COKI-COKI: 250.

. . .

To have someone understand your mind is different kind of intimacy.

Taehyung menghabiskan dua jam dua puluh satu menit hanya untuk memikirkan bagaimana keadaan Jeongguk. Ponsel pria itu masih belum bisa dihubungi, apalagi berharap kalau pesan Taehyung sudah dibalas. Dan Taehyung hanya dapat duduk di kursi kereta, memandang ke arah luar sambil melamun. Mengikis waktu yang harus dia lalui sepanjang perjalanan Daegu-Seoul yang terasa begitu panjang. Sayangnya, kegiatannya itu justru membuat Taehyung semakin tidak tenang.

Ibunya sempat bertanya kepada Taehyung. Kenapa anaknya terlihat begitu gelisah? Ini bukan kali pertama Taehyung melakukan perjalanan antar kota dengan kereta cepat. Pasti bukan perjalanan ini yang menjadi alasan anaknya terlihat resah dan gelisah, sang Ibu yakin sekali. Namun, Taehyung hanya menggelengkan kepalanya. Lalu kembali fokus dengan ponselnya. Terus begitu hingga mereka tiba di stasiun kereta Seoul.

Pada awalnya Taehyung berencana untuk singgah sembari mengantarkan sang Ibu. Akan tertapi, sepertinya rencananya harus diubah. Dengan berat hati Taehyung harus berpisah dengan sang ibu di stasiun. Memutuskan untuk langsung naik taksi dan meminta kepada pak supir untuk cepat melaju. Taehyung hanya ingin buru-buru sampai ke apartemennya, yang sayangnya berlawanan arah dengan tempat tinggal sang Ibu.

Jika Jeongguk tidak bisa dihubungi melalui panggilan telepon, jalan satu-satunya untuk menemukan pria itu hanyalah mendatangi tempat tinggalnya. Dengan harapan penuh kalau Taehyung benar-benar akan mendapati kehadiran pacarnya di apartemen. Berharap kalau Jeongguk hanya lupa mengisi daya ponsel, lalu dia ketiduran selama berjam-jam. Kemudian, Taehyung akan disambut oleh wajah ngantuk Jeongguk di depan pintu, lalu ditarik masuk ke dalam pelukannya sambil Jeongguk berkata, “Akhirnya kamu pulang, aku kangen.”

Taehyung berharap apa pun di dunia ini selain hal buruk. Meski entah mengapa juga Taehyung hanya dapat memikirkan hal buruk saat ini.

Taehyung tahu kalau harusnya dia tidak usah memikirkan segala kemungkinan buruk. Karena feeling buruk itu sering kali benar. Intuisinya selalu benar. Jeongguk tidak ada di apartemennya. Puluhan kali sudah Taehyung menekan bell di pintu apartemen itu, namun tetap tidak ada jawaban sama sekali.

Otaknya berpikir. Sambil dia terus mencoba untuk menghubungi ponsel Jeongguk, meski panggilan selalu teralih ke kotak suara. Frustrasi, Taehyung pun akhirnya meninggalkan pesan di sana. Cepat atau lambat, Jeongguk pasti akan mengaktifkan ponselnya, dan dia akan segera mendengar pesan dari Taehyung tersebut. Ya, harapan Taehyung begitu.

Hei… kamu ke mana? J-Jeongguk, aku khawatir. Sumpah, sepanjang perjalanan aku engga bisa duduk dengan tenang. Apalagi hp kamu mati begini,

Ada jeda, karena tiba-tiba saja napasnya sesak. Air mata pun bertetesan membasahi pipinya. Segala emosi yang sempat ditahan oleh Taehyung kini tak terbendung. Taehyung takut kalau dia akan membuat khawatir sang Ibu, maka dari itu Taehyung memilih untuk diam di kereta. Dan kini Taehyung sudah tidak bisa menahannya lagi. Dia menangis, kencang, tersedu-sedu, sambil jongkok di depan pintu apartemen pacarnya.

*Aku, aku takut. Jeongguk, aku takut kamu kenapa-kenapa. Engga biasanya kamu nyebut diri kamu rewel. Engga biasanya kamu minta izin buat telepon aku. Maaf, karena ak-aku e-engga balas chat kamu langsung. J-Jeongguk, a-ayang, kamu di mana?*

Taehyung mengatakannya dengan susah payah. Karena napasnya tersenggal. Kata-katanya terputus, karena Taehyung kesulitan mengontrol napasnya saat menangis dan bicara di saat yang bersamaan.

