kini sedang berkelana entah ke belahan bumi bagian mana.

Cokelat panas yang asapnya mengepul di atas meja terabaikan. Yoongi yang—jarang sekali—berbicara panjang lebar, tidak juga dapat menarik atensi Taehyung dari benda elektronik di tangannya. Membuat pria yang lebih tua darinya terdiam, membiarkan lagu Jet Lag oleh Simple Plan dari pengeras suara kafe menemani kebisuan. Sepertinya, kalau dia melanjutkan percakapannya—yang lebih dengan diri sendiri itu—akan percuma. Toh, yang sedang diajak bicara olehnya tidak menaruh perhatian sama sekali.

Di luar sana hujan lebat sedang mengguyur kota, membuka bulan oktober yang lembab. Yoongi angkat cangkir berisikan hot americano, meniupnya sebentar, kemudian menyesapnya. Pria itu mengambil aksi diam singkat, hingga akhirnya dia membuka suara. “Asik banget kayaknya sama hp kamu, Tae.”

Si yang terpanggil, Taehyung, langsung menoleh. Mulutnya sedikit terbuka, membentuk huruf o kecil dan dengan wajah blank selama beberapa detik. Kemudian dia tertawa sendiri, membuat kadar tingkah anehnya berkali-kali lipat di mata Yoongi saat ini.

“Hehehe, maafin kak Ugi. Tadi ada yang lucu.” jawab Taehyung. Ponselnya diletakkan ke atas meja dalam keadaan terbalik. Secangkir cokelat hangat yang tadi terabaikan, pada akhirnya mendapatkan perhatian dari Taehyung.

“Padahal aku tadi lagi bahas buat birthday surprise Jimin nanti, hadeh. Males ah ngulangnya.”

Warning: Pembahasan/pandangan tentang perbedaan agama.

I've got a hundred million reasons to walk away. But, baby, I just need one good one to stay

. . .

Taehyung hanya tidak dapat mempercayai dirinya sendiri. Benar-benar tidak percaya dengan apa yang sedang dia lakukan saat ini. Dirinya dengan kesadaran penuh sedang berjalan keluar dari gedung kantornya, melangkah kecil menuju mobil sedan yang selalu terparkir di sudut itu. Tempat di mana mobil Jungkook parkir setiap kali pria itu menjemputnya. Tuhan, semoga saja dirinya tidak menyesal dengan apa yang dilakukan setelah ini.

Masa bodoh dengan aksi gilanya ini—menerima permintaan Jungkook untuk bertemu dan berbicara serius. Kakinya tetap melangkah, tetap berjalan melewati kolam kecil berair mancur di depan lobby utama gedung. Kepalanya menunduk sopan, menyapa Pak Danu, kepala sekuriti lantai lobby. Salah satu orang paling humoris di kantor yang sering melontarkan banyolan andalan beliau kepada para karyawan. Pak Danu terlihat memberikan wajah usilnya, sembari melirik ke arah mobil sedan hitam milik Jungkook. Taehyung hanya dapat tertawa kecil, lalu melanjutkan langkah kakinya.

Kardigan tipis berwarna krem dia rapatkan ketika angin sore menabrak tubuhnya. Langit di atas sana sungguh gelap sore ini, meski seharusnya belum waktunya matahari untuk terbenam atau datangnya senja. Taehyung mempercepat langkah kakinya. Dia berhenti sebentar di depan pintu mobil penumpang bagian depan pada mobil Jungkook. Diketuklah pelan, basa-basi agar tidak main masuk saja tanpa permisi. Sebuah etika dasar, meski dirinya dan Jungkook pernah berada di hubungan tanpa adanya batasan privasi.

Senyuman simpul Jungkook—yang sialnya tetap terasa hangat—menyambut kehadiran Taehyung. Berupaya mengabaikan hal tersebut, Taehyung sibuk terbatuk sambil memasangkan sabuk pengaman pada badannya. “Mau ngomong apa?” Taehyung bertanya, to the point.

Jungkook tidak menjawab pertanyaan terus terang Taehyung barusan, tentu saja. Pria itu tidak akan memanfaatkan waktu berharga mereka begitu saja. Jungkook pasti akan mengulur banyak waktu hanya demi bisa bertahan di situasi ini lebih lama. Hanya untuk merasakan kehadiran Taehyung di dekatnya lebih lama lagi.

Tubuhnya sedikit menghadap ke kursi penumpang bagian belakang. Mengambil bungkusan kertas cokelat McDonalds dan memberikannya ke Taehyung. Taehyung hanya dapat menatap mata Jungkook untuk beberapa saat. Tidak habis pikir dengan wajah pria itu, kini masih dihiasi oleh senyuman yang tidak luntur sejak kedatangan Taehyung tadi.

“Ngobrolnya di apartemen kamu aja, gimana? Aku ngerasa kita butuh ngobrol yang proper dan tempat yang nyaman juga.”

Menghela napas, Taehyung hanya dapat pasrah dan menyetujui perkataan Jungkook. Setidaknya, mereka berdua memang harus mendapatkan perpisahan yang layak. Mereka harus menuntaskan semuanya sejelas-jelasnya.

Hah, memangnya perpisahan yang layak itu seperti apa Taehyung?

“Terserah kamu ajalah, Kook.”

Jungkook menyisihkan rasa sakit di dadanya saat mendengar jawaban Taehyung yang terasa berat. Bibirnya tetap memaksa senyum, agar hanya sosok Jungkook yang manis dan hangat yang Taehyung lihat.

. . .

Entah dirinya harus senang atau sedih ketika berhasil menginjakkan kakinya di gedung apartemen Taehyung lagi. Setelah hampir dua bulan yang terasa begitu berat dan menyiksa. Setelah pertemuan di malam yang lembab saat hujan deras mengguyur seluruh kota. Setelah kalimat perpisahan terucap dari mulut Taehyung.

Jungkook memang selalu membayangkan kalau langkah kakinya akan terus menuntun Jungkook ke tempat ini. Selalu membayangkan sosok Taehyung yang sedang fokus menonton serial malamnya akan melompat dan menyambut kedatangan Jungkook di pintu masuk.

Nyatanya, segala hal kecil yang ada di hadapannya kini semakin membuat Jungkook berharap. Membuat pria itu berharap kalau Taehyung juga menginginkan dirinya untuk tetap tinggal. Kalau pria indah yang paling dia cintai sebesar semesta itu masih menginginkan Jungkook di hidupnya.

Taehyung masih memajang dua pasang sandal dalam rumah di dekat pintu masuk, dulu sandal itu adalah milik Jungkook. Saking seringnya pria itu berkunjung ke apartemen Taehyung selama tiga tahun ini. Hal kecil itu mampu membuat Jungkook tersenyum simpul. Sebuah fakta kalau Taehyung belum sepenuhnya menghapus kebiasaan saat Jungkook masih berada di sisinya.

“Jangan GR kamu, aku sedian dua sandal karena Jimin sering main ke sini.”

Seakan dapat membaca apa yang ada di dalam pikiran Jungkook, Taehyung langsung buru-buru menyinggung perihal dua pasang sandal di depan pintu masuk. yang mana tentu saja adalah sebuah berdusta. Meski puluhan kali Jimin berkunjung ke apartemennya, sandal itu akan tetap terpajang dengan nyaman di sana. Karena sejak awal pemiliknya adalah Jungkook. “Aku engga komentar apa pun, Taehyung.” lalu, tawa kecil keluar dari bibir Jungkook.

Kakinya melangkah, mengekori Taehyung menuju meja pantri di sisi kiri tepat setelah pintu masuk apartemen Taehyung. Jungkook tahu sekali apa yang akan pria itu lakukan setiap kali dirinya sampai di rumah; yaitu pergi ke dapur dan meneguk satu gelas air putih.

Setelah selesai dengan urusannya bersama dengan air putih, Taehyung memberi isyarat pada Jungkook untuk duduk di bangku pantri. Membiarkan Jungkook memiliki beberapa detik indah dalam hidupnya, karena dapat kembali memandang wajah Taehyung dengan leluasa. Wajah sempurna milik Taehyung yang tidak pernah absen memanggil kupu-kupu dalam perutnya beterbangan.

Dua tahun mengejar cinta Taehyung semasa kuliah, hingga akhirnya enam tahun melewati saat-saat indah bersama sebagai sepasang kekasih. Namun kupu-kupu yang menetap dalam perutnya masih saja bergejolak dengan anarkis karena Kim Taehyung. Memang sudah tidak ada lagi jalan bagi Jungkook untuk keluar dari pesona pria itu.

Taehyung meletakkan gelasnya yang sudah kosong ke atas meja, kemudian menarik kursi di hadapan Jungkook untuk dia duduki. Dadanya berat, seperti dipaksa mengangkat puluhan balok beton pada tanjakan yang curam. “Mau mulai dari mana?”

