A Thousand Times – 290.

. . .

Everything is better with you, and everything has been better since you.

Mungkin Jeongguk di masa lalu sedang tersenyum, atau, mungkin juga dia sedang menangis, melihat seseorang yang sedang duduk bersandar pada bahu Aidan sekarang. Pria dengan paras dan jiwa yang sama dengan orang yang dulu begitu dia cintai. Meski takdir dan semesta tidak mengizinkan dirinya untuk memiliki pria itu di kehidupan sebelumnya.

Entah bagaimanapun reaksinya, yang jelas, pasti hanya perasaan bahagia yang akan mendominasi relung hatinya.

Nayaka Gael yang membiarkan kepalanya beristirahat, bersandar dengan nyaman pada bahu Aidan. Dengan tubuhnya yang dibungkus oleh rangkulan tangan Aidan, membuat posisinya itu semakin nyaman di sana.

Matanya berbinar, memandang langit yang mulai menggelap dan menyisakan sedikit warna oranye di ujung garis laut. Diam dan bisu sementara waktu, membiarkan tiupan angin berbisik, menggelitik telinga dan wajahnya petang itu. Seakan angin pantai menjelang malam membawa sebuah pesan cinta.

Pesan cinta yang pernah begitu lama tertunda, dan tidak sempat tersampaikan dengan benar.

Angin dan senja tidak perlu berkata apa-apa, karena semuanya sudah begitu jelas. Melalui rangkulan tangan Aidan, melalui usapan lembut jari-jemari Aidan pada lengan Gael, melalui senyuman kecil dan binar Gael. Itulah cinta yang sebenarnya. Tidak peduli ada berapa ribu purnama yang harus dilewati, tidak peduli ada berapa juta bintang yang harus gugur, tidak peduli ada berapa kehidupan yang harus dijalani. Cinta akan menemukan jalannya, dan cinta akan menepati janjinya.

Seperti kisah Taehyung dan Jeongguk dengan takdir yang begitu pahit. Hingga semesta mengikat keduanya dengan sebuah janji. Di mana, di kemudian hari, di kehidupan selanjutnya, mereka akan kembali bertemu.

Ya, semesta hanya turut andil sebatas itu saja. Karena, selanjutnya pilihan ada di tangan mereka. Ketika keduanya memilih untuk jatuh hati dan saling mencintai.

Aidan, yang berbagi jiwa dan memori dengan Jungkook, memilih Gael. Memilih untuk mencintai pria itu lagi, lagi dan lagi. Seperti apa yang Jeongguk janjikan pada dirinya dulu, saat hatinya hanya milik Kim Taehyung saja.

Dan, Gael, yang berbagi jiwa dan memori dengan Taehyung, memilih Aidan untuk dia jatuhkan hatinya. Tanpa tahu-menahu kalau takdir dan semesta ikut campur di dalamnya, namun tidak dengan perasaannya. Rasa sayangnya, rasa cintanya untuk Aidan, semuanya tulus dan nyata. Bukan semata-mata karena perjanjian jiwanya di kehidupan sebelumnya. Mungkin, Gael juga harus berterima kasih pada semesta, atas bantuannya dalam mempertemukan Gael dengan Aidan.

Aidan dan Gael adalah sepasang jiwa yang beruntung. Diberikan kesempatan berharga untuk saling menemukan, dan, saling melengkapi kekosongan, bekas luka di kehidupan sebelumnya.

Sepasang jiwa yang beruntung itu kini saling jatuh cinta, merajut cinta yang akan terus berkembang dan tumbuh seiring dengan berjalannya waktu. Kali ini takdir tidak akan pahit lagi. Kali ini tidak akan ada luka yang begitu dalam lagi. Hanya ada mereka berdua, yang siap untuk melangkah ke depan, menghadapi hari esok bersama-sama. Membuat mimpi dan menulis kisah mereka sendiri sebanyak yang mereka inginkan.

Aidan kini merasa utuh, benar-benar utuh. Begitu juga dengan Gael.

“El, tau engga kalau Ai lagi bahagia banget sekarang?”

Gael sedikit mendongak, melihat wajah Aidan yang sedang tersenyum, meski samar-samar karena langit sudah menggelap. “Tauuu. Soalnya, El juga lagi bahagia banget sekarang.”

Senyum Aidan tidak pudar, yang ada malah bertambah lebar. Terlebih, saat dia mendapati Gael yang sedang menatap wajahnya.

Satu detik, hanya satu detik, ada perasaan aneh yang dia rasakan. Seakan jiwa Jeongguk kembali hidup, seakan Jeongguk sedang berterima kasih dan merasa sebahagia dirinya. Aidan membiarkan perasaan dan bayangan itu berlalu, tanpa mengambil pusing yang berlarut.

Seakan, Aidan membiarkan Jeongguk ikut bahagia bersamanya hari itu.

Everything is better with you, El.” ucap Aidan. Lalu, tubuh Gael ditarik, semakin merapat ke arahnya. Dia kecup puncak kepala Gael berulang kali, hingga Gael terkikik.

Tubuh Aidan dipeluk oleh Gael, kedua tangan pria itu kini melingkari tubuh Aidan. Seakan-akan, dirinya takut Aidan pergi, atau, tidak ingin Aidan pergi. Karena dia membutuhkan pria itu. Gael tidak mengendurkan pelukannya barang sedetik. Pelukan itu justru semakin erat, sambil wajahnya dia sembunyikan di bahu Aidan.

And everything has been better since you, Ai.”

. . .