A Thousand Times — 276.
. . .
Kaos putih gombrongnya dibiarkan tertiup angin malam, dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jogger pants. Gael melihat sosok Aidan sedang bersandar pada tiang ayunan yang tidak berpenghuni. Menatap kosong ke arah tanah di hadapannya, atau mungkin sibuk menghitung banyaknya semut yang berlalu lalang di dekat sepatunya.
Saat Gael mengirimnya pesan teks dan mengajaknya bertemu, Aidan bahagia, hatinya senang sekali. Namun, tidak bisa pungkiri kalau dirinya juga merasa cemas akan apa yang dikatakan langsung oleh pacarnya. Aidan tahu kalau kekhawatirannya yang berlebihan kemarin berdampak begitu buruk pada hubungan mereka. Dan kini, sebisa mungkin dirinya membuang jauh segala rasa khawatir tersebut.
Yang paling penting adalah bertemu dengan Gael, melihat wajahnya dan mendengar suaranya secara langsung. Hanya itu yang diinginkan Aidan saat ini.
Langkah kaki Gael mendekat, nampak tak mengganggu fokus mata Aidan ke bawah sana. Hingga pacarnya mengambil posisi duduk di atas ayunan, menimbulkan bunyi decitan kecil yang dapat menarik perhatian Aidan.
Melepas sandarannya pada tiang ayunan. Aidan mengubah posisi berdirinya, menghadap ke arah Gael. Ada sedikit ekspresi terkejut di sana, mungkin akibat terlalu lama larut dengan pikirannya sendiri. “Hei...?”
Kepala Gael menganggu kecil, untuk menjawab sapaan canggung pacarnya barusan. Entah kenapa kini Gael malah merasa sedih sekali, karena menyadari kecanggungan yang menyelimuti mereka. Tidak suka sekali, sungguh.
“Ai engga kangen aku, hm?” kata Gael, tiba-tiba. Lalu, kedua kakinya menekan tanah dan membiarkan ayunan yang dia duduki mengayun pelan.
Nadanya terdengar kecewa, meskipun Aidan tidak dapat melihat ekspresi wajahnya yang sedang tertunduk. Sumpah, tidak mungkin kalau Aidan tidak merindukan Gael. Tidak mungkin dia bisa tahan menghabiskan beberapa hari tanpa bertemu, mengobrol dan mendengar suara Gael. Dia cukup dibuat tersiksa selama beberapa hari ini. Namun, dirinya tahu betul kesalahannya yang begitu fatal kemarin. Dan dirinya pantas untuk dihukum seperti itu.
Aidan ingin sekali menghampiri Gael, bertemu dan berbicara secara langsung. Tapi, dirinya tidak ada di posisi yang tepat untuk melakukannya kemarin. Itu hanya akan menunjukkan betapa egoisnya Aidan. Jadi, keputusannya untuk memberi jarak dan waktu—seperti yang Gael inginkan—adalah hal yang paling tepat.
Aidan berjalan ke belakang Gael dan berdiri di sana. Masih belum menjawab perkataan Gael, malah tangannya bergerak untuk mendorong ayunan Gael dengan pelan.
“Kangen, kangen banget malah. Tapi, katanya kamu lagi sebel dan engga mau ngobrol atau ketemu dulu. Jadi, ya, aku turutin apa kata kamu.”
Kepala Gael mendongak ke belakang untuk melihat wajah Aidan. Bibirnya melengkung ke bawah, menunjukkan kepada Aidan bahwa dirinya kecewa dan sedih. “Iya, kemarin emang sebel banget. Tapi kangennya lebih besar dari rasa sebelnya.”
Aidan tersenyum, kemudian tangannya menghentikan laju ayunan. Kakinya berjalan mengitari ayunan, untuk dapat berhadapan langsung dengan Gael. Bersimpuh di tanah, tanpa peduli kalau bagian lutut celananya sudah pasti kotor setelah ini.
Tangan kirinya menarik salah satu tangan Gael, menggenggamnya dengan hangat dan tidak begitu erat. Sebuah tindakan yang selalu disukai Gael, dan Aidan tahu kalau pacarnya menyukai sentuhan-sentuhan kecil seperti ini.
