begellataes

You can just kiss me under the light of a thousand stars.

Untuk beberapa saat, Taehyung kembali terbuai dengan ide tentang cinta. Di mana, pria yang sedang menarik tubuhnya masuk ke dalam pelukan hangat itu, Jeon Jungkook, bisa memberikan cinta sebesar dunia. Cinta yang layak untuk Taehyung.

Saat boat kayu yang mereka naiki akhirnya berlabuh di dermaga kecil, di belakang hotelnya persis, Taehyung masih nyaman dengan posisinya. Punggungnya bersandar pada dada Jungkook. Menikmati puncak kepalanya dihujani ribuan kecupan lembut dari Jungkook. Lalu, satu tangannya bertautan dengan milik Jungkook.

Arthur berpura-pura batuk kecil, kemudian tertawa. “Kalian bisa melanjutkannya di kamar. Setidaknya, ciuman kalian bisa berlanjut tanpa diganggu oleh orang lain. Wahai, bukan pasangan kekasih.” Kata Arthur, sambil menekan kata-kata ‘bukan pasangan kekasih’, yang mengutip perkataan Taehyung sebelumnya.

Jungkook hanya tertawa kecil, berbeda dengan reaksi Taehyung yang berpura-pura merajuk pada Arthur. Wajah Jungkook maju sedikit, berbidik tepat ke telinga Taehyung yang sebelah kiri. “Ayo, turun? Sebelum kita didorong ke sungai Vltava sama Arthur. Saya engga mau kamu basah kuyup dan berenang di sungai malam-malam.

”Jangan. Kamu juga engga boleh basah dan berenang di sungai malam ini. Saya butuh kamu, saya mau kamu meluk saya sepanjang malam.” Kata Taehyung. Kemudian, dia merasakan Jungkook meremat tangannya dengan pelan. Dengan maksud mengeratkan tautan tangan mereka. Setelah itu Jungkook kembali berbisik. Suaranya lembut, manis dan hangat di saat yang bersamaan. “Iya, saya bakal peluk kamu sepanjang malam. Engga akan saya lepasin.”

Tautan pada jari-jemarinya dan juga sandaran nyaman pada dada Jungkook harus berhenti sejenak. Jungkook turun terlebih dahulu dari boat. Kemudian, dia membantu Taehyung untuk naik ke atas dermaga. Keduanya tertawa saat Arthur memberi hormat, lalu mengatakan ‘Semoga beruntung malam ini’ dalam bahasa Ceko, yang mana Jungkook bisa memahaminya. Lalu, mereka mengucapkan terima kasih, dan berpamitan pada Arthur.

Taehyung bisa kembali merasakan kehangatan yang sempat terputus sebentar tadi. Saat buku-buku jarinya terasa linu terkena serangan udara dingin, saat tangannya terlepas dari genggaman hangat Jungkook. Kini, tangan indahnya sudah kembali dibalut dengan hangat ke dalam genggaman tangan Jungkook.

Berjalan memasuki terowongan kecil dan menaiki anak-anak tangga pada jalan keluar dari dermaga. Kaki mereka melangkah ke anak tangga paling atas, dan tepat saat itu hujan turun dengan lebat.

Kamera milik Jungkook sudah masuk ke dalam tasnya sejak tadi. Kini, yang masih kerepotan hanyalah Taehyung. Ya, repot, karena satu tangannya bersembunyi dalam genggaman Jungkook, yang satunya dipakai untuk menenteng bungkusan souvenir yang dia beli di Golden Lane.

“Wah, hujannya pas banget. Untung kita sudah di sini.” Kata Jungkook. Tangannya hendak membuka lipatan payung yang dibawa. Namun, Taehyung buru-buru menghentikannya.

“Engga usah pakai payung, kita lari aja ke hotel saya. Biar kenang-kenangan manis dan lucu sama kamu di sini bisa bertambah.”

Jungkook ‘pun menuruti kemauan Taehyung. Alih-alih membuka lipatan payung, dia malah mengeratkan genggaman tangannya. Kepalanya menoleh untuk menatap Taehyung, dan untungnya disambut balik dengan tatapan dari yang bersangkutan, Kim Taehyung.

Sekuat tenaga Jungkook menahan dirinya untuk tidak menarik wajah indah milik Taehyung ke arahnya. Jungkook menahan dirinya untuk tidak kembali mengambil kecupan pada bibir merah jambu milik Taehyung. Dua detik matanya terpaku untuk memandangi wajah Taehyung yang mulai basah. Lalu, dirinya berhasil untuk segera memanggil kembali kesadarannya.

“Mau makan malam di hotel saya aja?” tanya Taehyung. Kepala Jungkook mengangguk kecil. Bibir dan matanya tersenyum hangat ke arah Taehyung. Lalu, dia menarik Taehyung untuk segera berlari. Menerjang rintik-rintik hujan yang turun cukup deras dengan kedua tangan yang saling bertaut.

Malam itu Taehyung membiarkan Jungkook mengukir satu hari terindah di dalam hidupnya. Taehyung membuka hatinya yang sudah lama sengaja dia kosongkan, membiarkan seorang Jeon Jungkook mengisinya dengan penuh. Satu keputusan besar yang tidak Taehyung sesali, atau mungkin akan dia sesali. Yang Taehyung tahu hanyalah malam itu dia ingin bersama dengan Jungkook.

Kedua pasang kaki mereka berlari kecil di bawah guyuran hujan. Meminggir ke sisi trotoar yang dilindungi oleh kanopi. Mengingatkan keduanya pada hari pertama mereka bertemu di alun-alun kota tua Praha. Namun, dengan situasi dan peraaan yang berbeda. Mungkin, hari itu mereka tidak akan pernah menyangka akan berujung menghabiskan banyak waktu bersama. Mereka tidak akan menyangka kalau beberapa menit yang lalu, mereka baru saja berciuman di atas boat kayu.

Dan, sudah pasti, mereka tidak akan menyangka kalau malam itu Jungkook berakhir di berada di dalam kamar hotel Taehyung. Dengan keadaan mantel mereka yang basah sudah berserakan di atas lantai kamar hotel. Tas, tentengan souvenir, payung lipat, semuanya diletakkan begitu saja di depan pintu masuk.

Keduanya sudah sibuk bercumbu di atas sofa single kamar hotel Taehyung yang berwarna biru langit. Mantel dan vest milik Taehyung sudah terlepas sejak dua langkah mereka masuk ke dalam kamar. Menyisakan kemeja putih Taehyung yang dua kancing teratasnya sudah terbuka. Kemejanya putihnya itu setengah basah, membuat kulit mulus miliknya menyeplak, terutama di bagian dada.

Jungkook ‘pun juga tidak kalah berantakan dari Taehyung. Mantel abu-abunya sudah tergeletak di lantai, tak jauh dari mantel milik Taehyung berada. Kancing kemeja navynya hampir terbuka penuh, karena tangan Taehyung yang nakal sepanjang meraka berciuman.

Dan Target selanjutnya dari tangan nakal Taehyung adalah celana jeans Jungkook. Taehyung melepas ikat pinggang pria itu, membuangnya ke lantai dan membuka kancing pengait celana Jungkook.

Tangannya Taehyung menyelip masuk ke dalam celana jeans Jungkook. Meraba-raba bagian sensitif pria itu dari luar celana dalaman milik Jungkook. Karena Taehyung tahu persis seberapa nikmat rasa yang ditimbulkan. Terbukti ketika Jungkook memejamkan mata dan menahan sebuah geraman, akibat dari kerja tangan Taehyung.

Tiba-tiba saja Taehyung bangkit dari sofa. Acara bermain-main dengan area sensitif Jungkook terhenti sementara. Dia mengubah posisi mereka: Jungkook duduk bersandar pada sofa, lalu Taehyung duduk di atasnya.

Setelah itu Taehyung kembali memulai ciuman mereka lagi. Jauh sekali, kali ini jauh lebih intens dan panas. Jungkook mencoba menembus pertahanan Taehyung, menekan-nekan lidahnya pada bibir Taehyung, hingga dia dapat menerobos masuk. Sampai kedua lidah mereka ikut bermain-main, dan saling bertukar saliva.

Malam itu Taehyung benar-benar di luar kendali. Entah efek dari tubuhnya yang sudah begitu lama merindukan sentuhan, atau memang yang Jeon Jungkook sememabukkan itu. Pilihannya hanya dua. Namun, Taehyung tidak ingin memusingkan itu sekarang. Karena Taehyung lebih suka membiarkan detiknya bergulir untuk sentuhan-sentuhan Jungkook yang lainnya. Seperti, saat tangan Jungkook menyelip masuk ke dalam kemejanya, lalu mengelus lembut pinggangnya tanpa memutuskan ciuman. Atau, saat bibir Jungkook mengecupi tulang rahangnya, saat Taehyung bergerak liar di atas pangkuan pria itu. Atau mungkin, saat celana bahan milik Taehyung sudah dilempar entah ke mana, dan jari-jari Jungkook mulai bermain-main di bagian bokongnya. Taehyung menyukai semua itu, dirinya tidak bisa berbohong untuk hal ini.

Taehyung begitu menyukainya. Hingga dia tidak sadar kalau lenguhannya keluar, terdengar seperti sebuah rengekan kecil, ketika Jungkook memainkan jarinya di bagian lubang sensitif miliknya. Jungkook hanya bermain-main dari luar celana dalamnya, dia melakukan hal yang sama seperti apa yang Taehyung lakukan pada milik Jungkook sebelumnya. Namun, sialan, Taehyung rasanya sudah hampir gila karena itu. Dia sengaja menggoyangkan pinggulnya, meminta dua jari Jungkook yang bermain-main di luar untuk masuk. Taehyung ingin Jungkook yang mempersiapkannya langsung.

“John, please…” ucap Taehyung pelan. Terdengar seperti lirihan atau rintihan yang tertahan. Badannya sudah bergerak-gerak di atas pangkuan Jungkook. Menggesek kedua bagian sensitif mereka yang saling kelaparan.

Just kiss me, again, and softly. Then, I’ll do it.” Jawab Jungkook. Satu tangannya menangkup pipi Taehyung, membuat Taehyung mau tidak mau menatap matanya. Mata Jungkook yang sedang memancarkan kehangatan dan kasih sayang, di tengah-tengah adegan panas mereka berlangsung.

Sorot matanya yang hangat, suaranya yang lembut, semua yang ada pada Jungkook begitu menghipnotisnya. Dan Taehyung pun melakukan apa yang diperintahkan Jungkook dengan benar. Dia mencium bibir Jungkook, melumatnya, mengisapnya dengan lembut. Selembut seperti saat dirinya sedang mengemut permen kapas.

Setelah itu, Jungkook benar-benar melakukannya. Menanggalkan seluruh pakaian mereka berdua ke lantai, hingga akhirnya dirinya berada di dalam Kim Taehyung. Mereka melakukan itu di atas sofa kamar hotel Taehyung, masih di tempat yang sama sejak awal kedatangan mereka. Namun, mereka hanya melakukannya sebentar, karena Jungkook sudah keburu menggotong Taehyung untuk pindah ke atas kasur. Masih dengan posisi yang sama, saat dirinya sudah berada di dalam Kim Taehyung.

Dan malam itu hujan berhenti. Saat langit Praha kembali ditaburi ratusan bintang yang berkelip. Namun, lampu tidur kamar hotel Taehyung yang menjadi satu-satunya sumber pencahayaan di antara mereka. Saat Taehyung bergerak di atas Jungkook, dan Jungkook yang sibuk mengecupi setiap inci wajah dan tubuh indah milik Taehyung.

. . .

Pukul 09:12 malam, Taehyung dan Jungkook saling memeluk tubuh satu sama lain di dalam selimut. Dengan posisi Jungkook yang berbaring dengan benar, dan Taehyung yang memeluknya dari samping, sambil mengistirahatkan kepalanya pada dada Jungkook. Lalu, punggung Taehyung dielus dengan lembut dari dalam selimut oleh Jungkook.

“Mau pesan makanan dari restoran hotel? Kamu pasti laper, soalnya kita belum makan dari siang.” Tanya Jungkook.

Taehyung mengangguk kecil, masih dengan posisi yang sama. Di atas sandaran kepalanya pada dada Jungkook. “Boleh. Kamu juga makan, ya?”

Taehyung bangun dari posisinya, menjadi duduk bersandar pada kepala ranjang. Tangannya menarik selimut hingga menutupi dadanya. Kemudian dia sibuk berkutat dengan telepon hotel, dan menyebutkan beberapa jenis menu yang dia lihat dari buku di atas nakas.

Jungkook membalik posisinya, menjadi menghadap ke arah Taehyung. Lalu dia diam pada posisi itu. Memperhatikan Taehyung yang kedua tangannya sedang menjaga posisi selimut, agar tidak turun dari badannya. Dan, tawa kecilnya tidak bisa dia tahan lagi setelah itu. Tidak lama, Taehyung mengakhiri panggilan dengan staff hotel, lalu kembali menatap ke arah Jungkook yang sedang menertawainya.

“Kamu kenapa ketawa?” tanya Taehyung, sambil alisnya mengerut samar.

“Engga apa-apa,” jawab Jungkook. Kemudian, dia menepuk-nepuk dadanya, tempat Taehyung beristirahat sebelumnya.

“Sini, saya mau pelukin kamu lagi. Tadi ‘kan saya sudah janji mau pelukin kamu semalaman.”

Taehyung tersenyum geli. Namun, tubuhnya tetap bergerak mendekat ke arah Jungkook. Kembali berbaring di sebelah pria itu, dan menaruh kepalanya pada dada Jungkook.

Taehyung menyukai ini, seakan-akan dia dan Jungkook sudah melakukannya sebanyak ribuan kali. Saat punggungnya dielus dengan lembut oleh Jungkook. Saat kepalanya beristirahat dengan nyaman pada dada Jungkook. Saat tubuh mereka saling mendekap satu sama lain.

“Apa saya engga usah tidur aja, ya?” Tanya Taehyung tiba-tiba. Jari telunjuk dari tangan kanannya bermain-main pada dada Jungkook. Berputar-putar, membentuk sebuah lingkaran acak.

“Loh, kenapa engga usah tidur? Kamu harus tidur, besok kan pesawat siang.”

“Justru itu. Apa saya engga usah tidur aja, ya? Biar ada lebih banyak waktu yang bisa dilaluin sama kamu.” jawab Taehyung. Yang sukses membuat rasa nyeri dengan kilat berkunjung pada dada Jungkook untuk beberapa detik.

Jungkook diam sesaat. Bukan karena dia setuju pada ide konyol dari Taehyung. Hanya saja, dirinya sedang menimbang-nimbang sesuatu. Mungkin akan terdengar jauh lebih gila dibanding ide tidak tidur satu malam dari Taehyung barusan.

Setelah yakin dengan pikirannya, Jungkook akhirnya berani mengutarakan apa yang ada di pikirannya. “Kalau kamu stay di sini saja, gimana?”

Taehyung langsung tertawa mendengar perkataan Jungkook. Bagaimana bisa dia tetap tinggal di Praha? Sedangkan kota ini hanyalah sebuah pelariannya dari rasa trauma selama beberapa hari.

“Becanda aja kamu, John!”

Namun, Jungkook tidak tertawa sama sekali. Pria itu diam, tidak bergerak, tidak merespons dengan apa pun. Membuat Taehyung langsung mendongakkan kepalanya, lalu menatap Jungkook secara langsung. “Jangan bilang kamu serius?” Tanya Taehyung.

“Saya memang serius.”

“Terus saya mau tinggal di mana, John? Besok saya udah harus check-out jam 12 siang.” Jawab Taehyung, masih dengan tertawa. Padahal Jungkook kini sedang benar-benar serius.

“Kamu bisa tinggal di apartemen saya. Itu… kalau kamu engga keberatan.” Jawab Jungkook.

Taehyung tidak mengerti, situasi apa yang sebenarnya sedang dia hadapi saat ini.

Apakah dia bisa mempertimbangkan tawaran Jungkook?

Apakah bisa?

Lalu, bagaimana dengan keluarganya?

