COKI-COKI: 162.

. . .

Kepala Taehyung menunduk sejak tadi. Sepanjang perjalanan dirinya asik menyelam ke dalam pikirannya sendiri. Mencoba mengumpulkan keberanian dan melatih kalimat yang akan dia katakan ketika mobil Jeongguk sampai di S&C. Namun, pada akhirnya kalimat yang sudah dia latih dengan susah payah itu enggan untuk terucap. “Gue,”

Sebelah alis Jeongguk terangkat. Taehyung baru saja mengatakan sepenggal kalimat yang terputus, membuat Jeongguk tergantung oleh rasa penasaran.

“Gue,” ucap Taehyung yang hanya mengulang satu kata yang sama dari tadi. Sabuk pengamannya sudah dilepas sejak mobil Jeongguk terparkir di depan Sugar & Crumbs. Kini tubuhnya dapat leluasa membungkuk, merogoh sesuatu dari tas kanvas yang dia letakkan di dekat kakinya. Kemudian, tangannya mengeluarkan satu kotak bekal. Diserahkan kotak tersebut ke arah Jeongguk. “Gue buat bekal agak banyak. Jadinya, sekalian aja gue bawain buat lo. Mulai sekarang dibiasain sarapan ya.”

Setelah itu, Taehyung keluar dari mobil Jeongguk. Kakinya berlari menyusuri halaman dan melompat kecil di atas anak-anak tangga menuju pintu masuk. Jeongguk hanya bisa tertawa hingga sosok Taehyung tidak terjangkau oleh penglihatannya. Kemudian, pandangannya dapat beralih ke arah kotak bekal yang sedang dia pegang. Senyumannya yang merekah belum juga padam. Malah terlihat kian mengembang.

Beberapa saat pikirannya tertarik mundur. Mengrangkum perasaannya akan sosok anak laki-laki yang dulu menjadi pusat perhatiannya. Saat Jeongguk remaja yang hanya sanggup memperhatikan dalam diam. Dan anak laki-laki yang dulu itu masih tetap menjadi pemegang penuh seluruh perasaan dan pikirannya hingga kini. Bedanya, Jeongguk tidak lagi anak laki-laki yang pengecut.

Jeongguk bukan lagi anak laki-laki yang duduk di bawah pohon, memperhatikan Taehyung dari jauh yang sedang menyuapkan sarapannya di tribun penonton lapangan bola. Bukan lagi pengirim gambar anonim di loker Taehyung, sebagai balasan dari coki-coki dan surat cinta yang dia dapatkan. Bukan lagi si pengecut yang hanya diam saja, saat melihat Taehyung didekati oleh pria lain.

Dan Kim Taehyung bukan lagi sosok yang abu-abu bagi Jeongguk, yang sering kali mengirim sinyal tidak jelas akan perasaannya. Kini Jeongguk tidak peduli mau Taehyung adalah hitam, putih, atau abu-abu. Tekadnya sudah bulat. Dirinya siap berjuang, siap mengejar, siap membuat Taehyung jatuh cinta—lagi—kepadanya.

Karena Jeongguk tahu. Jeongguk sadar betul. Pemilik kepingan hatinya yang hilang itu adalah Kim Taehyung. Hanya pria itu yang dapat menyempurnakan perasaannya. Mau berapa ribu hari yang sudah terlewat pun rasanya akan tetap sama. Hatinya tetap menyebut nama Taehyung sebanyak ribuan kali juga.

. . .