COKI-COKI: 020.
. . .
Totalnya, bell pintu apartemen Taehyung sudah berdenting sebanyak lima belas kali, dan, tiga ketukan pintu di akhir. Taehyung tahu, siapa orang yang sedang berdiri sambil menekan bell pintunya pagi-pagi begini. Figurnya terpampang jelas pada layar intercom apartemennya.
Tentu saja, Jeon Jeongguk, pria penghuni seberang apartemennya. Sekaligus, cinta monyetnya yang tidak terbalas semasa sekolah menengah atas dulu. Untuk sekian kalinya sejak kemarin, ekspresi meringis terus-terusan terpajang di wajahnya.
Kakinya mondar-mandir di depan layar intercom, sambil sibuk mengigit kuku jarinya. Pikirannya sibuk menebak maksud dari kedatangan Jeongguk pagi-pagi begini. Selanjutnya, dia menimbang, apakah harus dia membukakan pintu apartemennya untuk Jeongguk?
Jeongguk sudah berdiri cukup lama di depan pintu apartemennya. Ini masih awal bulan Januari, dan udara Seoul masih sangat amat dingin. Terbukti, saat Jeongguk menyembunyikan kepalanya di dalam kupluk hoodie-nya, lalu tidak henti menggosok kedua telapak tangan.
Taehyung sering merasakan dilema, sering sekali, mungkin sudah ratusan kali atau bahkan ribuan selama hidupnya. Namun, dilema kali ini rasanya begitu dahsyat. Dia tentu bukanlah orang jahat yang tega membiarkan Jeongguk menggigil kedinginan di depan pintu apartemennya. Namun, Taehyung juga tidak mampu berhadapan dengan seorang Jeon Jeongguk secara langsung.
Kisahnya dengan Jeongguk mungkin terlihat biasa saja di mata orang lain. Tapi, bagi Taehyung, kisah cintanya dengan Jeongguk tidak biasa saja. Terlalu sakit untuk diingat bila hanya sekadar cinta monyet dan cinta tak terbalas anak remaja. Jeon Jeongguk meninggalkan banyak kesan untuk Taehyung dan menimbulkan banyak dampak dalam kisah percintaannya.
Dia selalu ingat, dan, masih mengingat semuanya dengan jelas. Sebesar apa rasa kagumnya kepada Jeongguk, hingga perasaan itu berkembang menjadi sebuah rasa sayang yang—bagi Taehyung—searah. Masih ingat bagaimana jantungnya berdegup tidak keruan, setiap kali melihat ekspresi Jeongguk yang menemukan coki-coki dan surat cinta di loker pria itu. Meski, pada akhirnya, Jeongguk tidak pernah mengambil tindakan yang sama seperti dirinya. Senyumnya, tawanya, tatapannya, Taehyung berpikir kalau Jeongguk hanya menikmati itu semua untuk dirinya saja.
Taehyung pikir, Jeongguk hanya senang diberikan atensi, senang melihat ada seseorang yang begitu mabuk dengan pesonanya. Namun, tidak akan pernah bisa membalas semua perasaan Taehyung itu. Terkadang, dia ingin berharap lebih dari tatapan Jeongguk, dari senyumannya, dari nada bicaranya yang lembut setiap kali mereka mengobrol berdua, kalau Jeongguk memiliki perasaan yang sama terhadap dirinya. Dan, itu semua hanya akan terus menjadi sebuah harapan yang tidak mungkin terjadi.
Kalau Jeongguk memang peduli pada perasaannya dulu. Kalau pria itu memang benar-benar memiliki perasaan yang sama dengannya, meski hanya secuil, Jeongguk seharusnya datang ke prom night sekolah mereka. Karena Taehyung sudah dengan jelas mengatakannya, di depan Jeongguk dan teman-teman yang lain,
Prom? datenglah, pasti. Ada lagu yang mau gue nyanyiin, buat seseorang. Begitu katanya, sambil melirik-lirik malu ke arah Jeongguk. Berharap kalau anak laki-laki itu mendengar sebuah kode yang baru saja diberikan olehnya.
