COKI-COKI: 241

. . .

A million feelings. A thousand thoughts. A hundred memories. One person.

Masih dengan posisi yang sama seperti beberapa jam yang lalu. Taehyung dan Jeongguk duduk di atas karpet bulu di ruang tengah apartemen Jeongguk. Dengan posisi Taehyung yang duduk di depan Jeongguk, bersandar pada dada bidang pacarnya. Tangan kanannya memegang semangkok berondong jagung, dia pangku di pahanya. Lalu, tangan kirinya dia biarkan bertautan dengan salah satu tangan Jeongguk.

Acara menontonnya nampak lancar. Taehyung hanya akan bertanya akan beberapa hal kepada Jeongguk, karena rasa penasarannya yang begitu tinggi. Selebihnya, anak itu akan dengan anteng menonton adegan yang terputar di layar laptop. Namun, keadaanya tidak bertahan lama. Begitu satu adegan yang sangat memilukan itu muncul.

Layar laptop di hadapannya langsung ditutup. Begitu adegan Nairobi dalam serial Money Heist mati tertembak. Air mata Taehyung sudah bercucuran di pipi. Kepalanya menoleh ke belakang ke samping, di mana Jeongguk mengistirahatkan dagunya di pundaknya. Ekspresinya begitu sedih. Menatap Jeongguk sambil kedua sisi bibirnya melengkung ke bawah, seakan meminta pertanggung jawaban ke pacarnya akibat dari rasa kecewanya itu.

“Kok Nairobinya meninggaaal? Ayang kok engga ngasih tahu aku? Katanya sudah nonton sampai season terbaru kelar!”

Mood Taehyung seketika jatuh tersungkur ke bagian terdalam bumi. Dirinya tidak ada niatan sama sekali untuk melanjutkan tontonannya. Rasanya kecewa sekali, karena salah satu karakter yang dia kagumi harus meninggal. Padahal Taehyung sudah memikirkan banyak kemungkinan bahagia untuk karakter tersebut. Dan sayangnya itu tidak akan terjadi.

Jeongguk mengangkat kepalanya, dagunya tidak lagi dia tumpu pada pundak Taehyung. Tangan yang sedari tadi beristirahat di pinggang Taehyung pun bergerak, menjadi memeluk tubuh pria itu.

Semakin dia menghabiskan banyak waktu dengan Taehyung, semakin dia mengenalnya, Jeongguk menjadi banyak belajar tentang diri Taehyung yang sesungguhnya. Pria itu sensitif, ekspresif, manja dan jujur. Taehyung bisa menangis ketika menonton atau membaca sesuatu. Taehyung sering suka sekali memperhatikan detail dari suatu hal, bahkan sampai ke hal yang dilakukan oleh Jeongguk. Dan masih ada begitu banyak hal menyenangkan lainnya tentang Taehyung yang mungkin akan dia temukan nantinya.

Jeongguk pindahkan mangkok berondong jagung ke atas meja. Lalu, tubuhnya dia condongkan ke depan. Jeongguk tertawa melihat bagaimana ekspresi sedih—namun lucu—terpampang di wajah pacarnya. Buru-buru Jeongguk menghapus air mata yang membuat pipi Taehyung basah. Kemudian, dia mencoba memberi tanggapan dari pertanyaan Taehyung yang penuh rasa kecewa barusan.

“Iya, aku tahu kamu suka banget sama karakter itu. Jadinya, aku sengaja engga ceritain bagian Nairobi meninggal. Nanti kamu keburu down dan engga mood duluan,” Jawab Jeongguk. Namun, jawaban dari Jeongguk tidak seketika membuat tangisan Taehyung berhenti. Tiba-tiba saja sebuah ide terpikirkan olehnya. Ide yang mungkin akan bisa mengalihkan perasaan kecewa dan sedih tersebut. “Kalau aku ceritain dan kasih unjuk hal yang mungkin buat kamu senang, dan bisa balikin mood kamu, gimana?”

Alis Taehyung terangkat. “Apa?”

