COKI-COKI: 136.
. . .
Here i was... thinking magic didn't exist, and now that's all i see when i look at you.
Mungkin Taehyung tidak sadar sudah berapa lama matanya tidak berkedip. Mungkin dia tidak sadar, kalau dirinya sedang membangun ruang antara pikirannya dengan dunia di sekitarnya. Jelas Taehyung tidak sadar, kalau saat ini matanya sedang terkunci pada sosok Jeongguk. Sekelilingnya mengabur, digantikan dengan sebuah abstrak di dalam kepalanya, membentuk bayang-bayang akan sosok Jeongguk yang nampak begitu indah. Jeongguk dengan tatapan lembutnya. Jeongguk dengan senyuman hangat. Jeongguk dengan suaranya yang terdengar begitu menenangkan dan manis.
Kalau dipikir-pikir kembali, Jeongguk memang tidak banyak berubah. Perlakuan manisnya dan segalanya tentang Jeongguk masih sama. Masih menjadi hal yang dulu membuat Taehyung jatuh hati. Dan kembali membuat Taehyung jatuh untuk yang kedua kalinya sekarang.
Matanya dikerjapkan beberapa kali. Dengan harapan kalau fokusnya akan teralih dari sosok di dekat jendela, Jeon Jeongguk yang sedang fokus menatap tablet di atas meja. Namun, Taehyung malah menaruh lebih banyak fokusnya pada sosok Jeongguk dibanding sebelumnya. Matanya berjalan mengikuti gerak tubuh Jeongguk. Memperhatikan tangan kanan Jeongguk yang menari-nari dengan pena digital di tabletnya. Memperhatikan saat Jeongguk istirahat sejenak dari pekerjaannya untuk menyuap sisa kue di piringnya.
Bagian ujung apron Taehyung ditarik-tarik oleh kakak sepupunya. Sebagai percobaan mengambil alih perhatian Taehyung ke Yoona. Namun, percobaan pertama gagal. Tentu saja. Tanpa gentar sama sekali, Yoona kembali melakukan percobaan kedua. Dia cubit lengat Taehyung lumayan kencang. Membuat Taehyung menggaduh, buru-buru menarik lengannya sambil melayangkan pelototan ke arah kakak sepupunya itu.
“Kakak, kenapa aku dicubittt?” kelopak matanya yang membesar kini mulai kembali normal. Pandangannya beralih ke arah tangannya yang tadi dicubit oleh Yoona. Tertinggal sedikit jejak merah dan rasa panas pada kulitnya. Satu tangannya mengusap-usap bagian tersebut, sambil Taehyung tiup-tiup dengan mulutnya sendiri.
Dalam hati tidak habis pikir dengan tindakan Yoona yang begitu tiba-tiba. Tidak tahu apa kalau Taehyung tadi sedang fokus?
Ya, tentu saja tahu. Bahkan, dua pelanggan lain yang duduk tidak jauh dari meja kasir pun juga tahu. Kalau sejak tadi mata Taehyung begitu fokus pada seseorang di sudut ruangan. Seluruh atensinya tersita, bahkan bumi tidak sanggup memanggil jiwa Taehyung kembali. Dunia, semesta dan makhluk hidup yang lain yang ada di bumi ini kalah telak, pemenangnya adalah Jeon Jeongguk. Dan sang pemenang itu kini sudah berada di depan konter kasir. Menatap khawatir ke arah Taehyung yang masih belum menyadari kehadirannya.
Yoona kembali menyenggol lengan Taehyung. Mencoba memberikan sebuah isyarat ke anak itu, kalau orang yang sedari tadi mengambil alih dunianya itu ada di hadapannya. Namun, yang didapatkan Yoona adalah wajah cemberut Taehyung yang super lucu. Masih dengan gerakan mengelus lengannya yang memar dan alis mengerut. “Kakak, kenapa aku dari tadi digangguin?”
Yoona tidak menjawabnya secara langsung. Lebih memilih untuk mengangkat dagunya menunjuk ke arah Jeongguk berada, lalu berusaha dengan keras untuk berbicara melalui matanya. Ah, dia berharap sekali kalau adik sepupunya bisa cepat tanggap di saat-saat seperti ini.
“Kenapa siiiiih?” tanya Taehyung. Baru setelah itu wajahnya mengikuti ke mana petunjuk Yoona mengarah. Matanya membulat. Jeongguk sedang memperhatikannya, wajahnya terlihat sedikit khawatir. “Lo engga apa-apa? Tadi gua denger lo kayak kesakitan gitu, langsung buru-buru mau meriksa” kata Jeongguk.
Tubuh Taehyung kaku, membatu di tempat. Matanya masih membulat dan menatap Jeongguk. Mulutnya tidak bisa terbuka dan lidahnya sulit dia gerakkan. Perasaan kaget dan malu bercampur menjadi satu. Hanya ada sebuah gelengan lemah yang bisa mewakilkannya sebagai jawaban. Setelah itu dia kabur ke belakang. Meninggalkan Jeongguk yang semakin terheran. Namun, tidak lama kemudian sebuah senyuman terbit menghias wajahnya. Bukan senyuman tenang dan hangat yang seperti biasa. Senyuman Jeongguk merekah jauh lebih lebar, hingga hidungnya mengerut dan matanya menyipit.