Dengan pekerjaannya di Seoul?

Untuk apa juga dia bertahan di sana? Untuk apa dia melakukan itu semua demi pria yang baru di kenal selama lima hari?

. . .

. . .

You know you’re in love when you can’t fall asleep because, reality is finally better than your dreams.

Ibunya selalu sama. Selalu menjadi Ibu yang lembut dan menyenangkan. Setidaknya, itu yang dikatakan oleh teman-teman Taehyung setiap kali mereka bertemu Ibunya. Beliau berhasil mendidik Taehyung seorang diri dengan caranya sendiri. Akan tetapi, Taehyung tetap tumbuh menjadi anak laki-laki yang bertingkah laku baik, periang dan pintar.

Taehyung tidak pernah menjadikan kekurangan di keluarganya sebagai alasan untuk berontak pada kehidupan. Dan di sanalah Taehyung sadar, kalau peran Ibunya begitu besar di hidupnya. Ibunya tidak pernah membuat Taehyung merasa kesepian dan kekurangan kasih sayang. Meskipun mereka hanya hidup berdua sejak kepergian sang Ayah.

Bagi Taehyung, Ibunya adalah wanita terhebat di dunia. Begitu juga dengan teman-temannya yang mengenal dekat sang Ibu. Dari sanalah sang Ibu mendapatkan panggilan Mamadari. Gabungan kata dari Mama dan Bidadari, katanya. Namun, sayangnya, sosok Mamadari itu tidak dapat dia temukan hari ini. Karena sang Ibu sudah memandangi Jeongguk dengan galak sejak mereka sampai lima menit lalu.

Taehyung gelagapan. Panik, karena dia bingung kenapa tiba-tiba saja suasana hati sang Ibu berubah. Padahal, dia yakin betul kalau Ibunya begitu senang dan tidak sabar menanti kedatangan Taehyung dan Jeongguk. Bahkan, Ibunya sudah memberikan embel-embel ‘calon menantu’ ketika memanggil pacarnya.

Bingung setengah mati. Taehyung hanya bisa meneguk air minum dari gelasnya. Kemudian, dia berusaha mencairkan suasana dingin di ruang tengah. Bangkit dari duduknya, Taehyung pun berjalan menuju ke arah Ibunya. Dia pijit-pijit pundak wanita yang sudah melahirkannya itu. Dengan maksud agar Ibunya bisa lebih rileks saat menatap pacarnya.

Tubuhnya menunduk, lalu berbisik di telinga Ibunya. “Mama, kenapa ih ngelihatin Jeongguk kayak begitu? Engga enak tahu, nanti Jeongguknya takuttt.”

Sang Ibu hanya melirik sambil mengangkat kedua alisnya. Seakan kalimat Taehyung hanyalah angin lalu di telinganya.

“Jadi, ini yang buat anak mama nangis-nangis waktu dulu?” tanya sang Ibu. Membuat mata Taehyung melotot kaget, dan Jeongguk—yang sedang menyesap teh hangat dari cangkir—tersedak.

“MAMAAAA.” Taehyung langsung berteriak heboh. Wajahnya meringis, kemudian duduk di sebelah Jeongguk sambil memijit pilisnya.

Jeongguk batuk kecil selama beberapa kali. Dia membersihkan tenggorokannya untuk mengambil aba-aba sebelum berbicara. Setelah itu Jeongguk berdiri dari duduknya. Punggungnya membungkuk, memberi salam untuk yang sekian kali sejak tadi. “Sore tante, saya Jeon Jeongguk. Pacar Taehyung dan teman sekolahnya dulu.”

“Iya, nak Jeongguk. Tante sudah banyak tahu tentang kamu kok. Yang sering dikasih coki-coki sama Taehyung dulu ‘kan?”

Jeongguk tersenyum, lalu mengangguk menyetujui. Atau mungkin meringis. Situasi di mana Ibu dari pacar tahu kalau Jeongguk pernah menjadi alasan anaknya menangis. Entah dirinya harus bereaksi apa saat ini. Jeongguk segan dan khawatir, berani sumpah. Jantung di dalam dadanya sedang berisik berdebar. Namun, sebisa mungkin Jeongguk menyembunyikannya.

Rasanya, Jeongguk ingin sekali menghindari tatapan Ibunya Taehyung. Namun, dia tahu kalau tindakan itu tidak tepat dan tidak sopan. Jadi, mau tidak mau Jeongguk harus tahan dengan tatapan tidak bersahabat dari Ibu pacarnya itu.

Dan dua detik kemudian ekspresi di wajah wanita itu berubah. Menjadi lembut dan ramah. Kini, wajahnya dihias dengan senyuman cantik yang mirip dengan mirip Taehyung.

“Tante bercanda kok. Tadi cuma mau ngetes Jeongguk saja. Ternyata nak Jeongguknya sopan dan baik, dilihat dari caranya nanggepin omongan tante.” Jelas sang Ibu yang langsung disambut dengan protesan dari Taehyung. “MAMAAA, bikin panik ajaaa!”

Jeongguk bisa bernapas lega. Senyumannya ikut melengkung dengan lebar melihat interaksi kedua orang di hadapannya. Taehyung yang merajuk, lalu buru-buru memeluk dan mencium pipi Ibunya. Sebenarnya, adegan itu terasa begitu asing untuk Jeongguk. Karena dia tidak bisa menemukan memori yang sama untuk dirinya dan sang Ibu. Entah Jeongguk yang lupa, atau memang benar-benar tidak pernah terjadi.

Namun, Jeongguk tidak ada perasaan buruk akan itu. Jeongguk tidak iri, tidak sedih dan berkecil hati atas kehangatan yang dimiliki Taehyung dan Ibunya. Dia justru senang, karena pacarnya memiliki harta yang berharga itu. Jeongguk senang karena Taehyung tidak memiliki rasa sakit yang sama dengannya.

“Ya sudah, makan dulu yuk. Kalian kayaknya tadi sebentar banget di sana. Belum sempat makan ‘kan?” tanya wanita yang dipanggil ‘Mama’ oleh Taehyung.

Taehyung mengangguk, sambil mengelus-elus perutnya sendiri. “Iyaaa. Buru-buru ke sini, soalnya udah cerita kalau mama masak banyaaak. Ya kan, Ayang?”

Jeongguk tersenyum, kepalanya ikut mengangguk. Membenarkan perkataan Taehyung. Mereka tidak terlalu lama berada di acara tadi. Datang di saat acara benar-benar ingin dimulai dan pergi ketika selesai. Jeongguk bahkan tidak mengunjungi ruangan tunggu pengantin. Dia hanya menatap sang Ibu dari luar ruangan, lalu pergi ketika Ibunya melayangkan senyuman haru.

Setelah itu, Taehyung langsung buru-buru menggeretnya keluar. Mengajaknya bicara dari A-Z. Dan Jeongguk tahu kalau Taehyung melakukannya dengan sengaja. Taehyung ingin mengalihkan seluruh perhatian Jeongguk hanya padanya saja. Tentu saja itu berhasil. Obat terampuh untuk rasa sakitnya yang luar biasa besar adalah Kim Taehyung.

Tangan Jeongguk ditarik Taehyung. Membuntuti Ibu dan anak yang sedang berjalan menuju dapur minimalis di rumah itu. Bentuknya persegi panjang yang diisi dengan empat kursi. Jumlah yang sangat cukup karena mereka tidak memiliki anggota keluarga yang banyak.

Taehyung duduk di kursi yang biasa ditempati, sedangkan Jeongguk ikut duduk di sebelahnya, dan sang Ibu di seberang. Matanya berbinar melihat ada begitu banyak makanan yang dihidangkan di atas meja makan.

Okayyy, jadi menunya malam ini ada… wah banyak!” kata Taehyung dengan nada gembira. Kepalanya menoleh ke arah Jeongguk sambil tersenyum. Disambut dengan anggukan kepala dari pacarnya itu.

“Ya sudah, ayo dimakan. Mama engga mau ini anak-anak ganteng kelaparan di rumah ini.”

Malam itu Jeongguk merasakan kehangatan di ruang makan yang sudah lama tidak dia rasakan. Dia tidak merasa menjadi orang asing sama sekali di sana. Seakan rangkulan hangat Taehyung dan Ibunya itu dapat menembus dinding jiwanya.

Air mata Jeongguk menetes ketika suapan nasi yang ketiga. Air matanya jatuh, namun dia tersenyum. Air matanya jatuh, namun mukan karena kemalangan. Dia menangis bahagia di dalam senyuman. Ibu Taehyung sempat panik, bahkan langsung menghampiri tempat duduk Jeongguk. Beliau memberi Jeongguk dua lembar tissue, lalu Jeongguk mengucap terima kasih dan menghapus jejak air matanya.

Taehyung diam sebentar untuk menatap wajah Jeongguk. Mencoba untuk membaca apa yang dirasakan oleh pria itu, meski sangat amat sulit. Pada akhirnya, Taehyung memilih untuk menggenggam tangan Jeongguk dan tersenyum hangat pada prianya.

“Gimana masakan tante? Denger-denger, nak Jeongguk suka ya? Nanti tante kirimin stok lauk lagi, ya? Pokoknya nak Jeongguk juga harus makan yang banyak dan sehat. Tante tahu banget, anak-anak muda sekarang sukanya makan yang instan-instan. Ckckck.”

Jeongguk meletakkan sendoknya ke atas meja. Kemudian mengangkat jempolnya dan menunjukkannya ke Ibu Taehyung. “Top banget, tante. Masakannya tante engga ada tandingannya. Pokoknya juara internasional, hehehe. Aduh, Jeongguk jadi enak nanti, tante. Jadi ngerepotin tante begini.”

“Ih, nak Jeongguk engga boleh mikir begitu. Nih, ya, tante kasih tahu. Kalau jadi pacarnya Taehyung itu ada syaratnya,”

“Apa itu, tante?” tanya Jeongguk serius.

“Engga boleh canggung. Tante anggap semua teman Taehyungie itu anak tante sendiri, apalagi nak Jeongguk yang pacarnya.” Jawab Ibu Taehyung, sambil memainkan alisnya jenaka. Ah, Jeongguk tahu sekarang dari mana sifat usil Taehyung berasal.

Jeongguk mengangguk paham. Hatinya bahagia sekali, karena dirinya merasa benar-benar disambut dengan hangat oleh Ibu dari pacarnya. Meskipun ini bukanlah kali pertama Jeongguk bertemu dengan sosok beliau. Namun, ini adalah kali pertama pertemuan mereka kembali setelah status Jeongguk dan Taehyung resmi berpacaran.

. . .

Baik Taehyung maupun Jeongguk, keduanya enggan untuk memejamkan mata mereka. Berbaring berhadapan di atas kasur kecil Taehyung, mereka memilih untuk saling menatap dalam diam. Tangan Jeongguk sibuk menyibak rambut Taehyung yang menutupi dahi pria itu. Atau dia sibuk mengelus pipi Taehyung dengan jari-jarinya.

Tangannya tadi langsung ditarik Taehyung begitu mereka selesai menghabiskan makan malam. Dirinya diajak untuk mengikuti tur kecil-kecilan di dalam kamar lama Taehyung di rumah sang Ibu. Dan di sinilah mereka sekarang. Berbaring di atas kasur kecil Taehyung. Tempat Taehyung versi remaja menghabiskan hari-harinya untuk memikirkan Jeongguk sebelum pergi tidur.

“Belum ngantuk?” Jeongguk bertanya sambil menatap mata Taehyung.

“Belum. Kamu, udah?” Taehyung menjawabnya dengan menggeleng.

Bibir Jeongguk tersenyum, lalu ikutan menggeleng. “Belum juga. Masih mau nungguin kamu ngantuk, soalnya lucu muka kamu pas lagi ngantuk.”

“Hih, ini kamu mau ngejek akuuu?” protes Taehyung. Dia cubit tangan Jeongguk dengan pelan, tidak menimbulkan efek sakit sama sekali. Yang ada Jeongguk hanya tertawa pelan. Kemudian, Taehyung kembali mengajukan pertanyaan. “Perasaan kamu gimana hari ini?”

“Hm, perasaanku?”

“Iya. Pasti sedih, ‘kan? Aku khawatir banget waktu di tempat resepsi tadi. Makanya aku pegangintangan kamu terus dan ngajak ngobrol. Kok aku rasanya malah lebih nervous ketimbang kamu ya.” jelas Taehyung.

Jeongguk tertawa sebentar. Kalau dipikir-pikir benar juga. Tadi wajah Taehyung terlihat jauh lebih tegang ketimbang dirinya. Jeongguk justru merasa terkejut karena dirinya tidak merasakan apa pun. Jauh dari apa yang dia duga.

Umm, surprisingly, aku engga ngerasa sesedih itu. Kayak, ya udah gitu. Waktu ngelihat mama dan keluarga barunya ngobrol setelah acara kelar, aku kayak biasa aja. Aneh, ya?” tanya Jeongguk di jeda kalimatnya. Taehyung langsung buru-buru menggeleng. “Engga aneh kok.” Jawab Taehyung.

“Sejujurnya, rasa sedih memang ada. Tapi aku kayak plong aja gitu? Aku bingung mau bereaksi apa, karena hampir sepuluh tahun ini aku minim banget komunikasi sama mama dan papa. Rasanya, aku udah terbiasa sama kesendirianku di keluarga ini. Dari kecil ‘pun begitu. Mama dan papa kalau engga kerja ya pasti berantem.

Cuma, aku tadi mikir aja sih kalau emang mama udah dapetin kehidupan yang baik. Jauh lebih baik sewaktu sama aku dan papa, jadi harusnya aku fine fine aja dengan itu. Hidupku, hidup kami, semuanya harus terus berjalan ‘kan? Luka dan rasa sakitku pun bakal sembuh nantinya. Engga ada gunanya aku terus-terusan dendam sama keadaan keluargaku di masa lalu. Aku, papa dan mama, masa lalu kami itu udah terjadi. Aku engga bisa mengubah masa lalu, engga bisa mengubah apa yang udah terjadi di keluargaku. Yang aku bisa sekarang ya Cuma lanjutin hidupku dengn lebih baik. Daripada aku malah pelihara koreng aja seumur hidupku.”

Taehyung mengangguk setuju. Air matanya sudah tidak dapat dia tahan. Dia membiarkan tetesan air itu membasahi wajahnya. Setelah itu, dia langsung melempar tubuhnya ke arah Jeongguk. Memeluk pria itu dengan erat. Dan membiarkan air matanya keluar lebih banyak di dalam pelukan Jeongguk.

SShh, kok nangis? Hahaha. Nanti mama kamu ngira anaknya diapa-apain sama aku.” Kata Jeongguk. Tangannya memeluk balik tubuh Taehyung. Mencoba untuk menenangkan pria itu dengan mengusap lembut punggungnya.

“Ini emang mataku aja sih yang gampang berair.” Jawab Taehyung beralasan.

Jeongguk hanya tertawa mendengar jawaban lucu dari pacarnya. Tubuh Taehyung kembali ditarik rapat-rapat ke dalam pelukannya. Nyaman, Jeongguk merasa kenyamanan menyelimuti keduanya. Setidaknya, rasa sakit dan bahagia selalu berjalan beriringan. Jeongguk harus mensyukuri kalau masih ada kebahagiaan di hidupnya. Dan kebahagiaannya itu datang dalam wujud Taehyung.

“Kamu engga mau tidur sekarang.” Tanya Jeongguk

Taehyung menggeleng di dalam dada Jeongguk. Lebih memilih untuk menghirup aroma tubuh Jeongguk yang bercampur dengan pewangi di bajunya. Ya, Jeongguk saat ini sedang memakai kaos putih gombrong milik Taehyung. Meskipun jadinya tidak gombrong lagi ketika dipakai Jeongguk.

“Engga dulu. Masih mau bangun, mau pelukin kamu, mau nyiumin kamu.” Jawab Taehyung.

Karena rasanya matanya enggan untuk terpejam. Taehyung enggan untuk pergi tidur dan menjelajah alam mimpi. Karena sosok yang sedang memeluknya saat ini jauh lebih indah dari skenario apa pun yang ditawarkan oleh sang mimpi.