Saat pikirannya sudah kalut. Saat dirinya hanya dapat menangis, tanpa bisa berpikir ke mana dia harus mencari Jeongguk. Tiba-tiba saja memori akan hari itu kembali terputar di pikirannya.

Persis di tembok ini, gua sering duduk di sini sampai malam. Gua kabur setiap kali orangtua gua berantem hehe.

Taehyung menghapus air matanya dengan kedua tangan. Kemudian bangkit dari posisi yang sebelumnya. Intuisinya berbisik kalau itulah tujuan kaki Taehyung berlari. Kalau di sanalah Jeongguk berada saat ini.

Dia keluar dari gedung apartemen. Berlari seperti orang kesetanan di tengah-tengah udara malam yang beku. Meski napasnya terengah, meski kuku-kuku jarinya membiru, Taehyung tetap berlari sekencang mungkin. Kakinya berhenti begitu dia menginjak trotoar jalan raya. Melambaikan tangannya untuk memberhentikan taksi yang berlalu lalang. Kemudian, masuk dengan terburu-buru dan langsung menyebutkan ke mana tempat tujuannya.

“Hanyangdoseong, Pak.”

Taehyung sudah tidak peduli lagi kalau seluruh wajahnya merah. Akibat serangan udara dingin dan acara menangisnya. Tidak peduli kalau rambutnya berantakan. Meski si pak supir beberapa kali melirik dan memeriksa keadaannya melalui kaca spion tengah. Sudah tidak ada waktu untuk memikirkan hal lain. Karena kini Taehyung sedang sibuk berdoa, kalau Jeongguk benar-benar ada di sana.

Awas saja nanti. Taehyung ingin memukul kepala Jeongguk, meninju tangannya dan menjewer telinga Jeongguk. Karena pria itu sudah benar-benar membuatnya khawatir seperti ini. Taehyung tidak akan memberi ampun!

Dan sebenarnya itu hanyalah pengalihan pikirannya saja. Taehyung terlalu takut untuk memikirkan kemungkinan yang terjadi, kalau saja dia pada akhirnya tidak menemukan kehadiran Jeongguk di sana. Membuat skenario yang konyol terasa lebih baik. Setidaknya, pundak dan dada Taehyung tidak bertambah berat.

Taksi yang ditumpangi berhenti di bagian ujung Hanyangdoseong—Seoul city wall. Setelah membayar dan mengucap terima kasih kepada pak supir, Taehyung langsung buru-buru berlari. Syukurlah, hari ini salju tidak turun sama sekali. Taehyung tidak perlu khawatir dirinya akan terpeleset, karena harus lari sekencang angin, lalu menaiki anak tangga satu demi satu.

Napasnya terngengah. Keringatnya bercucuran tanpa kenal udara dingin. Taehyung bahkan lupa kapan terakhir kali dia bekerja begitu keras untuk berolahraga. Dan malam ini usahanya dalam mencari Jeongguk sudah menghabiskan banyak tenaga dibandingkan olahraga apa pun yang dilakukan selama beberapa tahun terakhir.

Taehyung tahu kapasitas tubuhnya. Dia tidak sebugar itu, staminanya juga tidak bagus-bagus amat. Taehyung benci olahraga lari, Taehyung lebih suka tinggal dan diam di rumah. Namun, malam ini dia melakukan segala hal yang tidak disukai. Melampaui kapasitas stamina tubuhnya yang sempat dia ragukan. Semua itu karena Jeon Jeongguk.

Pria yang sedang duduk di atas tembok tinggi. Dengan earphone yang terpasang di kedua telinga dan buku gambar di pangkuannya.

fyuh. Taehyung bisa bernapas lega, akhirnya.

Kemudian tangisnya kembali pecah saat itu juga. Kakinya lemas, kekuatan super yang dia miliki sebelumnya sudah lenyap. Taehyung kembali menjadi dirinya yang tidak menyukai olahraga apa pun. Lututnya sudah lemas sejak awal, namun dia paksa berlari. Dan kini kedua kakinya sudah tidak dapat menopang bobot tubuhnya.

Taehyung hanya bisa berjongkok. Walaupun jongkoknya juga tidak sempurna, karena kakinya setengah berjinjit. Wajahnya menempel ke pahanya. Bersembunyi, sambil berteriak kencang-kencang di dalam tangisnya yang pecah.

“Jeon Jeongguk bodooooh. Jeongguk nakaaaal. Jeongguk bodoooh!” teriak Taehyung, sambil menangis seseunggukan.

Wajahnya sudah dibasahi oleh banjiran air mata. Hidungnya, matanya, telinganya, semuanya merah. Namun itu semua tidak membuatnya berhenti untuk terus meneriakan nama itu. Pria yang ada di depannya yang masih belum menyadari keberadaan Taehyung.