Punggung yang awalnya sedikit membungkuk kini dia tegakkan. Kedua tangannya saling bertaut, mencari sang rileks yang tiba-tiba lenyap. Sial, karena Jungkook ingin serakah. Ingin mengganti topik yang paling menyesakkan dengan pembahasan ringan tentang masa lalu yang manis. Sedang Taehyung masih menatapnya lekat, menanti sepatah kata yang akan dikeluarkan oleh Jungkook. Menuntut prianya untuk berbicara. Dia hanya ingin kalau ini semua cepat selesai.

Karena berada di hadapan Jungkook bukanlah hal yang mudah. Sudah cukup mereka bersandiwara di rumah orangtua Taehyung kemarin. Saat ini rasa sesak itu membuncah, sungguh bukan sebuah perasaan nyaman. Taehyung tidak akan sanggup untuk melanjutkannya lagi.

“Jungkook... kalau engga ada yang mau kamu bicarain, lebih baik kamu pulang aja.” sebuah kalimat yang dapat mengumpulkan keberanian Jungkook untuk menatap mata Taehyung. Tautan pada kedua tangannya terlepas, karena kini satu tangannya menarik tangan Taehyung. Taehyung membeku. Seperti tersengat listrik, namun efeknya bukan terjadi pada tangannya yang kini digenggam Jungkook. Sengatan hebat yang menyaru dengan nyeri itu terasa di dadanya.

“Aku bingung harus ngomongin yang mana, jujur. Ada begitu banyak hal yang ngeganjel pikiranku tentang putusnya hubungan kita. Awalnya, aku setuju-setuju aja karena hatiku sakit dan merasa bersalah ngeliat kamu nangis, Taehyung,” Jungkook menjeda, matanya semakin yakin untuk menatap Taehyung. Seakan menunjukkan kalau ucapannya ini adalah kesungguhan, dan dia ingin Taehyung melihat kesungguhan itu. “Tapi kurasa, putus bukan jawaban yang tepat. Kita udah ngelaluin banyak hal bersama-sama. Hampir dua tahun aku deketin kamu sampai akhirnya kamu nerima aku jadi pacar kamu. Enam tahun kita laluin sebagai pasangan. Hubungan kita ga sesimple itu untuk berakhir masing-masing.”

Tatapan mata Taehyung begitu kosong. Tidak ada aksi perlawanan darinya ketika tangan itu digenggam oleh Jungkook, atau balasan perkataan dengan nada jengkel. Taehyung sudah tahu, Taehyung tahu yang Jungkook katakan tidak salah. Dirinya hanya lelah. Lelah dan merasa begitu lemah. Taehyung pengecut untuk mencari jawaban lain selain perpisahan. Karena menurutnya memang tidak ada jalan lain, langkah mereka tertahan oleh sebuah benteng yang begitu besar. Benteng yang sangat mustahil untuk dia ataupun Jungkook panjat.

Pandangan matanya yang kosong itu beralih, mencoba untuk menatap mata Jungkook. “Terus akhir yang pantas menurut kamu itu gimana, Jungkook?”

“Kita, aku dan kamu, hidup bahagia dan membangun keluarga kecil kita. Engga ada yang berbeda Taehyung, kita bisa laluin ini bareng-bareng. Perbedaan itu bukan hal yang besar. Keluarga inti kita berdua pun engga pernah masalah sama perbedaan ini.”

“Tapi aku ngerasa ini masalah sekarang. Ini masalah, Jungkook.”

“Kenapa masalah? Aku udah sering bahas ini, udah sering ngasih tahu kamu pandanganku soal ini. Tuhan itu satu, cuma cara kita menyebut dan cara kita berdoa aja yang berbeda, Tae.”

Ya, Jungkook memang selalu memiliki pemikiran yang terbuka tentang sebuah agama. Tidak ada agama yang salah ataupun benar. Semua agama mengajari kebajikan dan kasih sayang pada sesama manusia. Lebih jelas lagi pada agama samawi, yang dianut olehnya dan Taehyung. Bagi Jungkook, Tuhan tetaplah satu, yang berbeda hanyalah cara mereka berkomunikasi dengan Tuhan.

“Engga semudah itu Jungkook.”

Genggaman tangan Jungkook pada tangan Taehyung mengerat. “Makanya, ayo kita buat mudah bareng-bareng.”

Tarikan napasnya berat, bahkan sejak awal mereka duduk berhadapan tadi. Mungkin Taehyung sanggup menahannya sementara waktu, menggantikan dengan sebuah tatapan kosong. Namun, semakin lama berat di dadanya semakin terasa dan menyesakkan.

Dia tarik tangannya yang sejak tadi digenggam oleh Jungkook dengan perlahan, hingga akhirnya genggaman mereka terputus. Kepalanya beralih, menatap jauh sekali ke arah jendela apartemennya. Mengamati langit biru gelap kota Jakarta yang bercampur dengan jingga di antara gedung-gedung pencakar langit. Karena dirinya terlalu takut untuk menatap Jungkook.

“Engga semua hal bisa kita paksain, Jungkook. Sebesar apa pun rasa sayang kita untuk satu sama lain, kita tetep engga bisa maksain hal yang udah engga mungkin lagi. Please, mungkin emang kita harus berjalan masing-masing mulai dari sekarang.”

Mungkin aku harus belajar hidup tanpa kamu, tanpa kita. Tanpa masa depan indah yang dulu sering kita impiin bersama.

“Jungkook, kamu boleh pulang...”

Kadang, manusia memang engga bisa berbuat apa-apa. Takdirku dan Jungkook mungkin memang sudah tertulis pahit sejak awal. Aku mencintai Jungkook sebesar aku mencintai diriku sendiri, namun aku tidak mau kami melupakan hal yang lebih besar. Rasa cinta kami terhadap Tuhan kami. Maka dari itu aku melepaskannya. Merelakan semestaku pergi jauh dari hidupku.

“Jangan pernah temuin aku lagi. Seengganya, jangan sebelum kita berdua udah sembuh dari luka. Aku mohon, Jungkook.”

Maaf, karena aku tidak sehebat kamu untuk perjuangin kita. Maafin aku, Jungkook.

. . .

Taehyung, don't give up on us... please?

TW: sedikit menyinggung tentang serangan panik.

. . .

Satu tarikan napas berhasil Taehyung lakukan. Setidaknya sosok di hadapannya hanya membuat dirinya menarik napas dalam-dalam, tidak sampai membuat Taehyung pingsan di tempat.

Bukan waktu yang singkat bagi Taehyung untuk membuat pertahanan yang kokoh. Taehyung sudah tersiksa selama hampir dua bulan ini demi menghindari sosok itu. Dia menghindar sekeras mungkin, agar benteng pertahanan yang dia bangun tidak dengan mudah dihancurkan begitu saja. Dan kini dia harus kembali berhadapan dengan Jeon Jungkook, pria yang paling dia sayangi melebihi semesta.

Memang hidup itu terkadang lucu. Takdir pahit tidak merestui keduanya untuk bersatu, namun semesta terus-menerus mempertemukan mereka. Dan Taehyung hanya bisa menghela napasnya dengan berat.

Kakinya yang sempat terpaku di tempat akhirnya bisa kembali dia gerakkan. Wajahnya yang sendu bisa kembali bersembunyi di balik topeng senyuman manis. Mencium wajah bunda, seakan segalanya baik-baik saja. Lalu Taehyung mengambil tempat tepat di sebelah Jungkook.

Bunda meletakkan satu piring berisi nasi di hadapan Taehyung. Kemudian kembali duduk ke tempat yang biasa diisi oleh beliau, tepat di sebelah ayah. “Loh, sayangnya bunda kenapa tadi berangkatnya ga bareng Jungkook?”

Taehyung memaksakan tawa, sedang Jungkook membeku di tempatnya. Pria itu bingung harus menjawab apa atas segala pertanyaan yang akan dilontarkan oleh ayah dan bunda. Bisa jadi jawaban mereka tidak akan serempak, karena keduanya tidak pernah membayangkan akan terjebak di situasi seperti ini. Boro-boro memikirkan skenario duduk di meja makan yang sama dengan ayah dan bunda. Taehyung sudah menutup semua jalan masuk bagi Jungkook untuk kembali.

“Kasian kalau Kookoo ke kantorku dulu bun, nanti jadinya muter-muter dia.”

Kookoo.... Jungkook sungguh merindukan suara lembut Taehyung ketika memanggil namanya dengan sebutan itu. Rindu sekali, hingga rasa bahagia dan gelora semangat yang menguasai dirinya beberapa saat lalu menguap. Kini rasa nyeri kembali meninggalkan jejak di dadanya.

Sepanjang makan malam berlangsung, Taehyung hanya bisa bersandiwara. Berpura-pura di hadapan bunda dan ayah kalau dia dan Jungkook adalah pasangan paling bahagia di dunia ini—ya, setidaknya dulu memang begitu. Sebelum Taehyung mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya. Keputusan untuk melepaskan Jungkook, meski dirinya harus menahan sakit sampai begitu sulit untuk bernapas, menahan pedihnya luka sampai air matanya mengering.