Sedang oknum yang menjadi alasan Jeongguk tersenyum malah bersembunyi di dapur kotor. Berjongkok sambil menyembunyikan wajahnya ke paha. Ternyata membuat dirinya malu di hadapan Jeongguk tidak cukup hanya sekali. Atau mungkin dirinya malah selalu meninggalkan kesan memalukan setiap saat. Entah kenapa juga Taehyung harus merasa malu untuk hal sekecil itu.
Lama mengunci diri di ruangan itu. Bahkan Taehyung tidak sadar kalau sudah 30 menit berlalu. Kedua kakak sepupunya masuk dengan tumpukan piring dan gelas kotor. Seakan eksistensi Taehyung yang berjongkok di sudut ruangan itu tidak ada. Mereka memilih untuk berbincang tentang rencana esok hari sambil berbenah dan mempersiapkan penutupan toko hari ini. Mata Taehyung mengintip sedikit, bibirnya masih melengkung ke bawah. Meringis dan mengusir jauh-jauh rasa malunya sejak tadi. Namun belum berhasil juga.
Suara sepasang sepatu yang mengetuk lantai mendekat ke arahnya. Yoongi menarik tubuh Taehyung dengan pelan, tanpa bicara sama sekali. Lalu, Yoona yang baru saja mengeringkan tangannya ikut menghampiri Taehyung. Tangannya membuka ikatan tali apron yang membungkus tubuh Taehyung. Kepalanya kembali bergerak memberi sebuah isyarat. “Sana kamu pulang. Kasian loh itu temennya nungguin dari tadi. Biar kakak sama Yoongi yang beres-beres sisanya. Besok jangan dateng telat, kita ada wawancara buat pegawai dapur yang baru.”
Taehyung mengangguk lesu. Wajah sedihnya masih betah terpasang. Kakinya berjalan menuju ruang khusus staff. Mengambil beberapa barang dan mengganti bajunya, membungkus tubuhnya dengan jaket musim dingin kesayangannya yang berwarna krem. Ditarik napasnya dalam-dalam, lalu mengambil ancang-ancang pada hatinya untuk keluar. Berhadapan dengan Jeongguk dengan rasa malu yang tidak jelas ini. Taehyung begitu salah tingkah dan sulit untuk mengontrol tingkahnya yang sekarang.
Harusnya Taehyung tidak perlu salah tingkah dan malu begini. Toh, Jeongguk juga sudah tahu busuk-busuk dan tingkah bobroknya sejak SMA. Tetap saja rasanya Taehyung tidak ingin menambah citra buruknya di mata Jeongguk. Pria yang disukai dulu, juga yang dia sukai saat ini. Tembok es yang menjadi tameng pertahanannya sudah runtuh. Hancur lebur dengan segala sikap hangat dan manis dari Jeongguk.
Dengan susah payah Taehyung memaksakan langkahnya. Keluar dari arah dapur belakang, berjalan menuju ke bagian depan toko. Tempat di mana Jeongguk berdiri dengan tas laptop yang ditenteng satu tangan. Senyuman kecil pria itu menyambut Taehyung. Seakan beberapa waktu yang lalu Taehyung tidak melakukan hal konyol yang membuatnya risih. Jeongguk malah tetap menyambutnya dengan hangat dan manis.
“Sudah mau pulang?” Tanya Jeongguk.
Taehyung hanya mengangguk. Kepalanya menunduk dan kedua tangannya menyatu sambil memainkan kuku-kuku jarinya. Sumpah, inilah yang membuat Jeongguk begitu gemas. Taehyung terlihat lucu, apalagi saat ini pria itu terlihat seperti anak anjing yang manis.
Taehyung mengambil langkah dan jalan keluar dari toko terlebih dahulu. Membiarkan Jeongguk yang kini gantian mengekorinya dari belakang. Bibirnya komat-kamit sendiri, mungkin sedang merapal mantra agar dirinya tidak akan membuat malu lagi. Sedangkan Jeongguk sibuk berjalan dengan senyuman dan mata yang tidak berpaling dari Taehyung sama sekali. Bahkan, situasi itu bertahan hingga di dalam mobil Jeongguk. Taehyung yang komat-kamit dengan dirinya sendiri sambil membuang wajahnya ke arah luar jendela, dan Jeongguk yang beberapa kali melirik sambil tertawa tanpa suara ke arah Taehyung.
Volume radionya sengaja dia kecilkan. Berharap kalau suasana yang lebih tenang akan membantu mereka untuk berkomunikasi secara langsung. Namun, tentu saja tidak mudah membuat Taehyung memulai percakapan dengannya. Jadi, Jeongguklah yang harus mengambil langkah pertama.