“Jeon Jeongguk sialaaan. Aku khawtair tahu engga? Jeongguk! Sumpah…” teriak Taehyung, entah apa kalimat selanjutnya yang akan dia ucapkan. Dan teriakannya yang dahsyat itu dapat menyadarkan Jeongguk dari lamunan panjangnya. Pria itu menoleh. Matanya mengerjap beberapa kali, lalu terbelalak begitu menyadari siapa yang dilihatnya.

Sosok Taehyung yang sedang menatapnya dengan wajah acak-acakan akibat menangis. Bibirnya melengkung ke bawah, khas sekali setiap Taehyung merasa benar-benar sebal atau sedih.

Buku gambar yang dia pangku langsung dilempar ke sembarang arah. Jeongguk tidak perlu pikir panjang lagi, karena detik itu juga dia langsung melompat dari tempat duduknya. Kemudian, dia berlari kecil untuk menghampiri Taehyung yang masih berjongkok di tanah.

“L-love? Kamu kok di sini?” tanya Jeongguk.

“Ya lo pikir aja Jeongguk, menurut lo kenapa gue di sini. Hah?” amuk Taehyung. Namun amukannya malah disambut dengan senyuman hangat Jeongguk. “You found me, Love.” Kata Jeongguk.

“Kamu sempet senyum begitu? Jeongguk, aku udah lari kayak orang kesetanan. Ini tenggorokan aku panas banget rasanya. Aku ga bisa mikir apa-apa sepanjang perjalanan, sampai aku nanya ke Jimin dan Jaehyun. Jeongguk, jangan gini. Aku khawatir, tahu!”

Jeongguk mengangguk, masih dengan senyuman yang sama. Kemudian, dia tarik tubuh Taehyung ke dalam pelukannya. “I miss you, and I—I need you,”

Jeongguk berkata dengan pelan dan begitu lembut. Namun, entah mengapa Taehyung merasakan dadanya begitu sakit. Nada lembut itu membalut luka yang begitu dalam. Luka yang bersembunyi di dalam diri Jeongguk. Dan Taehyung bisa merasakannya.

Dia balas pelukan Jeongguk dengan begitu erat. Tatapan Taehyung melunak. Ada ekspresi sedih di sana, bercampur dengan rasa bersalah yang begitu dalam. “Maaf, maaf karena aku engga ada di saat kamu butuhin aku tadi. Maaf, aku—” namun Jeongguk buru-buru menaruh jari telunjuknya di bibir Taehyung. Kemudian, kedua telapak tangannya menangkup pipi Taehyung. “SShh. You’re here now, that’s what matters.”

Mungkin dua menit, atau lima menit, mungkin juga sepuluh menit. Entah ada berapa kali putaran waktu yang mereka habiskan dalam posisi itu. Melepas rasa rindu, rasa sedih, rasa takut, dan membiarkan semua itu menguap bersama dengan dinginnya malam. Membiarkan detik berikutnya merasa lebih baik dan jauh lebih ringan.

Setidaknya sebelum Jeongguk menyadari kalau tubuh Taehyung terasa begitu dingin. Hingga dia panik sendiri, lalu sibuk mengusap-usap telapak tangan Taehyung. Sambil heboh mengajak Taehyung untuk pergi dari sana.

Berjalan menuruni anak tangga di Hanyangdoseong, menuju mobil Jeongguk yang di parkir di bawah. Kedua tangan mereka saling bertautan. Saling mencari kehangatan dan mengisi kehampaan yang sempat dirasa. Tubuh Taehyung ditarik merapat, hingga tidak ada celah di antara lengan jaket mereka.

Taehyung menahan bibirnya sekuat tenaga untuk tidak berceloteh. Padahal dalam hati dia ingin sekali menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada Jeongguk. Beberapa menit dia bungkam, hingga akhirnya mulut itu tidak bisa dia kunci lebih lama.

Sesaat Jeongguk duduk di kursi kemudia. Memasankan sabuk pengaman yang melingkari tubuhnya, saat itu juga Taehyung langsung mengajukan pertanyaan. “Kamu kenapa?”

Jeongguk mengangkat kedua alisnya. Kemudian, tidak lama dia tersenyum—lagi. Senyuman Jeongguk selalu penuh arti dan rumit, mengandung banyak makna yang bagi orang lain akan sulit untuk menafsirkannya.

“Kamu kenapa? Ngapain ada di sana sampai malem begini?” Taehyung mengulang pertanyaannya.

