COKI-COKI: 271

. . .

You know you’re in love when you can’t fall asleep because, reality is finally better than your dreams.

Ibunya selalu sama. Selalu menjadi Ibu yang lembut dan menyenangkan. Setidaknya, itu yang dikatakan oleh teman-teman Taehyung setiap kali mereka bertemu Ibunya. Beliau berhasil mendidik Taehyung seorang diri dengan caranya sendiri. Akan tetapi, Taehyung tetap tumbuh menjadi anak laki-laki yang bertingkah laku baik, periang dan pintar.

Taehyung tidak pernah menjadikan kekurangan di keluarganya sebagai alasan untuk berontak pada kehidupan. Dan di sanalah Taehyung sadar, kalau peran Ibunya begitu besar di hidupnya. Ibunya tidak pernah membuat Taehyung merasa kesepian dan kekurangan kasih sayang. Meskipun mereka hanya hidup berdua sejak kepergian sang Ayah.

Bagi Taehyung, Ibunya adalah wanita terhebat di dunia. Begitu juga dengan teman-temannya yang mengenal dekat sang Ibu. Dari sanalah sang Ibu mendapatkan panggilan Mamadari. Gabungan kata dari Mama dan Bidadari, katanya. Namun, sayangnya, sosok Mamadari itu tidak dapat dia temukan hari ini. Karena sang Ibu sudah memandangi Jeongguk dengan galak sejak mereka sampai lima menit lalu.

Taehyung gelagapan. Panik, karena dia bingung kenapa tiba-tiba saja suasana hati sang Ibu berubah. Padahal, dia yakin betul kalau Ibunya begitu senang dan tidak sabar menanti kedatangan Taehyung dan Jeongguk. Bahkan, Ibunya sudah memberikan embel-embel ‘calon menantu’ ketika memanggil pacarnya.

Bingung setengah mati. Taehyung hanya bisa meneguk air minum dari gelasnya. Kemudian, dia berusaha mencairkan suasana dingin di ruang tengah. Bangkit dari duduknya, Taehyung pun berjalan menuju ke arah Ibunya. Dia pijit-pijit pundak wanita yang sudah melahirkannya itu. Dengan maksud agar Ibunya bisa lebih rileks saat menatap pacarnya.

Tubuhnya menunduk, lalu berbisik di telinga Ibunya. “Mama, kenapa ih ngelihatin Jeongguk kayak begitu? Engga enak tahu, nanti Jeongguknya takuttt.”

Sang Ibu hanya melirik sambil mengangkat kedua alisnya. Seakan kalimat Taehyung hanyalah angin lalu di telinganya.

“Jadi, ini yang buat anak mama nangis-nangis waktu dulu?” tanya sang Ibu. Membuat mata Taehyung melotot kaget, dan Jeongguk—yang sedang menyesap teh hangat dari cangkir—tersedak.

“MAMAAAA.” Taehyung langsung berteriak heboh. Wajahnya meringis, kemudian duduk di sebelah Jeongguk sambil memijit pilisnya.

Jeongguk batuk kecil selama beberapa kali. Dia membersihkan tenggorokannya untuk mengambil aba-aba sebelum berbicara. Setelah itu Jeongguk berdiri dari duduknya. Punggungnya membungkuk, memberi salam untuk yang sekian kali sejak tadi. “Sore tante, saya Jeon Jeongguk. Pacar Taehyung dan teman sekolahnya dulu.”

“Iya, nak Jeongguk. Tante sudah banyak tahu tentang kamu kok. Yang sering dikasih coki-coki sama Taehyung dulu ‘kan?”

Jeongguk tersenyum, lalu mengangguk menyetujui. Atau mungkin meringis. Situasi di mana Ibu dari pacar tahu kalau Jeongguk pernah menjadi alasan anaknya menangis. Entah dirinya harus bereaksi apa saat ini. Jeongguk segan dan khawatir, berani sumpah. Jantung di dalam dadanya sedang berisik berdebar. Namun, sebisa mungkin Jeongguk menyembunyikannya.

Rasanya, Jeongguk ingin sekali menghindari tatapan Ibunya Taehyung. Namun, dia tahu kalau tindakan itu tidak tepat dan tidak sopan. Jadi, mau tidak mau Jeongguk harus tahan dengan tatapan tidak bersahabat dari Ibu pacarnya itu.