Jeongguk tersenyum penuh arti. Membuat Taehyung bertanya-tanya dan penasaran, sebenarnya apa yang ingin diceritakan oleh Jeongguk.

“Tunggu sebentar, ya? Aku ambil sesuatu dulu.” Kata Jeongguk, meminta izin untuk beranjak dari posisi mereka duduk. Pria itu berlari kecil, masuk ke dalam kamarnya. Taehyung bisa mendengar suara berisik yang ditimbulkan Jeongguk. Terdengar seperti beberapa barang yang saling berbenturan.

Jeongguk kembali dengan membawa sebuah kotak berwarna abu-abu. Kemudian dia duduk. Kali ini dia di samping Taehyung, bukan lagi di belakangnya.

“Tahu engga kira-kira ini isinya apa?” tanya Jeongguk. Sebuah senyuman usil menghias wajahnya. Taehyung kemudian menggeleng. Tentu saja Taehyung tidak akan tahu, kan Jeongguk belum memberi tahu. “Apa emangnya?” tanya Taehyung.

Jeongguk tidak langsung menjawab. Dia hanya tersenyum, kemudian menunduk dan sibuk membuka kotak yang dia letakkan di hadapannya. Satu persatu barang yang ada di dalam kotak itu dia keluarkan. Ada sebuah sketchbook berukuran kecil. Taehyung ingat kalau Jeongguk dulu sering membawanya ke sekolah. Kemudian, ada juga buku yang mirip seperti bingkai foto, atau memang itu benar-benar bingkai foto. Dan ada juga beberapa helai pita berwarna merah.

Seketika Taehyung merasa De javu dengan pita-pita itu. Pipinya menghangat, kemudian buru-buru dia tutup dengan kedua tangannya. Setelah itu Taehyung berkata dengan nada yang cukup tinggi, “Aku kenal pitanyaaaa.”

Jeongguk tertawa puas sekali. Karena ternyata Taehyung juga mengingat hal tersebut. Setelah selesai mengeluarkan semua benda yang ada di dalam kotak, Jeongguk menarik tangan Taehyung yang sedari tadi menutupi wajahnya.

“Hahaha, jangan ditutupin gitu. Nanti aku engga bisa ceritain nih. Soalnya kamu harus ngeliat langsung ini apa,”

Wajah Taehyung tidak lagi bersembunyi di balik kedua tangannya. Ekspresi lucu dan malunya masih terpasang, namun matanya tetap bisa memperhatikan Jeongguk.

“Iya, benar. Ini pita yang selalu diikat ke coki-coki pemberian seseorang. Dan yang ini,” tangan Jeongguk mengangkat sebuah buku yang berbentuk album foto. Dia mulai membuka album tersebut. Membuat mata Taehyung terbelalak begitu melihat apa yang ada di dalamnya. “Ini surat-surat yang nemenin coki-coki di dalam lokerku. Semuanya aku simpan di dalam bingkai ini, karena takut hilang atau rusak.”

Itu adalah surat-surat yang Taehyung berikan kepada Jeongguk dulu. Semuanya masih sama. Jeongguk benar-benar menjaga surat itu agar kertasnya tidak rusak.

Taehyung menunduk. Air matanya kembali turun tak tertahankan. Semuanya terjun bebas, menghujani wajah tampannya. Sial, bahkan Taehyung sudah tidak terpikirkan lagi seberapa buruk keadaannya. Wajahnya yang lecak dan merah akibat dari acara tangis sejak tadi.

“Aku pikir kamu engga bakal nyimpen itu semua. Bahkan, aku malah mikirnya itu surat kamu buang habis kamu baca.” Ucap Taehyung, di sela-sela tangisnya.

Jeongguk menarik tubuh Taehyung ke dalam dekapannya. Mengelus punggung Taehyung dengan lembut. “Mana mungkin. Aku malah suka bacain ulang surat-surat dari kamu dulu. Jujur, surat itu ngasih banyak kekuatan dan rasa bahagia buat aku. Dulu aku cuma bocah yang belum pintar ngatur emosi, belum paham cara nunjukkin perasaan aku yang sebenarnya,”

Jeongguk membantah apa yang Taehyung pikirkan. Tentu saja dia tidak mungkin membuang harta yang begitu berharga. Di saat Jeongguk remaja tersesat akan artinya cinta dan bahagia, saat dirinya tidak mengenal itu semua dari orang terdekatnya, Kim Taehyung datang memberikan hal itu padanya.