Tolong, Taehyung merasa waktu berputar begitu lama saat Jungkook berada di sebelahnya. Lehernya sudah seperti tercekik, mungkin dalam beberapa saat dirinya akan kesulitan untuk bernapas. Pikirannya terbelah ke mana-mana dengan dilema. Antara memanfaatkan waktu ini untuk melepas rindu yang melilit dan mencengkam dirinya hingga menimbulkan luka. Atau tetap menjaga jarak; sebuah tindakan preventif agar luka itu tidak terus melebar.

Sentuhan lembut Jungkook pada telapak tangannya, senyuman teduh, suara lembutnya ketika menyebutkan nama Taehyung. Semua itu begitu memabukkan. Mungkin Taehyung akan kalah. Mungkin segala usahanya untuk mencegah luka yang begitu dalam akan sia-sia.

Dan sandiwara itu harus tetap berlanjut, meski acara makan malam sudah selesai.

Taehyung akan membantu bunda membersihkan sisa-sisa piring kotor bekas makan malam, lalu ayah dan Jungkook akan duduk sambil mengobrol di saung kayu halaman belakang. Sudut yang paling ayah gemari untuk membagi rasa nyaman. Di sanalah tempat ayah membaca portal berita online sembari menyesap kopi sebelum berangkat kerja. Tempat ayah mengerjakan sisa-sisa pekerjaan kantor yang belum sempat beliau selesaikan. Juga tempat favorit ayah dan Jungkook bertukar pikiran atau sekadar obrolan santai.

Spons di tangan kanannya terus berputar, menyapu bersih noda yang tadi menjejak di piring. Namun pikiran Taehyung berkelana. Mengembara ke hari di mana pertama kali dia mengajak Jungkook main ke rumahnya. Saat itu sudah hampir satu tahun sejak Jungkook mencoba melakukan pendekatan pada dirinya. Hampir satu tahun dan Taehyung baru mencoba untuk membuka hatinya untuk Jungkook.

Beralasan tentang koleksi kaset dan dvd band pop rock sang ayah, Taehyung mengajak Jungkook main ke rumahnya. Melihat rak kayu besar yang menjulang hampir setinggi ceiling rumahnya, penuh berisikan kaset, CD dan piringan hitam dari macam-macam band pop rock semasa ayah muda.

Jungkook terkesima sambil mengangguk-angguk kagum. Hanya dapat mengeluarkan sebuah kata: waaah. Itulah awal mula pertemuan ayah dan Jungkook. Suatu hari di akhir pekan pada bulan Februari yang lembab. Pekat dalam ingatannya, bagaimana senyum ayah merekah ketika Jungkook meninggalkan sebuah impresi baik di pertemuan pertama mereka. Bahkan mereka sudah sangat cocok. Taehyung sering meledek kalau ayah dan Jungkook itu seideologi dan sejalan.

Hari-hari indah itu. Bagaimana bisa Taehyung menghapusnya dalam memori?

“Sayang...? Taehyung, anak baik anak manis?”

Hal yang Taehyung sadari selanjutnya adalah bajunya sudah basah terkena cipratan air keran. Piringnya sudah kesat dan mengkilap, mungkin bisa dia pakai untuk bercermin saking bersihnya.

“Kok ngelamun, hm?” bunda kembali bertanya.

Buru-buru kepalanya menggeleng. Kemudian memberikan senyuman termanisnya seperti biasa. Ya, topeng itu kembali menutupi wajahnya yang penuh dengan luka. “Kepikiran kerjaan bunda, numpuk banget akhir-akhir ini. Kantorku habis kerja sama proyek baru sama APG, tahu kan bun perusahaan properti yang gede itu? Haduh, pusing deh, mana permintaan iklannya agak ribet.”

Terima kasih kepada otak lambatnya yang kini bisa diajak bekerja sama. Taehyung salut dengan seberapa cepat dirinya membuat alasan seperti tadi. Untung saja klien barunya yang rewel bisa membuat dirinya beralasan hari ini.

“Oalah, ya sudah. Ini anterin kopi buat ayah sama Jungkook dulu.”

Bunda menyodorkan nampan dengan dua cangkir berisikan kopi hitam. Ya, ayah dan Jungkook penggemar kopi hitam tanpa gula. Sedangkan Taehyung lebih menyukai latte yang lembut. Asapnya mengepul di udara, wangi kopi yang kuat menyerbak hingga ke indra penciuman Taehyung.

Astaga, ini sudah pukul setengah sembilan malam. Gila saja kalau ayah dan Jungkook mau minum kopi di jam segini, bisa-bisa mereka tidak tidur hingga pagi. Taehyung ingin memprotes. Namun tubuhnya sudah keburu didorong oleh bunda.

Dia buka pintu kaca yang menyekat antara bagian utama rumah dan halaman belakang. Kakinya berjalan, mengambil langkah berat ke arah dua sosok yang sedang asik berbincang. Ayah dengan puntung rokok yang terjepit di antara jari tengah dan telunjuk. Jungkook dengan rokok elektriknya. Dia terpaku menatap Jungkook yang sedang menyesap benda tersebut. Hampir dua bulan, ternyata sudah ada hal yang berubah darinya. Jungkook kembali mengonsumsi benda bernikotin itu. Dulu, Jungkook hanya akan merokok ketika dirinya benar-benar penat dengan pekerjaan. Itu pun dia tidak akan pernah merokok di hadapan Taehyung, karena tahu kadar toleransi Taehyung terhadap asap rokok bagaimana.

Pembahasan tentang hobi memancing ayah terputus saat Taehyung meletakkan dua cangkir kopi di ruang kosong antara ayah dan Jungkook.

Tangan Jungkook yang memegang rokok elektrik dijauhkan, entah bermaksud agar Taehyung tidak melihatnya atau apa. Padahal Taehyung juga sudah terlanjur melihat. Memang ada sedikit rasa kecewa, namun dia berusaha keras untuk tidak peduli.

“Ayah yakin mau minum kopi jam segini? Udah malem loh, besok kan masih harus kerja. Kamu juga, Kook.”

Ayah terkekeh, lalu kembali menghisap rokoknya. Membuat asap mengepul di dekat Taehyung. Anak itu terbatuk, tidak pernah suka dengan asap rokok ayah yang terlalu kuat dan membuat kepalanya sakit. Sementara itu Jungkook sibuk mengibas-ngibaskan udara, berusaha agar asap rokok ayah tidak berani mendekati Taehyung lagi. Rokok listriknya kembali menganggur, dia letakkan di lantai saung.

“Ayah, sebentar ya. Jungkook anter Taehyung dulu ke dalem.” katanya. Kemudian dia berdiri, menuntun—dengan paksa—badan Taehyung untuk kembali masuk ke dalam rumah.

Setengah perjalanan, ketika langkah mereka tiba di teras belakang, Taehyung menepis tangan Jungkook dari bahunya. Ada gurat ketidaknyamanan dari pria itu, mungkin sedari tadi ditahan karena ada ayah di sana.

“Maaf...” hanya itu yang dapat Jungkook katakan.

“Pulang gih, udah malem. Kamu besok masih harus kerja.”

Jungkook tersenyum miris. Entah kalimat Taehyung barusan terdengar sebagai bentuk perhatian pria itu atau sebuah cara untuk mengusir Jungkook dengan halus.

Jungkook sadar, sepenuhnya sadar. Taehyung benar-benar kukuh dengan pendiriannya kali ini. Seperti keputusan mereka buntuk berpisah adalah sebuah harga mati bagi Taehyung. Mau pria itu berpura-pura tersenyum di depan bunda dan ayah, Jungkook bisa merasakan kalau itu semua hanyalah topeng.

“Aku engga enak ninggalin ayah. Udah lama banget engga ketemu, bunda bilang ayah nyariin aku terus.”

Sebuah helaan berat seakan menjawab perkataan Jungkook. Hatinya terasa ngilu mendapatkan jawaban seperti itu.

“Biar aku yang cari alesan ke ayah, kamu engga perlu khawatir. Mending kamu pulang.”

Tuhan, mata Jungkook sudah terasa begitu panas. Taehyung bahkan tidak ada nyali untuk menatap mata Jungkook, namun tetap saja perkataannya dapat menimbulkan sebuah luka. Jungkook palingkan wajahnya, menyeka sedikit titik air mata yang mulai meluap. Taehyung masih tertunduk, lamun dirinya tahu kalau satu tarikan napas Jungkook itu mengandung pilu.

“Kamu tidur aja, aku masih mau ngobrol sama ayah. Aku engga akan ganggu kamu.”

Fakta bahwa Jungkook berada di rumahnya saat ini saja sudah sangat mengganggu Taehyung.

hhh... “Terserah kamu ajalah.”

Taehyung melangkah masuk. Menaruh nampan di tempat semula dalam kabinet dapur. Lalu berjalan menuju ruang keluarga, menghampiri bunda yang masih sempat menonton serial drama malam hari. Ibunya sudah menguap berkali-kali, namun tetap memaksakan sepasang matanya berfokus pada layar televisi.

