COKI-COKI: 203

. . .

Taehyung tidak bergerak sedikit pun selama lima menit terakhir. Mulutnya ternganga, melongo seperti orang bodoh. Kemudian menatap melas ke arah Jeongguk. Dia tidak curiga sama sekali ketika Jeongguk memarkirkan mobilnya di dekat restoran BBQ. Mengajak Taehyung berjalan di Ihwa mural village, sambil sesekali berhenti untuk mengambil beberapa foto.

Semalaman dirinya sibuk bermain dengan imajinasinya. Membuat skenario kencan yang indah dan manis. Duduk di kafe cantik dengan pemandangan yang menghampar seluruh kota. Mengobrol tentang 10 tahun yang sudah terlewat di antara mereka, sambil menyesap minuman hangat. Berakhir dengan Jeongguk yang menggenggam tangannya saat mereka berjalan menuju mobil pria itu. Taehyung memikirkan kencan terindah pertamanya itu dengan begitu detail. Dan apa yang dilihatnya ini tidak masuk ke dalam skenario yang semalaman dia buat.

Jeongguk mengangkat kedua alisnya. Seakan pria itu mempertanyakan kebisuan Taehyung saat ini. “Kenapa?”

Harusnya Taehyung sudah menduga ini semua. Harusnya dia tidak perlu segala merancang kencan manis dan hangat itu dalam imajinasinya. Karena Jeongguk sejak dulu memang sulit ditebak. Jeongguk tidak akan mungkin membawa Taehyung ke tempat yang mainstream untuk kencan pertama mereka ini.

Alih-alih membawa Taehyung ke tempat yang nyaman dan hangat, Jeongguk justru mengajak Taehyung untuk menjelajah Ihwa mural village. Menyusuri jalan setapak di pinggir Seoul fortress wall. Mengarungi langkah dari kedua pasang kaki itu di tengah udara dingin kota Seoul bulan Januari.

Puncak kebisuan Taehyung berlangsung ketika langkahnya dan Jeongguk berhenti di depan jalan setapak membentuk anak-anak tangga. Kepalanya menggeleng heboh, matanya mulai memelas ke arah Jeongguk. Dia diam hingga lima menit lamanya. Melayangkan rasa protesnya atas ide gila Jeongguk. Berjalan kali dan mendaki anak-anak tangga di tengah musim dingin begini bukanlah ide yang tepat. Setidaknya, semua berjalan lancar bagi Taehyung. Sebelum pada akhirnya sepasang bola matanya menangkap keberadaan anak-anak tangga berselimutkan salju tersebut.

“Kenapa? Kok kepalanya geleng-geleng aja?” Jeongguk kembali bertanya, disertai dengan tawa kecilnya dan wajah tidak bersalah ke arah Taehyung.

“Jeongguk, tahu ‘kan kalau hari ini dingin banget?”

Jeongguk mengangguk. Tentu saja dia tahu. Pagi ini juga Jeongguk sudah memeriksa perkiraan cuaca. Udara memang benar terasa dingin, namun setidaknya kemungkinan besar salju tidak akan turun hingga malam hari. “Tahu kok. Makanya gua bawain ini.”

Sebelah gendongan tas di punggungnya dia lepaskan, ditarik agar tas tersebut berada di dadanya. Satu tangan Jeongguk sibuk mengobrak-abrik isi di dalam tasnya. Kemudian, dia keluarkan syal berwarna biru, secerah langit di musim panas. Jeongguk sengaja menyiapkannya untuk Taehyung. Bahannya tebal dan hangat, dapat membebaskan Taehyung dari rasa dingin yang menyiksa sepanjang perjalanan.

Ristleting tasnya kembali dia tutup, lalu dia gemblok seperti semula. Selanjutnya, tangan Jeongguk menarik tubuh Taehyung. Menyuruh anak itu diam, selagi kedua tangannya melilitkan syal biru itu pada leher Taehyung. Hingga akhirnya Jeongguk yakin kalau leher Taehyung sudah terlindungi oleh syal dengan sempurna.

“Nah, kalau begini kan engga akan terlalu dingin. Oh iya, gua juga bawa hotpack dan minuman hangat di dalam termos.” Jawab Jeongguk santai. Seakan hari ini memang sudah dia rencanakan sedemikian matang.

