COKI-COKI: 057.

. . .

’Cause, you give me feeling i can’t put into words.

Jeongguk tidak pernah menyangka, kalau hari di saat salju turun bisa mengantarkan perasaan hangat ke dalam dadanya. Rasa hangat yang disusul oleh kepakan sayap kupu-kupu, beterbangan dengan bebas di dalam perutnya sejak tadi. Dan sudah jelas bahwa Kim Taehyung adalah penyebabnya.

Aneh, memang kalau dipikir-pikir. Padahal yang Taehyung lakukan hanyalah memalingkan wajah dan menghindari tatapan Jeongguk. Pria itu tidak melakukan apa pun, tidak dengan sengaja menebar pesona, apalagi menggoda Jeongguk. Kim Taehyung tidak perlu berusaha keras untuk mendapatkan seluruh atensi Jeongguk berpusat padanya. Hanya dengan sandal jepit, baju tidur dan rambut acak-acakan saja Jeongguk sudah dibuat kewalahan seperti ini. Bagaimana kalau Taehyung benar-benar berusaha menarik perhatiannya?

Jeongguk bisa gila. Mungkin juga dia sudah gila sejak sebelas tahun yang lalu. Di saat pertama kali dia membuka loker dan menemukan tulisan tangan Taehyung di surat cinta anonim dengan coki-coki berpita. Ya, dia sudah gila dan kadang lupa akan sekitarnya selain sosok Taehyung.

Bumi memanggil Jeongguk, helloooo. Seakan kesambet di pagi buta, Jeongguk berdiri sambil melihat Taehyung dengan senyuman miring khasnya. Senyuman yang dia tunjukkan hanya ketika dirinya gemas akan suatu hal, dan hal itu adalah Taehyung dengan sejuta tingkah dan sikap lucunya saat ini.

Tangan Taehyung terlipat di depan dada, matanya melirik penuh antisipasi dan kecurigaan pada senyuman Jeongguk. Membuat Jeongguk kembali melepas tawa kecil dan menggeleng.

“K-kenapa ketawa?” tanya Taehyung. Lalu dia mengambil selangkah mundur, seakan takut dengan tawa Jeongguk.

Jeongguk hanya menggeleng kecil. Seakan tidak bisa melakukan apa pun selain diam dan memandangi Taehyung yang berdiri di depannya.

Taksi yang ditumpangi Taehyung sudah pergi. Kini, hanya sisa mereka yang sedang berdiri di atas sisa-sisa salju yang turun pagi tadi. Taehyung menggigil, namun tetap berpura-pura memasang wajah garang dan curiganya sejak tadi. Entah apa maksudnya dia melakukan itu, namun yang Jeongguk lihat hanyalah sosok Taehyung yang menggemaskan.

Rasanya sudah lama sekali tidak melihat wajah itu, terakhir kali mereka bertemu di lorong sekolah sebelum hari perpisahan. Berpapasan dengan Taehyung yang menatapnya diam di lorong lantai dua yang sepi. Pria itu seperti ingin mengatakan sesuatu pada Jeongguk, namun hanya bisa diam sambil memperlihatkan wajahnya yang merah, terlebih di bagian hidung dan matanya. Saat itu Taehyung terlihat seperti habis menangis.

Taehyung jauh lebih kurus dulu, wajahnya kecil, dan rambutnya lebih pendek. Kini tubuh Taehyung jauh lebih berisi, rambutnya dia biarkan tumbuh lebih panjang dan berwarna cokelat gelap. Wajahnya yang dulu begitu tidur kini sudah menggembil, pipinya jauh lebih berisi. Namun, parasnya masih terlihat sama. Bulu mata panjangnya, tahi lalat di bawah mata dan di pipinya, semuanya masih indah. Jeongguk tidak akan pernah bisa melupakan semua itu.

Dan pria yang berdiri di hadapan Jeongguk saat ini, Kim Taehyung versi dewasa, jauh berkali-kali lipat terlihat indah. Meskipun bagi Jeongguk baik itu dulu ataupun kini Taehyung tetaplah indah.