“Kamu juga udah dengar sedikit soal keluargaku ‘kan? Iya, rumahku sering banget ribut. Mama dan papaku, mereka engga pernah bisa laluin sehari aja tanpa perdebatan. Sampai aku bingung, sebenarnya mereka menikah atas dasar apa? Karena, engga mungkin atas dasar cinta. Haha, aku bahkan dulu sempat engga percaya soal cinta, sayang dan sebagainya karena itu.” Jelas Jeongguk. Mengenang kembali rasa sakit yang pernah dulu rasanya. Sekarang ‘pun Jeongguk masih merasakan sakit yang sama. Rasa sakit dari kepingan puzzle hidupnya yang hilang, bahkan tidak pernah ada sejak dulu. Namun, setidaknya kini rasa sakit itu seimbang dengan rasa bahagia yang diberikan oleh kehadiran Taehyung di hidupnya.

Taehyung membatu di tempat untuk sesaat. Dadanya nyeri, seakan kalimat yang dikatakan oleh Jeongguk barusan adalah sebuah pisau. Kalimat itu begitu menyayat dadanya. Hatinya sakit. Dia geser tubuhnya, mendekat ke arah Jeongguk. Kemudian, satu tangannya menggapai tangan milik pacarnya. Dia genggam tangan itu dengan erat. Seakan berkata tanpa suara, kalau Jeongguk tidak akan lagi merasakan sakit yang sama, kalau Taehyung akan menawarkan berjuta rasa bahagia untuk dirinya.

Jeongguk tersenyum kecil. Tangannya balik menggenggam tangan Taehyung dengan erat. Kemudian dia kembali melanjutkan ceritanya. “Surat-surat kamu yang penuh perhatian itu buat aku ngerasa dicintain. Buat aku ngerasa kalau di luar sana ada orang yang peduli sama aku. Sedikitnya, buat aku buang jauh-jauh pemikiran soal cinta seburuk apa yang dialamin orangtuaku.”

“Ada. Ada orang yang sayang dan peduliin kamu sebesar iniii,” kata Taehyung, dia rentangkan satu tangannya ke samping. Dengan maksud bahwa kata ‘ini’ bermakna begitu besar.

Tingkah Taehyung itu berhasil membuat Jeongguk tertawa. Benar-benar menghapus luka yang tadi sempat hampir menguasai dirinya kembali.

“Sini, mau baca bareng aku?” tanya Jeongguk. Kemudian, badan Taehyung ditarik untuk mendekat. Merapat tanpa ada jarak. Dia buka satu persatu halaman dari album tersebut. Mereka membacanya bersama-sama, sambil memutar kembali memori yang tertulis di surat tersebut.

“Ah, aku inget ini. Waktu aku muji kamu setelah pengambilan nilai bahasa inggris. Kamu emang paling keren sih di kelas, sejujurnya. Kalau kamu perhatiin, itu mataku engga kedip sama sekali ngelihatin kamu. Terus yaaa, aksen kamu tuh keren bangeeet. Aku bahkan sempet malu karena harus maju setelah kamu.” Kata Taehyung, sambil jarinya menunjuk satu halaman surat tentang hari yang dia sebutkan.

Mereka menghabiskan banyak menit untuk membaca kembali surat-surat manis yang dulu Taehyung berikan. Menukar tawa, dan mengenang hari-hari indah itu bersama-sama.

Taehyung tidak dapat menjelaskan bagaimana spesifiknya perasaan dia saat ini. Senang? Sangat. Bahagia? Luar biasa. Terharu? Tentu saja!

Jeongguk menyimpan itu semua dengan indah. Membuat Taehyung merasa kalau dirinya benar-benar begitu dihargai, walau itu hanya melalui surat-surat yang pernah dia tulis dan berikan kepada Jeongguk dulu.