Dan, anak laki-laki itu, yang kini sudah tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan. Yang dulu pernah memberi harapan Taehyung kalau mereka mungkin memiliki kesempatan bersama, kalau perasaannya selama 2 tahun itu tidak berakhir satu arah, kalau dirinya juga diinginkan, padahal kenyataannya tidak. Nyatanya, Jeongguk bahkan tidak memberikan pesan terakhir, tidak memberikan Taehyung kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya secara langsung, atau memberi salam perpisahan. Jeongguk pergi, melanjutkan studi desain ke Jepang, dan sejak saat itu Taehyung tidak tahu-menahu kabar tentang Jeongguk.
Ya, dia adalah pria yang sama dengan orang yang berdiri di depan pintu apartemennya pagi ini. Bagaimana bisa Taehyung bersikap baik-baik saja? di saat pria itu meninggalkan dampak yang sebesar ini untuk diri Taehyung selama bertahun-tahun. Hati kecil Taehyung berkata untuk membuka pintu apartemennya, namun, egonya menolak dengan keras.
Menghela napasnya berat. Pada akhirnya, Taehyung berjalan menuju pintu apartemennya. Membukanya, meski dengan berat hati. Lalu, yang dia lihat adalah tubuh Jeongguk yang sedang memunggungi pintu. Begitu mendengar pintu di belakangnya terbuka, Jeongguk langsung buru-buru membalik badan. Memamerkan senyumannya, senyuman kecil yang terasa begitu hangat, dengan lesung pipi yang menghias indah.
“Hei, kirain lo engga ada di apartemen. Sorry, ganggu pagi-pagi begini, ehehe.” kata Jeongguk, masih dengan senyumannya. Taehyung lihat kalau bibirnya mengigil dan tidak henti menggosok telapak tangannya.
“Ada apa?” tanya Taehyung tanpa basa-basi.
Jeongguk membungkuk, mengambil tas karton yang dia letakkan di dekat pintu masuk apartemen Taehyung. “Ada banyak kiriman makanan dari keluarga dan teman. Gue engga akan bisa ngabisin ini sendiri, sayang kalau engga ada yang makan dan basi.”
Jeongguk mengulurkan tas karton tersebut. Isinya, ada beberapa toples kue kering dan berbagai macam roti. Salah satunya benar-benar menarik perhatian Taehyung, begitu mencolok meski dia ditumpuk di antara yang lainnya. Seakan mengantarkan Taehyung terbang jauh ke belakang. Mungkin, sudah lebih dari satu dekade yang lalu. Taehyung yang masih kurus dan memakai seragam SMA, menenteng tas karton kecil berisikan roti isi daging cincang yang selalu dia beli di toko roti kesukaannya. Karena mamanya sibuk bekerja, Taehyung jadi jarang sekali menikmati sarapan buatan sang mama. Roti isi daging cincang itulah yang menjadi teman sarapannya di sekolah. Duduk di tempat duduk penonton yang berbentuk tangga di lapangan bola, sambil mengunyah roti kesukaannya dan menyesap susu stroberi yang dia beli dari mesin minuman.
Mata Taehyung kemudian menatap Jeongguk dan roti tersebut secara bergantian. Kenapa kebetulan sekali?
Jeongguk diam di tempat. Menunggu Taehyung bereaksi, tentunya selain mengedipkan mata berkali-kali, sambil melihat ke arahnya dan tas karton yang dipegang Taehyung. “Oh iya, roti isi daging cincangnya gue beli sendiri, bukan kiriman dari orang hehehe. Itu enak banget, semoga lo suka.”
Taehyung masih tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Beberapa menit yang lalu, dirinya sibuk merutuki kehadiran Jeongguk di depan apartemennya. Dan, kini, hatinya menghangat hanya karena roti isi daging giling, yang secara tidak sengaja Jeongguk berikan padanya. Sialan, Taehyung lemah sekali.