Tangan Jeongguk hendak menggapai tuas gigi mobil. Namun, Taehyung buru-buru menahannya. Dia tidak mau pertanyaannya menggantung begitu saja di udara. Taehyung butuh jawaban pasti, bukan senyuman jebakan dari Jeongguk.

Jeongguk menarik napasnya dalam-dalam. Dia tatap wajah Taehyung dengan penuh tanda tanya di sorotan matanya. “Aku merenung.”

Taehyung masih dengan tatapannya yang sama. Dia kurang puas dengan jawaban yang diberikan Jeongguk. Tidak peduli kalau saat ini dia terkesan begitu memaksa. Taehyung hanya ingin kalau tidak ada hal yang ditutup-tutupi di hubungan mereka.

Meski sebenarnya Taehyung memiliki dugaan yang mengarah pada hal yang begitu sensitif untuk Jeongguk. Yaitu, keluarganya.

“Tadi papaku ngasih kabar tentang mama,” Jeongguk mencoba menjawabnya dengan pelan. Kata-katanya kini bahkan tertahan di kerongkongan. Namun, dia merasakan genggaman tangan Taehyung mengerat. Rasanya, seperti ada sebuah magis yang mengantarkan kekuatan untuk dirinya. Hingga Jeongguk sanggup melanjutkan kalimatnya lagi. “Mamaku mau nikah. Minggu depan.”

Hati Taehyung mencelos. Tiba-tiba saja ada sebuah kehampaan di sana. Kosong, tidak nyaman, dan berat. Dan mungkin itulah yang saat ini sedang Jeongguk rasakan.

Taehyung memang belum tahu banyak hal perihal Jeongguk dan keluarganya. Pria itu tidak banyak mengungkit keadaan hubungannya dengan orangtuanya di masa ini. Selain soal perceraian dan rumah yang tidak pernah tenang untuk Jeongguk. Namun, Taehyung tahu kalau itu adalah hal yang berat untuk Jeongguk. Makanya, Jeongguk tidak begitu sering membahasnya.

Kini wajah Jeongguk berpaling dari Taehyung. Memandang jauh ke arah depan dengan tatapannya yang kosong. Dan itu membuat hati Taehyung berkali-kali lipat terasa sakit.

Akhirnya, Taehyung membuka sabuk pengamannya. Melepaskan benda itu dari tubuhnya, agar dia bisa bergerak dengan leluasa. Dia dorong tubuhnya untuk mendekat ke arah Jeongguk. Lalu, dia memeluk tubuh pacarnya begitu saja. Karena Taehyung tidak tahu kata mana yang tepat dijadikan pelipur lara untuk Jeongguk. Yang bisa diberikan hanyalah ini. Pelukannya yang hangat, perasaannya yang tulus. Membiarkan Jeongguk merasakan bagaimana degupan jantung Taehyung pada dada mereka yang saling menempel.

“Ayang, aku engga tahu harus ngomong apa. Tapi aku tahu kalau pasti rasanya berat. Pasti rasanya sedih banget. Boleh kok sedih, sedih aja sampai kamu puas. Sedih aja sampai bosen. Aku bakal tetep di samping kamu. Nangis aja, gapapa. Nanti biar aku yang hapus air mata kamu. Nanti biar aku peluk, aku cium, aku lakuin apa pun buat ngusir rasa sedihnya.” ucap Taehyung. Masih enggan melepas pelukannya pada tubuh Jeongguk.

Dan begitupun dengan Jeongguk. Dengan kedua tangannya yang melingkari tubuh Taehyung. Tersenyum, dengan kelopak matanya penuh dengan genangan air mata. Yang perlahan rasa pilu dihatinya terhapus dengan kehadiran Taehyung di sana. Hingga senyumannya melengkung dengan sempurna, dan air matanya menetes di saat yang bersamaan. “I know, i know you will, Love.”

Taehyung mengangguk. Wajahnya kini beralih ke leher Jeongguk. Terbenam di sana dalam sesaat.

“Makasih, ya?” Ucap Jeongguk. Pelukannya dia renggangkan. Supaya dapat dengan leluasa melihat wajah Taehyung dengan jelas. Dikecuplah bibir milik pacarnya dengan lembut dan singkat. Cukup untuk membuat Taehyung tersenyum. “Kalau malam ini aku nginep di tempat kamu aja gimana?”

Pertanyaan Taehyung yang spontan disambut dengan anggukan dari kepala Jeongguk. “Iya, boleh banget. Aku butuh meluk kamu malam ini, biar bisa tidur dengan nyenyak.”

. . .