COKI-COKI: 64.
. . .
World change when their eyes met.
Mau secepat apa pun kakinya mengambil langkah, sekencang apa pun dirinya berlari dari halte bus hingga ke gedung apartemen, tetap saja Taehyung tidak bisa menghindari kehadiran Jeongguk di depan pintu apartemennya. Pria itu memakai celana training panjang dan hoodie sewarna, yaitu abu-abu. Bersandar pada dinding kosong di antara pintu apartemen Taehyung dan Jeongguk.
Taehyung mendesah pasrah. Wajahnya mengerut kusut dan tidak bisa dia sembunyikan. Sudah dengan semangatnya berlari menembus udara dingin malam, ternyata orang yang paling ingin dia hindari sudah berada di sana. Kemungkinan besar, tidak, bukan kemungkinan besar, namun sudah pasti kalau Jeongguk sedang menunggunya di sana. Kakinya yang dibalut sandal mengetuk-ngetuk lantai, menghitung detik yang bergulir untuk menunggu kedatangan Taehyung.
Tertunduk lesu dengan langkah yang terus berpijak pada anak tangga. Taehyung hanya berharap kalau Jeongguk tidak menyusahkannya, atau membuat Taehyung sebal apalagi menanggung malu akan masa lalu. Mengetahui fakta Jeongguk pindah ke depan apartemennya saja sudah membuat Taehyung kepusingan, jangan berharap kalau pria itu bisa santai dan bertegur sapa dengan Jeongguk, selayaknya kawan lama yang kini menjadi tetangganya.
Langkah kakinya berat, seperti dirantai dengan besi puluhan kilogram. Di saat kakinya seakan enggan untuk melanjutkan langkah, di saat Jeongguk adalah manusia terakhir yang ingin dia temui di bumi, semesta malah membuat dirinya dan Jeongguk bak magnet utara dan selatan yang saling bertarikan. Mau berusaha sekeras apa pun menghindar, keduanya akan terus dipertemukan.
Hingga akhirnya Taehyung tiba di anak tangga teratas. Menatap sebentar ke arah Jeongguk, dan langsung disambut dengan tatapan balik oleh pria itu. Mereka bertatapan sekedip dan terputus ketika Taehyung memalingkan wajahnya.
“Hei, akhirnya lo pulang hehehe.” kata Jeongguk. Melepas sandaran punggungnya dari dinding, lalu berdiri tegak, seakan menyambut kedatangan Taehyung tiga langkah di depannya.
Taehyung tidak memberikan ekspresi riang dan semangat selayaknya yang Jeongguk berikan padanya. Hanya ada wajah lesu dan cemberut Taehyung, masih sibuk menghindari wajah Jeongguk. Lalu, Taehyung berlalu begitu saja melewati Jeongguk.
Alis Jeongguk terangkat. “Hellooo, gue engga kelihatan?”
Tangan Taehyung yang baru saja melayang ingin menekan pin keamanan apartemennya langsung terhenti. Dia putar tubuhnya menghadap ke arah Jeongguk secepat kilat.
“APA? KENAPA? MAU APA?” ucap Taehyung setengah teriak. Alisnya mengerut sebal, matanya menatap tajam ke arah Jeongguk.
Jeongguk tercengang, matanya melebar sedikit. Ada sedikit rasa terkejut yang Jeongguk rasakan dari nada bicara ketus Taehyung. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa pria manis dan lucu semasa sekolah itu tumbuh dan menjelma menjadi begitu galak padanya seperti ini.
“Mau... nagih yang tadi siang? Makan malem bareng?” jawab Jeongguk spontan.
Taehyung menghela napasnya begitu berat. Jeongguk ini tidak peka, bahkan hingga sekarang. Pikir Taehyung begitu, setelah mendengar perkataan Jeongguk dengan ringannya barusan. Pria itu seperti tidak bisa membaca situasi dan perasaan Taehyung terhadapnya.
“Ya udah, tunggu di sini. Gue bersih-bersih badan dulu.” jawab Taehyung pada akhirnya. Tidak ada jalan keluar lain, sepertinya ini adalah satu-satunya cara agar Jeongguk tidak lagi mempersulit hari-harinya. Mungkin Taehyung akan to the point pada Jeongguk nanti, bahwa dirinya benar-benar tidak nyaman jika harus berhadapan seperti ini dengannya.
“Eh, engga usah. Kalau makan di tempat lo aja gimana?” kata Jeongguk.
Mata Taehyung membulat, sudah siap untuk memprotes usul dari Jeongguk yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin dia membiarkan Jeongguk masuk ke dalam apartemennya yang merupakan salah satu hal yang begitu privasi untuknya. Taehyung tidak begitu suka mengajak sembarang orang untuk masuk. Rasanya seperti ditelanjangi dan dihakimi ketika orang lain sibuk memperhatikan setiap sudut tempat tinggalnya.