Taehyung termenung. Tidak ada jalan untuk berputar balik, karena sepertinya Jeongguk tidak memberikan dirinya celah untuk mundur. Pria itu sudah mempersiapkan segala halnya. Pantas saja Jeongguk membiarkan Taehyung memakan banyak daging untuk makan siang. Ternyata, energinya sengaja diisi penuh untuk kegiatan mereka sore ini. Harusnya Taehyung terpikirkan kemungkinan ini barang sedikit saja. Bukan hanya berandai-andai tentang kencan romantis yang sering dia tonton di drama.

Ah, sudahlah, kini yang dapat dilakukan Taehyung hanyalah mengikuti rencana Jeongguk. Ya, rencana gilanya untuk mendaki di tengah udara dingin, menyusuri jalanan yang masih berselimutkan salju. Entah apa yang ada di pikiran Jeongguk ketika memikirkan ide gilanya ini.

Tangan Jeongguk terulur di depan Taehyung. Namun wajah pria itu datar, jadi sulit bagi Taehyung untuk membaca maksud dari gerak tubuh Jeongguk. “Mau jalan sendiri atau perlu bantuan dari gua nih?” tanya Jeongguk. Ternyata itu maksud dari uluran tangannya. Andai saja situasinya berbeda, Taehyung pasti sudah melompat kegirangan di tempat. Dirinya sudah kepalang sebal dan tidak percaya dengan rencana Jeongguk, makanya dia hanya dapat merespons dengan gelengan kepala.

Taehyung menghela napasnya kencang. Kemudian memulai langkahnya menyusuri anak-anak tangga bersalju. Langkahnya dia gerakkan dengan hati-hati, karena takut dirinya dapat tergelincir. Matanya terlalu sibuk memperhatikan langkahnya, hingga tidak sadar kalau Jeongguk berjalan tepat di belakangnya. Pria itu tersenyum lebar, sambil diam-diam menjaga Taehyung.

Sepanjang perjalanan Jeongguk hanya dapat mendengar ocehan dan suara gerutu Taehyung. Berhenti beberapa kali untuk mengatur napas, karena Taehyung merasa kelelahan. Ada kalanya juga Jeongguk yang meminta untuk singgah sejenak, sehingga dia dapat mengambil beberapa gambar di sekitarnya yang begitu cantik. Dan itu semua begitu terasa menyenangkan untuk Jeongguk.

Kim Taehyung, pemandangan kota dari atas Seoul fortress wall, dan waktu yang mereka lalui dalam perjalanan kecil dan sederhana ini, semuanya terasa sangat menyenangkan. Jeongguk sangat menyukai tiga kombinasi tersebut.

Mereka tiba di bagian tertinggi fortless wall menjelang penghujung sore. Mungkin dalam waktu kurang dari dua jam matahari akan terbenam. Taehyung menghela napasnya lega, akhirnya kakinya tidak lagi harus melangkahi tumpukan salju dan takut nyawanya melayang karena tergelincir. Ya, imajinasinya cukup liar sepanjang perjalanan tadi.

Taehyung melenguh, duduk di atas anak tangga, seakan tidak sadar kalau dia baru saja menduduki tumpukan salju yang sedari tadi dia omeli. “Gilaaa, Jeongguk gilaaa. Untung aja kaki gue ga lemes, ga tergelincir. Gue udah takut banget tadi gue kepleset, terus keguling-giling sampai bawah.”

Jeongguk hanya menanggapi omelan Taehyung dengan tawa. Sama persis dengan tanggapannya sepanjang mereka berjalan tadi. Dia membiarkan Taehyung mengoceh dan mengomelinya. Sementara dia jongkok di sebelah Taehyung, kemudian tangannya berusaha menjangkau tangan Taehyung. Menariknya pelan, lalu menyerahkan satu keping hotpack pada telapak tangan Taehyung.

Sorry ya, kalau ternyata engga sesuai ekspektasi lo. Gua cuma mau ngenalin hal yang gua suka aja ke lo. Lain kali kita turutin apa yang lo mau dan lo suka deh.” Kata Jeongguk. Seakan kalimat yang terucap dari mulut Jeongguk berisikan mantra. Mantra yang membisikan permintaan maaf dan rayuan yang memabukkan.