Taehyung memposisikan tubuhnya untuk duduk dengan nyaman di sebelah bunda. Badannya yang jauh lebih besar itu menempel, mencari sebuah kenyamanan yang tidak pernah gagal bunda berikan kepada sang anak. Dia peluk sang bunda dari samping, kemudian pandangannya kembali menerawang. Taehyung melihat ke arah tertentu tanpa menaruh fokusnya.

Bunda menepuk-nepuk lengan Taehyung tanpa bicara. Masih sibuk mendengarkan dialog penuh amarah dari pemeran utama dalam drama yang ditontonnya.

“Kalau ngantuk naik aja sana ke kamar. Jungkook mah kalau udah ngobrol sama ayah bisa sampai jam 2 pagi.”

Taehyung mendongak ketika mendengar informasi dari bunda. “Emangnya iya, bun? Jadi selama ini mereka suka ngobrol sampai pagi? ckckck.”

Bunda tertawa kecil, disusul dengan sebuah anggukan.

“Iya, engga tahu deh mereka ngobrolin apa aja. Emang udah seneng banget si ayah kalau ketemu sama Jungkook, dari dulu klop banget kan kamu tahu.”

Ya, Taehyung tahu. Selera musik ayah dan Jungkook itu sama. Saat pertama kali bertemu Jungkook, kesan ayah pada pria itu sudah bagus. Karena Jungkook mengklaim dirinya sebagai penggemar dari salah satu band British dengan aliran rock ballad yang juga ayah gemari. Sama-sama mengambil kuliah jurusan Hukum. Suka kopi hitam tanpa tambahan perasa manis. Sama-sama memiliki pengetahuan umum yang luas. Jungkook dan ayah gigih untuk mencapai target hidup mereka. Tidak heran kalau Jungkook sudah memiliki posisi yang cukup tinggi di perusahaan tempatnya bekerja.

Lama melamun, Taehyung akhirnya menyetujui perkataan bunda. Ya, ayah dan Jungkook memang klop sekali.

Waktu terkikis tanpa Taehyung sadari. Kini jam di dinding sudah menunjukkan hampir pukul setengah sepuluh malam. Mata bunda sudah tidak dapat lagi menahan rasa kantuk. Dikecup kepala anaknya, lalu berkata kata beliau akan pergi tidur.

Namun langkah bunda tidak menuju ke kamarnya yang terletak di sebelah ruang keluarga. Bunda berjalan menuju pintu teras belakang, di dekat dapur dan ruang makan. Kemudian kepalanya mengintip keluar, melihat sosok ayah dan Jungkook yang sedang tertawa diselipi dengan obrolan.

“Jungkook, mobilnya nanti masukin aja ke garasi ya, nak. Kamu nginep aja. Soalnya udah malem, bahaya kalau nyetir malem-malem. Nanti jangan lupa gerbang digembok. Kalau mau tidur di kamar sebelah Taehyung, atau kalau di kamar Taehyung jangan lupa dipisahin guling! hahaha.” Bunda setengah berteriak untuk mengatakan rentetan kalimat tersebut.

Untuk sekelian kalinya, Taehyung hanya bisa menghela napasnya. Aduh, rasanya pening sekali. Memang benar-benar kerja semesta yang begitu keji padanya. Perasaannya seakan hanya sebuah candaan. Rasa sakitnya hanyalah sebuah gurauan. Seakan semesta dan orang-orang di sekelilingnya tidak membiarkan rencana Taehyung untuk melepaskan Jungkook itu berjalan lancar.

Taehyung hanya dapat memijit pelipisnya. Kemudian dia melangkah naik ke lantai dua, tempat di mana kamarnya berada. Taehyung hanya butuh pura-pura tidak ada Jungkook di sana, lalu pergi tidur. Ya, semoga saja rencananya berhasil.

. . .

Penderitaan Taehyung tidak cukup sampai di situ saja ternyata. Pagi harinya ini dibuka dengan pemandangan Jungkook yang sedang membantu sang bunda menyiapkan sarapan. Peninglah itu kepala Taehyung rasanya. Semalam tidurnya tidak nyenyak sama sekali. Taehyung berulang kali terbangun dengan kaget tanpa sebuah alasan, mungkin efek dari pikirannya yang tidak mau disuruh istirahat meski tubuhnya sudah begitu lelah.

Bagi Taehyung, bangun pukul tujuh di pagi hari itu akan sangat jarang terjadi. Dirinya terbiasa bangun di pukul delapan dan berangkat ke kantor kurang dari dua puluh menit sebelum batas waktu absensi kedatangan ditutup.

Sedangkan Jungkook, pria itu terbiasa bangun lebih pagi. Karena jarak kantor dengan rumahnya lebih jauh jika dibandingkan dengan apartemen Taehyung. Makanya Jungkook lebih suka menginap di apartemen pria itu saat lembur gila-gilaan.

Bunda mengucap salam selamat pagi, mengecup pipi anak semata wayangnya tanpa sadar kalau wajah anak itu terlihat masam. “Pagi sayangnya bunda. Sana duduk, nanti bunda bikinin jus apel kesukaan kamu.”

Taehyung hanya dapat menurut. Dia berjalan ke arah meja makan, mengambil posisinya di kursinya yang biasa. Jungkook sibuk mondar-mandir menata makanan bersama bunda, sedang ayah masih dengan rutinitas paginya membaca berita di saung sembari menyesap kopi hangat. Pusing, kepalanya hanya bisa dia sandarkan ke meja dan berusaha tidak mempedulikan aktivitas menata meja dari Jungkook dan bunda di hadapannya.

Berada di satu meja makan yang sama dengan mantan pacar, yang sudah menghabiskan waktu lebih dari enam tahun bersama, lalu harus putus karena sebuah tulisan takdir yang pahit, itu bukanlah hal mudah. Terlebih keduanya harus putus dengan perasaan yang masih mutual. Saling mencinta sebesar dunia, namun dunia terlalu kejam terhadap mereka.

Rambutnya terelus lembut, disusul dengan banyak kecupan. Bunda bertanya tentang kondisi Taehyung yang pagi ini nampak tidak bergairah. Tentu saja anaknya akan menjawab dengan sebuah kebohongan, lagi. Rasanya begitu sulit untuk jujur. Padahal Taehyung tinggal mengatakan kalau dirinya dan Jungkook sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Pasti kondisi mereka tidak akan serumit ini.

“Sayang, tolong ayahnya dipanggil. Suruh sarapan dulu.” Bunda meminta tolong dengan suara lembutnya.

Kepalanya tadi tertunduk dan menempel ke meja, kini diangkat oleh Taehyung. Dirinya sudah siap untuk berdiri, kemudian menghampiri ayah di halaman belakang. Namun Jungkook buru-buru mencegah. “Jungkook aja bunda yang panggilin ayah.”

Pria itu tersenyum dan sudah langsung melangkah keluar rumah. Samar-samar Taehyung dapat mendengar suara tawa ayah yang entah sedang membicarakan apa dengan Jungkook di belakang sana.

Taehyung hanya berharap setidaknya Tuhan mengirimkan kekuatan super untuknya hari ini. Kekuatan penangkal rasa sakit di dadanya, yang mungkin harus dia tahan hingga jam sarapan selesai. Setelah itu Taehyung hanya perlu buru-buru beralasan berangkat ke kantor. Kemudian dia tidak akan melihat wajah pria itu lagi. Ya, skenario terbaik yang ada dalam pikiran Taehyung.

Namun tentu saja nasib baik tidak pernah berpihak kepadanya. Pagi itu Taehyung berakhir di kursi penumpang mobil Jungkook, dengan sebuah senyuman terpaksa agar tidak membuat ayah dan bunda curiga. Di kursi belakang sudah penuh dengan nasi tumpeng dan macam-macam lauk yang ternyata bunda pesan pada Bu Mala, rumahnya terletak di paling ujung depan pos jaga warga.

Mereka melewati setengah perjalanan dengan suasana dingin yang sangat tidak nyaman. Radio dalam mobil Jungkook menyala, suara penyiar pagi dari Prambors radio yang terdengar konyol seharusnya bisa mencairkan suasana sedingin salju di antara mereka. Biasanya Taehyung akan tertawa mendengar ocehan Gina dengan suara khasnya, lalu menepuk-nepuk lengan Jungkook sambil tertawa geli. Lamun, pria itu kini hanya menutup rapat bibirnya sambil menerawang ke jalanan Jakarta yang selalu padat di pagi hari.

Harusnya jarak rumah orangtuanya ke kantornya yang berada di daerah Sudirman tidak akan memakan waktu yang banyak. Namun entah kenapa Taehyung merasa jalanan pagi ini terasa lebih padat dari biasanya dan waktu berputar begitu lama.

Jungkook meninggikan volume radio ketika sang penyiar menyebutkan lagu dari penyanyi kesukaan Taehyung. Alunan lagu Harry Styles yang berjudul Falling memenuhi kekosongan di dalam mobil. Entah kenapa kini lagu itu terasa begitu menusuk relung hatinya, padahal Taehyung sering sekali mendengarkan dan menyanyikan lagu itu sebelumnya.

Taehyung memejamkan matanya. Membiarkan rentetan lirik indah yang dengan rasa pedih yang di alunkan Harry Styles memehuni kepalanya.

