COKI-COKI; 010.
. . .
Kalau saja Taehyung punya pilihan lain. Apa pun itu, selain berjalan menuju gedung apartemennya yang kini tinggal berjarak beberapa meter di depan sana. Ya, andai saja Taehyung punya pilihan, dan, dukungan dari orang-orang terdekatnya.
Mungkin, Taehyung tidak perlu mengkhawatirnya detak jantungnya yang berpacu seperti kuda liar seperit sekarang; menggila, tidak bisa dia kontrol, rasanya seperti ingin loncat.
Sambil menggerutu tidak jelas, Taehyung mau tidak mau tetap melangkahkan kakinya menuju gedung itu. Sambil, sesekali, kakinya menendang pelan batu-batu kecil di jalanan. Atau, berhenti sebentar, lalu menatap langit gelap kota Seoul, seakan mencari mukjizat di detik-detik akhir. Meski, pada akhirnya tetap hanya ada satu pilihan.
Pilihannya hanyalah pulang ke apartemen dan berharap kalau mereka tidak akan bertemu lagi. Ya, terdengar mustahil. Mengingat, kini mereka tinggal di satu gedung yang sama, dengan pintu masuk saling berhadapan. Sepertinya, hanya ada nol koma sekian persen kemungkinan mereka tidak berpapasan di depan pintu.
Namun, Taehyung berpegang teguh dengan keyakinannya yang sudah dia bangun sepanjang perjalanan pulang di bus. Kalau Jeon Jeongguk, manusia yang saat ini paling dia hindari, tidak akan beradu kening, bertatap muka dan apa pun itu segala hal yang berhubungan dengannya.
Harapannya Taehyung sih begitu. Namun, terkadang beberapa hal tidak benar-benar berjalan seperti apa yang dia harapkan.
Langkahnya terhenti, bibirnya terkatup dan berhenti menggerutu. Wajahnya tertekuk masam, terlihat seperti meringis, dan sudah siap sekali untuk membalikkan tubuhnya. Mengambil langkah mundur dari sana segera mungkin. Karena pria yang disebut namanya di dalam hati, yang katanya paling dia hindari itu, baru saja berjalan keluar dari gedung apartemen. Tangannya memeluk tumpukan kardus dan berbagai jenis sampai lainnya.
Setelah itu, tentu saja tidak ada yang bisa mencegah kedua pasang mata itu saling bertemu. Buru-buru Taehyung mengalihkan pandangannya, kemudian kepalanya menunduk sambil terus melangkah. Harap-harap cemas dalam hati, agar Jeongguk benar-benar tidak mengenalnya.
Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat. Harusnya, ada begitu banyak perubahan pada penampilannya. Taehyung bukan lagi bocah laki-laki kurus, si hopeless romantic yang jatuh cinta dengan teman satu sekolahnya. Anak laki-laki pengirim cokelat berpita dan surat cinta yang diselipkan ke dalam loker Jeongguk semasa sekolah. Rambutnya tidak lagi pendek berwarna hitam, kini Taehyung membiarkan rambutnya tumbuh lebih panjang, ikal dan dicat warna cokelat. Dan, Taehyung hanya bisa berharap dengan gagasan itu, bahwa dirinya nampak berbeda dari sepuluh tahun yang lalu.
Atau, Jeongguk sudah melupakan kenangan memalukan tentang dirinya yang dulu. Mungkin, akan lebih baik lagi jika Taehyung benar-benar dilupakan saja. Karena sumpah demi apa pun, jantungnya sedang ketar-ketir di dalam dadanya. Takut sekali, malu sekali, ingin lenyap dari penglihatan Jeongguk saat itu juga.
Namun langkahnya otomatis terhenti, ketika mendengar suara Jeongguk yang sudah satu langkah di belakangnya. “Kim Taehyung?”
Kepalanya menoleh, sebuah refleks yang paling Taehyung kesali. Dirinya hanya dapat merutuki kerja sarafnya yang membuat refleksnya secepat barusan. Mungkin juga suara lembut Jeongguk saat memanggil namanya yang harus dia salahkan.
“Kim Taehyung 'kan?” Jeongguk mengulang kembali pertanyaannya. Dengan senyuman hangat bertengger di wajahnya, seakan pertemuan mereka ini sebuah hal yang menyenangkan.
Harapan tentang memori memalukan sudah dilupakan oleh Jeongguk itu harus Taehyung kubur dalam-dalam. Karena barusan itu Jeongguk menyebutkan namanya dengan jelas.
Suara Taehyung tercekat di tenggorokan, otaknya tidak dapat memproses segala diksi indah yang Taehyung punya, dan dirinya hanya bisa berdiri dengan bodoh di sana. Taehyung lihat kalau alis Jeongguk berkerut samar, membuat dirinya semakin panik tidak jelas. Kemudian kata itu keluar begitu saja dari mulutnya. “S-siapa, ya?”
Jeongguk membisu setelah itu. Mungkin dia kaget, melihat respon dari anak laki-laki yang dulu tergila-gila padanya, kini malah tidak mengenali dirinya. Meski itu semua hanyalah sandiwara Taehyung saja. Matanya menatap lurus ke arah Taehyung, membuat nyali Taehyung menciut dan takut untuk membalas tatapannya. Lalu, tiga detik kemudian ekspresi Jeongguk melunak. Dia kembali tersenyum ke arah Taehyung.
“Gue Jeongguk, Jeon Jeongguk. Dulu kita satu SMA.”
Taehyung hanya meringis, karena tidak menemukan cara untuk menjawabnya. Memilih untuk melanjutkan sandiwara lupa ingatannya itu. Kemudian, Taehyung merapatkan jaketnya. Membungkuk kecil dan berpamitan untuk masuk ke dalam gedung apartemen.
Dia jaga tubuhnya untuk tetap seimbang, berjalan dengan santai seperti biasanya. Kemudian memasang mode lari cepat, begitu kakinya sudah berada di anak tangga pertama. Membuka pintu apartemennya dengan cepat, lalu buru-buru menutupnya seperti orang dikejar maling.
Kakinya merosot, bersandar ke pintu dan duduk di lantai tepat di depan pintu masuk. Telapak tangannya naik, dia tempelkan ke dada bagian kirinya. Sialan, debaran jantung Taehyung seperti habis mengitari lapangan bola sebanyak 20 kali. Adrenalinnya baru saja terpacu, mungkin ini yang dirasakan dirinya saat menaiki wahana roller coaster di taman bermain. Taehyung bersyukur dengan keputusannya untuk tidak pernah menaiki wahana ekstrem apa pun. Karena sumpah, rasanya tidak enak sekali.
Lalu, sekarang Taehyung harus bagaimana?
Nyatanya, Jeongguk masih mengingat dirinya. Bahkan, pria itu menyebutkan nama lengkap Taehyung tanpa ragu.
Tidak tahu. Otak Taehyung seakan lumpuh untuk beberapa saat. Mencoba mencari jawaban dan cara untuk keluar dari masalah ini pun tidak bisa.—ya, baginya ini adalah sebuah masalah.
Dewa dan dewi cinta, Tuhan, entah siapa pun yang dapat menolongnya. Taehyung kini sedang berdoa dalam hati, meminta pertolongan.
Tolong, aku mohon banget, Tuhan tolong. Jeongguk pindah aja dari gedung ini, atau jangan pernah papasan lagi sama aku. Nangis nih aku kalau engga dikabulin. Begitu katanya dalam hati.
. . .