“Kenapa pulang pakai baju begitu? Emangnya engga dingin?” tanya Jeongguk. Nada bicaranya lembut sekali, membuat Taehyung melotot mendengarnya. Entah karena rasa curiga tak berdasarnya itu atau karena jantung dia yang lagi-lagi dibuat terpacu karena Jeongguk.

Taehyung menggeleng, lalu berlari kecil berjalan ke arah gedung apartemen. Salju menyelip ke sela-sela jarinya yang tidak terlindungi oleh sandal, membuat Taehyung memekik kecil, namun tetap membiarkan kakinya berlari menerobos tumpukan salju dan udara dingin.

Jeongguk hanya bisa tertawa dan mengikuti Taehyung dari belakang. Membiarkan pria lucu itu heboh beberapa langkah di depannya, sambil menggeleng dan meracau seorang diri. Entah apa yang dia bicarakan, namun tetap saja terdengar dan terlihat lucu di mata Jeongguk.

Mempercepat langkah kakinya, Jeongguk mengambil langkah besar. Mencoba menyetarakan posisi jalannya dengan Taehyung, atau setidaknya mempersempit jarak mereka. “no thank you buat gue nih?”

Taehyung menghentikan langkahnya di anak tangga kedua, sedang Jeongguk yang masih di bawah ikut menghentikan langkahnya. Taehyung menunduk untuk bisa menatap Jeongguk. Lagi-lagi, dia memberikan tatapan itu. Tatapan curiga dan penuh antisipasi, yang Jeongguk tidak ketahui maksudnya apa.

“Mau lo apa deh sebenernya?” tanya Taehyung tiba-tiba.

Alis Jeongguk mengerut bingung. Tidak mengerti konteks yang dibicarakan oleh Taehyung. “Mau apa?”

Taehyung memutar bola matanya sebal. Seakan baju tipisnya dan sandal bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan saat ini. Seakan udara di tangga apartemen mereka tidak dapat membuat tulangnya ngilu dan badannya beku. Karena mencurigai Jeongguk atas dasar hal yang tidak jelas jauh lebih penting untuknya.

Anak itu masih kukuh dengan pikirannya yang pendek, bahwa Jeongguk memiliki maksud yang spesifik semenjak pindah ke apartemen seberangnya. Dasar Kim Taehyung, tingkat percaya dirinya ini tinggi sekali. Bisa-bisanya dia berpikir hal yang tidak jelas seperti itu.

Di saat sikap baik dan hangat Jeongguk, senyumannya, nada bicaranya yang lembut adalah hal tulus yang dilakukan oleh pria itu. Bahkan Jeongguk melakukannya sejak dulu saat mereka masih SMA. Jeongguk selalu menjadi anak laki-laki pendiam, manis, lembut dan ramah terhadapnya. Mungkin, kesalahpahaman di pesat malam perpisahan membuat Taehyung berpikir jauh seperti sekarang.

Dia takut dan curiga kalau Jeongguk sengaja ingin mempermainkan perasaannya, sengaja ingin meledeknya karena fakta dirinya dulu pernah menyikai Jeongguk di masa sekolah. Taehyung takut terluka, hingga dia main menyimpulkan segalanya sendiri. Dia mengantisipasi hatinya agar tidak sakit, namun bersikap sangsi kepada tindakan tulus Jeongguk.

“Ngapain pindah ke depan apartemen gue? Ngapain nyapa gue? Ngapain bolehin nyokap gue nunggu di apartemen lo? Ngapain bayarin taksi gue barusan? ngapain, Jeon Jeongguk?” kata Taehyung panjang lebar. Ekspresi wajahnya sedikit lebih tegas barusan, seperti habis menyebutkan hal yang benar-benar dia tidak sukai.

Pertama-tama, Jeongguk bingung harus menjawab bagaimana. Kepindahan Jeongguk ke apartemen seberang Taehyung benar-benar tidak dia rencanakan, ini adalah sebuah kebetulan. Sikap baiknya pada Taehyung itu adalah sebuah ketulusan. Jeongguk tidak melakukan itu dengan sengaja, dia hanya mengikuti instingnya saja.