Berada di pelukan Jeongguk. Merasakan tangan Jeongguk menari-nari di punggungnya, mengusapnya lembut. Mendengar detak jantung Jeongguk yang berpadu dengan miliknya saat dada mereka bersentuhan. Semua ini terasa jauh lebih indah daripada pergi tidur dan bermimpi.

Dan Jeongguk pun merasakah hal yang sama. Di saat Jeongguk mengetahui kehadiran Taehyung di dekatnya, saat itu pula semua mimpi terasa tidak begitu indah.

. . .

. . .

Once in a life time you meet someone who changes everything.

Jeongguk pikir rasanya akan sakit bukan main. Berkali-kali lipat lebih besar dibanding saat dia mengetahui kabar perceraian kedua orangtuanya. Seperti ada ribuan panah yang terbang, lalu menusuk dadanya. Hingga membuat luka sedalam samudra di hatinya.

Ternyata, pertemuan dirinya dan sang ibu tidak seburuk yang dia bayangkan. Jeongguk juga takjub dengan toleransi rasa sakit pada dirinya yang mulai membaik. Kalau dia memosisikan dirinya beberapa tahun lalu, mungkin di tidak akan memiliki keberanian untuk membalas pesan sang Ibu. Apalagi, bisa bertemu secara langsung dan duduk berhadapan seperti tadi. Rasanya begitu mustahil.

Namun, kata mustahil itu tidak berlaku lagi. Sejak ada kehadiran Taehyung di hidupnya.

Mungkin rasa sakit dan dendam Jeongguk tersapu bersih. Karena dirinya terlalu dipenuhi oleh rasa cinta dan sayang dari Taehyung. Mungkin dari sanalah datangnya keluatan super yang Jeongguk miliki hari ini. Saat dirinya menatap Taehyung dan memohon agar pria itu duduk di sampingnya. Menggenggam tangannya sepanjang pertemuan dengan sang Ibu. Saat itulah segala hal yang ada di dunia terasa begitu ringan dan mudah untuk Jeongguk.

Jeongguk tidak ingat kapan terakhir kali dia mengobrol dengan hangat bersama Ibunya. Jeongguk juga tidak ingat kapan terakhir kali dia merasa hubungannya dengan kedua orangtuanya sehangat keluarga lainnya. Mungkin saat itu Jeongguk masih terlalu kecil, sehingga tidak ada memori indah yang tersisa dalam ingatannya hingga kini. Atau, memang keluarganya tidak pernah ada di posisi itu. Tidak pernah ada kehangatan dan kasih sayang di sana.

Jeongguk kecewa. Sangat kecewa pada kedua orangtuanya. Namun, bukan berarti dia tidak menyayangi mereka. Kalau Jeongguk memang benar-benar membenci Ayah atau Ibunya, maka Jeongguk tidak akan pernah datang dan menerima permintaan sang ibu untuk bertemu. Meski, pada akhirnya mereka hanya melalui waktu bergulir dengan penuh kecanggungan.

Taehyung bahkan bisa keringat dingin bila disuruh lebih lama duduk di antara Ibu dan tersebut. Sumpah, rasanya tidak nyaman sekali. Rasanya, seperti Taehyung disuruh menyelam ke kolam es di kutub utara pada bulan Januari. Dingin sekali, GILA, Taehyung bisa membeku. Alias, tidak ada kehangatan sama sekali di antara mereka.

Dan yang dapat dia lakukan hanyalah menggenggam tangan Jeongguk sepanjang pertemuan itu. Setidaknya, tangannya yang—ikutan—dingin mendapatkan kehangatan. Sekaligus, Taehyung ingin sedikit mencairkan suasana hati Jeongguk. Membuat pria itu merasa sedikit aman dan nyaman dengan kehadirannya di sana.

Jeongguk tidak banyak bicara. Hanya menjawab singkat ketika sang Ibu bertanya. Mengingatkan Taehyung akan sosok anak laki-laki yang duduk di bangku belakang semasa SMA dulu. Anak laki-laki yang tidak banyak bicara pada siapa pun kecuali Jaehyun. Dia adalah Jeon Jeongguk versi remaja. Anak laki-laki yang paling sulit Taehyung tebak. Dan tadi bocah itu muncul lagi di hadapannya.

Setidaknya, ada hal yang bisa disyukuri dari pertemuan tadi. Taehyung bersyukur karena Jeongguk bisa bertahan hingga akhir. Jeongguk tetap menjaga ekspresinya dengan tenang. Bahkan, di saat sang Ibu pamit untuk pergi. Di saat seorang anak kecil dan pria dewasa yang mungkin umurnya sepantaran Ayahnya datang menjemput sang Ibu.

Dalam hati Jeongguk tahu, kalau Ibunya sudah menjalani kehidupannya dengan baik sekarang. Ah, beliau akhirnya mendapatkan apa yang seharusnya dia dapatkan sejak dulu. Keluarga yang manis dan hangat. Pikir Jeongguk begitu.

Jeongguk tidak bisa mengubah apa pun yang terjadi di masa lalunya. Dia tidak bisa mengubah atau membuang kenangan menyakitkan yang ditinggalkan oleh keluarganya yang hancur. Namun, bukan berarti Jeongguk tidak bisa mendapatkan kebahagiaan di masa depannya bukan?

Jeongguk layak untuk bahagia. Sebagaimana sang Ibu yang juga kini sudah menemukan kebahagiaannya. Dan kebahagiaan itu ada di sampingnya. Dengan tangan kanannya yang menggenggam erat tangan Jeongguk. Kemudian, satu tangannya lagi dia gunakan untuk mengusap sudut bibir Jeongguk. “Ada bekas minuman di bibir kamu, Ayang.” ucapnya, sambil menyengir.

Membuat Jeongguk ikutan tersenyum dengan hangat ke arahnya. Menatapnya dengan penuh kasih sayang, sebagaimana dirinya merasa dihujani oleh rasa sayang dari Taehyung saat ini.

“Sebelum pulang mau mampir beli ice cream dulu?” tanya Jeongguk.

Taehyung mengangguk semangat. Tentu saja dia tidak akan menolak tawaran ice cream dari Jeongguk. “Mau, mau, mauuu.”

Okay, kalau gitu kita meluncur ke tempat ice cream ya.”

Okaaay. Gelato yang di deket restoran waktu itu kayaknya enak. Inget ga? Waktu kita makan bbq malem-malem. Tempatnya juga kayaknya nyaman.” Jawab Taehyung. Kemudian, badannya menempel pada lengan Jeongguk. Dia peluk dengan erat tangan pacarnya itu sambil mereka berjalan menuju mobil Jeongguk.

Saat kaki Jeongguk melangkah, beriringan dengan langkah kaki Taehyung. Saat itu juga rasa sakit yang menyisa di hatinya terhapuskan. Jeongguk tidak butuh obat apa pun. Dia hanya butuh Kim Taehyung. Seseorang yang mampu membuat dunianya berubah menjadi lebih baik.

. . .

. . .

To have someone understand your mind is different kind of intimacy.

Taehyung menghabiskan dua jam dua puluh satu menit hanya untuk memikirkan bagaimana keadaan Jeongguk. Ponsel pria itu masih belum bisa dihubungi, apalagi berharap kalau pesan Taehyung sudah dibalas. Dan Taehyung hanya dapat duduk di kursi kereta, memandang ke arah luar sambil melamun. Mengikis waktu yang harus dia lalui sepanjang perjalanan Daegu-Seoul yang terasa begitu panjang. Sayangnya, kegiatannya itu justru membuat Taehyung semakin tidak tenang.

Ibunya sempat bertanya kepada Taehyung. Kenapa anaknya terlihat begitu gelisah? Ini bukan kali pertama Taehyung melakukan perjalanan antar kota dengan kereta cepat. Pasti bukan perjalanan ini yang menjadi alasan anaknya terlihat resah dan gelisah, sang Ibu yakin sekali. Namun, Taehyung hanya menggelengkan kepalanya. Lalu kembali fokus dengan ponselnya. Terus begitu hingga mereka tiba di stasiun kereta Seoul.

Pada awalnya Taehyung berencana untuk singgah sembari mengantarkan sang Ibu. Akan tertapi, sepertinya rencananya harus diubah. Dengan berat hati Taehyung harus berpisah dengan sang ibu di stasiun. Memutuskan untuk langsung naik taksi dan meminta kepada pak supir untuk cepat melaju. Taehyung hanya ingin buru-buru sampai ke apartemennya, yang sayangnya berlawanan arah dengan tempat tinggal sang Ibu.

Jika Jeongguk tidak bisa dihubungi melalui panggilan telepon, jalan satu-satunya untuk menemukan pria itu hanyalah mendatangi tempat tinggalnya. Dengan harapan penuh kalau Taehyung benar-benar akan mendapati kehadiran pacarnya di apartemen. Berharap kalau Jeongguk hanya lupa mengisi daya ponsel, lalu dia ketiduran selama berjam-jam. Kemudian, Taehyung akan disambut oleh wajah ngantuk Jeongguk di depan pintu, lalu ditarik masuk ke dalam pelukannya sambil Jeongguk berkata, “Akhirnya kamu pulang, aku kangen.”

Taehyung berharap apa pun di dunia ini selain hal buruk. Meski entah mengapa juga Taehyung hanya dapat memikirkan hal buruk saat ini.

Taehyung tahu kalau harusnya dia tidak usah memikirkan segala kemungkinan buruk. Karena feeling buruk itu sering kali benar. Intuisinya selalu benar. Jeongguk tidak ada di apartemennya. Puluhan kali sudah Taehyung menekan bell di pintu apartemen itu, namun tetap tidak ada jawaban sama sekali.

Otaknya berpikir. Sambil dia terus mencoba untuk menghubungi ponsel Jeongguk, meski panggilan selalu teralih ke kotak suara. Frustrasi, Taehyung pun akhirnya meninggalkan pesan di sana. Cepat atau lambat, Jeongguk pasti akan mengaktifkan ponselnya, dan dia akan segera mendengar pesan dari Taehyung tersebut. Ya, harapan Taehyung begitu.

Hei… kamu ke mana? J-Jeongguk, aku khawatir. Sumpah, sepanjang perjalanan aku engga bisa duduk dengan tenang. Apalagi hp kamu mati begini,

Ada jeda, karena tiba-tiba saja napasnya sesak. Air mata pun bertetesan membasahi pipinya. Segala emosi yang sempat ditahan oleh Taehyung kini tak terbendung. Taehyung takut kalau dia akan membuat khawatir sang Ibu, maka dari itu Taehyung memilih untuk diam di kereta. Dan kini Taehyung sudah tidak bisa menahannya lagi. Dia menangis, kencang, tersedu-sedu, sambil jongkok di depan pintu apartemen pacarnya.

*Aku, aku takut. Jeongguk, aku takut kamu kenapa-kenapa. Engga biasanya kamu nyebut diri kamu rewel. Engga biasanya kamu minta izin buat telepon aku. Maaf, karena ak-aku e-engga balas chat kamu langsung. J-Jeongguk, a-ayang, kamu di mana?*

Taehyung mengatakannya dengan susah payah. Karena napasnya tersenggal. Kata-katanya terputus, karena Taehyung kesulitan mengontrol napasnya saat menangis dan bicara di saat yang bersamaan.

Saat pikirannya sudah kalut. Saat dirinya hanya dapat menangis, tanpa bisa berpikir ke mana dia harus mencari Jeongguk. Tiba-tiba saja memori akan hari itu kembali terputar di pikirannya.

Persis di tembok ini, gua sering duduk di sini sampai malam. Gua kabur setiap kali orangtua gua berantem hehe.

Taehyung menghapus air matanya dengan kedua tangan. Kemudian bangkit dari posisi yang sebelumnya. Intuisinya berbisik kalau itulah tujuan kaki Taehyung berlari. Kalau di sanalah Jeongguk berada saat ini.

Dia keluar dari gedung apartemen. Berlari seperti orang kesetanan di tengah-tengah udara malam yang beku. Meski napasnya terengah, meski kuku-kuku jarinya membiru, Taehyung tetap berlari sekencang mungkin. Kakinya berhenti begitu dia menginjak trotoar jalan raya. Melambaikan tangannya untuk memberhentikan taksi yang berlalu lalang. Kemudian, masuk dengan terburu-buru dan langsung menyebutkan ke mana tempat tujuannya.

“Hanyangdoseong, Pak.”

Taehyung sudah tidak peduli lagi kalau seluruh wajahnya merah. Akibat serangan udara dingin dan acara menangisnya. Tidak peduli kalau rambutnya berantakan. Meski si pak supir beberapa kali melirik dan memeriksa keadaannya melalui kaca spion tengah. Sudah tidak ada waktu untuk memikirkan hal lain. Karena kini Taehyung sedang sibuk berdoa, kalau Jeongguk benar-benar ada di sana.

Awas saja nanti. Taehyung ingin memukul kepala Jeongguk, meninju tangannya dan menjewer telinga Jeongguk. Karena pria itu sudah benar-benar membuatnya khawatir seperti ini. Taehyung tidak akan memberi ampun!

Dan sebenarnya itu hanyalah pengalihan pikirannya saja. Taehyung terlalu takut untuk memikirkan kemungkinan yang terjadi, kalau saja dia pada akhirnya tidak menemukan kehadiran Jeongguk di sana. Membuat skenario yang konyol terasa lebih baik. Setidaknya, pundak dan dada Taehyung tidak bertambah berat.

Taksi yang ditumpangi berhenti di bagian ujung Hanyangdoseong—Seoul city wall. Setelah membayar dan mengucap terima kasih kepada pak supir, Taehyung langsung buru-buru berlari. Syukurlah, hari ini salju tidak turun sama sekali. Taehyung tidak perlu khawatir dirinya akan terpeleset, karena harus lari sekencang angin, lalu menaiki anak tangga satu demi satu.

Napasnya terngengah. Keringatnya bercucuran tanpa kenal udara dingin. Taehyung bahkan lupa kapan terakhir kali dia bekerja begitu keras untuk berolahraga. Dan malam ini usahanya dalam mencari Jeongguk sudah menghabiskan banyak tenaga dibandingkan olahraga apa pun yang dilakukan selama beberapa tahun terakhir.

Taehyung tahu kapasitas tubuhnya. Dia tidak sebugar itu, staminanya juga tidak bagus-bagus amat. Taehyung benci olahraga lari, Taehyung lebih suka tinggal dan diam di rumah. Namun, malam ini dia melakukan segala hal yang tidak disukai. Melampaui kapasitas stamina tubuhnya yang sempat dia ragukan. Semua itu karena Jeon Jeongguk.

Pria yang sedang duduk di atas tembok tinggi. Dengan earphone yang terpasang di kedua telinga dan buku gambar di pangkuannya.

fyuh. Taehyung bisa bernapas lega, akhirnya.

Kemudian tangisnya kembali pecah saat itu juga. Kakinya lemas, kekuatan super yang dia miliki sebelumnya sudah lenyap. Taehyung kembali menjadi dirinya yang tidak menyukai olahraga apa pun. Lututnya sudah lemas sejak awal, namun dia paksa berlari. Dan kini kedua kakinya sudah tidak dapat menopang bobot tubuhnya.

Taehyung hanya bisa berjongkok. Walaupun jongkoknya juga tidak sempurna, karena kakinya setengah berjinjit. Wajahnya menempel ke pahanya. Bersembunyi, sambil berteriak kencang-kencang di dalam tangisnya yang pecah.

“Jeon Jeongguk bodooooh. Jeongguk nakaaaal. Jeongguk bodoooh!” teriak Taehyung, sambil menangis seseunggukan.

Wajahnya sudah dibasahi oleh banjiran air mata. Hidungnya, matanya, telinganya, semuanya merah. Namun itu semua tidak membuatnya berhenti untuk terus meneriakan nama itu. Pria yang ada di depannya yang masih belum menyadari keberadaan Taehyung.

