COKI-COKI: 111
!! mention of obsessive love disorder, trauma & stalking behavior. . . .
Sebenarnya Taehyung tidak sedingin salju. Pria itu masih sehangat mentari di musim panas seperti yang diingat Jeongguk. Dia hanya berlindung di balik topeng dan dinding es yang sengaja dia buat. Hanya untuk melindungi hatinya dari rasa sakit yang kedua kalinya. Namun, pada dasarnya, Kim Taehyung tidak benar-benar berubah. Terutama di bagian matanya.
Jeongguk menyadari itu. Melihat bola mata Taehyung yang membulat malam ini membuat Jeongguk sadar, kalau Taehyung memang masih sama seperti dulu. Sosok anak laki-laki yang Jeongguk sukai sepuluh tahun lalu dengan mata besar dan tatapan murninya.
Tepatnya, Jeongguk sudah berdiri di depan toko Taehyung sejak 10 menit yang lalu. Urusannya dengan klien tadi selesai lebih cepat dari dugaannya. Seusai membereskan barang-barangnya tadi, Jeongguk langsung buru-buru pamit dan mengemudikan mobilnya ke Sugar & Crumbs sekejap mata, saking cepatnya dia melajukan mobilnya. Jeongguk diam lama di dalam mobil. Memutuskan untuk memperhatikan Taehyung yang sibuk merapikan tokonya bersama kedua orang lainnya di dalam sana. Hingga akhirnya seluruh lampu di bangunan itu padam. Disusul oleh sosok Taehyung yang membuka pintu sambil menunduk. Tangannya sibuk merogoh isi tas selempangnya, mencari sesuatu yang tidak Jeongguk ketahui.
Mata bulat itu menatap Jeongguk, ketika dirinya sadar kalau dia tidak sendirian. Ada kombinasi dari ekspresi kaget dan ketakutan yang tertangkap oleh mata Jeongguk. Kemudian, Jeongguk melangkah kecil. menghampiri Taehyung yang tiba-tiba diam di tempat. Terdengar helaan napas kecil dari Taehyung. Dan perasaan lega di wajahnya.
“Sorry, buat kaget ya?” kata Jeongguk. Suaranya pelan dan lembut seperti biasanya. Entah memang begitu cara bicaranya pada semua orang, atau hanya refleks alami yang terjadi setiap berhadapan dengan Kim Taehyung saja. Apa pun itu, Jeongguk tetap berhasil mengantarkan rasa aman pada diri Taehyung.
Kepalanya mengangguk. Satu tangannya yang merogoh tas keluar dengan menggenggam ponselnya. “Kirain lo belum selesai... soalnya lo ga telepon.”
Jeongguk tersenyum kecil. Hatinya bergetar riang hanya karena pertanyaan sederhana dari Taehyung. Tidak dapat dipungkiri kalau apa pun yang dikatakan oleh seseorang yang disukai akan terdengar begitu menyenangkan. Seakan kalimat yang diucapkan Taehyung adalah sebuah nyanyian cinta dari surga.
“Tadi gua lihat lo sibuk beresin toko, jadi ga gua telepon.” jawab Jeongguk.
“Udah lama nunggunya?” tanya Taehyung. Kemudian, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. Mungkin, jari-jarinya mulai terasa sakit karena berbenturan dengan udara dingin malam. Jeongguk diam sebentar untuk memperhatikan gerak tubuh Taehyung. Sedari tadi mata Taehyung nampak tidak tenang. Beberapa kali matanya melirik dan menjelajah sekitar, seakan dia sedang mencari sesuatu.
“Belum kok. Yuk, pulang? Telinga dan hidung lo udah merah banget, pasti kedinginan itu.”
Jeongguk berbicara sambil menuntun langkah ke arah mobilnya. Sedikit bercerita tentang bagaimana harinya berjalan, sepertinya basa-basi agar rasanya tidak canggung dan sepi. Namun, Taehyung tidak bisa benar-benar fokus pada perkataan pria itu.
Tangannya mencengkeram tali tasnya. Matanya sibuk memperhatikan sekitar. Gelisah memakan dirinya sejak siang tadi. Taehyung takut, takut sekali dengan sosok yang disebutkan oleh Wendy.
Choi Minho. Pria gila yang begitu terobsesi pada Taehyung semasa perkuliahan. Berkali-kali melakukan tindakan yang membuat Taehyung merasa tidak nyaman. Hingga Taehyung harus menolaknya secara terang-terangan. Namun, pada dasarnya pria itu tidak peduli dengan rasa takut dan tidak nyaman Taehyung. Mencari tahu segala hal tentang Taehyung. Segala hal, termasuk masa lalunya dan Jeon Jeongguk. Minho juga tak jarang menguntit Taehyung hingga ke asramanya. Sampai akhirnya Taehyung menindak lanjuti perilaku meresahkan Minho, melaporkan pria itu ke pihak yang berwajib. Saat itu adalah tahun ketiga Taehyung di kampus, dan dirinya sudah cukup bertahan dengan rasa takutnya akan Choi Minho selama 3 tahun. Sudah cukup.
“Hei,” Jeongguk diam di depan pintu mobilnya. Hendak masuk, namun menyadari kalau Taehyung sedari tadi terlihat tidak fokus. “Lo engga apa-apa?”
Mata Taehyung mengerjap beberapa kali. Mungkin jiwa Taehyung habis menjelajah entah ke belahan bumi bagian mana, lalu baru menyatu kembali dengan raganya di sana.
“E-eh, engga apa-apa.” jawab Taehyung.