Dan dua detik kemudian ekspresi di wajah wanita itu berubah. Menjadi lembut dan ramah. Kini, wajahnya dihias dengan senyuman cantik yang mirip dengan mirip Taehyung.

“Tante bercanda kok. Tadi cuma mau ngetes Jeongguk saja. Ternyata nak Jeongguknya sopan dan baik, dilihat dari caranya nanggepin omongan tante.” Jelas sang Ibu yang langsung disambut dengan protesan dari Taehyung. “MAMAAA, bikin panik ajaaa!”

Jeongguk bisa bernapas lega. Senyumannya ikut melengkung dengan lebar melihat interaksi kedua orang di hadapannya. Taehyung yang merajuk, lalu buru-buru memeluk dan mencium pipi Ibunya. Sebenarnya, adegan itu terasa begitu asing untuk Jeongguk. Karena dia tidak bisa menemukan memori yang sama untuk dirinya dan sang Ibu. Entah Jeongguk yang lupa, atau memang benar-benar tidak pernah terjadi.

Namun, Jeongguk tidak ada perasaan buruk akan itu. Jeongguk tidak iri, tidak sedih dan berkecil hati atas kehangatan yang dimiliki Taehyung dan Ibunya. Dia justru senang, karena pacarnya memiliki harta yang berharga itu. Jeongguk senang karena Taehyung tidak memiliki rasa sakit yang sama dengannya.

“Ya sudah, makan dulu yuk. Kalian kayaknya tadi sebentar banget di sana. Belum sempat makan ‘kan?” tanya wanita yang dipanggil ‘Mama’ oleh Taehyung.

Taehyung mengangguk, sambil mengelus-elus perutnya sendiri. “Iyaaa. Buru-buru ke sini, soalnya udah cerita kalau mama masak banyaaak. Ya kan, Ayang?”

Jeongguk tersenyum, kepalanya ikut mengangguk. Membenarkan perkataan Taehyung. Mereka tidak terlalu lama berada di acara tadi. Datang di saat acara benar-benar ingin dimulai dan pergi ketika selesai. Jeongguk bahkan tidak mengunjungi ruangan tunggu pengantin. Dia hanya menatap sang Ibu dari luar ruangan, lalu pergi ketika Ibunya melayangkan senyuman haru.

Setelah itu, Taehyung langsung buru-buru menggeretnya keluar. Mengajaknya bicara dari A-Z. Dan Jeongguk tahu kalau Taehyung melakukannya dengan sengaja. Taehyung ingin mengalihkan seluruh perhatian Jeongguk hanya padanya saja. Tentu saja itu berhasil. Obat terampuh untuk rasa sakitnya yang luar biasa besar adalah Kim Taehyung.

Tangan Jeongguk ditarik Taehyung. Membuntuti Ibu dan anak yang sedang berjalan menuju dapur minimalis di rumah itu. Bentuknya persegi panjang yang diisi dengan empat kursi. Jumlah yang sangat cukup karena mereka tidak memiliki anggota keluarga yang banyak.

Taehyung duduk di kursi yang biasa ditempati, sedangkan Jeongguk ikut duduk di sebelahnya, dan sang Ibu di seberang. Matanya berbinar melihat ada begitu banyak makanan yang dihidangkan di atas meja makan.

Okayyy, jadi menunya malam ini ada… wah banyak!” kata Taehyung dengan nada gembira. Kepalanya menoleh ke arah Jeongguk sambil tersenyum. Disambut dengan anggukan kepala dari pacarnya itu.

“Ya sudah, ayo dimakan. Mama engga mau ini anak-anak ganteng kelaparan di rumah ini.”

Malam itu Jeongguk merasakan kehangatan di ruang makan yang sudah lama tidak dia rasakan. Dia tidak merasa menjadi orang asing sama sekali di sana. Seakan rangkulan hangat Taehyung dan Ibunya itu dapat menembus dinding jiwanya.