Taehyung menunduk. Lalu, menjawabnya dengan asal. Menghindari tatapan mata Jeongguk yang dapat membuat sekujur tubuhnya terasa panas di tengah udara dingin. “Hmmmmm.”

Jeongguk menyuruh Taehyung untuk berdiri. Tentu saja dengan bantuan kedua tangannya, karena tubuh Taehyung masih begitu berat untuk beranjak dari posisinya. Kakinya melangkah menuju pinggiran tembok tinggi yang membatasi jalanan kecil dengan pemandangan kota Seoul. Dia bersihkan tumpukkan salju di atas permukaan tembok, membersihkannya dengan sehelai kain yang dia bawa.

“Mau coba naik?” tanya Jeongguk.

Mata Taehyung melirik Jeongguk dan tembok yang dimaksud secara bergantian. Setelah mengajak Taehyung mendaki ribuan anak tangga, kini Jeongguk menawarkan Taehyung untuk duduk di atas tembok pembatas. Taehyung hanya dapat menggeleng pelan. Kakinya bahkan sudah terasa lemas hanya dengan membayangkannya saja.

“Gua jagain kok, gua bantu juga naiknya. Indah banget, engga bohong,” Kata Jeongguk.

Taehyung benci sekali dengan fakta kalau perkataan Jeongguk dapat meluluhkan hatinya. Omongan Jeongguk barusan sebagai contoh. Taehyung merasa kalau omongan Jeongguk itu benar-benar menjanjikan sebuah perlindungan pada dirinya.

“Mau?” Jeongguk kembali bertanya.

Dan kali ini Taehyung menjawabnya dengan sebuah anggukan. Meski hatinya berlum 100% yakin dengan keputusannya tersebut. Dia biarkan tubuhnya diangkat oleh Jeongguk. Kemudian dengan susah payah menggapai permukaan atas tembok, mencoba mencari posisi teraman dan ternyaman. Taehyung membiarkan pinggangnya dipegangi oleh Jeongguk. Sembari dia membiasakan dirinya dengan situasi yang dihadapi. Mengusir rasa takutnya, dan mencoba menikmati pemandangan yang disuguhkan di hadapannya. Perlahan senyuman Taehyung merekah. Matanya terpejam, merasakan tamparan kecil udara dingin pada permukaan wajahnya.

“Jeongguk, engga mau naik?” tanya Taehyung. Badannya sedikit condong ke belakang untuk melihat Jeongguk. Tangan kanannya menepuk-nepuk sisi sebelahnya yang kosong.

Kemudian Jeongguk menyusulnya naik. Duduk di sebelah Taehyung dengan senyuman yang mengembang besar. Tempat ini adalah tempat yang berarti untuk Jeongguk. Dirinya memiliki banyak kenangan di tempat ini. Banyak menghabiskan waktunya setiap kali merasa rumah begitu menyesakkan. Kabur dari beratnya masalah yang dihadapi oleh Jeongguk versi remaja dulu. Saat perang dingin terjadi di antara kedua orangtuanya, Jeongguk akan menghabiskan waktunya seharian di sini.

Dia merenung. Menatap pemandangan indah yang dapat membuat Jeongguk lupa akan masalahnya sejenak. Pulang di malam hari. Ketika seluruh kota sudah bermandikan cahaya, di tengah-tengah langit Seoul yang menggelap. Jeongguk banyak membagi rasa sakitnya di sini. Ranting pohon, tembok tinggi dan langit kota Seoul yang menjadi saksinya. Dan kini Jeongguk juga membagi hal tersebut dengan Taehyung.

Matanya memandang lurus ke depan. Memandang kota Seoul yang terlihat begitu kecil dan padat di bawah sana. Kemudian mulai berkata, “Gua dulu sering banget ke sini. Mungkin jaman SMP sampai SMA. Makanya gua berani bilang kalau pemandangannya engga akan bikin nyesel.”

Taehyung menoleh. “Sendirian?”