Selesai dengan album berisikan surat. Kini Jeongguk menyodorkan sebuah sketchbook yang sampulnya sudah cukup usang. Alis Taehyung kembali terangkat, seakan bertanya apa yang harus dia lakukan. Lalu, Jeongguk langsung mengisyaratkan Taehyung untuk membukanya.

Taehyung mulai membukanya dengan penuh antisipasi. Karena sudah pasti dirinya akan terkejut dengan apa yang akan dia lihat. Dan benar saja dugaannya. Ada sosok yang begitu familier di sana, dibentuk dari goresan-goresan pensil kesayangan Jeongguk.

Sosok Taehyung yang sedang duduk di atas kursi penonton di lapangan bola sekolah. Tempat yang paling Taehyung sukai untuk menghabiskan sarapannya. Dia ‘pun melanjutkan ke lembaran berikutnya. Lagi-lagi sosok dirinya yang muncul. Taehyung ingat saat itu dia ditugaskan menjadi model pada kelas seni lukis. Harusnya setiap anak hanya melukis di kanvas yang disediakan sekolah. Namun, Jeongguk menyempatkan dirinya membuat sketsa Taehyung di buku gambarnya sendiri. Dan sisanya ‘pun sama, berisikan gambar Taehyung yang sedang melakukan berbagai hal. Ini adalah kali pertama Taehyung melihat gambar Jeongguk secara langsung. Namun, rasanya begitu aneh, karena Taehyung juga merasa begitu familier dengan hal ini.

Ada beberapa lembar halaman yang hilang. Terlihat seperti sengaja dirobek. Entah isinya juga adalah gambar Taehyung atau hal lain.

Taehyung akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, “Ada beberapa halaman yang dirobek?”

Jeongguk mengangguk. Membenarkan pertanyaan Taehyung. Ya, karena memang ada beberapa halaman yang dulu dirobek olehnya. Isinya sama, tetap sosok Taehyung yang menjadi model utama di dalam gambar tersebut.

“Oh, iya. Itu beberapa gambar yang aku selipin ke loker kamu dulu. Aku pikir kamu tahu?” jawab Jeongguk dengan nada santai.

Sebentar. Apa kata Jeongguk barusan? Gambar? Diselipkan ke lokernya? Kapan?

“Hah? Diselipin ke lokerku? Kapan?” tanya Taehyung keheranan.

“Semester akhir, sebelum dua bulan sebelum ujian. Aku mulai ngirimin gambar-gambar ke loker kamu. Tapi, engga lama satu sekolah heboh kamu deket sama Jaebeom.” Jawab Jeongguk.

Mata Taehyung membulat. Mulutnya sedikit terbuka. Sepertinya dia tidak percaya dengan informasi yang baru saja dia dapat. Jadi… jadi, selama ini dia salah paham?

“Loh, itu dari kamu? Aku pikir dari Jaebeom. Soalnya, waktu itu ada inisial J di bawah kan. Pas banget Jaebeom nyamperin lokerku, tiba-tiba aja dia ngajak ngobrol dan ngajak aku jalan.”

Kini gantian kedua alis Jeongguk yang terangkat. Jadi, Taehyung selama ini juga salah paham? Jadi, jadi, jadi, mereka berdua itu sebenarnya sama-sama bodoh.

“Aku pikir kamu tahu itu dariku, terus kamu sengaja diemin dan nolak karena kamu udah deket sama Jaebeom.” Kata Jeongguk.

“Ya ampuuuun. Enggaaaa, ujungnya juga aku engga nyaman sama dia. Ya udah deh ga aku lanjutin. Dia masih sering nyamperin aku, tapi engga aku tanggepin juga,” Taehyung menggeleng heboh. Menyadari kalau semesta benar-benar mempermainkannya dan Jeongguk di masa lalu. “Tapi, bukannya kamu cerita ke Jaehyun kalau kamu suka seseorang? Karena itu aku mundur lagi tahu gaaaa? Mana katanya cantik banget.”

“Ya, itu kamu. Aku engga nyebut namanya aja.”