“Thanks?” ucap Taehyung ragu. Senyum kecilnya terpasang, meski sedikit terlihat terpaksa. Tapi, Jeongguk tidak masalah.
Jeongguk tertawa pelan. Kemudian membalas senyuman paksa Taehyung dengan senyum tulus yang begitu lebar, hingga matanya menyipit dan timbul kerutan-kerutan kecil di sebelah matanya.
“You're most welcome. Kalau gitu, gue pamit? hehe. Sekali lagi sorry udah ganggu pagi lo.” begitu kata Jeongguk. Meninggalkan Taehyung terpaku di tempat. Membeku karena senyuman Jeongguk yang masih menawan, tidak berubah seperti saat mereka SMA. Masih membuat jantung Taehyung berpacu tidak keruan, setiap kali dirinya berada di jarak yang begitu dekat dengan Jeongguk.
Kenapa?
Bagaimana bisa?
Sebenarnya mau Jeongguk apa?
Kini, pertanyaan-pertanyaan itu muncul dalam benaknya. Melupakan kenangan tentang cinta monyetnya itu sulit. Taehyung bahkan menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menangis, setiap kali mengingat dirinya yang tidak memiliki kesempatan untuk menyatakan perasaannya dengan layak. Taehyung menangisi Jeongguk yang pergi tanpa ada sepatah kata pun, dan untuk hal ini Taehyung mencoba untuk tahu diri, dirinya bukanlah siapa-siapa untuk Jeongguk.
Bagaimana bisa pria itu hadir kembali di hidupnya? Setelah banyak waktu yang sudah berlalu?
Entah Jeongguk atau takdir yang harus Taehyung sebut kejam padanya. Atau, dirinya sendiri? Karena nyatanya, sekuat apa pun usaha Taehyung untuk melupakan pria itu, hatinya tetap sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Dunianya masih berputar mengelilingi Jeongguk, tidak peduli berapa banyak waktu yang dia habiskan untuk membuang perasaannya yang dulu.
Kehadiran Jeongguk di depan pintu apartemennya pagi ini membuat dirinya sadar. Kalau Jeongguk tidak pernah benar-benar pergi dari hatinya. Namun, ini bukanlah hal yang Taehyung sukai. Taehyung tidak menyukai fakta kalau dirinya masih peduli tentang Jeongguk. Karena Taehyung tidak mau mengulang luka yang lama. Tidak mau merasakan perasaan tidak diinginkan oleh orang yang sama lagi.
Meski kenyataannya, Taehyung tidak tahu bagaimana perasaan Jeongguk yang sebenarnya.
Jeongguk, anak laki-laki yang dulu begitu pendiam di kelasnya. Anak laki-laki yang duduk di bangku paling belakang, barisan kanan Taehyung dan dua baris ke belakang dari tempat duduknya. Dia anak laki-laki yang diam-diam selalu mencuri pandang, memperhatikan punggung Taehyung dan wajah pria itu setiap kali Taehyung fokus mendengarkan penjelasan gurunya.
Jeongguk, anak laki-laki yang sering duduk di bawah pohon besar di pagi hari dekat dengan lapangan bola. Memperhatikan Kim Taehyung yang sedang memakan roti isi daging giling hampir setiap pagi, kecuali hari jumat. Anak laki-laki pemalu yang hanya bisa tersenyum saat membuka lokernya dan mendapatkan kehadiran coki-coki berpita merah, yang jantungnya berdesir aneh setiap kali membaca surat dari pengirim yang bukan rahasia lagi.
Ada beberapa hal yang membuat mereka salah paham di masa lalu. Keduanya tidak tahu di mana letak kesalahannya, di mana hal yang memisahkan mereka. Dan, mungkin, pertemuan kembali ini yang akan membantu mereka memperbaiki kesalahan tersebut, meluruskan sebuah kesalah pahaman yang sempat terjadi. Memberikan mereka kesempatan kedua untuk bersatu.