Jarinya mengetuk pelan roda kemudi. Mobil hitamnya sedang berhenti di lampu merah saat ini, mungkin inilah saat yang tepat untuk memulai percakapan. Mencairkan suasana yang sunyi senyap dan dingin ini.
“Tadi tangannya kenapa?” tanya Jeongguk. Matanya sedikit melirik ke arah Taehyung. Ya, rasanya ini pertanyaan yang tepat untuk memulai konversasi dengan pria itu.
“Gapapa… kak Yoona iseng.” jawab Taehyung pelan.
Ah, mungkin butuh lebih banyak pancingan. Maka dari itu Jeongguk kembali mengajukan pertanyaan. “Kayaknya sakit banget si kak Yoona nyubitnya. Cuma memang aja ‘kan? Engga sampai luka atau gimana?”
Taehyung kembali menjawabnya dengan sebuah gelengan.
“Terus, tadi kenapa kabur pas lihat gua?” tanya Jeongguk. Kali ini tanpa basa-basi lagi.
“I-ih, s-siapa yang kabur tuh?” jawab Taehyung terbata-bata. Wajahnya semakin condong ke kanan, sudah bukan lagi membuang pandangan. Bahkan, rasanya Taehyung ingin membuang wajahnya saat itu juga. Atau melompat keluar dari mobil Jeongguk, karena kepalang malu.
Jeongguk terkikik. Kembali fokus dengan roda kemudi, karena kini lampu lalu lintas sudah kembali berwarna hijau. Dan Kim Taehyung, di bangku penumpang sebelahnya, tubuhnya merorok sedikit. Ingin meringkuk lagi, menyembunyikan wajah. Sialan, Jeongguk dengan terang-terangan menertawainya barusan. Tidak kasihan dengan Taehyung yang kini wajahnya sudah panas dan merah.
“Jangan malu-malu begitu. Lo tahu kan kalau kayak begitu malah jadinya gemesin?” ucap Jeongguk dengan ringan. Wajahnya menghadap lurus ke arah jalanan. Sedangkan Taehyung membalik tubuhnya menghadap ke arah pintu, jadi kini posisinya memunggungi Jeongguk.
Taehyung ingin merutuki Jeongguk. Atau, kalau saja mereka lebih akrab dari ini, mungkin Taehyung sudah memukul kepala Jeongguk dengan tas selempangnya. Ya, kalau saja begitu. Kalau juga mereka tidak terjebak dengan status di masa lalu yang rumit, juga rasa canggung saat ini.
Mulut Taehyung terkunci rapat. Wajahnya benar-benar dia palingkan, sama sekali tidak mau menatap ke arah Jeongguk. Bahkan, hingga Jeongguk mengantarnya ke depan pintu apartemennya—secara teknis, Jeongguk mengantar Taehyung sekaligus pulang ke apartemennya sendiri.
Pintu apartemen Taehyung terbuka. Pria itu baru saja ingin buru-buru melangkah masuk. Namun, satu panggilan dari Jeongguk dapat membuatnya membatu di tempat. Kepalanya menoleh perlahan. Taehyung merapatkan punggungnya ke arah daun pintu apartemennya, lalu memasang tatapan penuh antisipasi ke arah Jeongguk. Membuat Jeongguk untuk yang kesekian kalinya tertawa oleh tingkah lucunya.
“Boleh nanya sesuatu engga?” tanya Jeongguk.
Taehyung hanya mengangguk saja.
Jeongguk tersenyum kecil, sebelum akhirnya melayangkan pertanyaan yang sesungguhnya. “Lo... udah ada pacar belum?”
Taehyung tertegun. Sejak tadi memang lidahnya kelu, namun kini rasanya kaku menjalan ke seluruh tubuhnya. Kepalanya tiba-tiba saja kosong, tidak dapat memikirkan apa pun. Selain memutar ulang suara Jeongguk dengan pertanyaannya barusan.
Lo... udah ada pacar belum?
Lo... udah ada pacar belum?
Lo... udah ada pacar belum?
Dan, tanpa izin dari akal sehatnya, kepala Taehyung menggeleng begitu saja. Membuat senyuman Jeongguk yang di toko tadi kembali mengembang. Senyumannya yang begitu merekah, hingga hidungnya mengerut dan matanya menyipit. “Okay, good, then.“
Taehyung hanya dapan menegur air liurnya sendiri. Apa barusan itu? senyuman apa yang diberikan Jeongguk? APA MAKSUDNYA BAGUS?
Untuk pertama kalinya Jeongguk mengambil langkah besar sepanjang kisah percintaannya. Jeongguk tidak lagi menjadi bocah belasan tahun yang payah dan pengecut. Kakinya maju selangkah, lalu tangannya menggapai bahu Taehyung. Dia dorong tubuh Taehyung dengan pelan untuk masuk ke dalam apartemennya. Begitu pintu apartemen Taehyung menyisakan sedikit celah, Jeongguk menahannya sebentar. “Goodnight, Taehyung. Sampai besok, ya?”
. . .