Jeongguk mengangguk. Semua memori akan hari-hari menyedihkan itu kembali terputar dalam ingatannya. Masa remajanya yang dihabiskan dengan banyak rasa sakit dan trauma. Trauma yang disebabkan oleh keluarga yang sudah tidak utuh lagi. Keluarganya yang memang tidak pernah utuh. Saat kedua orangtuanya bertahan pada hubungan yang sudah rusak. Berharap kalau dengan cara bertahan semua yang rusak itu bisa kembali utuh lagi. Sementara Jeongguk tidak merasa demikian. Dirinya juga ikut hancur, dirinya sudah hancur.

“Iya, sendirian. Persis di tembok ini, gua sering duduk di sini sampai malam. Sampai langit udah gelap dan di bawah sana bangunan-bangunan udah dihiasin lampu yang kelap-kelip.”

Taehyung memperhatikan Jeongguk dari samping. Pemandangan kota yang tadi membuatnya kagum dan lupa akan rasa takut itu kalah. Kini Jeongguk mengambil alih semua perhatiannya. Ada sesuatu dari dalam diri Taehyung, mendorongnya untuk tahu lebih dalam lagi, untuk bertanya lebih banyak lagi.

“Terus lo ngapain aja di sini?”

Kini Jeongguk menoleh. Membuat Taehyung tertangkap basah sedang menatap pria itu tanpa berkedip. Pandangan mata Jeongguk menguncinya, meski Taehyung berniat untuk mengalihkan wajah. Namun, dia tidak dapat melakukan itu.

“Diem aja di sini. Dengerin lagu, gambar, merenung, nikmatin pemandangan kota dari atas sini. Ngapain aja yang penting gua bisa lupa sama rasa sakit,” jelas Jeongguk. Dan Taehyung kini kebingungan harus memberi tanggapan yang bagaimana. “Gua kabur setiap kali orangtua gua berantem hehe.”

Dada Taehyung terasa nyeri, hatinya melenguh. Mendengar kalau Jeongguk banyak menghabiskan waktunya di sini, mendengar alasan mengapa dia kabur dan fakta bahwa pria itu berani membagi hal sensitif ini pada dirinya. Hatinya tersentuh, namun juga terasa pedih untuk rasa sakit yang pernah atau mungkin masih Jeongguk alami.

Jeongguk selalu menjadi murid terdiam, tidak banyak tingkah dan jauh dari kata masalah di sekolah. Taehyung tidak menyangka kalau di balik itu semua Jeongguk harus melalui hari-hari yang berat.

Taehyung selalu berpikir kalau Jeongguk adalah anak manja yang seluruh masa depannya sudah diatur oleh orangtuanya. Anak satu-satunya yang sudah direncananya di mana tempat kuliahnya dan karir setelah dia lulus sejak jauh-jauh hari.

“Sebenarnya, Jepang juga pelarian gua. Gua sengaja mau jauh dari Seoul, jauh dari orangtua gua dan dari rasa sakit.”

Hati Taehyung mencelos. Entah sudah berapa kali dadanya terasa nyeri setiap mendengar kata demi kata yang bergulir keluar dari mulut Jeongguk. “Sorry, gue—gue… sorry.”

Tidak ada kata apa pun yang dapat terpikirkan oleh Taehyung selain kata maaf. Taehyung meminta maaf atas rasa sakit yang harus Jeongguk hadapi. Meminta maaf atas hari-hari berat yang Jeongguk lalui sendirian. Meminta maaf karena sempat membenci Jeongguk atas keputusannya pergi ke Jepang begitu saja.

“Coki-coki, itu kan bukan salah lo. Kenapa minta maaf segala? Hahaha. Udah deh, ganti topik aja gimana? Biar bisa nikmatin pemandangan indah di depan kita nih. Sayang banget kalau dilaluinnya sambil muram-muram begini,”

Taehyung hanya mengangguk. Kepalanya mengalihkan pandang, mencoba kembali menikmati pemandangan di depannya. Meski dalam pikirannya justru dipenuhi oleh cerita Jeongguk barusan.

“Gua cerita begini bukan buat menebar kisah sedih. Gua cuma… gua ngerasa perlu ngebagi ini ke orang yang istimewa buat gua. Maaf kalau bawa lo pergi ke sini. Padahal harusnya ini kencan pertama kita, ya? Hahaha. Gua cuma mau ngasih tahu semuanya tentang diri gua.”