“Jeon Jeongguk sialaaan. Aku khawtair tahu engga? Jeongguk! Sumpah…” teriak Taehyung, entah apa kalimat selanjutnya yang akan dia ucapkan. Dan teriakannya yang dahsyat itu dapat menyadarkan Jeongguk dari lamunan panjangnya. Pria itu menoleh. Matanya mengerjap beberapa kali, lalu terbelalak begitu menyadari siapa yang dilihatnya.

Sosok Taehyung yang sedang menatapnya dengan wajah acak-acakan akibat menangis. Bibirnya melengkung ke bawah, khas sekali setiap Taehyung merasa benar-benar sebal atau sedih.

Buku gambar yang dia pangku langsung dilempar ke sembarang arah. Jeongguk tidak perlu pikir panjang lagi, karena detik itu juga dia langsung melompat dari tempat duduknya. Kemudian, dia berlari kecil untuk menghampiri Taehyung yang masih berjongkok di tanah.

“L-love? Kamu kok di sini?” tanya Jeongguk.

“Ya lo pikir aja Jeongguk, menurut lo kenapa gue di sini. Hah?” amuk Taehyung. Namun amukannya malah disambut dengan senyuman hangat Jeongguk. “You found me, Love.” Kata Jeongguk.

“Kamu sempet senyum begitu? Jeongguk, aku udah lari kayak orang kesetanan. Ini tenggorokan aku panas banget rasanya. Aku ga bisa mikir apa-apa sepanjang perjalanan, sampai aku nanya ke Jimin dan Jaehyun. Jeongguk, jangan gini. Aku khawatir, tahu!”

Jeongguk mengangguk, masih dengan senyuman yang sama. Kemudian, dia tarik tubuh Taehyung ke dalam pelukannya. “I miss you, and I—I need you,”

Jeongguk berkata dengan pelan dan begitu lembut. Namun, entah mengapa Taehyung merasakan dadanya begitu sakit. Nada lembut itu membalut luka yang begitu dalam. Luka yang bersembunyi di dalam diri Jeongguk. Dan Taehyung bisa merasakannya.

Dia balas pelukan Jeongguk dengan begitu erat. Tatapan Taehyung melunak. Ada ekspresi sedih di sana, bercampur dengan rasa bersalah yang begitu dalam. “Maaf, maaf karena aku engga ada di saat kamu butuhin aku tadi. Maaf, aku—” namun Jeongguk buru-buru menaruh jari telunjuknya di bibir Taehyung. Kemudian, kedua telapak tangannya menangkup pipi Taehyung. “SShh. You’re here now, that’s what matters.”

Mungkin dua menit, atau lima menit, mungkin juga sepuluh menit. Entah ada berapa kali putaran waktu yang mereka habiskan dalam posisi itu. Melepas rasa rindu, rasa sedih, rasa takut, dan membiarkan semua itu menguap bersama dengan dinginnya malam. Membiarkan detik berikutnya merasa lebih baik dan jauh lebih ringan.

Setidaknya sebelum Jeongguk menyadari kalau tubuh Taehyung terasa begitu dingin. Hingga dia panik sendiri, lalu sibuk mengusap-usap telapak tangan Taehyung. Sambil heboh mengajak Taehyung untuk pergi dari sana.

Berjalan menuruni anak tangga di Hanyangdoseong, menuju mobil Jeongguk yang di parkir di bawah. Kedua tangan mereka saling bertautan. Saling mencari kehangatan dan mengisi kehampaan yang sempat dirasa. Tubuh Taehyung ditarik merapat, hingga tidak ada celah di antara lengan jaket mereka.

Taehyung menahan bibirnya sekuat tenaga untuk tidak berceloteh. Padahal dalam hati dia ingin sekali menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada Jeongguk. Beberapa menit dia bungkam, hingga akhirnya mulut itu tidak bisa dia kunci lebih lama.

Sesaat Jeongguk duduk di kursi kemudia. Memasankan sabuk pengaman yang melingkari tubuhnya, saat itu juga Taehyung langsung mengajukan pertanyaan. “Kamu kenapa?”

Jeongguk mengangkat kedua alisnya. Kemudian, tidak lama dia tersenyum—lagi. Senyuman Jeongguk selalu penuh arti dan rumit, mengandung banyak makna yang bagi orang lain akan sulit untuk menafsirkannya.

“Kamu kenapa? Ngapain ada di sana sampai malem begini?” Taehyung mengulang pertanyaannya.

Tangan Jeongguk hendak menggapai tuas gigi mobil. Namun, Taehyung buru-buru menahannya. Dia tidak mau pertanyaannya menggantung begitu saja di udara. Taehyung butuh jawaban pasti, bukan senyuman jebakan dari Jeongguk.

Jeongguk menarik napasnya dalam-dalam. Dia tatap wajah Taehyung dengan penuh tanda tanya di sorotan matanya. “Aku merenung.”

Taehyung masih dengan tatapannya yang sama. Dia kurang puas dengan jawaban yang diberikan Jeongguk. Tidak peduli kalau saat ini dia terkesan begitu memaksa. Taehyung hanya ingin kalau tidak ada hal yang ditutup-tutupi di hubungan mereka.

Meski sebenarnya Taehyung memiliki dugaan yang mengarah pada hal yang begitu sensitif untuk Jeongguk. Yaitu, keluarganya.

“Tadi papaku ngasih kabar tentang mama,” Jeongguk mencoba menjawabnya dengan pelan. Kata-katanya kini bahkan tertahan di kerongkongan. Namun, dia merasakan genggaman tangan Taehyung mengerat. Rasanya, seperti ada sebuah magis yang mengantarkan kekuatan untuk dirinya. Hingga Jeongguk sanggup melanjutkan kalimatnya lagi. “Mamaku mau nikah. Minggu depan.”

Hati Taehyung mencelos. Tiba-tiba saja ada sebuah kehampaan di sana. Kosong, tidak nyaman, dan berat. Dan mungkin itulah yang saat ini sedang Jeongguk rasakan.

Taehyung memang belum tahu banyak hal perihal Jeongguk dan keluarganya. Pria itu tidak banyak mengungkit keadaan hubungannya dengan orangtuanya di masa ini. Selain soal perceraian dan rumah yang tidak pernah tenang untuk Jeongguk. Namun, Taehyung tahu kalau itu adalah hal yang berat untuk Jeongguk. Makanya, Jeongguk tidak begitu sering membahasnya.

Kini wajah Jeongguk berpaling dari Taehyung. Memandang jauh ke arah depan dengan tatapannya yang kosong. Dan itu membuat hati Taehyung berkali-kali lipat terasa sakit.

Akhirnya, Taehyung membuka sabuk pengamannya. Melepaskan benda itu dari tubuhnya, agar dia bisa bergerak dengan leluasa. Dia dorong tubuhnya untuk mendekat ke arah Jeongguk. Lalu, dia memeluk tubuh pacarnya begitu saja. Karena Taehyung tidak tahu kata mana yang tepat dijadikan pelipur lara untuk Jeongguk. Yang bisa diberikan hanyalah ini. Pelukannya yang hangat, perasaannya yang tulus. Membiarkan Jeongguk merasakan bagaimana degupan jantung Taehyung pada dada mereka yang saling menempel.

“Ayang, aku engga tahu harus ngomong apa. Tapi aku tahu kalau pasti rasanya berat. Pasti rasanya sedih banget. Boleh kok sedih, sedih aja sampai kamu puas. Sedih aja sampai bosen. Aku bakal tetep di samping kamu. Nangis aja, gapapa. Nanti biar aku yang hapus air mata kamu. Nanti biar aku peluk, aku cium, aku lakuin apa pun buat ngusir rasa sedihnya.” ucap Taehyung. Masih enggan melepas pelukannya pada tubuh Jeongguk.

Dan begitupun dengan Jeongguk. Dengan kedua tangannya yang melingkari tubuh Taehyung. Tersenyum, dengan kelopak matanya penuh dengan genangan air mata. Yang perlahan rasa pilu dihatinya terhapus dengan kehadiran Taehyung di sana. Hingga senyumannya melengkung dengan sempurna, dan air matanya menetes di saat yang bersamaan. “I know, i know you will, Love.”

Taehyung mengangguk. Wajahnya kini beralih ke leher Jeongguk. Terbenam di sana dalam sesaat.

“Makasih, ya?” Ucap Jeongguk. Pelukannya dia renggangkan. Supaya dapat dengan leluasa melihat wajah Taehyung dengan jelas. Dikecuplah bibir milik pacarnya dengan lembut dan singkat. Cukup untuk membuat Taehyung tersenyum. “Kalau malam ini aku nginep di tempat kamu aja gimana?”

Pertanyaan Taehyung yang spontan disambut dengan anggukan dari kepala Jeongguk. “Iya, boleh banget. Aku butuh meluk kamu malam ini, biar bisa tidur dengan nyenyak.”

. . .

. . .

A million feelings. A thousand thoughts. A hundred memories. One person.

Masih dengan posisi yang sama seperti beberapa jam yang lalu. Taehyung dan Jeongguk duduk di atas karpet bulu di ruang tengah apartemen Jeongguk. Dengan posisi Taehyung yang duduk di depan Jeongguk, bersandar pada dada bidang pacarnya. Tangan kanannya memegang semangkok berondong jagung, dia pangku di pahanya. Lalu, tangan kirinya dia biarkan bertautan dengan salah satu tangan Jeongguk.

Acara menontonnya nampak lancar. Taehyung hanya akan bertanya akan beberapa hal kepada Jeongguk, karena rasa penasarannya yang begitu tinggi. Selebihnya, anak itu akan dengan anteng menonton adegan yang terputar di layar laptop. Namun, keadaanya tidak bertahan lama. Begitu satu adegan yang sangat memilukan itu muncul.

Layar laptop di hadapannya langsung ditutup. Begitu adegan Nairobi dalam serial Money Heist mati tertembak. Air mata Taehyung sudah bercucuran di pipi. Kepalanya menoleh ke belakang ke samping, di mana Jeongguk mengistirahatkan dagunya di pundaknya. Ekspresinya begitu sedih. Menatap Jeongguk sambil kedua sisi bibirnya melengkung ke bawah, seakan meminta pertanggung jawaban ke pacarnya akibat dari rasa kecewanya itu.

“Kok Nairobinya meninggaaal? Ayang kok engga ngasih tahu aku? Katanya sudah nonton sampai season terbaru kelar!”

Mood Taehyung seketika jatuh tersungkur ke bagian terdalam bumi. Dirinya tidak ada niatan sama sekali untuk melanjutkan tontonannya. Rasanya kecewa sekali, karena salah satu karakter yang dia kagumi harus meninggal. Padahal Taehyung sudah memikirkan banyak kemungkinan bahagia untuk karakter tersebut. Dan sayangnya itu tidak akan terjadi.

Jeongguk mengangkat kepalanya, dagunya tidak lagi dia tumpu pada pundak Taehyung. Tangan yang sedari tadi beristirahat di pinggang Taehyung pun bergerak, menjadi memeluk tubuh pria itu.

Semakin dia menghabiskan banyak waktu dengan Taehyung, semakin dia mengenalnya, Jeongguk menjadi banyak belajar tentang diri Taehyung yang sesungguhnya. Pria itu sensitif, ekspresif, manja dan jujur. Taehyung bisa menangis ketika menonton atau membaca sesuatu. Taehyung sering suka sekali memperhatikan detail dari suatu hal, bahkan sampai ke hal yang dilakukan oleh Jeongguk. Dan masih ada begitu banyak hal menyenangkan lainnya tentang Taehyung yang mungkin akan dia temukan nantinya.

Jeongguk pindahkan mangkok berondong jagung ke atas meja. Lalu, tubuhnya dia condongkan ke depan. Jeongguk tertawa melihat bagaimana ekspresi sedih—namun lucu—terpampang di wajah pacarnya. Buru-buru Jeongguk menghapus air mata yang membuat pipi Taehyung basah. Kemudian, dia mencoba memberi tanggapan dari pertanyaan Taehyung yang penuh rasa kecewa barusan.

“Iya, aku tahu kamu suka banget sama karakter itu. Jadinya, aku sengaja engga ceritain bagian Nairobi meninggal. Nanti kamu keburu down dan engga mood duluan,” Jawab Jeongguk. Namun, jawaban dari Jeongguk tidak seketika membuat tangisan Taehyung berhenti. Tiba-tiba saja sebuah ide terpikirkan olehnya. Ide yang mungkin akan bisa mengalihkan perasaan kecewa dan sedih tersebut. “Kalau aku ceritain dan kasih unjuk hal yang mungkin buat kamu senang, dan bisa balikin mood kamu, gimana?”

Alis Taehyung terangkat. “Apa?”

Jeongguk tersenyum penuh arti. Membuat Taehyung bertanya-tanya dan penasaran, sebenarnya apa yang ingin diceritakan oleh Jeongguk.

“Tunggu sebentar, ya? Aku ambil sesuatu dulu.” Kata Jeongguk, meminta izin untuk beranjak dari posisi mereka duduk. Pria itu berlari kecil, masuk ke dalam kamarnya. Taehyung bisa mendengar suara berisik yang ditimbulkan Jeongguk. Terdengar seperti beberapa barang yang saling berbenturan.

Jeongguk kembali dengan membawa sebuah kotak berwarna abu-abu. Kemudian dia duduk. Kali ini dia di samping Taehyung, bukan lagi di belakangnya.

“Tahu engga kira-kira ini isinya apa?” tanya Jeongguk. Sebuah senyuman usil menghias wajahnya. Taehyung kemudian menggeleng. Tentu saja Taehyung tidak akan tahu, kan Jeongguk belum memberi tahu. “Apa emangnya?” tanya Taehyung.

Jeongguk tidak langsung menjawab. Dia hanya tersenyum, kemudian menunduk dan sibuk membuka kotak yang dia letakkan di hadapannya. Satu persatu barang yang ada di dalam kotak itu dia keluarkan. Ada sebuah sketchbook berukuran kecil. Taehyung ingat kalau Jeongguk dulu sering membawanya ke sekolah. Kemudian, ada juga buku yang mirip seperti bingkai foto, atau memang itu benar-benar bingkai foto. Dan ada juga beberapa helai pita berwarna merah.

Seketika Taehyung merasa De javu dengan pita-pita itu. Pipinya menghangat, kemudian buru-buru dia tutup dengan kedua tangannya. Setelah itu Taehyung berkata dengan nada yang cukup tinggi, “Aku kenal pitanyaaaa.”

Jeongguk tertawa puas sekali. Karena ternyata Taehyung juga mengingat hal tersebut. Setelah selesai mengeluarkan semua benda yang ada di dalam kotak, Jeongguk menarik tangan Taehyung yang sedari tadi menutupi wajahnya.

“Hahaha, jangan ditutupin gitu. Nanti aku engga bisa ceritain nih. Soalnya kamu harus ngeliat langsung ini apa,”

Wajah Taehyung tidak lagi bersembunyi di balik kedua tangannya. Ekspresi lucu dan malunya masih terpasang, namun matanya tetap bisa memperhatikan Jeongguk.

“Iya, benar. Ini pita yang selalu diikat ke coki-coki pemberian seseorang. Dan yang ini,” tangan Jeongguk mengangkat sebuah buku yang berbentuk album foto. Dia mulai membuka album tersebut. Membuat mata Taehyung terbelalak begitu melihat apa yang ada di dalamnya. “Ini surat-surat yang nemenin coki-coki di dalam lokerku. Semuanya aku simpan di dalam bingkai ini, karena takut hilang atau rusak.”

Itu adalah surat-surat yang Taehyung berikan kepada Jeongguk dulu. Semuanya masih sama. Jeongguk benar-benar menjaga surat itu agar kertasnya tidak rusak.

Taehyung menunduk. Air matanya kembali turun tak tertahankan. Semuanya terjun bebas, menghujani wajah tampannya. Sial, bahkan Taehyung sudah tidak terpikirkan lagi seberapa buruk keadaannya. Wajahnya yang lecak dan merah akibat dari acara tangis sejak tadi.

“Aku pikir kamu engga bakal nyimpen itu semua. Bahkan, aku malah mikirnya itu surat kamu buang habis kamu baca.” Ucap Taehyung, di sela-sela tangisnya.