Air mata Jeongguk menetes ketika suapan nasi yang ketiga. Air matanya jatuh, namun dia tersenyum. Air matanya jatuh, namun mukan karena kemalangan. Dia menangis bahagia di dalam senyuman. Ibu Taehyung sempat panik, bahkan langsung menghampiri tempat duduk Jeongguk. Beliau memberi Jeongguk dua lembar tissue, lalu Jeongguk mengucap terima kasih dan menghapus jejak air matanya.

Taehyung diam sebentar untuk menatap wajah Jeongguk. Mencoba untuk membaca apa yang dirasakan oleh pria itu, meski sangat amat sulit. Pada akhirnya, Taehyung memilih untuk menggenggam tangan Jeongguk dan tersenyum hangat pada prianya.

“Gimana masakan tante? Denger-denger, nak Jeongguk suka ya? Nanti tante kirimin stok lauk lagi, ya? Pokoknya nak Jeongguk juga harus makan yang banyak dan sehat. Tante tahu banget, anak-anak muda sekarang sukanya makan yang instan-instan. Ckckck.”

Jeongguk meletakkan sendoknya ke atas meja. Kemudian mengangkat jempolnya dan menunjukkannya ke Ibu Taehyung. “Top banget, tante. Masakannya tante engga ada tandingannya. Pokoknya juara internasional, hehehe. Aduh, Jeongguk jadi enak nanti, tante. Jadi ngerepotin tante begini.”

“Ih, nak Jeongguk engga boleh mikir begitu. Nih, ya, tante kasih tahu. Kalau jadi pacarnya Taehyung itu ada syaratnya,”

“Apa itu, tante?” tanya Jeongguk serius.

“Engga boleh canggung. Tante anggap semua teman Taehyungie itu anak tante sendiri, apalagi nak Jeongguk yang pacarnya.” Jawab Ibu Taehyung, sambil memainkan alisnya jenaka. Ah, Jeongguk tahu sekarang dari mana sifat usil Taehyung berasal.

Jeongguk mengangguk paham. Hatinya bahagia sekali, karena dirinya merasa benar-benar disambut dengan hangat oleh Ibu dari pacarnya. Meskipun ini bukanlah kali pertama Jeongguk bertemu dengan sosok beliau. Namun, ini adalah kali pertama pertemuan mereka kembali setelah status Jeongguk dan Taehyung resmi berpacaran.

. . .

Baik Taehyung maupun Jeongguk, keduanya enggan untuk memejamkan mata mereka. Berbaring berhadapan di atas kasur kecil Taehyung, mereka memilih untuk saling menatap dalam diam. Tangan Jeongguk sibuk menyibak rambut Taehyung yang menutupi dahi pria itu. Atau dia sibuk mengelus pipi Taehyung dengan jari-jarinya.

Tangannya tadi langsung ditarik Taehyung begitu mereka selesai menghabiskan makan malam. Dirinya diajak untuk mengikuti tur kecil-kecilan di dalam kamar lama Taehyung di rumah sang Ibu. Dan di sinilah mereka sekarang. Berbaring di atas kasur kecil Taehyung. Tempat Taehyung versi remaja menghabiskan hari-harinya untuk memikirkan Jeongguk sebelum pergi tidur.

“Belum ngantuk?” Jeongguk bertanya sambil menatap mata Taehyung.

“Belum. Kamu, udah?” Taehyung menjawabnya dengan menggeleng.

Bibir Jeongguk tersenyum, lalu ikutan menggeleng. “Belum juga. Masih mau nungguin kamu ngantuk, soalnya lucu muka kamu pas lagi ngantuk.”

“Hih, ini kamu mau ngejek akuuu?” protes Taehyung. Dia cubit tangan Jeongguk dengan pelan, tidak menimbulkan efek sakit sama sekali. Yang ada Jeongguk hanya tertawa pelan. Kemudian, Taehyung kembali mengajukan pertanyaan. “Perasaan kamu gimana hari ini?”

“Hm, perasaanku?”

“Iya. Pasti sedih, ‘kan? Aku khawatir banget waktu di tempat resepsi tadi. Makanya aku pegangintangan kamu terus dan ngajak ngobrol. Kok aku rasanya malah lebih nervous ketimbang kamu ya.” jelas Taehyung.

Jeongguk tertawa sebentar. Kalau dipikir-pikir benar juga. Tadi wajah Taehyung terlihat jauh lebih tegang ketimbang dirinya. Jeongguk justru merasa terkejut karena dirinya tidak merasakan apa pun. Jauh dari apa yang dia duga.