“Mau mampir ke sbux dulu beli hot latte?” tanya Jungkook. Namun tidak ada sepatah kata pun yang Taehyung keluarkan sebagai sebuah jawaban.

Jungkook paham, kalau itu berarti jawaban tidak dari Taehyung.

I’m falling again, i’m falling again, i’m falling….

Taehyung harus bertahan, setidaknya sampai mereka tiba di depan gerbang kantornya. Taehyung hanya perlu mengatur napasnya, menahan air mata yang mungkin sedang siap-siap membuat genangan. Sebentar lagi, Taehyung hanya perlu bertahan sebentar lagi.

Tidak ada kata apa pun selain sebuah ucapan terima kasih yang singkat dari Taehyung. Pria itu melepas sabuk pengaman, kemudian siap untuk keluar dari mobil Jungkook yang begitu menyesakkan. Rasanya Taehyung seperti berada di penjara sepanjang tiga puluh menit perjalanan. Namun pergelangan tangannya ditahan oleh Jungkook dengan lembut, tepat ketika Taehyung hendak membuka pintu mobil.

“Nanti aku jemput, ya? Taehyung, kita perlu bicara banget. Aku mohon.”

Tentu saja Taehyung hanya membisu. Wajahnya menoleh, matanya kini dengan tegas menatap Jungkook. “Aku engga bisa, sorry. Thanks buat tumpangannya.”

“Taehyung, aku mau egois kali ini. Aku mau egois buat minta kamu ga nyerah. Don’t give up on us, please?”

Taehyung melepaskan genggaman Jungkook pada pergelangan tangannya. Tanpa kata, tanpa suara, Taehyung menggantung perkataan Jungkook. Meninggalkan pria itu begitu saja dan kakinya dengan gontai memasuki gedung besar yang dipenuhi oleh kaca tersebut.

Meski begitu, Jungkook tetap kukuh dengan keputusannya. Jungkook tidak mau menyerah dan tidak akan menyerah akan Taehyung dan hubungan mereka.

. . .

warning: menyinggung perbedaan keyakinan, breakup, goodbye. . . .

It took letting go to realize i was holding onto nothing.

. . .

Juli 2020.

Butuh waktu dua jam bagi Taehyung untuk dapat mengumpulkan niat membalas pesan masuk dari pacarnya, Jeon Jungkook.

Jimin sempat mampir sebentar. Memeriksa keadaan sahabatnya yang ternyata terlihat begitu kacau. Mata Taehyung bengkak dan dihiasi oleh lingkarang hitam yang begitu besar. Namun sayangnya dia tidak dapat terlalu lama menemani Taehyung yang tidak dalam kondisi baik itu. Jimin hanya dapat memeluk Taehyung, membiarkan sang sahabat menangis hingga tersedu-sedu. Jimin tahu hati Taehyung kini sangat hancur. Terlebih saat mengingat sebuah keputusan besar yang akan diambil olehnya. Dia, Kim Taehyung, berencana untuk melepaskan pria yang paling dicintai olehnya.

Ah, Jeon Jungkook yang malang. Pria itu tidak tahu-menahu nasib buruk apa yang akan menghampirinya. Dirinya sibuk mengkhawatirkan keadaan Taehyung. Terlihat jelas dari berbagai kalimat yang dia kirim di ruang obrolan mereka. Namun hal itu membuat Taehyung semakin ragu. Dia tahu sekali kalau perasaan dan pikirannya akan kembali bimbang. Karena Taehyung sadar seberapa besar rasa sayangnya pada pria itu.

Sederhananya, Taehyung butuh sedikit jarak di hubungan mereka. Untuk merenung, berpikir dan memantapkan keputusan yang sudah beberapa bulan ini dia timbang berulang kali.

Jungkook itu manis. Jungkooknya memperlakukan Taehyung dengan baik. Taehyung serasa dimandikan oleh banyak cinta dari Jungkook setiap harinya. Selama enam tahun berpacaran, tidak pernah sekali pun ada sikap Jungkook yang kurang ajar atau dengan sengaja menyakiti hati Taehyung. Jungkook dibesarkan oleh keluarga yang hangat dan tumbuh dengan baik. Dia pandai memperlakukan seseorang yang istimewa untuknya dengan penuh rasa kasih dan sayang. Hal ini yang membuat Taehyung selalu saja jatuh pada pesona Jungkook.

Meski sejak awal dirinya tahu kalau dia dan Jungkook berbeda. Ada sebuah dinding pemisah yang begitu tinggi di antara mereka, sebuah benteng yang tidak akan mungkin Taehyung hancurkan. Taehyung mencintai Jungkook sebesar pria itu mencintainya. Mana mungkin Taehyung tega bersikap egois dan meminta Jungkook untuk menghancurkan benteng tersebut.

Sayangnya kini sudah terlambat. Dia sudah jatuh terlalu dalam. Taehyung jatuh, terjerembab, kakinya seakan ditarik masuk lebih dalam setiap harinya. Sebab itu dia bertahan hingga sejauh ini.

Terkadang Taehyung lelah mendengar ocehan orang-orang di sekelilingnya tentang hubungannya dengan Jungkook. Mereka berkata kalau ini tidak akan berhasil. Mereka hanya berjalan tanpa memiliki tujuan yang pasti.

Taehyung masih sama pacarnya yang beda agama itu?

Berarti nanti pacarmu pindah agama dong, Tae?

Mending cari yang seiman aja sih. Emangnya dia mau disuruh pindah agama? Nanti malah kamu lagi yang pindah. Ih, amit-amit ya.

Kalau boleh jujur, Taehyung terlalu takut untuk memikirkan hal tersebut. Selama enam tahun berpacaran dengan Jungkook, Taehyung selalu menghindari pikirannya akan topik ini. Dia hanya ingin menghabiskan waktu dengan bahagia bersama Jungkook. Kalau mengingat hal tersebut dapat menggoreskan luka pada hatinya, lebih baik Taehyung buang jauh-jauh pikiran tersebut.

Bertahun-tahun Taehyung mengelak. Dia terus-menerus menghindar dengan situasi yang sedang dihadapi. Hingga akhirnya ada sebuah gejolak aneh dari dalam dirinya, seakan hati kecilnya menolak Taehyung untuk bertahan lebih lama lagi. Menampar Taehyung dengan kenyataan yang terjadi. Hatinya tertohok dengan sebuah kalimat yang dibuat oleh dirinya sendiri.

Memangnya tujuan pacaran apa kalau bukan untuk nikah nantinya?

Pemikiran tentang menghabiskan hari bahagia bersama Jungkook seakan lenyap dari kamus hidup Taehyung. Dirinya kini sibuk mempertanyakan perasaannya, perasaan Jungkook dan masa depan hubungan mereka.

Kookoo

Sayang, masih ga enak badan? Pulang gereja nanti aku ke apart kamu ya?

Taehyung menghela napasnya. Ya Tuhan, kenapa sungguh berat?

Mata Taehyung sudah dibanjiri oleh air mata yang siap terjun bebas. Panas sekali dan perih. Ponselnya kembali dia letakkan di nakas kecil sebelah kasurnya.

Tubuhnya kembali berbaring di atas ranjang, lalu dia tarik selimutnya yang lembut hingga menutupi bagian wajah. Mencari sebuah kenyamanan yang hilang, direnggut oleh rasa gugup dan sakit yang bercampur menjadi satu. Ini baru pukul lima sore, namun Taehyung memilih untuk tenggelam dalam selimutnya.

Hujan deras tengah mengguyur seluruh kota sejak dua jam yang lalu. Suara gemuruh hujan dari arah jendela kamarnya menemani sore Taehyung yang sunyi. Disusul dengan kilatan petir yang menembus gorden kamarnya. Otomatis jari-jarinya mencengkeram selimut dan menutup seluruh tubuhnya semakin rapat lagi.

Takut sekali. Biasanya dirinya akan meminta Jungkook untuk datang setiap kali hujan lebat dan badai petir berlangsung. Karena Taehyung membenci suara gemuruh hujan dan suara menggelegar tiap kali petir menyambar.

Namun kali ini Taehyung harus bertahan seorang diri. Dia tidak mampu untuk menghubungi Jungkook. Apalagi bertemu dengan pria itu. Taehyung takut kalau pertahanannya akan goyah. Ya, memang dia egois. Taehyung menghindari pria itu tanpa memberi tahu alasan yang sesungguhnya. Sedang pria yang masih menyandang status sebagai pacarnya itu begitu khawatir akan keadaan Taehyung.

Ponselnya bergetar, disusul dengan nada dering yang menandakan sebuah panggilan masuk. Satu tangannya keluar dari dalam tempat persembunyiaannya—selimut. Kemudian Taehyung langsung mengangkat panggilan tersebut tanpa memperhatikan nama yang tertera pada layar ponselnya.

“Sayang? Astaga, kenapa susah banget dihubungin? Kamu masih sakit? Udah makan belum? Aku bawain makanan ya? Ini aku otw apart kamu.”