Jeongguk menarik tubuh Taehyung ke dalam dekapannya. Mengelus punggung Taehyung dengan lembut. “Mana mungkin. Aku malah suka bacain ulang surat-surat dari kamu dulu. Jujur, surat itu ngasih banyak kekuatan dan rasa bahagia buat aku. Dulu aku cuma bocah yang belum pintar ngatur emosi, belum paham cara nunjukkin perasaan aku yang sebenarnya,”

Jeongguk membantah apa yang Taehyung pikirkan. Tentu saja dia tidak mungkin membuang harta yang begitu berharga. Di saat Jeongguk remaja tersesat akan artinya cinta dan bahagia, saat dirinya tidak mengenal itu semua dari orang terdekatnya, Kim Taehyung datang memberikan hal itu padanya.

“Kamu juga udah dengar sedikit soal keluargaku ‘kan? Iya, rumahku sering banget ribut. Mama dan papaku, mereka engga pernah bisa laluin sehari aja tanpa perdebatan. Sampai aku bingung, sebenarnya mereka menikah atas dasar apa? Karena, engga mungkin atas dasar cinta. Haha, aku bahkan dulu sempat engga percaya soal cinta, sayang dan sebagainya karena itu.” Jelas Jeongguk. Mengenang kembali rasa sakit yang pernah dulu rasanya. Sekarang ‘pun Jeongguk masih merasakan sakit yang sama. Rasa sakit dari kepingan puzzle hidupnya yang hilang, bahkan tidak pernah ada sejak dulu. Namun, setidaknya kini rasa sakit itu seimbang dengan rasa bahagia yang diberikan oleh kehadiran Taehyung di hidupnya.

Taehyung membatu di tempat untuk sesaat. Dadanya nyeri, seakan kalimat yang dikatakan oleh Jeongguk barusan adalah sebuah pisau. Kalimat itu begitu menyayat dadanya. Hatinya sakit. Dia geser tubuhnya, mendekat ke arah Jeongguk. Kemudian, satu tangannya menggapai tangan milik pacarnya. Dia genggam tangan itu dengan erat. Seakan berkata tanpa suara, kalau Jeongguk tidak akan lagi merasakan sakit yang sama, kalau Taehyung akan menawarkan berjuta rasa bahagia untuk dirinya.

Jeongguk tersenyum kecil. Tangannya balik menggenggam tangan Taehyung dengan erat. Kemudian dia kembali melanjutkan ceritanya. “Surat-surat kamu yang penuh perhatian itu buat aku ngerasa dicintain. Buat aku ngerasa kalau di luar sana ada orang yang peduli sama aku. Sedikitnya, buat aku buang jauh-jauh pemikiran soal cinta seburuk apa yang dialamin orangtuaku.”

“Ada. Ada orang yang sayang dan peduliin kamu sebesar iniii,” kata Taehyung, dia rentangkan satu tangannya ke samping. Dengan maksud bahwa kata ‘ini’ bermakna begitu besar.

Tingkah Taehyung itu berhasil membuat Jeongguk tertawa. Benar-benar menghapus luka yang tadi sempat hampir menguasai dirinya kembali.

“Sini, mau baca bareng aku?” tanya Jeongguk. Kemudian, badan Taehyung ditarik untuk mendekat. Merapat tanpa ada jarak. Dia buka satu persatu halaman dari album tersebut. Mereka membacanya bersama-sama, sambil memutar kembali memori yang tertulis di surat tersebut.

“Ah, aku inget ini. Waktu aku muji kamu setelah pengambilan nilai bahasa inggris. Kamu emang paling keren sih di kelas, sejujurnya. Kalau kamu perhatiin, itu mataku engga kedip sama sekali ngelihatin kamu. Terus yaaa, aksen kamu tuh keren bangeeet. Aku bahkan sempet malu karena harus maju setelah kamu.” Kata Taehyung, sambil jarinya menunjuk satu halaman surat tentang hari yang dia sebutkan.

Mereka menghabiskan banyak menit untuk membaca kembali surat-surat manis yang dulu Taehyung berikan. Menukar tawa, dan mengenang hari-hari indah itu bersama-sama.

Taehyung tidak dapat menjelaskan bagaimana spesifiknya perasaan dia saat ini. Senang? Sangat. Bahagia? Luar biasa. Terharu? Tentu saja!

Jeongguk menyimpan itu semua dengan indah. Membuat Taehyung merasa kalau dirinya benar-benar begitu dihargai, walau itu hanya melalui surat-surat yang pernah dia tulis dan berikan kepada Jeongguk dulu.

Selesai dengan album berisikan surat. Kini Jeongguk menyodorkan sebuah sketchbook yang sampulnya sudah cukup usang. Alis Taehyung kembali terangkat, seakan bertanya apa yang harus dia lakukan. Lalu, Jeongguk langsung mengisyaratkan Taehyung untuk membukanya.

Taehyung mulai membukanya dengan penuh antisipasi. Karena sudah pasti dirinya akan terkejut dengan apa yang akan dia lihat. Dan benar saja dugaannya. Ada sosok yang begitu familier di sana, dibentuk dari goresan-goresan pensil kesayangan Jeongguk.

Sosok Taehyung yang sedang duduk di atas kursi penonton di lapangan bola sekolah. Tempat yang paling Taehyung sukai untuk menghabiskan sarapannya. Dia ‘pun melanjutkan ke lembaran berikutnya. Lagi-lagi sosok dirinya yang muncul. Taehyung ingat saat itu dia ditugaskan menjadi model pada kelas seni lukis. Harusnya setiap anak hanya melukis di kanvas yang disediakan sekolah. Namun, Jeongguk menyempatkan dirinya membuat sketsa Taehyung di buku gambarnya sendiri. Dan sisanya ‘pun sama, berisikan gambar Taehyung yang sedang melakukan berbagai hal. Ini adalah kali pertama Taehyung melihat gambar Jeongguk secara langsung. Namun, rasanya begitu aneh, karena Taehyung juga merasa begitu familier dengan hal ini.

Ada beberapa lembar halaman yang hilang. Terlihat seperti sengaja dirobek. Entah isinya juga adalah gambar Taehyung atau hal lain.

Taehyung akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, “Ada beberapa halaman yang dirobek?”

Jeongguk mengangguk. Membenarkan pertanyaan Taehyung. Ya, karena memang ada beberapa halaman yang dulu dirobek olehnya. Isinya sama, tetap sosok Taehyung yang menjadi model utama di dalam gambar tersebut.

“Oh, iya. Itu beberapa gambar yang aku selipin ke loker kamu dulu. Aku pikir kamu tahu?” jawab Jeongguk dengan nada santai.

Sebentar. Apa kata Jeongguk barusan? Gambar? Diselipkan ke lokernya? Kapan?

“Hah? Diselipin ke lokerku? Kapan?” tanya Taehyung keheranan.

“Semester akhir, sebelum dua bulan sebelum ujian. Aku mulai ngirimin gambar-gambar ke loker kamu. Tapi, engga lama satu sekolah heboh kamu deket sama Jaebeom.” Jawab Jeongguk.

Mata Taehyung membulat. Mulutnya sedikit terbuka. Sepertinya dia tidak percaya dengan informasi yang baru saja dia dapat. Jadi… jadi, selama ini dia salah paham?

“Loh, itu dari kamu? Aku pikir dari Jaebeom. Soalnya, waktu itu ada inisial J di bawah kan. Pas banget Jaebeom nyamperin lokerku, tiba-tiba aja dia ngajak ngobrol dan ngajak aku jalan.”

Kini gantian kedua alis Jeongguk yang terangkat. Jadi, Taehyung selama ini juga salah paham? Jadi, jadi, jadi, mereka berdua itu sebenarnya sama-sama bodoh.

“Aku pikir kamu tahu itu dariku, terus kamu sengaja diemin dan nolak karena kamu udah deket sama Jaebeom.” Kata Jeongguk.

“Ya ampuuuun. Enggaaaa, ujungnya juga aku engga nyaman sama dia. Ya udah deh ga aku lanjutin. Dia masih sering nyamperin aku, tapi engga aku tanggepin juga,” Taehyung menggeleng heboh. Menyadari kalau semesta benar-benar mempermainkannya dan Jeongguk di masa lalu. “Tapi, bukannya kamu cerita ke Jaehyun kalau kamu suka seseorang? Karena itu aku mundur lagi tahu gaaaa? Mana katanya cantik banget.”

“Ya, itu kamu. Aku engga nyebut namanya aja.”

Bodoh. Mereka memang pantas disebut sebagai dua pasang manusia bodoh.

“Ya Tuhan. Ini seriusan engga sih? Kok ternyata kita berdua bodoh banget?” tanya Taehyung, tidak habis pikir juga dengan dirinya dan Jeongguk.

“Oh iya, soal prom night. Aku sebenarnya ngirimin gambar lagi, ajakan jadi pasanganku di prom. Niatnya, kalau kamu balas ya aku mau ungkapin perasaanku malem itu, sekalian izin dan jelasin kalau aku bakal kuliah di Jepang. Tapi, kamu engga bales. Ya, ya udah, aku engga jadi dateng. Takut sakit hati juga ngelihat kamu sama Jaebeom.”

“Ayang… tahu engga? Aku pikir itu dari Jaebeom doooong. Aku engga jawab, karena engga mau ngasih harapan ke dia. Jelas-jelas aku ke prom cuma niat dateng buat satu orang.” Jawab Taehyung, meringis.

Jaebeom, Jaebeom, kenapa juga kamu harus hadir sih di antara mereka! Tapi yang lebih patut disalahkan ya si pasangan bodoh itu. Mereka benar-benar bodoooh.

Jeongguk tertawa, sekaligus meringis. “Ternyata kita beneran sebodoh itu, hahaha.

Taehyung menggeleng heboh, lagi. Benar-benar ini semua di luar dugaannya. Ternyata, Taehyung membuang air matanya dengan sia-sia, untuk skenario cinta sepihak yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Selama ini cinta Taehyung tidak bertepuk sebelah tangan ternyata.

“Tapi, emangnya kamu mulai suka aku dari kapan? Sejak aku ngirimin coki-coki ke kamu?” tanya Taehyung.

Kepala Jeongguk menggeleng. “Dari kelar sepuluh.”

“HAH?”

“Kalau suka yang kayak kagum gitu dari kelas sepuluh. Kamu lucu, suka ngobrol dan ngajak bercanda ke aku dan Yugyeom. Karena kamu dan Mark kan duduk di depanku dan Yugyeom,” Jelas Jeongguk. “Tapi, kalau perasaan yang lebih dari itu ya sejak kelas dua belas.”

Taehyung mengangguk-angguk. Mencoba paham dengan informasi yang begitu banyak dia ketahui malam ini. Entah dirinya harus senang atau kesal dengan kebodohannya di masa lalu.

Jeongguk memanfaatkan keadaan itu untuk memperhatikan wajah Taehyung. Mengagumi keindahan pacarnya di setiap detik yang bergulit, di setiap waktu yang mereka habiskan bersama.

Tingkat kelucuan Taehyung itu meningkat di saat-saat seperti ini. Membuat Jeongguk tidak tahan untuk diam saja. Maka ditariklah pacarnya itu, Kim Taehyung, ke dalam pelukannya. Dia tertawa, sambil tangannya mengusap-usap punggung Taehyung.

Kemudian, dirinya melonggarkan pelukan. Agar dapat melihat kembali wajah Taehyung dengan leluasa. Memberi sedikit jarak, agar tangannya bisa mengelus wajah indah milik Taehyung.

Bagi Jeongguk, apa yang sudah terjadi di masa lalu tidaklah terlalu penting lagi. Karena yang paling penting itu sekarang Taehyung ada di sisinya. Taenyung menjadi miliknya. Taehyung menyayanginya, dan dia tahu itu.

Love you.” ucap Jeongguk, sebelum tubuhnya kembali merapat ke arah Taehyung. Sebelum wajahnya mendekat ke wajah indah Taehyung. Sebelum mata Taehyung terpejam, menanti hal yang selanjutnya akan dilakukan Jeongguk.

Saat bibir mereka kembali lagi bersatu. Saat kedua bibir itu kembali melumat lembut satu sama lain. Saat sengatan menyenangkan terasa di sekujur tubuh mereka. Menuntun keduanya untuk kecupan, lumatan dan isapan yang lebih dalam lagi.

Penuh dengan kasih, penuh dengan cinta, dan rasa bahagia.

. . .

. . .

I love the warmth of your body, as you pull me into a hug.

Taehyung tidak mungkin mengingat kejadian satu jam yang lalu. Saat pipinya merah padam semerah buah tomat yang baru saja dipanen, lalu meneguk habis satu botol soju rasa stroberi. Tangannya bereaksi begitu cepat, ketika hatinya kepalang malu mendengar semua rahasianya dibongkar oleh Wendy.

Rasanya malu sekali mengingat seberapa budak cintanya Taehyung akan Jeongguk. Seberapa sulitnya Taehyung melupakan pria yang disukai semasa SMA itu, meski kini pria itu pada akhirnya menjadi pacarnya. Tentang Taehyung yang banyak menghabiskan waktu untuk mendengar lagu sendu. Kebanyakan lagu-lagu itu bertema cinta bertepuk sebelah tangan, atau cinta yang terhalang oleh jarak.

Jeongguk tertawa. Tawanya terasa begitu renyah di telinga Taehyung. Bahkan sempat membuat Taehyung terlena dan lupa akan rasa malu. Namun, itu semua tidak berlangsung lama. Semuanya berakhir saat Wendy dengan terang-terangan berkata, “Lo sudah tahu soal malam perpisahan? Taehyung sengaja siapin lagu buat lo. Sampai dia nangis di panggung sambil ngeliatin ke arah pintu masuk. Tapi, ternyata lo engga dateng.”

Tepat setelah itu Taehyung langsung menyambar sebotol soju rasa stroberi yang ada di atas meja. Menghabiskannya dalam sekali tegukan. Membuat ketiga orang lainnya yang berada di sana tercengung. Tiga detik setelahnya Jeongguk baru bisa bereaksi. Mencoba menghentikan Taehyung, namun ternyata anak itu sudah keburu menghabiskan satu botol soju dalam sekali teguk.

Rasa getir dan sakit pada lidah dan hidung Taehyung menyusul setelahnya. Membuat dia menyesali perbuatan bodohnya barusan. Punggungnya dia sandarkan ke sofa, matanya dipejamkan sambil tangannya memijit pelipis. Sial, kepalanya mulai terasa sakit. Lalu, dengan bodohnya Taehyung malah kembali meneguk setengah botol soju. Tenggorokannya terasa panas, rasa getir dan aneh di tenggorokan dan hidungnya semakin menjadi. Bau alkoholnya menyengat sekali. Semakin membuat kepala Taehyung sakit bukan main.

Kira-kita, itu adalah hal terakhir yang dia ingat. Karena Taehyung tidak sadarkan diri setelahnya. Entah karena sakit kepalanya atau ternyata anak itu ketiduran. Itu adalah alarm bagi Jeongguk untuk membawa Taehyung pulang.

Taehyung tidak akan ingat mulutnya menyerocos berbicara hal melantur di dalam mobil. Memanggil Jeongguk dengan sebutan ‘ayang’ sebanyak dua puluh kali dengan mata terpejam. Juga, mengambuk, lalu kembali tidak sadarkan diri di pelukan Jeongguk saat diminta untuk membuka pintu apartemennya.

Ya, singkatnya begitu awal mula Kim Taehyung bisa berada di kamar Jeon Jeongguk. Dengan baju atasan yang sudah diganti dengan baju tidur Jeongguk. Tenggelam di balik selimut hangat pacarnya dan bangun dalam keadaan bingung pukul dua pagi.

Kepalanya berat, sakit dan rasanya ingin pecah. Sama seperti beberapa waktu yang lalu, tepat sebelum dirinya tidak sadarkan diri. Namun, dia tetap memaksa kakinya untuk berjalan. Taehyung keluar dari kamar itu dengan hati-hati. Satu tangannya memijit kepala, satunya dia buat untuk meraba dinding karena ruangan begitu gelap.