Tanpa sadar setetes air mata Taehyung sudah jatuh ke pipinya. Buru-buru dia menyekanya dengan punggung tangan. “Jeongguk, makasih, ya? Makasih karena udah percaya buat ngebagi ini ke gue.”

Jeongguk mendengar kata-kata Taehyung begitu indah di telinganya, begitu menenangkankan hatinya. Setelah itu Taehyung mulai bertutur tentang dirinya. Mencoba mengalihkan suasana penuh pilu yang sempat menyelimuti keduanya. Taehyung mulai menceritakan kisah lucu semasa SMA, membuat Jeongguk tertawa ketika mengingatnya. Hingga mereka sampai di pertanyaan Jeongguk yang membuat Taehyung terdiam.

“Sebenarnya, dulu lo itu suka sama gua atau engga sih? Hahaha.” Jeongguk bertanya dengan tawa. Sedangkan Taehyung langsung terdiam, menimbang jawaban apa yang akan dia katakan. Seharusnya tidak apa-apa ‘kan kalau dia berkata jujur saat ini?

“Sampai sekarang juga masih…” jawab Taehyung pelan. Membuat Jeongguk memastikan kembali yang samar-samar terdengar oleh terlinganya tersebut. “hah?”

Taehyung menunduk. “Ya, iya. Suka. Sekarang juga.”

Entah mendapat keberanian dari mana hingga dirinya bisa menjawab begitu. Senyuman Jeongguk merekah. Luka yang sempat dia panggil kembali sudah tertutup dengan rasa bahagia dari perkataan Taehyung.

“Gua pikir lo sukanya sama Jaebeom.”

Mata Taehyung melotot. Rasanya malu sekali, dirinya bahkan hampir lupa perihal skandal yang sengaja dia buat dengan Jaebeom. Alias, Taehyung hanya menjadikan Jaebeom pelarian. Untuk menutupi fakta bahwa dirinya benar-benar tergila-gila pada Jeongguk si anak pendiam yang tidak jelas bagaimana perasaannya.

“I-itu, gue cuma pura-pura aja bilang suka Jaebeom. Karena malu ketahuan suka sama lo beneran.” karena lo engga pernah ngerespons lebih. Kata Taehyung dalam hatinya, ngeri kalau Jeongguk akan tersinggung dengan perkataan lengkapnya.

Jeongguk tersenyum getir. Andai saja kenyataan ini dia ketahui sepuluh tahun yang lalu, akan bagaimana kisahnya dengan Taehyung berlangsung?

“Ya, udah berlalu juga. Mau gimana lagi? Hahaha,”

Taehyung tertawa canggung. Jeongguk dapat menangkap perasaan tersebut. Maka dari itu dia kini menegaskan. “Tapi, sekarang sudah lebih jelas ‘kan? Lo tau ‘kan kalau gua sekarang coba buat deketin lo? Maksudnya, untuk hubungan yang lebih… serius?”

Taehyung mengangguk. Lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Rasanya aneh sekali membicarakan hal ini secara terang-terangan. Namun, tidak bohong kalau hatinya bahagia sekali.

Jujur, Taehyung tidak pernah membayangkan kalau pada akhirnya kisahnya dan Jeongguk akan begini. Tidak pernah berani membayangkan bahwa dirinya akan duduk di sebelah Jeongguk, memandang kota Seoul dari atas fortress wall, bertukar memori pilu, dan membicarakan tentang perasaan mereka secara terbuka. Taehyung senang, Taehyung bahagia sekali, berani sumpah.

Saat itu matahari mulai terbenam di ufuk barat. Meninggalkan sentuhan oranye di ujung langit yang tidak tertutup oleh gedung-gedung tinggi dari atas sana. Taehyung tersenyum lebar, tersenyum tulus atas rasa bahagia yang sedang dia rasakan saat ini. Senyuman itu bertahan, bahkan semakin mengembang, ketika tangannya diraih oleh Jeongguk. Digenggam dengan hangat, tanpa Jeongguk menatap ke arahnya. Jeongguk yang juga sedang tersenyum sambil menyaksikan matahari terbenam di kota Seoul pada musim dingin. Bersama dengan orang yang paling disukainya, Kim Taehyung.

. . .