Umm, surprisingly, aku engga ngerasa sesedih itu. Kayak, ya udah gitu. Waktu ngelihat mama dan keluarga barunya ngobrol setelah acara kelar, aku kayak biasa aja. Aneh, ya?” tanya Jeongguk di jeda kalimatnya. Taehyung langsung buru-buru menggeleng. “Engga aneh kok.” Jawab Taehyung.

“Sejujurnya, rasa sedih memang ada. Tapi aku kayak plong aja gitu? Aku bingung mau bereaksi apa, karena hampir sepuluh tahun ini aku minim banget komunikasi sama mama dan papa. Rasanya, aku udah terbiasa sama kesendirianku di keluarga ini. Dari kecil ‘pun begitu. Mama dan papa kalau engga kerja ya pasti berantem.

Cuma, aku tadi mikir aja sih kalau emang mama udah dapetin kehidupan yang baik. Jauh lebih baik sewaktu sama aku dan papa, jadi harusnya aku fine fine aja dengan itu. Hidupku, hidup kami, semuanya harus terus berjalan ‘kan? Luka dan rasa sakitku pun bakal sembuh nantinya. Engga ada gunanya aku terus-terusan dendam sama keadaan keluargaku di masa lalu. Aku, papa dan mama, masa lalu kami itu udah terjadi. Aku engga bisa mengubah masa lalu, engga bisa mengubah apa yang udah terjadi di keluargaku. Yang aku bisa sekarang ya Cuma lanjutin hidupku dengn lebih baik. Daripada aku malah pelihara koreng aja seumur hidupku.”

Taehyung mengangguk setuju. Air matanya sudah tidak dapat dia tahan. Dia membiarkan tetesan air itu membasahi wajahnya. Setelah itu, dia langsung melempar tubuhnya ke arah Jeongguk. Memeluk pria itu dengan erat. Dan membiarkan air matanya keluar lebih banyak di dalam pelukan Jeongguk.

SShh, kok nangis? Hahaha. Nanti mama kamu ngira anaknya diapa-apain sama aku.” Kata Jeongguk. Tangannya memeluk balik tubuh Taehyung. Mencoba untuk menenangkan pria itu dengan mengusap lembut punggungnya.

“Ini emang mataku aja sih yang gampang berair.” Jawab Taehyung beralasan.

Jeongguk hanya tertawa mendengar jawaban lucu dari pacarnya. Tubuh Taehyung kembali ditarik rapat-rapat ke dalam pelukannya. Nyaman, Jeongguk merasa kenyamanan menyelimuti keduanya. Setidaknya, rasa sakit dan bahagia selalu berjalan beriringan. Jeongguk harus mensyukuri kalau masih ada kebahagiaan di hidupnya. Dan kebahagiaannya itu datang dalam wujud Taehyung.

“Kamu engga mau tidur sekarang.” Tanya Jeongguk

Taehyung menggeleng di dalam dada Jeongguk. Lebih memilih untuk menghirup aroma tubuh Jeongguk yang bercampur dengan pewangi di bajunya. Ya, Jeongguk saat ini sedang memakai kaos putih gombrong milik Taehyung. Meskipun jadinya tidak gombrong lagi ketika dipakai Jeongguk.

“Engga dulu. Masih mau bangun, mau pelukin kamu, mau nyiumin kamu.” Jawab Taehyung.

Karena rasanya matanya enggan untuk terpejam. Taehyung enggan untuk pergi tidur dan menjelajah alam mimpi. Karena sosok yang sedang memeluknya saat ini jauh lebih indah dari skenario apa pun yang ditawarkan oleh sang mimpi.

Berada di pelukan Jeongguk. Merasakan tangan Jeongguk menari-nari di punggungnya, mengusapnya lembut. Mendengar detak jantung Jeongguk yang berpadu dengan miliknya saat dada mereka bersentuhan. Semua ini terasa jauh lebih indah daripada pergi tidur dan bermimpi.

Dan Jeongguk pun merasakah hal yang sama. Di saat Jeongguk mengetahui kehadiran Taehyung di dekatnya, saat itu pula semua mimpi terasa tidak begitu indah.

. . .