Bodoh. Mereka memang pantas disebut sebagai dua pasang manusia bodoh.

“Ya Tuhan. Ini seriusan engga sih? Kok ternyata kita berdua bodoh banget?” tanya Taehyung, tidak habis pikir juga dengan dirinya dan Jeongguk.

“Oh iya, soal prom night. Aku sebenarnya ngirimin gambar lagi, ajakan jadi pasanganku di prom. Niatnya, kalau kamu balas ya aku mau ungkapin perasaanku malem itu, sekalian izin dan jelasin kalau aku bakal kuliah di Jepang. Tapi, kamu engga bales. Ya, ya udah, aku engga jadi dateng. Takut sakit hati juga ngelihat kamu sama Jaebeom.”

“Ayang… tahu engga? Aku pikir itu dari Jaebeom doooong. Aku engga jawab, karena engga mau ngasih harapan ke dia. Jelas-jelas aku ke prom cuma niat dateng buat satu orang.” Jawab Taehyung, meringis.

Jaebeom, Jaebeom, kenapa juga kamu harus hadir sih di antara mereka! Tapi yang lebih patut disalahkan ya si pasangan bodoh itu. Mereka benar-benar bodoooh.

Jeongguk tertawa, sekaligus meringis. “Ternyata kita beneran sebodoh itu, hahaha.

Taehyung menggeleng heboh, lagi. Benar-benar ini semua di luar dugaannya. Ternyata, Taehyung membuang air matanya dengan sia-sia, untuk skenario cinta sepihak yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Selama ini cinta Taehyung tidak bertepuk sebelah tangan ternyata.

“Tapi, emangnya kamu mulai suka aku dari kapan? Sejak aku ngirimin coki-coki ke kamu?” tanya Taehyung.

Kepala Jeongguk menggeleng. “Dari kelar sepuluh.”

“HAH?”

“Kalau suka yang kayak kagum gitu dari kelas sepuluh. Kamu lucu, suka ngobrol dan ngajak bercanda ke aku dan Yugyeom. Karena kamu dan Mark kan duduk di depanku dan Yugyeom,” Jelas Jeongguk. “Tapi, kalau perasaan yang lebih dari itu ya sejak kelas dua belas.”

Taehyung mengangguk-angguk. Mencoba paham dengan informasi yang begitu banyak dia ketahui malam ini. Entah dirinya harus senang atau kesal dengan kebodohannya di masa lalu.

Jeongguk memanfaatkan keadaan itu untuk memperhatikan wajah Taehyung. Mengagumi keindahan pacarnya di setiap detik yang bergulit, di setiap waktu yang mereka habiskan bersama.

Tingkat kelucuan Taehyung itu meningkat di saat-saat seperti ini. Membuat Jeongguk tidak tahan untuk diam saja. Maka ditariklah pacarnya itu, Kim Taehyung, ke dalam pelukannya. Dia tertawa, sambil tangannya mengusap-usap punggung Taehyung.

Kemudian, dirinya melonggarkan pelukan. Agar dapat melihat kembali wajah Taehyung dengan leluasa. Memberi sedikit jarak, agar tangannya bisa mengelus wajah indah milik Taehyung.

Bagi Jeongguk, apa yang sudah terjadi di masa lalu tidaklah terlalu penting lagi. Karena yang paling penting itu sekarang Taehyung ada di sisinya. Taenyung menjadi miliknya. Taehyung menyayanginya, dan dia tahu itu.

Love you.” ucap Jeongguk, sebelum tubuhnya kembali merapat ke arah Taehyung. Sebelum wajahnya mendekat ke wajah indah Taehyung. Sebelum mata Taehyung terpejam, menanti hal yang selanjutnya akan dilakukan Jeongguk.

Saat bibir mereka kembali lagi bersatu. Saat kedua bibir itu kembali melumat lembut satu sama lain. Saat sengatan menyenangkan terasa di sekujur tubuh mereka. Menuntun keduanya untuk kecupan, lumatan dan isapan yang lebih dalam lagi.

Penuh dengan kasih, penuh dengan cinta, dan rasa bahagia.

. . .