Sejak bertemu lagi dengan pria itu, ini adalah kali pertama Jeongguk melihat Taehyung selemah ini. Biasanya, Taehyung akan terlihat menggemaskan dengan tingkah uniknya. Entah itu berpura-pura galak, cemberut, atau berpura-pura tidak acuh dengan eksistensi Jeongguk. Aneh, aneh sekali. Entah kenapa Taehyung terlihat begitu linglung dan ketakutan. Jujur, Jeongguk ingin sekali mengajukan seribu pertanyaan. Namun, tentu saja dia sadar akan porsi dirinya.
Mobil Jeongguk melaju pelan, membelah jalanan malam kota Seoul yang masih ramai di tengah-tengah udara dingin. Ada lebih dari dua kali mereka melewati lampu merah, namun keheningan masih betah di sana. Taehyung memandang keluar jendela sejak menit pertama mobil Jeongguk melaju. Pikirannya kembali mengawang ke tempat di mana Jeongguk tidak bisa menembusnya. Membuat Jeongguk mengemudi dengan tidak tenang, namun sebisa mungkin tetap fokus dengan jalan raya di depan sana.
Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin sekali Jeongguk bicarakan. Hal yang benar-benar mengusik pikirannya, melebihi sikap dingin Taehyung.
4 hari lalu dia memergoki seorang pria dengan gelagat aneh di depan Sugar & Crumbs. Wajahnya bersembunyi di balik masker hitam dan topi, jadi Jeongguk tidak dapat melihat bagaimana rupanya dengan jelas. Awalnya, Jeongguk pikir pria itu hanya kebetulan berdiri di sana saja. Namun, gelagat pria itu semakin aneh. Beberapa kali dia memandang ke arah dalam, seperti sedang mencari kehadiran seseorang. Lalu, di hari berikutnya Jeongguk kembali menemukan sosok serupa di depan toko kue Taehyung. Detik itu juga Jeongguk langsung menghampiri orang tersebut. Dia sempat menatap matanya sebentar, lalu pria itu menghindar dari tatapan Jeongguk. Kemudian, dia buru-buru kabur tanpa sempat Jeongguk menegurnya secara langsung.
Sejak itulah Jeongguk berusaha mengajak Taehyung untuk pulang bersamanya. Karena, entah mengapa perasaannya mengatakan tidak baik soal pria di depan toko kue Taehyung.
Namun, seribu pertanyaan itu tidak dapat terucap sama sekali. Apalagi begitu Jeongguk melihat wajah Taehyung malam ini. Hatinya sakit, rasanya nyeri melihat wajah kebingungan dan ketakutan Taehyung. Jeongguk ingin melakukan apa pun, mencari segala cara untuk melunturkan ekspresi itu dari wajah indah Taehyung.
Keduanya tiba di depan gedung apartemen dengan selamat, setelah bertahan dengan kesunyian sepanjang perjalanan di dalam mobil Jeongguk. Mobilnya terparkir di depan, dekat tiang listrik dan pagar pembatas halaman gedung dengan jalan raya. Awalnya, Jeongguk menyuruh Taehyung untuk turun dan masuk ke apartemennya terlebih dahulu. Namun Taehyung menolaknya dengan sebuah gelengan.
Mereka turun dari mobil Jeongguk, kemudian berjalan beriringan ke dalam gedung apartemen. Beberapa kali mata Jeongguk mencoba melirik ke arah Taehyung. Rasanya, akan lebih menyenangkan melihat respons Taehyung yang biasanya, yang dingin, galak dan menggemaskan, ketimbang sekarang. Bukan karena dirinya suka kalau Taehyung bersikap dingin padanya. Jeongguk hanya tidak suka kalau ternyata kekhawatirannya soal pria di depan toko ada kaitannya dengan ketakutan Taehyung malam ini.
Dia tidak banyak berbicara, karena rasanya Taehyung sedang tidak dalam keadaan yang baik untuk diajak bicara. Jadi, Jeongguk hanya berjalan di sebelahnya saja. Memindai kartu keamanan di pintu lobi. Lalu, dia membiarkan Taehyung untuk masuk ke dalam gedung terlebih dahulu. Menyamakan langkah demi langkah yang Taehyung ambil saat menaiki anak tangga. Hingga mereka tiba di lantai 2. Berdiri di tengah-tengah antara pintu apartemennya dan pintu apartemen Taehyung.
“Jeongguk, thanks ya udah bolehin gue bareng. Dan,” Taehyung menunduk sebentar. Kedua tangannya masih di dalam saku. Matanya memperhatikan satu kakinya yang bergoyang, bermain-main di lantai. “Sorry, kemarin-kemarin sikap gue engga sopan ke lo.”
“Taehyung, gua okay kok. Lo engga perlu khawatir atau engga enak dan yang gimana gitu. Gua paham kalau pasti ada rasa canggung dan engga enak karena kita udah lama engga ketemu. Tapi, gua harap cepat atau lambat perasaan itu bisa hilang, ya?” jawab Jeongguk. Membuat Taehyung memberanikan diri untuk menatap mata pria itu. Ini adalah kali pertama Taehyung berani menatap langsung ke mata Jeongguk. Matanya menelisik, mencari sebuah jawaban ketulusan di sana. Dan itulah yang Taehyung dapatkan. Tidak ada orang lain yang menatapnya seindah dan setulus Jeongguk.
Bohong sekali kalau hal itu tidak membuat dinding es yang menjadi pertahanan Taehyung semakin mencair.
“Thanks, sekali lagi. Kalau gitu gue masuk, ya?” kata Taehyung. Lalu akhirnya membelakangi Jeongguk. Membuka pintu apartemennya dan berpamitan sekali lagi.
Jeongguk masih berdiri di sana dan memperhatikan Taehyung dalam diam. Bahkan Jeongguk tetap di sana selama beberapa saat. Meski pintu di hadapannya sudah tertutup rapat dan sosok Taehyung sudah menghilang dari penglihatannya.
. . .