“Gue tadi lihat nyokap lo bawa banyak lauk... pasti enak. Gue cuma kangen aja, udah lama juga gue engga rasain masakan rumahan.” jawab Jeongguk buru-buru, sebelum Taehyung sempat mengeluarkan kata-kata protes.
Wajahnya tertunduk saat mengatakan itu. Suaranya yang lembut pun memelan, seakan jiwa Jeongguk ditarik dan ditelan bumi saat mengatakannya. Entah mengapa Taehyung bisa merasakan sebuah pilu di sana, dari tatapan matanya yang tiba-tiba kosong ke arah lantai, dari suaranya yang terdengar lemah membalut kata-kata.
Hhh, seakan Taehyung tidak memiliki pilihan lain, meskipun dirinya bisa saja tetap menolak permintaan Jeongguk. Hatinya yang keras dan teguh pada pendirian itu bisa sedikit melembut. “Ya udah. Lo pulang dulu ke apartemen, 20 menit lagi balik. Gue mau bersih-bersih badan sebentar.”
Wajah Jeongguk langsung berseri-seri, Taehyung dapat menangkap binar bahagia yang tulus di mata pria itu. Bibirnya melengkung ke atas, menyengir dan memamerkan gigi kelincinya yang masih belum berubah. Taehyung pernah sekali melihat ekspresi Jeongguk yang seperti ini dulu, saat jam pelajaran olahraga dan Taehyung dengan heboh menyemangati tim bola Jeongguk dari kursi penonton. Mereka beradu tatap untuk sesaat, sambil bertukar tersenyum dari kejauhan. Taehyung ditarik kembali ke masa lalu, kenangan indahnya tentang Jeon Jeongguk.
Dan, kini, di waktu yang berbeda, di saat bumi sudah berputar lebih dari 3650 kali, Taehyung kembali melihat tatapan dan senyuman itu. Waktu yang berbeda dengan sebab dan akibat yang sama. sepuluh tahun berlalu, namun tatapan dan senyuman Jeongguk yang itu masih bisa membuat detik waktunya berhenti, membuat tangan Taehyung keringat dingin, hanya bisa terpaku dan tanpa sadar ikut menyunggingkan sebuah senyuman.
Menutup gugupnya, Taehyung langsung buru-buru memutus pandangan untuk yang sekian kali. Dia menyuruh Jeongguk untuk masuk ke apartemen pria itu, dan dirinya masuk ke apartemennya sendiri.
Begitu pintu apartemennya tertutup, kaki Taehyung yang lemas bisa sedikit mengandalkan pintu sebagai sandarannya. Entah dirinya harus meratap atau berbahagia dengan kembalinya Jeon Jeongguk di hidupnya setelah sepuluh tahun. Karena barusan, senyuman dan tatapan Jeongguk barusan itu sudah meruntuhkan tembok pertahanan yang Taehyung bangun dengan susah payah.
Dia gelengkan kepalanya, mencoba memanggil kembali akal sehat yang sempat dilenyapkan oleh seorang Jeongguk. Akhirnya Taehyung bisa membuat kakinya yang lemas kembali berdiri tegak. Buru-buru Taehyung melanjutkan kegiatannya, membersihkan diri dan merapihkan apartemennya dengan kilat. Diam-diam, Taehyung tidak ingin meninggalkan impresi buruk untuk Jeongguk, saat pria itu masuk ke dalam apartemennya.
Jadi, di sinilah Taehyung, dengan baju rumahan yang cukup rapih. Menata meja makan, membersihkan dapur, dan memasukan beberapa kotak lauk pada tas karton untuk Jeongguk yang dititipkan ibunya pagi tadi.
Tepat 20 menit dari waktu yang Taehyung tentukan, Jeongguk benar-benar sudah berada di depan pintu apartemennya. Masih dengan pakaiannya yang tadi, hoodie abu-abunya yang begitu wangi. Ingin rasanya Taehyung mengutuk, karena Jeongguk yang datang benar-benar tepat waktu. Seakan tidak memberikan Taehyung berhapas lega lebih lama.
Pintu apartemennya dia buka, lalu dia mempersilahkan Jeongguk untuk masuk. Dalam hati harap-harap cemas dengan pendapat Jeongguk tentang tempat tinggalnya, meski dirinya tidap harus juga memusingkan hal itu. Namun, Jeongguk tidak melakukan apa yang dia khawatirkan sejak tadi. Mata pria itu tidak berkeliaran menyusuri tempat tinggalnya, Jeongguk hanya menatapan berbagai lauk yang Taehyung siapkan di atas meja, lalu menatapnya seakan minta izin untuk duduk.
Jeongguk tidak berbohong soal dirinya yang merindukan masakan rumahan. Terbukti, dari bagaimana pria itu begitu lahap menyantap masakan ibu Taehyung. Terkadang Jeongguk menguyahnya sambil tersenyum, seakan puas dengan rasa yang berkunjung di lidahnya.