“Maaf ya karena udah buat El marah kayak kemarin. Maaf karena buat El ngerasa engga nyaman dan dikekang. Ai tahu banget kalau Ai salah, dan kesalahannya fatal,”
Gael belum bereaksi. Hanya menatap tangannya yang kini dielus ibu jari Aidan dengan lembut. Membiarkan pria itu menlanjutkan perkataannya, meluapkan isi hatinya yang mungkin belum dapat disampaikan kemarin. “Kemarin Ai belum bisa berdamai sama diri sendiri dan memori yang Jeongguk tinggalin. Benar, Ai salah banget emang. Padahal, awalnya Ai yang yakinin El kalau kita punya kisah kita sendiri. Engga seharusnya memori mereka buat Ai jadi ketakutan.”
Kepala Gael semakin tertunduk, mendengar penjelasan Aidan yang bahkan belum berakhir itu. Matanya sudah terasa panas sejak tadi, bahkan dia berusaha keras menahan air matanya agar tidak menetes.
“Tapi, Ai udah mulai bisa handle itu semua sekarang. Rasa takut dan rasa sakit Jeongguk yang terlalu nyata itu, semuanya, Ai bisa lebih ngontrol itu semua. Ai udah mulai bisa nerima kalau mau gimana pun emang Ai harus berbagi memori ini.
“Bukan untuk tenggelam sama rasa takut, bukan untuk mengulang sejarah dan luka lama. Tapi, untuk ingat kalau sekarang Ai engga sendirian hadapin ini. Karena ada El, dan kita bakal laluin segalanya berdua.”
Gael sibuk menghapus butiran air mata yang mulai menetes dengan punggung tangannya. Dan, Aidan langsung buru-buru membantu pria kesayangannya itu. Menghapus air mata Gael dengan ibu jarinya dengan lembut. Setelah itu, menarik wajah Gael dengan pelan, untuk menatap matanya.
“Ai sayang sama El, Ai percaya sama kita. Itu yang paling penting sekarang.” lanjut Aidan.
Gael masih mencoba untuk mengontrol tangisnya. Sudah tidak peduli lagi kalau Aidan melihat wajah berantakannya saat ini. Hidung dan matanya yang merah, bibirnya yang cemberut dan pipinya yang masah karena jejak air mata. Dia membiarkan Aidan melihat keadaannya yang seperti sekarang.
“El juga sayang Ai, El juga percaya sama Ai. Plis, jangan diulang lagi kayak kemarin.” kata Gael, bersusah payah mengumpulkan suaranya yang mulai hilang karena banyak menangis.
Kepala Aidan mengangguk. Bukan asal bertindak, tapi penuh dengan janji. “Pasti, Ai janji engga akan ngulangin lagi. El mau maafin Ai, kan?”
“Iya, mau.”
Setelah itu Aidan menarik tubuh Gael ke dalam pelukannya. Membuat Gael sedikit menunduk dan tubuhnya condong ke arah depan, karena posisi Aidan yang masih bersimpuh di hadapannya. Punggungnya diusap dengan lembut, agar tangisan Gael benar-benar berhenti.
Detik itu juga, rasa sebal yang masih tersisa benar-benar luruh hingga menghilang tanpa jejak. Rasa berat yang berhari-hari menekan dadanya pun hilang, hingga Gael bisa bernapas jauh lebih lega.
Aidan memeluknya, mengecup puncak kepalanya dan mencuri kecupan di bibirnya. Ini semua yang terasa benar. Ini yang harusnya mereka lakukan kemarin. Bukan membiarkan emosi menguasai diri dan menyiksa perasaan satu sama lain.
Banyaknya Gael ikut merenung. Mencoba melihat dari posisi Aidan, yang mana dirinya jauh lebih banyak berbagi kenangan menyakitkan dengan Jeongguk, ketimbang Gael yang hanya mengingat beberapa kilasan kejadian. Ibaratnya, Aidan harus merasakan luka dan rasa sakit itu berkali-kali. Memori yang diberikan oleh Jeongguk, luka yang dulu pernah menggerogoti jiwanya, kini kembali dia rasakan. Itu semua bukanlah hal yang mudah untuk dilalui pria itu.
Tidak peduli sesakit apa memori Jeongguk dan Kimtae yang akan menghantui mereka. Gael tidak akan takut, Gael tidak akan membiarkan dirinya terpuruk dan disiksa oleh kenangan asing. Karena yang terpenting adalah hari esok, masa depan, halaman kosong pada buku kisahnya dengan Aidan.
. . .