Taehyung hanya bisa memejamkan matanya. Kemudian, dia membiarkan air matanya mengalir dengan bebas di pipinya. Mendengar suara lembut Jungkook yang sedang khawatir dari seberang sana membuat dada Taehyung nyeri.

“Sayang...? Sakit banget ya? Vertigo lagi? Kan udah aku bilang jangan kecapekan dan jaga pola makan. Kamu tuh—”

“Jungkook, aku mau putus.” Taehyung berkata, lebih terdengar seperti sebuah lirihan.

Tidak ada jawaban apa pun dari seberang sana. Jungkook bungkam. Hanya ada helaan napasnya yang terdengar begitu pilu. “Kamu ngomong apa sih? Jangan ngaco, Taehyung. Aku on the way apartemen kamu.”

Itu kali pertama Taehyung mendengar nada bicara Jungkook berubah. Kali pertama Jungkook terdengar sedingin salju yang turun di pertengahan bulan Juli. Jungkooknya yang hangat seolah menghilang untuk beberapa saat.

“Aku tutup ya teleponnya. Kamu istirahat aja, aku mau mampir ke Panda Express buat beliin kamu makan malem.”

Taehyung menutup mulutnya rapat-rapat dengan satu tangan, menahan isakkannya agar tidak sampai terdengar Jungkook. Namun usahanya itu sia-sia. Karena tangisan Taehyung begitu kejar. Meskipun dia menangis dalam diam, mencoba menahannya sekuat tenaga, Jungkook tetap bisa mendengar isakkan Taehyung tersebut.

Pria itu memutuskan panggilan telepon. Ponselnya dilempar ke arah kursi penumpang di sampingnya. Kemudian kepalanya dia tempelkan kepada roda kemudi. Dengan itu tangis Jungkook pecah. Di bawah guyuran hujan dan kilatan petir dari luar mobil, Jungkook menangis seorang diri.

Karena akhirnya hari ini datang juga. Hari yang paling Jungkook takutkan.

. . .

Sebuah ketukan sebanyak tiga kali dari pintu depan pintu kamarnya berhasil membuat Taehyung terbangun. Matanya terasa perih dan kepalanya berat, sepertinya efek menangis sampai tertidur selama tiga puluh menit.

Jungkook membuka pintu kamar Taehyung. Kepalanya masuk untuk sedikit mengintip. Pria itu sempat-sempatnya tersenyum dengan tangan menenteng bungkusan Panda Express. Langkahnya mendekat ke arah kasur Taehyung, tempat di mana tubuhya masih berbaring tanpa berani menatap ke arah Jungkook.

Dia duduk si ruang kosong dekat kaki Taehyung. Tentengannya Jungkook letakkan ke atas nakas terlebih dahulu. Jungkook hanya duduk dan memijat-mijat kaki Taehyung dengan lembut. Padahal dia tahu kalau Taehyung tidak mau menatap ke arahnya sama sekali. Jungkook tahu meskipun pencahayaan di kamar Taehyung begitu remang. Hanya ada cahaya dari ruang tengah yang menyelip masuk ke kamarnya.

“Makan dulu, yuk? Pasti kamu belum makan dari siang. Lihat itu perut kamu kempes, nanti engga enak lagi aku peluk.”

Jungkook hendak menarik tangan Taehyung. Ingin mengajak pacarnya itu untuk pergi ke ruang makan. Namun Taehyung menepis genggaman tangan Jungkook di tangannya dengan pelan.

Tidak, bukan ini respon yang Jungkook inginkan dari pria manis itu. Biasanya Taehyung akan melompat masuk ke dalam pelukannya. Akan memeluk lengan Jungkook dengan erat tiap kali mereka bertemu. Taehyung tidak akan pernah mampu melepaskan genggaman tangan Jungkook, setidaknya begitu biasanya.

Mata Jungkook menangkap kepala Taehyung yang sedang tertunduk. Buku-buku jarinya tidak berhenti dia mainkan, menimbulkan suara mengganggu di saat keheningan menyelimuti ruangan kamar Taehyung. Tak berapa lama terdengar suara isakkan keluar dari mulutnya.

Tuhan, tolong, Jungkook meminta dengan sangat untuk tidak membiarkan pria yang disayangi merasakan luka. Karena rasanya hati Jungkook ikut terluka saat ini. Dua detik hingga akhirnya Jungkook mengikis jarak di antara mereka. Jungkook rengkuh tubuh Taehyung, masuk ke dalam tempat ternyaman yang pernah ada; pelukan Jungkook.

“Ssh, kok nangis tiba-tiba? Kamu kenapa? Mau cerita sama aku atau engga?” ucap Jungkook. Kedua tangannya tidak henti mengusap punggung Taehyung dengan lembut.

Tubuh pria manis itu bergetar hebat dalam dekapan Jungkook. Pundaknya terus-menerus bergerak naik-turun tidak teratur, akibat dari tangisnya yang semakin kejar. Bahkan bisa dikatakan histeris. Karena Taehyung tidak lagi menahan suara tangisnya. Taehyung meraung di sela-sela tangis. Sebuah bentuk protes terhadap takdir dan kerja hidup yang begitu kejam.

Kenapa dirinya dan Jungkook harus saling mencinta kalau memang tidak dapat bersatu pada akhirnya?

Kenapa Tuhan menciptakan sebuah perbedaan?

Kenapa mereka tidak dapat hidup bersama dan tetap saling mencintai meski dengan adanya perbedaan itu?

“Jungkook, maaf...” hanya itu yang dapat keluar dari bibirnya.

Sebuah gelengan menjawab ucapan maaf Taehyung. Karena Taehyung tidak salah, tidak ada yang salah di sini. Bagi Jungkook tidak ada hal yang salah menyangkut cinta.

Taehyung menarik napasnya dalam-dalam. Berusaha dengan keras agar tangisnya mereda dan mengontrol kembali napasnya yang sempat terengah. Dia membiarkan tubuh Jungkook membungkus tubuhnya, berharap dengan begitu rasa sakitnya akan tersamarkan. “Jungkook, aku mau putus...”

Dunia Jungkook runtuh saat Taehyung mengatakannya secara langsung. Pria manis itu melirih di dalam pelukannya, Taehyung mengatakannya dengan pelan di dada Jungkook.

Jangan, please, jangan katakan itu lagi Taehyung.

“Aku mau putus...” ulang Taehyung.

Jungkook hanya dapat membatu tanpa melepas pelukannya. Tangannya tetap merengkuh tubuh Taehyung. Jungkook tetap menjanjikan rasa aman pada prianya itu, meski dirinya bisa melihat dunianya yang hancur di depan sana. Jungkook tetap memikirkan Taehyung bagaimana pun keadaannya.

Taehyung menjauhkan tubuhnya, memberi sedikit jarak di antara mereka berdua. Wajahnya sudah berantakan akibat air mata. Hidungnya merah, matanya bengkak dan suaranya serak. “Jangan diem aja, Jungkook.”

Jungkook melepaskan pelukannya. Lalu menatap Taehyung yang masih berderai air mata. “Aku harus jawab apa emangnya? Mending sekarang kamu tidur, kita bahas masalah ini besok pagi. Malam ini aku nginep, ya?”

Taehyung menggeleng berulang kali. Tangisnya kembali pecah.

“Jangan, kalau kamu terlalu lama di sini aku bisa berubah pikiran. Jungkook, please.”

Entah bagaimana Jungkook dapat mendeskripsikan rasa pilu yang menyayat dadanya saat ini. Dirinya tidak pernah meminta apa pun sebesar dia meminta Kim Taehyung untuk selalu berada di sisinya. Jungkook tidak pernah menuntut apa pun di hidupnya, selain waktu tanpa batas yang dapat dia miliki dengan pria manis itu. Jungkook tidak pernah mencintai ciptaan Tuhan lainnya sebesar dia mencintai Taehyung.

Apakah itu begitu muluk?

“Kamu aneh. Beberapa hari ini kamu hindarin aku, lalu sekarang minta putus. Tiba-tiba banget, really?”

Taehyung hanya dapat menunduk, membiarkan air matanya terus menerus tumpah membanjiri pipi. Satu tangannya memukul-mukul bagian dadanya dengan pelan, berharap kalau tindakannya itu dapat mengusir rasa sakit yang begitu menyiksa. Namun buru-buru Jungkook menarik tangan Taehyung.

“Apa alesannya, Taehyung?”

Jungkook tentu sudah tahu satu-satunya alasan yang mempu membuat Taehyungnya mengambil keputusan besar seperti ini. Jungkook selalu tahu, namun tidak pernah berharap kalau hari itu akan benar-benar tiba.

“Mau sampai kapan kita jadi egois? Mau sampai kapan kita melangkah tanpa arah? Jungkook, kita sama-sama tahu ujungnya gimana. Mau sampai kapan kita nunda rasa sakit itu?”

Nyatanya, mau ribuan kali Taehyung berdoa. Jutaan kali Taehyung meminta. Jawabannya akan tetap sama. Jungkook memanglah bukan untuknya, begitu pula sebaliknya.