“Pelan-pelan aja, kayak engga pernah makan setahun.” kata Taehyung, tanpa menatap mata pria itu.
Seakan lupa kalau beberapa saat yang lalu dirinya begitu menghindari Jeon Jeongguk, kini Taehyung malah menceramahi pria itu tentang mengunyah makanannya dengan benar.
“Sorry, udah lama banget gue engga makan masakan rumah begini hehe,” kata Jeongguk. Kembali mengunyah makanannya dengan pelan, lalu melanjutkan kalimat selanjutnya, “Udah lama nyokap dan bokap pisah, mungkin sejak kelulusan SMA. Setelah itu gue jarang ketemu nyokap.”
Jeongguk mengatakan itu semua seakan hal itu bukanlah hal yang besar. Seakan itu bukanlah hal yang mengganggu dan menyakitinya. Dan, Taehyung bingung harus bereaksi apa. Sejak kecil Taehyung tidak memiliki keluarga yang utuh, dirinya hanya dibesarkan oleh mamanya seorang diri. Papanya sudah meninggal sejak Taehyung kecil, mungkin saat itu usianya baru 4 tahun. Tidak banyak memori tentang papanya yang dia ingat, dan fakta bahwa dirinya hanya memiliki orangtua tunggal tidak begitu mengganggunya. Meski terkadang Taehyung menginginkan sosok papa di hidupnya.
“*Sorry...” kata Taehyung pada akhirnya.
Jeongguk mengangkat pandangannya, menatap Taehyung dengan senyuman itu lagi. Senyuman yang selalu berhasil memporak-porandakan dunianya. Membuat jantungnya berhenti bekerja beberapa detik.
“No need to say sorry, gue baik-baik aja kok,” balas Jeongguk santai. Taehyung masih tidak mengerti dengan pria di hadapannya. Apa memang Jeongguk selalu seperti ini? mudah menutupi masalahnya, atau memang dia tidak ambil pusing akan suatu hal seperti Taehyung yang kebalikannya?
“Masakan nyokap lo enak banget, serius. Kayaknya bisa buka restoran, pasti bakal ramai banget.” kata Jeongguk.
“Emang punya restoran kok. Restoran keluarga, lebih tepatnya.” jawab Taehyung. Lalu, dia pun melanjutkan menyantap makanannya yang sempat tertunda beberapa saat.
Jeongguk nampak mengangguk-angguk. “Berarti emang satu keluarga jago masak ya kalian? hahaha. Lo juga ikut kerja di restoran keluarga lo?”
“Engga, gue kerja bareng kakak sepupu. Di toko kue kakak sepupu gue.” jawab Taehyung begitu saja. Lalu, detik berikutnya Taehyung menyesali kecerobohannya tersebut.
“Wah, di mana? Boleh nih kapan-kapan gue mampir.” kata Jeongguk. Membuat Taehyung meringis dan ingin menenggelamkan dirinya sendiri saat itu juga. Namun tidak ada pilihan lain selain menjawab pertanyaan Jeongguk. “Di Sugar & Crumbs, Yeonnam-dong.”
Jeongguk menjawab dengan semangat kalau toko kue Taehyung berada dekat dengan kawasan kantornya. Kalau dilihat-lihat, versi Jeongguk yang ini jauh lebih banyak bicara dibanding Jeongguk remaja yang lebih sering tersenyum saja.
Entah apa keputusannya membiarkan Jeongguk masuk ke apartemennya dan makan malam bersama ini adalah hal yang tepat. Karena rasanya kini Taehyung sudah tidak mungkin lagi untuk menghindari pria itu. Mungkin Jeongguk tidak seperti apa yang dia pikirkan, dan tidak seharusnya Taehyung memperlakukan pria itu seperti kemarin-kemarin. Apa yang terjadi dengan dirinya dan Jeongguk di masa lalu memang tidak berakhir indah. Namun, bukan berarti Taehyung harus membuang fakta bahwa Jeongguk adalah salah satu alasan dirinya suka dan semangat pergi sekolah. Jeon Jeongguk dulu juga sempat membuatnya bahagia dengan cara yang begitu sederhana.
“Oh iya, gue boleh minta nomor lo? Biar kapan-kapan kalau gue mau mampir ke toko, gue bisa ngabarin lo dulu. Hehehe.” kata Jeongguk sambil mengulurkan ponselnya ke arah Taehyung.
Meski ragu dengan keputusannya, Taehyung tetap mengambil uluran ponsel Jeongguk. Mengisi nomornya pada ponsel Jeongguk dan berharap kalau tindakannya ini benar. Kalau dia tidak akan menyesal begitu Jeongguk keluar dari pintu apartemennya nanti.
. . .