Ada sedikit rasa khawatir. Karena yang dia ingat adalah terakhir kali dirinya berada di ruang tengah apartemen Seungyoun. Dan kini dirinya entar berada di mana. Pikirannya yang biasanya begitu aktif kini sulit untuk diajak berunding. Kalau saja Taehyung bangun dalam keadaan kepala yang lebih baik, mungkin anak itu sudah heboh berteriak. Skenario di dalam kepalanya terus terputar adegan-adegan dari film aksi-kriminal yang pernah dia tonton. Aduh, takut sekali kalau ternyata benar-benar terjadi.

Hingga akhirnya Taehyung dapat bernapas lega. Saat dia melihat sosok yang tertidur lelap di sofa berwarna hitam. Dan saat itu Taehyung sadar kalau dirinya sedang berada di apartemen milik Jeongguk.

Pacarnya sedang meringkuk di dalam selimut. Tidur dengan lelap di atas sofa panjang berwarna hitam. Ada sedikit pantulan cahaya bulan yang menyelip masuk dari celah gorden. Menghiasi wajah tenang Jeongguk dengan matanya yang terpejam rapat.

Taehyung perlahan mendekatkan langkahnya. Kemudian, Taehyung duduk di sisi kosong dekat kaki Jeongguk. Diam sebentar di sana untuk memandangi wajah tampan pacarnya yang sedang tertidur pulas.

Setelah itu Taehyung menyelip masuk ke dalam selimut Jeongguk. Berbaring dengan sisa tempat yang begitu kecil untuk tubuhnya. Memaksa keduanya untuk mengikis seinci jarak yang tersisa. Jeongguk bahkan sampai terbangun dari tidurnya.

Matanya terbuka dan mendapati kehadiran Taehyung di sana. Dia tidak kaget sama sekali, tidak juga terganggu dengan posisi mereka yang tidak begitu nyaman. Yang Jeongguk lakukan hanyalah menarik tubuh Taehyung ke dalam dekapannya, mengunci tubuh Taehyung dalam sebuah pelukan hangat yang nyaman. Hingga kedua tubuh itu tidak mengenal apa itu jarak.

Matanya kembali terpejam, meski dirinya kini malah terjaga. Dia kecupi kepala Taehyung bagian belakang. Lalu berbisik, “Kenapa kebangun?”

Taehyung hanya menggeleng. Matanya juga sudah kembali terpejam, sedari tubuhnya ditarik masuk ke dalam pelukan Jeongguk. Kalau boleh jujur, saat itu Taehyung belum benar-benar sadar dari rasa mabuknya. Dia masih merasakan kepalanya begitu berat. Namun, dia sepenuhnya sadar saat memutuskan untuk bergabung dengan Jeongguk, menyelip ke dalam selimut pacarnya dan berakhir berada di dekapannya.

Tubuhnya dia balik, membuat mereka saling berhadapan. Jeongguk kembali mengeratkan pelukannya dan Taehyung ikut melingkarkan tangannya di tubuh Jeongguk. Kedua pasang mata itu terbuka, sayu-sayu saling bertatap di dalam gelapnya cahaya.

“Boleh minta goodnight kiss?” tanya Taehyung dengan pelan.

Jeongguk tersenyum samar. Rasa kantuk dan sakit akibat dari waktu tidur yang belum terlalu lama itu seakan tidak dia rasakan sama sekali. “Iya, boleh, Love.”

Wajah Jeongguk perlahan maju. Mendekat ke arah Taehyung yang sudah kembali memejamkan matanya. Semua jarak terkikis, hingga Taehyung bisa merasakan deru napas Jeongguk pada permukaan kulit wajahnya, Hingga dia merasa ada sebuah gesekan pada kedua hidung mereka, disusul dengan suara tawa kecil yang menyelip keluar dari mulutnya.

Dan lagi jantungnya kian memburu. Namun, entah mengapa Taehyung justru ingin mendorong wajahnya maju. Ingin segera menyatukan kedua bibir itu. Ingin segera merasakan mangat dan lembutnya ketika bibir mereka saling bersentuhan. Ingin merasakan rasa senang yang menggelitik dada dan perutnya.

Hingga akhirnya bibir mereka benar-benar bersentuhan. Menyatu, meski hanya diam selama dua detik. Sebuah lumatan kecil Jeongguk lakukan pada bibir atas Taehyung, kemudian berganti pada bibir bawah pria itu. Membuat rasa bahagia membuncah dalam dadanya yang Taehyung yakini akan meluber ke mana-mana. Nalurinya berkata untuk membalas lumatan itu, dan itulah yang dia lakukan. Melumat bibir Jeongguk selembut yang pacarnya lakukan pada bibirnya. Untuk sesaat mereka larut dalam kegiatan itu. Terbuai oleh sensasi menyenangkan dari tiap sentuhan yang ditimbulkan.

Dan tak lama Jeongguk harus menyudahi kegiatan mereka. Menutup ciuman yang intens itu dengan kecupan terakhir yang manis. Sialnya, untuk ukuran orang yang masih setengah mabuk, Taehyung begitu sadar kalau dirinya kecewa. Kecewa karena harus menyudahi ciuman manis itu.

Goodnight, sweet dreams, Love.” Kata Jeongguk menutup malam mereka yang hangat dan manis.

. . .

. . .

I feel this, gravitational pull towards you, like the universe & all the galaxies had a talk and said, “yeah, it’s time.”

Mau tahu ada berapa malam yang terlewat bagi Jeongguk untuk dapat sampai ke hari ini? Butuh... sebentar, ada begitu banyak malam yang terlewat, hingga jarinya tidak dapat lagi menghitung seberapa banyak waktu yang sudah terbuang sia-sia itu. Karena Jeongguk sudah terperangkap di dalam ruang kesalah pahaman selama lebih dari sepuluh tahun.

Seandainya Jeongguk tidak pergi tanpa penjelasan sepuluh tahun yang lalu. Seandainya dia tidak terkecoh dengan kehadiran Jaebeom di antara mereka. Seandainya dia lebih berani mengungkapkan apa yang dirasakan. Mungkin semuanya akan berbeda? Mungkin, Jeongguk sudah menulis ribuan chapter dari kisah mereka berdua, alih-alih berdiri pada lembar pertama dari kisah yang baru siap mereka mulai.

Jeongguk tertawa miris dengan kebodohannya sendiri, ketika langkah kakinya sampai di depan pintu masuk Sugar & Crumbs. Termenung sebentar, sambil menatap sosok yang sedang begitu sibuk di balik etalase kue. Taehyung sedang berbincang dengan anak buahnya yang kepalanya sudah mengangguk kecil lebih dari lima kali, jika Jeongguk tidak salah menghitung. Tidak nampak kehadiran Yoona dan Yoongi di sana. Mungkin mereka benar-benar menerapkan jam kerja yang dibagi, yang mana sebenarnya itu adalah hal bagus. Taehyung jadi memiliki waktu istirahat yang lebih dari sebelumnya.

Senyumannya merekah dengan tangan kanan yang terangkat ke udara. Kemudian, dia melambai-lambai kecil. Tepat ketika Taehyung menangkap kehadiran Jeongguk di depan pintu masuk. Pria itu izin pada Yeonjun, si pekerja baru, lalu berjalan menuju ke arah pintu masuk. Dia buka pintunya sambil memamerkan wajah cemberutnya pada Jeongguk.

“Ngapain di luar? Mau kena hipotermia, huh?” tanya Taehyung diselingi dengan omelan.

Tangannya menarik Jeongguk untuk masuk, menggeret, lalu menyuruhnya duduk di salah satu kursi. Beruntungnya malam ini keadaan toko sudah lengang. Dua pelanggan terakhir baru saja pergi sebelum Jeongguk datang. Jadi, Taehyung mempunyai waktu untuk sedikit mengobrol.

Jeongguk tertawa, lalu satu tangannya menyodorkan kantong berisikan makanan yang entah sejak kapan dia pegang. Taehyung tidak menyadarinya sama sekali.

“Baru aja sampai kok, coki-coki. Pasti belum makan ‘kan?”

Taehyung menggeleng. Matanya berbinar terharu, sambil membuka kantong yang Jeongguk berikan. “Belum. Kok tahu aja kalau gue belum makan?”

Jeongguk hanya tersenyum bangga sambil mengedikkan bahu. Seakan-akan dirinya adalah orang yang paling tahu segalanya tentang Taehyung. Sedangkan Taehyung hanya bisa menyipitkan matanya, lalu tertawa melihat tingkah konyol Jeongguk.

“Ini gua beli empat porsi. Buat kita berdua sama buat anak-anak part time,” kata Jeongguk, sambil tangannya membantu Taehyung mengeluarkan kotak-kotak makanan tersebut. Taehyung kembali menatap Jeongguk dengan tidak percaya, memasang ekspresi pura-pura tersentuh yang dilebih-lebihkan. “Iya, iya, engga perlu makin terpesona gitu.” Kata Jeongguk.

Taehyung beranjak untuk memberi makanan kepada dua pekerjanya. Meninggalkan Jeongguk yang kini sedang menyiapkan makanan dan alat makan untuk mereka berdua. Begitu Taehyung kembali ke kursi mereka, Jeongguk langsung menyodorkan sumpit kayu yang sudah dia pisahkan dengan mulus. Taehyung tersenyum lebar, lalu berkata, “Thanks, hehehe.”

Dia melahap makanannya dengan senang. Tanpa sadar kalau Jeongguk sudah menata semuanya sesuai dengan kebiasaan Taehyung. Kotak makanan di hadapannya, sendok di sebelah kiri, lalu di bagian atas sebelah kanan ada dua minuman yang bersebelahan. Karena Taehyung suka sekali minuman karbonasi, lalu Jeongguk selalu mengingatkan agar Taehyung rajin minum air mineral.

Bibir Jeongguk dihias senyuman simpul. Matanya memperhatikan ekspresi Taehyung yang begitu sibuk dengan makanannya. Bagaimana bibir pria itu selalu mengerucut setiap kali mengunyah. Bagaimana kepalanya mengangguk-angguk ketika merasa makanannya begitu nikmat, lalu tersenyum lucu setelah itu. Ketika sudah puas dengan pemandangan di hadapannya, barulah Jeongguk fokus dengan makanannya sendiri.

. . .

Terkadang Jeongguk memang sulit ditebak. Bahkan sejak dulu hingga sekarang. Jeongguk adalah anak laki-laki yang paling sulit Taehyung pahami, hingga dia dibuat pusing sendiri dengan semua apa yang dilakukannya. Termasuk dengan apa yang mereka lakukan saat ini di dalam mobil Jeongguk.

Mobil Jeongguk terparkir di pinggir jalan, di bawah lengkungan lampu oranye yang meremang. Setelah Jeongguk berhenti untuk membeli bungeoppang dan minuman hangat. Padahal bisa saja mereka langsung pulang ke apartemen, tanpa harus mampir ke mana pun. Dan kini kima belas menit sudah terlewat dengan suara radio mobil yang diatur dalam volume kecil. Jeongguk sibuk mengunyah roti ikan miliknya, Taehyung sibuk menyesap minuman hangatnya.

Setidaknya katakanlah sesuatu, Jeon Jeongguk. Jangan membuat Taehyung merasa canggung dan aneh dengan kesunyian ini. Karena demi Tuhan, suasananya tiba-tiba aneh. Entah karena baru kali ini Taehyung melihat Jeongguk begitu fokus memakan roti ikan, atau karena pencahayaan remang di luar sana yang mendukung.

“Gue kira lo udah kenyang?” tanya Taehyung pada akhirnya.

“Ah? Oh, tiba-tiba aja pengin makan * bungeoppang*. Lo kenapa engga dihabisin?” Jeongguk bertanya balik.

Taehyung menggeleng. “Nanti aja, masih kenyang.”

Setelah itu Jeongguk hanya mengangguk-angguk saja. Membuat Taehyung menghela napas berat. Lalu dia memilih untuk memandang keluar jendela. Menikmati jalanan lengang di malam musim dingin. Di mana hanya ada beberapa mobil yang berlalu-lalang. Mungkin orang-orang sudah berlindung di balik selimut mereka di rumah. Atau mungkin juga ada beberapa yang masih duduk di warung tenda, untuk sekadar menghangatkan badan dengan sebotol soju.

“Taehyung?” panggil Jeongguk. Membuat Taehyung menolehkan kepalanya secepat kilat. Akhir-akhir ini Jeongguk lebih sering memanggilnya dengan sebutan Coki-coki ketimbang nama aslinya. Tentu saja Taehyung agak terkejut.

Kedua alisnya terangkat, seakan itu sudah mewakilkan tanya di hatinya. Entah dirinya sadar atau tidak kalau mobil Jeongguk jauh lebih gelap dibanding jalanan di luar sana.

“Anu—aduh,” Jeongguk berusaha untuk berkata-kata. Mengeluarkan kalimat sederhana yang sebenarnya sudah dia siapkan sejak tadi. Namun dirinya tidak tahu kalau ternyata rasa sesulit itu untuk mengucapkannya secara langsung. “Mm, itu,”

Kerutan pada kening Taehyung terukir semakin dalam. Otaknya seakan ikut membeku dan tidak dapat membantu Jeongguk untuk mengatakan apa yang ingin pria itu katakan. Tentu saja, Taehyung kan juga tidak bisa membaca apa yang ada di pikiran Jeongguk.

“Apa?” tanya Taehyung.

Jeongguk menghela napasnya pelan. Kemudian tangannya melepaskan sabuk pengaman, agar tubuhnya dapat leluasa mengambil sesuatu di kursi bagian belakang. Mata Taehyung mengikuti gerak tubuh Jeongguk. Memperhatikan tangan Jeongguk yang meraih sesuatu yang indah, kemudian menyerahkan benda itu padanya. “Ini, buat lo. Sejujurnya, gua mau banget ngelakuin ini dengan romantis. Tapi gua bingung, karena, you know gua engga familier sama hal ini,”

Taehyung hanya diam. Karena merasa kalau kalimat Jeongguk belum selesai sampai di sana. Ada hal lain yang ingin pria itu katakan.

Sorry, kalau bukan ini yang ada di bayangan lo. Sorry karena engga nanya lebih lanjut preferensi lo. Tadinya, mau nyoba ngajak candle light dinner di restoran yang pernah lo ceritain. Tapi reservasinya susah banget ternyata, dan gua udah engga sanggup nahan lebih lama. Rasanya udah banyak banget waktu yang gua buang sia-sia. Gua udah pernah menyesal jadi pengecut sepuluh tahun yang lalu. Dan, gua engga mau ngulangin kebodohan yang sama lagi,”

Taehyung hanya dapat menahan napasnya. Adegan ini sebelumnya hanya terjadi di dalam mimpinya saja. Taehyung bahkan terlalu takut untuk memikirkannya di siang hari, hingga harapan kecil itu hanya bisa dia kubur dalam-dalam. Hanya bisa dia putar ketika jiwanya sibuk menjelajah di alam mimpi.

Dan hari ini pun datang. Kali ini Taehyung tidak bermimpi. Telinganya dengan jelas mendengar tiap kata yang keluar dari mulut Jeongguk.

“Kim Taehyung, do you want to go out with me? Would you be my one and only?”

Jeongguk akhirnya berhasil menyelesaikan kalimatnya. Menatap Taehyung yang kini sedang terdiam. Sebelum ini hatinya begitu yakin kalau Taehyung tidak akan menolaknya. Kalau kali ini waktunya sudah tepat untuk mereka berdua. Namun, melihat respons Taehyung yang terdiam begini membuatnya ciut. Rasa percaya diri yang sudah dikumpulkan tiba-tiba saja lenyap. Mungkin Jeongguk harus menyiapkan hatinya untuk rasa kecewa setelah ini.

Namun, Jeongguk sepertinya harus mengurungkan itu semua. Karena di hadapannya itu, Taehyung sedang tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya. “I do.”

I do, Jeon Jeongguk.” Ulang Taehyung dengan lebih tegas. Meski pipinya menghangat dan mungkin sudah semerah tomat, Taehyung tetap menjawabnya dengan yakin.