Jungkook menggeleng. Entah karena lidahnya kelu dan tidak memiliki sepatah kata pun yang dapat diucapkan atau berharap Taehyung berhenti berkata omong kosong.

“Tante kamu bener. Kita udah dua puluh delapan, kita engga bisa bertahan di satu fase hidup yang itu-itu aja. Aku, kamu, kita berdua engga mau egois. Ini masalah pegangan hidup kita, masalah kepercayaan, masalah hubungan kita dengan Tuhan....”

“Emang kita engga bisa terus begini? Emang salah kalau kita hidup berdampingan dengan perbedaan?”

“Engga bisa...”

Taehyung menjawab itu dengan tangisan yang berkali-kali lipat terdengar lebih sakit. Pertahanan Jungkook runtuh, bersamaan dengan dunianya yang hancur. Dia menarik tubuh Taehyung tanpa perlu meminta izin pria itu. Dia kecup puncak kepala Taehyung berkali-kali. Air matanya ikut menetes dengan deras, membasahi puncak kepala Taehyung. “Biarin begini dulu. Sebentar aja, Taehyung. Biarin aku peluk dan cium kamu sekali ini, kalau mungkin ini emang terakhir kalinya aku bisa lakuin ini.”

Bibir bawah Taehyung mungkin sebentar lagi akan lecet, karena anak itu mengigitnya dengan begitu kuat. Taehyung berusaha untuk menahan isakkannya yang semakin kejar. Namun semuanya kembali pecah setelah mendengar kalimat yang Jungkook ucapkan barusan. Nyatanya, Taehyung juga hancur. Mereka berdua hancur dalam dekapan satu sama lain. Taehyung memeluk erat tubuh Jungkook malam itu, karena mungkin tidak ada malam-malam lainnya untuk mereka berdua.

Malam penuh luka itu ditutup dengan sebuah ciuman hangat dari Jungkook. Ciuman yang diselingi dengan isapan dan lumatan pada bibir manis Taehyung. Biasanya mereka akan tertawa di sela-sela ciuman itu. Namun kini hanya ada rasa sakit yang membelenggunya. Hari itu dua hati terluka, dua hati dikorbankan, karena sebuah tulisan takdir yang begitu pahit.

. . .

I look at you and see the rest of my life in front of my eyes.

. . .

Taehyung tidak benar-benar tidur dengan nyenyak tadi malam. Pikirannya sudah melayang, seakan mengembara waktu ke esok hari. Hari di mana dirinya dan Jungkook melangsungkan upacara pemberkatan. Jam di dindingnya tidak henti berdetak, bunyinya begitu mengganggu setiap kali Taehyung hendak menutup matanya dan mencoba tidur.

Memang ada beberapa orang yang terkena serangan panik menjelang hari-hari pernikahan. Dua hari lalu Taehyung menelusuri laman pencarian di internet. Dirinya tidak henti berdebar dan tidak tenang setiap kali mengingat kalau hari pernikahannya sudah berada di depan mata. Taehyung tidak bisa tidur, tidak bisa bisa makan, kehilangan konsentrasi. Hingga akhirnya dia sampai pada sebuah artikel yang membahas tentang gamofobia. Sebuah ketakutan akan komitmen dan pernikahan. Kepalanya langsung menggeleng hebat, tidak, tidak, tidak mau melihat hal yang seperti itu.

Hingga akhirnya ketakutan Taehyung hilang, ketika satu notifikasi bertuliskan nama Jungkook muncul di layar ponselnya.

Aku di depan rumah kamu nih. Bawain camilan dan minuman dingin, boleh keluar sebentar?

Saat itu wajah Taehyung pucat, peluhnya tidak berhenti keluar dari telapak tangannya. Taehyung tidak perlu berbicara atau memberitahu Jungkook kalau kondisinya sedang tidak baik-baik saja, karena pria itu selalu cepat tanggap dalam membaca situasi. Tangan Taehyung ditarik dengan lembut, lalu mengajak anak itu masuk ke dalam mobilnya sebentar. Dia sodorkan segelas plastik cokelat dingin ke arah Taehyung.

“Minum dulu, biar mood kamu membaik.” kata Jungkook.

Taehyung menatap Jungkook dengan penuh rasa bersalah. Dirinya sendiri pun tidak mau bertingkah begini, namun serangan panik itu tidak bisa dia tahan. “Mood aku baik-baik aja, kak. Cuma, emang akhir-akhir ini lagi kepikiran banget aja buat hari H.”

Jungkook mengangguk paham, kata bunda hal itu wajar terjadi.

“Iya, aku ngerti. Tapi kamu percaya sama aku atau engga?” tanya Jungkook.

Tentu saja Taehyung percaya. Jika hanya ada satu pria di dunia ini yang dapat dia percayai, sudah pasti orang itu adalah Jungkook. Kak Jungkooknya yang lembut dan selalu bersikap manis. Maka dari itu Taehyung mengangguk.

“Kalau gitu, kamu engga usah takut atau khawatir lagi. Kita udah siapin semuanya beberapa bulan ini, mami dan bunda juga ikut bantu. Aku yakin semuanya bakal lancar.”

Kata-kata kak Jungkook terdengar seperti sebuah janji yang meyakinkan. Malam itu Taehyung bersyukur karena prianya datang di saat yang tepat.

Namun nyatanya rasa gugup, khawatir dan takut itu tidak juga pergi sampai di hari pernikahannya.

Dua puluh menit yang lalu, Jungkook ingat betapa gugupnya Taehyung di ruang tunggu pengantin. Anak itu akan mondar-mandir sambil memainkan buku jarinya hingga berbunyi. Namun Jungkook langsung segera menarik tangannya. Jungkook tidak membiarkan Taehyung gugup sendirian. Tidak membiarkan anak itu terus-menerus menggertakan sendi jarinya, karena tahu kalau itu tidak baik.

Tangan Taehyung digenggam dengan lembut, mengantarkan rasa hangat dan rileks yang Taehyung butuhkan setiap kali dirinya merasa gugup. Jungkook tersenyum dengan teduh, senyuman itu seakan mengangkat separuh beban yang membelenggu dadanya.

Sempat terpikirkan kalau mungkin Taehyung akan mengunci diri di kamar mandi, karena rasa gugupnya kembali lagi. Kalau itu terjadi, mungkin Jungkook tidak akan berdiam diri saja di depan altar. Dia pasti sudah berlari untuk menghampiri pria manis itu.

Nyatanya, pria manisnya kini sedang berjalan ke arahnya. Kaki jenjang Taehyung dibalut oleh pantofel putih, ada sedikit sentuhan aksen feminin. Tapi tetap saja jika Taehyung yang memakai semua akan terlihat indah. Badannya dibalut dengan jas putih senada dengan celana dan sepatunya. Di lapisan terdalam terlihat ada sebuah bahan menerawang yang mengekspos dada indah milik Taehyung. Cantik sekali, astaga. Padahal Jungkook sudah melihat Taehyung mengenakan jas putih miliknya. Dia tahu kalau bagian dada Taehyung akan sedikit terekspos, hal ini juga sempat menjadi perdebatan ketika mereka fitting.

Namun akhirnya Taehyung menang. Jungkook membiarkan Taehyung mengenakan jas pernikahan impiannya di hari bahagia mereka. Terbukti, kini Taehyung benar-benar nampak luar biasa indah. Jika score keindahan Taehyung pada hari biasa adalah 1000000, kini keindahannya sudah melampaui batas.

Orang-orang menahan sorak, tepat ketika Taehyung melangkah di antara mereka. Pipinya berwarna merah secara alami, efek dari melihat sosok Jungkook yang sedang tersenyum di depan sana. Papi, berjalan mengantar Taehyung dengan sebuah senyuman bahagia. Dia bahagia karena anak manisnya kini telah menemukan kebahagiaannya sendiri. Meskipun sebenarnya ada begitu banyak emosi yang sedang beliau rasakan saat ini. Senang, bahagia, sedih dan terhari, semua menjadi satu ketika melepaskan anaknya untuk menikah dengan seseorang yang dipilih.

Papi melepaskan gandengannya pada tangan Taehyung. Lalu menuntun anaknya untuk beridiri berdampingan dengan Jungkook. Beliau menepuk pundak sang calon menantu, sebuah tanda kalau beliau sudah mempercayakan kebahagiaan Taehyung pada pria itu. Tugas papi dan mami untuk membesarkan dan membahagiakan anak itu sudah selesai. Kini beliau membiarkan anaknya menulis cerita hidupnya sendiri, mencari kebahagiaannya bersama keluarga kecilnya dengan Jungkook nantinya.

Hari di saat bunga-bunga bermekaran, setelah melewati musim dingin yang panjang. Jungkook dan Taehyung mengikat sebuah janji, untuk mencintai dan mengkasihi satu sama lain sehidup dan semati.