Alih-alih menjawab apa yang ada di pikirannya, Jeongguk memilih untuk bertanya lebih singkat pada Taehyung. “Emangnya engga boleh gue ngelakuin itu semua?”

“Engga, engga boleh. Jangan terlalu baik lagi sama gue. Gue udah sengaja pura-pura engga kenal sama lo dari kemarin. Plis banget, gue mohon banget ini.” kata Taehyung.

Jeongguk tertegun, mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Taehyung. Jadi Taehyung berpura-pura tidak mengenalnya? Tapi, kenapa? Kenapa Taehyung bersikap seolah-olah dirinya begitu tidak menyukai Jeongguk?

Dari sisi Jeongguk, dirinya tahu bahwa perasaan Taehyung padanya dulu tidak berlangsung lama. Di semester kedua pada tahun ajaran terakhir, seisi sekolah dibuat heboh dengan kedekatan Taehyung dan Jaebeom. Padahal, saat itu Jeongguk baru mulai memberanikan diri menunjukan rasa tertariknya pada Taehyung dengan lebih jelas. Sejak itu, surat-surat dari Taehyung mulai berhenti mengisi loker miliknya.

Setidaknya itu semua berlangsung selama dua bulan. Hingga akhirnya coki-coki dan surat manis Taehyung kembali menyambut paginya di sekolah. Jeongguk pikir, itu adalah bahasa cinta mereka. Melalui sebuah surat, sehingga Jeongguk yang kaku dan bodoh akan cinta di masa lalu itu tetap bungkam. Memilih berkutat dengan buku sketsa dan menggambar hal-hal indah untuk Taehyung. Namun, hubungan mereka tidak memiliki kemajuan apa pun hingga hari terakhirnya di sekolah.

Bertemu lagi dengan Taehyung saat ini adalah sebuah anugerah. Keajaiban yang pernah Jeongguk harapkan, namun terlalu takut untuk memintanya secara terang-terangan. Yang jelas, Jeongguk selalu berharap kalau suatu hari dirinya akan bertemu lagi dengan Taehyung.

“Kenapa lo sengaja pura-pura engga kenal gue?” tanya Jeongguk pada akhirnya.

Wajah Taehyung terlihat frustrasi. Tangannya mengacak-acak rambutnya, padahal sebelumnya pun rambut itu sudah lumayan acak-acakan. Lalu Taehyung menjawab, “IIHHHH, TAU AHHHHH.”

Jeongguk tertawa, meski dia tidak mendapat jawaban apa pun dari pertanyaannya. Ada banyak waktu yang dia habiskan dengan Taehyung, kali ini ada banyak kesempatan untuk dekat dengan pria itu. Jeongguk yakin kalau kali ini adalah waktu yang tepat untuk mereka berdua. Jeongguk sudah menghabiskan sepuluh tahunnya dengan penuh penyesalah, maka dia tidak akan mengulangi kebodohan yang sama lagi.

Kalau Taehyung adalah cinta lama dan takdirnya, maka Jeongguk akan memperjuangkan apa yang pantas dia perjuangkan sepuluh tahun yang lalu.

Meski Taehyung yang manis kini berubah menjadi pria dewasa yang galak dan tidak begitu ramah menyambut kehadirannya. Pria itu tetaplah Kim Taehyung, tetap membuatnya merasakan getaran aneh di dadanya, membuat pesta kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutnya, sesuatu yang jelas dia rasakan namun tidak dapat benar-benar dia jelaskan dengan rangkaian kata.

“Kalau traktir gue makan malem ini sebagai ganti uang taksi yang tadi, gimana? Atau, besok pas makan siang?” tanya Jeongguk pada akhirnya. Membuat keputusan yang dia yakin adalah keputusan terbaik di dalam hidupnya.

Kalau Taehyung berlari, sudah seharusnya Jeongguk berjalan lebih cepat dan juga ikut berlari mengerjar Taehyung bukan?

Karena cinta yang tepat tidak boleh dia biarkan pergi dua kali.

. . .