Dalam dadanya sedang berlangsung sebuah pesta. Taehyung bisa merasakan kini jantungnya berpacu. Suara pukulan drum dan klarinet berpadu, di tengah-tengah pesta kembang api yang begitu heboh.

Setelah itu Taehyung tidak sadar lagi dengan apa yang terjadi di dalam dadanya. Karena tubuhnya ditarik oleh Jeongguk begitu saja. Mungkin pria itu bisa merasakan debaran jantung Taehyung yang kelewat kencang. Yang Taehyung ingat hanyalah kalau pikirannya kosong saat itu. Karena Taehyung merasa kalau hari itu adalah hari terbahagia selama 29 tahun hidup.

Jauh dari skenario yang sering dibayangkan: tentang pernyataan cinta super romantis seperti yang ada di drama. Taehyung bahkan merasa ini sudah begitu membuatnya bahagia. Di dalam mobil Jeongguk yang terparkir di bawah lampu jalanan, dengan dua gelas karton cokelat panas dan beberapa keping roti ikan. Menurut Taehyung, ini sudah sangat manis. Jeongguk manis dengan caranya sendiri. Dan itu semua sudah lebih dari cukup. Karena yang Taehyung butuhkan hanyalah cinta dan kasih Jeongguk yang tulus.

. . .

. . .

Taehyung tidak bergerak sedikit pun selama lima menit terakhir. Mulutnya ternganga, melongo seperti orang bodoh. Kemudian menatap melas ke arah Jeongguk. Dia tidak curiga sama sekali ketika Jeongguk memarkirkan mobilnya di dekat restoran BBQ. Mengajak Taehyung berjalan di Ihwa mural village, sambil sesekali berhenti untuk mengambil beberapa foto.

Semalaman dirinya sibuk bermain dengan imajinasinya. Membuat skenario kencan yang indah dan manis. Duduk di kafe cantik dengan pemandangan yang menghampar seluruh kota. Mengobrol tentang 10 tahun yang sudah terlewat di antara mereka, sambil menyesap minuman hangat. Berakhir dengan Jeongguk yang menggenggam tangannya saat mereka berjalan menuju mobil pria itu. Taehyung memikirkan kencan terindah pertamanya itu dengan begitu detail. Dan apa yang dilihatnya ini tidak masuk ke dalam skenario yang semalaman dia buat.

Jeongguk mengangkat kedua alisnya. Seakan pria itu mempertanyakan kebisuan Taehyung saat ini. “Kenapa?”

Harusnya Taehyung sudah menduga ini semua. Harusnya dia tidak perlu segala merancang kencan manis dan hangat itu dalam imajinasinya. Karena Jeongguk sejak dulu memang sulit ditebak. Jeongguk tidak akan mungkin membawa Taehyung ke tempat yang mainstream untuk kencan pertama mereka ini.

Alih-alih membawa Taehyung ke tempat yang nyaman dan hangat, Jeongguk justru mengajak Taehyung untuk menjelajah Ihwa mural village. Menyusuri jalan setapak di pinggir Seoul fortress wall. Mengarungi langkah dari kedua pasang kaki itu di tengah udara dingin kota Seoul bulan Januari.

Puncak kebisuan Taehyung berlangsung ketika langkahnya dan Jeongguk berhenti di depan jalan setapak membentuk anak-anak tangga. Kepalanya menggeleng heboh, matanya mulai memelas ke arah Jeongguk. Dia diam hingga lima menit lamanya. Melayangkan rasa protesnya atas ide gila Jeongguk. Berjalan kali dan mendaki anak-anak tangga di tengah musim dingin begini bukanlah ide yang tepat. Setidaknya, semua berjalan lancar bagi Taehyung. Sebelum pada akhirnya sepasang bola matanya menangkap keberadaan anak-anak tangga berselimutkan salju tersebut.

“Kenapa? Kok kepalanya geleng-geleng aja?” Jeongguk kembali bertanya, disertai dengan tawa kecilnya dan wajah tidak bersalah ke arah Taehyung.

“Jeongguk, tahu ‘kan kalau hari ini dingin banget?”

Jeongguk mengangguk. Tentu saja dia tahu. Pagi ini juga Jeongguk sudah memeriksa perkiraan cuaca. Udara memang benar terasa dingin, namun setidaknya kemungkinan besar salju tidak akan turun hingga malam hari. “Tahu kok. Makanya gua bawain ini.”

Sebelah gendongan tas di punggungnya dia lepaskan, ditarik agar tas tersebut berada di dadanya. Satu tangan Jeongguk sibuk mengobrak-abrik isi di dalam tasnya. Kemudian, dia keluarkan syal berwarna biru, secerah langit di musim panas. Jeongguk sengaja menyiapkannya untuk Taehyung. Bahannya tebal dan hangat, dapat membebaskan Taehyung dari rasa dingin yang menyiksa sepanjang perjalanan.

Ristleting tasnya kembali dia tutup, lalu dia gemblok seperti semula. Selanjutnya, tangan Jeongguk menarik tubuh Taehyung. Menyuruh anak itu diam, selagi kedua tangannya melilitkan syal biru itu pada leher Taehyung. Hingga akhirnya Jeongguk yakin kalau leher Taehyung sudah terlindungi oleh syal dengan sempurna.

“Nah, kalau begini kan engga akan terlalu dingin. Oh iya, gua juga bawa hotpack dan minuman hangat di dalam termos.” Jawab Jeongguk santai. Seakan hari ini memang sudah dia rencanakan sedemikian matang.

Taehyung termenung. Tidak ada jalan untuk berputar balik, karena sepertinya Jeongguk tidak memberikan dirinya celah untuk mundur. Pria itu sudah mempersiapkan segala halnya. Pantas saja Jeongguk membiarkan Taehyung memakan banyak daging untuk makan siang. Ternyata, energinya sengaja diisi penuh untuk kegiatan mereka sore ini. Harusnya Taehyung terpikirkan kemungkinan ini barang sedikit saja. Bukan hanya berandai-andai tentang kencan romantis yang sering dia tonton di drama.

Ah, sudahlah, kini yang dapat dilakukan Taehyung hanyalah mengikuti rencana Jeongguk. Ya, rencana gilanya untuk mendaki di tengah udara dingin, menyusuri jalanan yang masih berselimutkan salju. Entah apa yang ada di pikiran Jeongguk ketika memikirkan ide gilanya ini.

Tangan Jeongguk terulur di depan Taehyung. Namun wajah pria itu datar, jadi sulit bagi Taehyung untuk membaca maksud dari gerak tubuh Jeongguk. “Mau jalan sendiri atau perlu bantuan dari gua nih?” tanya Jeongguk. Ternyata itu maksud dari uluran tangannya. Andai saja situasinya berbeda, Taehyung pasti sudah melompat kegirangan di tempat. Dirinya sudah kepalang sebal dan tidak percaya dengan rencana Jeongguk, makanya dia hanya dapat merespons dengan gelengan kepala.

Taehyung menghela napasnya kencang. Kemudian memulai langkahnya menyusuri anak-anak tangga bersalju. Langkahnya dia gerakkan dengan hati-hati, karena takut dirinya dapat tergelincir. Matanya terlalu sibuk memperhatikan langkahnya, hingga tidak sadar kalau Jeongguk berjalan tepat di belakangnya. Pria itu tersenyum lebar, sambil diam-diam menjaga Taehyung.

Sepanjang perjalanan Jeongguk hanya dapat mendengar ocehan dan suara gerutu Taehyung. Berhenti beberapa kali untuk mengatur napas, karena Taehyung merasa kelelahan. Ada kalanya juga Jeongguk yang meminta untuk singgah sejenak, sehingga dia dapat mengambil beberapa gambar di sekitarnya yang begitu cantik. Dan itu semua begitu terasa menyenangkan untuk Jeongguk.

Kim Taehyung, pemandangan kota dari atas Seoul fortress wall, dan waktu yang mereka lalui dalam perjalanan kecil dan sederhana ini, semuanya terasa sangat menyenangkan. Jeongguk sangat menyukai tiga kombinasi tersebut.

Mereka tiba di bagian tertinggi fortless wall menjelang penghujung sore. Mungkin dalam waktu kurang dari dua jam matahari akan terbenam. Taehyung menghela napasnya lega, akhirnya kakinya tidak lagi harus melangkahi tumpukan salju dan takut nyawanya melayang karena tergelincir. Ya, imajinasinya cukup liar sepanjang perjalanan tadi.

Taehyung melenguh, duduk di atas anak tangga, seakan tidak sadar kalau dia baru saja menduduki tumpukan salju yang sedari tadi dia omeli. “Gilaaa, Jeongguk gilaaa. Untung aja kaki gue ga lemes, ga tergelincir. Gue udah takut banget tadi gue kepleset, terus keguling-giling sampai bawah.”

Jeongguk hanya menanggapi omelan Taehyung dengan tawa. Sama persis dengan tanggapannya sepanjang mereka berjalan tadi. Dia membiarkan Taehyung mengoceh dan mengomelinya. Sementara dia jongkok di sebelah Taehyung, kemudian tangannya berusaha menjangkau tangan Taehyung. Menariknya pelan, lalu menyerahkan satu keping hotpack pada telapak tangan Taehyung.

Sorry ya, kalau ternyata engga sesuai ekspektasi lo. Gua cuma mau ngenalin hal yang gua suka aja ke lo. Lain kali kita turutin apa yang lo mau dan lo suka deh.” Kata Jeongguk. Seakan kalimat yang terucap dari mulut Jeongguk berisikan mantra. Mantra yang membisikan permintaan maaf dan rayuan yang memabukkan.

Taehyung menunduk. Lalu, menjawabnya dengan asal. Menghindari tatapan mata Jeongguk yang dapat membuat sekujur tubuhnya terasa panas di tengah udara dingin. “Hmmmmm.”

Jeongguk menyuruh Taehyung untuk berdiri. Tentu saja dengan bantuan kedua tangannya, karena tubuh Taehyung masih begitu berat untuk beranjak dari posisinya. Kakinya melangkah menuju pinggiran tembok tinggi yang membatasi jalanan kecil dengan pemandangan kota Seoul. Dia bersihkan tumpukkan salju di atas permukaan tembok, membersihkannya dengan sehelai kain yang dia bawa.

“Mau coba naik?” tanya Jeongguk.

Mata Taehyung melirik Jeongguk dan tembok yang dimaksud secara bergantian. Setelah mengajak Taehyung mendaki ribuan anak tangga, kini Jeongguk menawarkan Taehyung untuk duduk di atas tembok pembatas. Taehyung hanya dapat menggeleng pelan. Kakinya bahkan sudah terasa lemas hanya dengan membayangkannya saja.

“Gua jagain kok, gua bantu juga naiknya. Indah banget, engga bohong,” Kata Jeongguk.

Taehyung benci sekali dengan fakta kalau perkataan Jeongguk dapat meluluhkan hatinya. Omongan Jeongguk barusan sebagai contoh. Taehyung merasa kalau omongan Jeongguk itu benar-benar menjanjikan sebuah perlindungan pada dirinya.

“Mau?” Jeongguk kembali bertanya.

Dan kali ini Taehyung menjawabnya dengan sebuah anggukan. Meski hatinya berlum 100% yakin dengan keputusannya tersebut. Dia biarkan tubuhnya diangkat oleh Jeongguk. Kemudian dengan susah payah menggapai permukaan atas tembok, mencoba mencari posisi teraman dan ternyaman. Taehyung membiarkan pinggangnya dipegangi oleh Jeongguk. Sembari dia membiasakan dirinya dengan situasi yang dihadapi. Mengusir rasa takutnya, dan mencoba menikmati pemandangan yang disuguhkan di hadapannya. Perlahan senyuman Taehyung merekah. Matanya terpejam, merasakan tamparan kecil udara dingin pada permukaan wajahnya.

“Jeongguk, engga mau naik?” tanya Taehyung. Badannya sedikit condong ke belakang untuk melihat Jeongguk. Tangan kanannya menepuk-nepuk sisi sebelahnya yang kosong.

Kemudian Jeongguk menyusulnya naik. Duduk di sebelah Taehyung dengan senyuman yang mengembang besar. Tempat ini adalah tempat yang berarti untuk Jeongguk. Dirinya memiliki banyak kenangan di tempat ini. Banyak menghabiskan waktunya setiap kali merasa rumah begitu menyesakkan. Kabur dari beratnya masalah yang dihadapi oleh Jeongguk versi remaja dulu. Saat perang dingin terjadi di antara kedua orangtuanya, Jeongguk akan menghabiskan waktunya seharian di sini.

Dia merenung. Menatap pemandangan indah yang dapat membuat Jeongguk lupa akan masalahnya sejenak. Pulang di malam hari. Ketika seluruh kota sudah bermandikan cahaya, di tengah-tengah langit Seoul yang menggelap. Jeongguk banyak membagi rasa sakitnya di sini. Ranting pohon, tembok tinggi dan langit kota Seoul yang menjadi saksinya. Dan kini Jeongguk juga membagi hal tersebut dengan Taehyung.

Matanya memandang lurus ke depan. Memandang kota Seoul yang terlihat begitu kecil dan padat di bawah sana. Kemudian mulai berkata, “Gua dulu sering banget ke sini. Mungkin jaman SMP sampai SMA. Makanya gua berani bilang kalau pemandangannya engga akan bikin nyesel.”

Taehyung menoleh. “Sendirian?”

Jeongguk mengangguk. Semua memori akan hari-hari menyedihkan itu kembali terputar dalam ingatannya. Masa remajanya yang dihabiskan dengan banyak rasa sakit dan trauma. Trauma yang disebabkan oleh keluarga yang sudah tidak utuh lagi. Keluarganya yang memang tidak pernah utuh. Saat kedua orangtuanya bertahan pada hubungan yang sudah rusak. Berharap kalau dengan cara bertahan semua yang rusak itu bisa kembali utuh lagi. Sementara Jeongguk tidak merasa demikian. Dirinya juga ikut hancur, dirinya sudah hancur.

“Iya, sendirian. Persis di tembok ini, gua sering duduk di sini sampai malam. Sampai langit udah gelap dan di bawah sana bangunan-bangunan udah dihiasin lampu yang kelap-kelip.”

Taehyung memperhatikan Jeongguk dari samping. Pemandangan kota yang tadi membuatnya kagum dan lupa akan rasa takut itu kalah. Kini Jeongguk mengambil alih semua perhatiannya. Ada sesuatu dari dalam diri Taehyung, mendorongnya untuk tahu lebih dalam lagi, untuk bertanya lebih banyak lagi.

“Terus lo ngapain aja di sini?”

Kini Jeongguk menoleh. Membuat Taehyung tertangkap basah sedang menatap pria itu tanpa berkedip. Pandangan mata Jeongguk menguncinya, meski Taehyung berniat untuk mengalihkan wajah. Namun, dia tidak dapat melakukan itu.

“Diem aja di sini. Dengerin lagu, gambar, merenung, nikmatin pemandangan kota dari atas sini. Ngapain aja yang penting gua bisa lupa sama rasa sakit,” jelas Jeongguk. Dan Taehyung kini kebingungan harus memberi tanggapan yang bagaimana. “Gua kabur setiap kali orangtua gua berantem hehe.”

Dada Taehyung terasa nyeri, hatinya melenguh. Mendengar kalau Jeongguk banyak menghabiskan waktunya di sini, mendengar alasan mengapa dia kabur dan fakta bahwa pria itu berani membagi hal sensitif ini pada dirinya. Hatinya tersentuh, namun juga terasa pedih untuk rasa sakit yang pernah atau mungkin masih Jeongguk alami.

Jeongguk selalu menjadi murid terdiam, tidak banyak tingkah dan jauh dari kata masalah di sekolah. Taehyung tidak menyangka kalau di balik itu semua Jeongguk harus melalui hari-hari yang berat.

Taehyung selalu berpikir kalau Jeongguk adalah anak manja yang seluruh masa depannya sudah diatur oleh orangtuanya. Anak satu-satunya yang sudah direncananya di mana tempat kuliahnya dan karir setelah dia lulus sejak jauh-jauh hari.