Kemudian Taehyung melompat masuk ke dalam pelukan Jungkook. Anak itu menangis bahagia, karena ternyata hari yang tidak pernah dia bayangkan terjadi di hidupnya. Ketika Jungkook yang tersenyum teduh menunggunya di depan altar dengan tatapan penuh cinta. Ketika dirinya dan Jungkook saling mengucap janji suci dan di hadapan Tuhan. Setelah itu mereka berciuman, diselingi oleh tawa kecil, dan bibir mereka bertautan lagi. Seakan sorak-sorai dari para pengunjung hanyalah embusan angin, mereka tidak mempedulikan itu. Karena bibir keduanya masih menyatu, saling melumat dan mendamba. Ciuman pertama Taehyung dan Jungkook yang terasa begitu manis dan hangat di bulan april yang sejuk.

Semua orang bertepuk dan berteriak dengan riang. Ucapan selamat dari para hadirin seperti tidak ada akhir. Seakan kebahagiaan hari bukan hanya milik Taehyung dan Jungkook saja. Melainkan, semua orang yang ikut menghadiri upacara pemberkatan itu. Hanya ada sebuah tawa dan sorak menggoda sang pengantin baru yang mengantarkan mereka ke halaman gereja, tempat di mana resepsi dan makan malam akan dilaksanakan.

Tangan Jungkook dan Taehyung tidak berhenti bertaut. Mereka berjalan untuk menyapa para tamu dan memamerkan senyuman bahagia. Satu-satunya alasan Jungkook untuk melepaskan tautan tangannya pada Taehyung adalah untuk memeluk pinggang suami cantiknya itu.

Ternyata takdir Tuhan begitu manis padanya, sayang sekali Taehyung telat menyadarinya. Dia telat menyadari kalau seseorang yang ditakdirkan menjadi teman hidupnya ternyata tidak pernah berada jauh darinya. Taehyung sempat sulit untuk percaya akan cinta semenjak mengalami banyak kegagalan, namun kemudian kak Jungkooknya datang. Bukan hanya membawa sebuah janji belaka, melainkan ketegasan dan kesungguhannya.

Seorang host sedang berada di tengah podium kecil, meminta para hadirin untuk memberikan perhatian lebih. Pria dalam balutan jas hitam itu mengumumkan rangkaian acara selanjutnya. Sebuah makan malam untuk keluarga dan teman mempelai, merayakan hari kebahagiaan ini bersama, lalu dilanjutkan dengan acara dansa.

Para hadirin dapat tenang dan kembali ke kursinya untuk sementara waktu. Beberapa pelayan berlalu lalang dengan sebuah nampan berisikan makanan dan minuman. Semuanya kini fokus mendengarkan instrumen lembut yang mengalun sore itu, ditambah dengan dekorasi lilin yang menambah kesan romantis.

Salah satu tangan Taehyung yang ditaruh di atas meja kembali masuk dalam genggaman tangan Jungkook. Sebuah senyuman pun mengembang, untuk yang kesekian kalinya dalam hari ini. Rasanya pipi Taehyung sudah pegal sekali, namun dia tidak dapat menahan senyumannya itu. Diangkatlah pandangan matanya, kemudian napasnya tertahan ketika beradu tatap dengan Jungkook.

Pria itu peralahan mendekat. Mengikis jarak dari kedua wajah mereka. Membuat Taehyung menelan ludahnya karena gugup. Mata itu menjelajahi tiap sudut wajah indah milik sang suami, hingga tatapannya berhenti pada bibir Jungkook dan tahi lalat yang berada di bawahnya. Tepatnya baru beberapa jam yang lalu dia merasakan bibir itu melumat manis bibirnya, dan kini Taehyung sudah merasakan haus akan ciuman pertama mereka. Taehyung menggeleng hebat, buru-buru membuang pikiran tersebut. Membuat Jungkook berhenti mendekat dan tertawa geli. Dia acak-acak rambut Taehyung dengan lembut menggunakan satu tangannya yang terbebas. Kemudian wajahnya sedikit maju untuk berbisik, “kamu indah banget hari ini, love.

Sialan, panggilan macam apa barusan itu? Love, LOVE.

Taehyung membatu, entah kenapa dirinya masih saja dibuat salah tingkah. Jungkook itu jarang sekali berkata manis. Jantung Taehyung akan berhenti berdetak selama dua detik, lalu dengan heboh melompat-lompat di dalam dadanya, sekalinya Jungkook melakukan itu.

“Taehyung?”

Anak itu hanya dapat menjawab dengan sebuah gumaman. Namun tetap saja membuat Jungkook tersenyum gemas. Dia masih bertahan dengan posisinya tadi, wajah Jungkook masih berada tepat di depan telinga Taehyung. Hingga akhirnya dia kembali membisikan sebuah kalimat. “Aku sayang kamu, Kim Taehyung.”

Taehyung langsung menoleh, tanpa mempedulikan kalau jantungnya sedang beratraksi di dalam dadanya. Dia majukan wajahnya, menyatukan bibirnya dengan Jungkook. Taehyung membukanya dengan sebuah lumatan kecil, disusul dengan sebuah balasan lumatan dari Jungkook pada bibir atas dan bawah Taehyung secara bergantian. Begitulah cara Taehyung menjawab perkataan cinta Jungkook di hari pernikahan mereka.

Dengan sebuah ciuman manis.

. . .


I look at you and see the rest of my life in front of my eyes.

. . .

Dua puluh menit yang lalu, Jungkook ingat betapa gugupnya Taehyung di ruang tunggu pengantin. Anak itu akan mondar-mandir sambil memainkan buku jarinya hingga berbunyi. Namun Jungkook langsung segera menarik tangannya. Jungkook tidak membiarkan Taehyung gugup sendirian. Tidak membiarkan anak itu terus-menerus menggertakan sendi jarinya, karena tahu kalau itu tidak baik.

Tangan Taehyung digenggam dengan lembut, mengantarkan rasa hangat dan rileks yang Taehyung butuhkan setiap kali dirinya merasa gugup. Jungkook tersenyum dengan teduh, senyuman itu seakan mengangkat separuh beban yang membelenggu dadanya.

Sempat terpikirkan kalau mungkin Taehyung akan mengunci diri di kamar mandi, karena rasa gugupnya kembali lagi. Kalau itu terjadi, mungkin Jungkook tidak akan berdiam diri saja di depan altar. Dia pasti sudah berlari untuk menghampiri pria manis itu.

Nyatanya, pria manisnya kini sedang berjalan ke arahnya. Dengan balutan jas putih dengan sebuah bahan menerawang di lapisan dalamnya. Cantik sekali, astaga. Padahal Jungkook sudah melihat Taehyung mengenakan jas putih miliknya. Dia tahu kalau bagian dada Taehyung akan sedikit terekspos, hal ini juga sempat menjadi perdebatan ketika mereka fitting.

Namun akhirnya Taehyung menang. Jungkook membiarkan Taehyung mengenakan jas pernikahan impiannya di hari bahagia mereka. Terbukti, kini Taehyung benar-benar nampak luar biasa indah. Jika score keindahan Taehyung pada hari biasa adalah 1000000, kini keindahannya sudah melampaui batas.

Orang-orang menahan sorak, tepat ketika Taehyung melangkah di antara mereka. Pipinya berwarna merah secara alami, karena dia melihat sosok Jungkook yang sedang tersenyum di depan sana. Papi, berjalan mengantar Taehyung dengan sebuah senyuman bahagia. Dia bahagia karena anak manisnya kini telah menemukan kebahagiaannya sendiri. Meskipun sebenarnya ada begitu banyak emosi yang sedang beliau rasakan saat ini. Senang, bahagia, sedih dan terhari, semua menjadi satu ketika melepaskan anaknya untuk menikah dengan seseorang yang dipilih.

Papi melepaskan gandengannya pada tangan Taehyung. Lalu menuntun anaknya untuk beridiri berdampingan dengan Jungkook. Beliau menepuk pundak sang calon menantu, sebuah tanda kalau beliau sudah mempercayakan kebahagiaan Taehyung pada pria itu. Tugas papi dan mami untuk membesarkan dan membahagiakan anak itu sudah selesai. Kini beliau membiarkan anaknya menulis cerita hidupnya sendiri, mencari kebahagiaannya bersama keluarga kecilnya dengan Jungkook nantinya.

Hari di saat bunga-bunga bermekaran, setelah melewati musim dingin yang panjang. Jungkook dan Taehyung mengikat sebuah janji, untuk mencintai dan mengkasihi satu sama lain sehidup dan semati.

Kemudian Taehyung melompat masuk ke dalam pelukan Jungkook. Anak itu menangis bahagia, karena ternyata hari yang tidak pernah dia bayangkan terjadi di hidupnya. Ketika Jungkook yang tersenyum teduh menunggunya di depan altar dengan tatapan penuh cinta. Ketika dirinya dan Jungkook saling mengucap janji suci dan di hadapan Tuhan. Setelah itu mereka berciuman, diselingi oleh tawa kecil, dan bibir mereka bertautan lagi. Seakan sorak-sorai dari para pengunjung hanyalah embusan angin, mereka tidak mempedulikan itu. Karena bibir keduanya masih menyatu, saling melumat dan mendamba. Ciuman pertama Taehyung dan Jungkook yang terasa begitu manis dan hangat di bulan april yang sejuk.