. . .
Seoul, 2011.
Tidak ada pagi hari yang tidak Taehyung sukai. Apa pun harinya, apa pun musim yang sedang berlangsung, Taehyung akan selalu menyambut pagi hari dengan suka cita. Pergi di pagi hari tanpa mengisi perutnya, lalu mampir sebentar ke toko roti di dekat rumahnya. Dulu, mendiang papanya sering sekali membelikan Taehyung roti isi daging cincang di sana. Hingga kini, roti itu akan selalu menjadi nomor urut pertama di daftar makanan kesukaannya. Taehyung selalu semangat berangkat ke sekolah menaiki bus seorang diri, setelah mampir sebentar ke toko roti langganan dia dan mendiang papa.
Menjadi murid pertama yang memasuki gerbang sekolah. Lalu, berjalan dengan riang menuju lapangan bola. Taehyung akan duduk di kursi penonton, mengunyah roti isi daging cincang kesukaannya, sambil menikmati angin sejuk di pagi hari dan langit kota Seoul yang indah. Begitulah cara Taehyung remaja menjalani harinya, melenyapkan rasa kesepian dan memilih untuk menikmati tiap detail kecil di hidupnya. Akan selalu ada hal yang bisa dia syukuri di hidup ini, bukannya begitu?
Lagi pula, Taehyung juga selalu memiliki hal yang membuatnya senang dan semangat untuk bangun di pagi hari. Memiliki alasan untuk dirinya berangkat ke sekolah dengan hati yang riang. Semua itu adalah bertemu dengan Jeongguk.
Setelah acara makan roti isi daging kesukaannya selesai, Taehyung akan buru-buru berlari ke gedung sekolah. Pukul 07.30 di saat murid yang lain belum datang, Taehyung sudah berdiri di depan bilik loker milik Jeongguk. Menyelipkan coki-coki kiriman dari Yoongi—kakak sepupunya—yang sedang menempuh pendidikan di Jakarta, Indonesia. Tidak lupa juga Taehyung menyelipkan selembar kertas berisikan kalimat-kalimat lucu dan manis untuk pria itu.
Yang tidak Taehyung ketahui adalah kalau dirinya bukanlah murid pertama yang datang ke sekolah. Bukan satu-satunya murid yang menghabiskan pagi hari memandang langit sambil mengunyah roti di lapangan bola. Karena ada orang lain yang datang jauh lebih pagi dari Taehyung.
Jeon Jeongguk, yang mengayuh sepedanya di pagi buta untuk menghindari bertemu kedua orangtuanya. Jeon Jeongguk, dengan buku sketsa yang dia pangku di atas paha, dan pensil di tangan kanan. Dia yang menikmati paginya memandang anak laki-laki kurus yang sedang mengunyah di bawah sengatan matahari pagi, duduk dengan anteng di bangku penonton, sambil tubuhnya menari-nari kecil setiap kali dia puas dengan rasa lezat dari roti yang dia makan.
Entah sejak kapan Jeongguk mulai memerhatikan pria itu. Entah di hari pertama dia melihat Taehyung yang menghabiskan sarapannya di kursi lapangan bola. Atau mungkin, di saat teman-teman mereka mulai menyebar gosip bahwa Taehyung memiliki ketertarikan terhadap dirinya, atau mungkin jauh sebelum itu? Jeongguk juga tidak tahu.
Dia hanya tahu kalau dirinya tidak bisa menahan senyuman kecil, setiap kali melihat Kim Taehyung. Matanya tidak pernah absen memeriksa kehadiran Taehyung di kelas. Menuntun sepedanya dari parkiran hingga gerbang sekolah, demi melihat Taehyung sudah naik ke bus tujuannya. Yang dia tidak ketahui hanyalah bagaimana caranya mengkomunikasikan semua itu dengan benar.
. . .