“Sebenarnya, Jepang juga pelarian gua. Gua sengaja mau jauh dari Seoul, jauh dari orangtua gua dan dari rasa sakit.”

Hati Taehyung mencelos. Entah sudah berapa kali dadanya terasa nyeri setiap mendengar kata demi kata yang bergulir keluar dari mulut Jeongguk. “Sorry, gue—gue… sorry.”

Tidak ada kata apa pun yang dapat terpikirkan oleh Taehyung selain kata maaf. Taehyung meminta maaf atas rasa sakit yang harus Jeongguk hadapi. Meminta maaf atas hari-hari berat yang Jeongguk lalui sendirian. Meminta maaf karena sempat membenci Jeongguk atas keputusannya pergi ke Jepang begitu saja.

“Coki-coki, itu kan bukan salah lo. Kenapa minta maaf segala? Hahaha. Udah deh, ganti topik aja gimana? Biar bisa nikmatin pemandangan indah di depan kita nih. Sayang banget kalau dilaluinnya sambil muram-muram begini,”

Taehyung hanya mengangguk. Kepalanya mengalihkan pandang, mencoba kembali menikmati pemandangan di depannya. Meski dalam pikirannya justru dipenuhi oleh cerita Jeongguk barusan.

“Gua cerita begini bukan buat menebar kisah sedih. Gua cuma… gua ngerasa perlu ngebagi ini ke orang yang istimewa buat gua. Maaf kalau bawa lo pergi ke sini. Padahal harusnya ini kencan pertama kita, ya? Hahaha. Gua cuma mau ngasih tahu semuanya tentang diri gua.”

Tanpa sadar setetes air mata Taehyung sudah jatuh ke pipinya. Buru-buru dia menyekanya dengan punggung tangan. “Jeongguk, makasih, ya? Makasih karena udah percaya buat ngebagi ini ke gue.”

Jeongguk mendengar kata-kata Taehyung begitu indah di telinganya, begitu menenangkankan hatinya. Setelah itu Taehyung mulai bertutur tentang dirinya. Mencoba mengalihkan suasana penuh pilu yang sempat menyelimuti keduanya. Taehyung mulai menceritakan kisah lucu semasa SMA, membuat Jeongguk tertawa ketika mengingatnya. Hingga mereka sampai di pertanyaan Jeongguk yang membuat Taehyung terdiam.

“Sebenarnya, dulu lo itu suka sama gua atau engga sih? Hahaha.” Jeongguk bertanya dengan tawa. Sedangkan Taehyung langsung terdiam, menimbang jawaban apa yang akan dia katakan. Seharusnya tidak apa-apa ‘kan kalau dia berkata jujur saat ini?

“Sampai sekarang juga masih…” jawab Taehyung pelan. Membuat Jeongguk memastikan kembali yang samar-samar terdengar oleh terlinganya tersebut. “hah?”

Taehyung menunduk. “Ya, iya. Suka. Sekarang juga.”

Entah mendapat keberanian dari mana hingga dirinya bisa menjawab begitu. Senyuman Jeongguk merekah. Luka yang sempat dia panggil kembali sudah tertutup dengan rasa bahagia dari perkataan Taehyung.

“Gua pikir lo sukanya sama Jaebeom.”

Mata Taehyung melotot. Rasanya malu sekali, dirinya bahkan hampir lupa perihal skandal yang sengaja dia buat dengan Jaebeom. Alias, Taehyung hanya menjadikan Jaebeom pelarian. Untuk menutupi fakta bahwa dirinya benar-benar tergila-gila pada Jeongguk si anak pendiam yang tidak jelas bagaimana perasaannya.

“I-itu, gue cuma pura-pura aja bilang suka Jaebeom. Karena malu ketahuan suka sama lo beneran.” karena lo engga pernah ngerespons lebih. Kata Taehyung dalam hatinya, ngeri kalau Jeongguk akan tersinggung dengan perkataan lengkapnya.

Jeongguk tersenyum getir. Andai saja kenyataan ini dia ketahui sepuluh tahun yang lalu, akan bagaimana kisahnya dengan Taehyung berlangsung?

“Ya, udah berlalu juga. Mau gimana lagi? Hahaha,”

Taehyung tertawa canggung. Jeongguk dapat menangkap perasaan tersebut. Maka dari itu dia kini menegaskan. “Tapi, sekarang sudah lebih jelas ‘kan? Lo tau ‘kan kalau gua sekarang coba buat deketin lo? Maksudnya, untuk hubungan yang lebih… serius?”

Taehyung mengangguk. Lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Rasanya aneh sekali membicarakan hal ini secara terang-terangan. Namun, tidak bohong kalau hatinya bahagia sekali.

Jujur, Taehyung tidak pernah membayangkan kalau pada akhirnya kisahnya dan Jeongguk akan begini. Tidak pernah berani membayangkan bahwa dirinya akan duduk di sebelah Jeongguk, memandang kota Seoul dari atas fortress wall, bertukar memori pilu, dan membicarakan tentang perasaan mereka secara terbuka. Taehyung senang, Taehyung bahagia sekali, berani sumpah.

Saat itu matahari mulai terbenam di ufuk barat. Meninggalkan sentuhan oranye di ujung langit yang tidak tertutup oleh gedung-gedung tinggi dari atas sana. Taehyung tersenyum lebar, tersenyum tulus atas rasa bahagia yang sedang dia rasakan saat ini. Senyuman itu bertahan, bahkan semakin mengembang, ketika tangannya diraih oleh Jeongguk. Digenggam dengan hangat, tanpa Jeongguk menatap ke arahnya. Jeongguk yang juga sedang tersenyum sambil menyaksikan matahari terbenam di kota Seoul pada musim dingin. Bersama dengan orang yang paling disukainya, Kim Taehyung.

. . .

. . .

Taehyung tidak memiliki opsi lain, selain mengangkat panggilan video dari Jeongguk. Tidak dapat menghindar dari tatapan lembut pria itu, tidak dapat menyembunyikan rona merah yang menghias pipinya, atau kalimat gelagapan dari mulutnya karena tidak begitu konsentrasi mencerna perkataan Jeongguk.

Di sinilah Kim Taehyung. Berusaha terus menghindar untuk bertatapan langsung dengan pria itu, sementara Jeongguk enggan untuk melepas pandangannya barang sedetik ke arah Taehyung. Senyumnya merekah, menemani kalimat demi kalimat yang terucap dari bibir indah milik Jeongguk. Dan, sejujurnya, kalimat yang dapat dia cerna dengan baik adalah dua kalimat pertama yang Jeongguk ucapkan. Setelah itu semuanya mengabur. Konsentrasinya buyar.

Mata Taehyung mengerjap beberapa kali. Berusaha memanggil kepingan-kepingan jiwanya yang meledak dan berhamburan karena pesona tenang Jeongguk. Kemudian, Taehyung mengubah posisi duduknya. Mencari posisi senyaman mungkin untuk menyembunyikan salah tingkahnya.

Ponselnya diletakkan bersandar pada vas bunga di meja, lalu kembali berpura-pura mencermati setiap perkataan Jeongguk. Namun, kepura-puraannya itu begitu nampak jelas di mata Jeongguk. Membuat sang pria terkikik geli dengan tingkah menggemaskan Taehyung. Tangannya terangkat, lalu dia biarkan untuk menopang dagunya di atas meja. Jeongguk melakukan persis apa yang Taehyung lakukan, bagaikan cerminan dari gerak tubuh Taehyung dari seberang layar ponselnya.

Beberapa detik Jeongguk diam dengan posisi itu. Dia rekam dan simpan dengan baik ke dalam ingatannya. Bagaimana wajah malu-malu Taehyung, suara pria itu yang memelan dan lembut ketika diajak berbicara, matanya yang membukat ketika Jeongguk mencoba menarik kembali atensi Taehyung kepada dirinya. Semuanya sudah dikemas dengan rapih di kotak memori indah dalam pikirannya. Tempat di mana segala hal tentang Taehyung tersimpan sejak dulu.

“Jadi gimana?” Tanya Jeongguk. Taehyung hanya bisa melongo, karena tidak mendengar kalimat apa yang Jeongguk ucapkan sebelumnya. Memang menyusahkan sekali tingkat konsentrasinya yang begitu kecil ini. Otaknya seakan tidak mau diajak kerja sama di depan Jeon Jeongguk. Taehyung lagi dan lagi hanya dapat memperlihatkan sisi ceroboh dan absurd dirinya.

“Hah?” Tanya Taehyung.

Suhu ruang kamar Taehyung tidak begitu hangat ataupun dingin, namun cukup untuk membuat rasa panas menjalar di seluruh wajahnya. Kemudian, pipinya pun berubah warna menjadi semerah buah cherry.

“Gua tadi nanya, besok kan hari minggu dan Sugar & Crumbs libur. Mau jalan keluar?” Jeongguk mengukang pertanyaannya. Masih dengan ekspresi yang sama. Masih dengan senyumannya yang terus mengembang menghias wajahnya.

Taehyung nampak gelagapan. Matanya berputar-putar ke segala penjuru arah. Bukan mencari apa pun, hanya saja sebuah upayanya untuk menghindar bertemu tatap dengan Jeongguk.

“Jadi, gimana?” Sebelah alis Jeongguk terangkat samar. Matanya mengekori gerakan Taehyung yang begitu minim di dalam layar ponselnya. Sempat untuk menggelak tawa sebentar, karena wajah lucu Taehyung ketika salah tingkah begitu kentara. “Sebenernya, gua ga menerima penolakan sih.”

Perkataan Jeongguk pun sukses mengambil perhatian Taehyung secara utuh. Matanya menatap sebal ke arah Taehyung, alisnya mengerut, lalu bibirnya mengerucut.

“Hih, apa-apaan!” Protes Taehyung tidak terima dengan. Meskipun sebenarnya kita semua pun tahu kalau dirinya tidak akan menolak ajakan Jeongguk.

Jeongguk tentu saja tidak mengindahkan protes palsu dari Taehyung.

“Besok gua jemput di depan pintu jam 11. Kita pergi dari pagi, biar jalan-jalannya puas. Boleh sekalian dipikirin kalau ada tempat yang pengin lo kunjungin,” Kata Jeongguk.

Kemudian, pria itu sibuk meregangkan tubuhnya di atas kursi. Kini sudah pukul 11.45 malam. Mungkin tubuhnya sudah meronta untuk dibaringkan ke atas kasur. Beberapa hari ini pekerjaannya begitu padat. Jeongguk minim sekali mendapatkan waktu istirahat yang layak.

Taehyung memperhatikan Jeongguk diam-diam. Wajahnya tidak lagi terlihat masam atau kesal. Eskpresinya melembut. Dalam hati Taehyung mengasihani Jeongguk yang terlihat begitu lelah.

“Hm, yaudah. Sana, lo istirahat gih.” Jawab Taehyung pada akhirnya.

Jeongguk hanya tertawa. Padahal tangannya sibuk memijit punggungnya sendiri. Bisa-bisanya Jeongguk mengajak Taehyung untuk jalan-jalan besok. Padahal dia bisa saja mengambil waktu tersebut untuk beristirahat.

“Iya, ini mau istirahat. Lo juga langsung tidur pokoknya.”

Taehyung mengangguk. “Yaudah, matiin video callnya.”

“Lo yang matiin gih.”

Taehyung melotot. “Hih, yaudah matiin nih.” Namun, tangannya tetap diam. Sambungan video tersebut tidak juga terputus. Yang ada malah acara saling pandang dari dua sejoli itu.

“Buruan matiin, tangan gua engga mau digerakin soalnya nih hahaha.”

Taehyung hanya dapat menggeleng keheranan. Agaknya, dirinya mulai familier dengan sisi Jeongguk yang satu itu. “Okay. Gue matiin nih ya.”

“Eh, tunggu dulu.” Kaya Jeongguk, tepat di saat tangan Taehyung meraih ponselnya dan hendak menekan tombol berwarna merah.

“Apa lagiiii?”

Goodnight dan sweet dream-nya mana?”

“ASTAGAAA, JEON JEONGGUK. Ya udah, iya, selamat malam, selamat tidur, mimpi yang indah.”

Setelah itu Taehyung buru-buru memutuskan panggilan tersebut. Merampas ponselnya yang berdiri bersandar pada vas bunga. Lalu, berlari memasuki kamarnya. Dia melompat ke atas ranjangnya. Menahan jeritnya di bawah bantal, kemudian berguling-guling di atas sana. Sumpah demi apa pun, Jeon Jeongguk tidak bisa berhenti bersikap menggemaskan. Dan itu semua menyulitkan hati Taehyung yang begitu lemah.

Sialan memang kamu, Jeon Jeongguuuuuk.

. . .

Kepala Taehyung menunduk sejak tadi. Sepanjang perjalanan dirinya asik menyelam ke dalam pikirannya sendiri. Mencoba mengumpulkan keberanian dan melatih kalimat yang akan dia katakan ketika mobil Jeongguk sampai di S&C. Namun, pada akhirnya kalimat yang sudah dia latih dengan susah payah itu enggan untuk terucap. “Gue,”

Sebelah alis Jeongguk terangkat. Taehyung baru saja mengatakan sepenggal kalimat yang terputus, membuat Jeongguk tergantung oleh rasa penasaran.

“Gue,” ucap Taehyung yang hanya mengulang satu kata yang sama dari tadi. Sabuk pengamannya sudah dilepas sejak mobil Jeongguk terparkir di depan Sugar & Crumbs. Kini tubuhnya dapat leluasa membungkuk, merogoh sesuatu dari tas kanvas yang dia letakkan di dekat kakinya. Kemudian, tangannya mengeluarkan satu kotak bekal. Diserahkan kotak tersebut ke arah Jeongguk. “Gue buat bekal agak banyak. Jadinya, sekalian aja gue bawain buat lo. Mulai sekarang dibiasain sarapan ya.”

Setelah itu, Taehyung keluar dari mobil Jeongguk. Kakinya berlari menyusuri halaman dan melompat kecil di atas anak-anak tangga menuju pintu masuk. Jeongguk hanya bisa tertawa hingga sosok Taehyung tidak terjangkau oleh penglihatannya. Kemudian, pandangannya dapat beralih ke arah kotak bekal yang sedang dia pegang. Senyumannya yang merekah belum juga padam. Malah terlihat kian mengembang.

Beberapa saat pikirannya tertarik mundur. Mengrangkum perasaannya akan sosok anak laki-laki yang dulu menjadi pusat perhatiannya. Saat Jeongguk remaja yang hanya sanggup memperhatikan dalam diam. Dan anak laki-laki yang dulu itu masih tetap menjadi pemegang penuh seluruh perasaan dan pikirannya hingga kini. Bedanya, Jeongguk tidak lagi anak laki-laki yang pengecut.

Jeongguk bukan lagi anak laki-laki yang duduk di bawah pohon, memperhatikan Taehyung dari jauh yang sedang menyuapkan sarapannya di tribun penonton lapangan bola. Bukan lagi pengirim gambar anonim di loker Taehyung, sebagai balasan dari coki-coki dan surat cinta yang dia dapatkan. Bukan lagi si pengecut yang hanya diam saja, saat melihat Taehyung didekati oleh pria lain.

Dan Kim Taehyung bukan lagi sosok yang abu-abu bagi Jeongguk, yang sering kali mengirim sinyal tidak jelas akan perasaannya. Kini Jeongguk tidak peduli mau Taehyung adalah hitam, putih, atau abu-abu. Tekadnya sudah bulat. Dirinya siap berjuang, siap mengejar, siap membuat Taehyung jatuh cinta—lagi—kepadanya.

Karena Jeongguk tahu. Jeongguk sadar betul. Pemilik kepingan hatinya yang hilang itu adalah Kim Taehyung. Hanya pria itu yang dapat menyempurnakan perasaannya. Mau berapa ribu hari yang sudah terlewat pun rasanya akan tetap sama. Hatinya tetap menyebut nama Taehyung sebanyak ribuan kali juga.

. . .