COKI-COKI: 221.
. . .
I feel this, gravitational pull towards you, like the universe & all the galaxies had a talk and said, “yeah, it’s time.”
Mau tahu ada berapa malam yang terlewat bagi Jeongguk untuk dapat sampai ke hari ini? Butuh... sebentar, ada begitu banyak malam yang terlewat, hingga jarinya tidak dapat lagi menghitung seberapa banyak waktu yang sudah terbuang sia-sia itu. Karena Jeongguk sudah terperangkap di dalam ruang kesalah pahaman selama lebih dari sepuluh tahun.
Seandainya Jeongguk tidak pergi tanpa penjelasan sepuluh tahun yang lalu. Seandainya dia tidak terkecoh dengan kehadiran Jaebeom di antara mereka. Seandainya dia lebih berani mengungkapkan apa yang dirasakan. Mungkin semuanya akan berbeda? Mungkin, Jeongguk sudah menulis ribuan chapter dari kisah mereka berdua, alih-alih berdiri pada lembar pertama dari kisah yang baru siap mereka mulai.
Jeongguk tertawa miris dengan kebodohannya sendiri, ketika langkah kakinya sampai di depan pintu masuk Sugar & Crumbs. Termenung sebentar, sambil menatap sosok yang sedang begitu sibuk di balik etalase kue. Taehyung sedang berbincang dengan anak buahnya yang kepalanya sudah mengangguk kecil lebih dari lima kali, jika Jeongguk tidak salah menghitung. Tidak nampak kehadiran Yoona dan Yoongi di sana. Mungkin mereka benar-benar menerapkan jam kerja yang dibagi, yang mana sebenarnya itu adalah hal bagus. Taehyung jadi memiliki waktu istirahat yang lebih dari sebelumnya.
Senyumannya merekah dengan tangan kanan yang terangkat ke udara. Kemudian, dia melambai-lambai kecil. Tepat ketika Taehyung menangkap kehadiran Jeongguk di depan pintu masuk. Pria itu izin pada Yeonjun, si pekerja baru, lalu berjalan menuju ke arah pintu masuk. Dia buka pintunya sambil memamerkan wajah cemberutnya pada Jeongguk.
“Ngapain di luar? Mau kena hipotermia, huh?” tanya Taehyung diselingi dengan omelan.
Tangannya menarik Jeongguk untuk masuk, menggeret, lalu menyuruhnya duduk di salah satu kursi. Beruntungnya malam ini keadaan toko sudah lengang. Dua pelanggan terakhir baru saja pergi sebelum Jeongguk datang. Jadi, Taehyung mempunyai waktu untuk sedikit mengobrol.
Jeongguk tertawa, lalu satu tangannya menyodorkan kantong berisikan makanan yang entah sejak kapan dia pegang. Taehyung tidak menyadarinya sama sekali.
“Baru aja sampai kok, coki-coki. Pasti belum makan ‘kan?”
Taehyung menggeleng. Matanya berbinar terharu, sambil membuka kantong yang Jeongguk berikan. “Belum. Kok tahu aja kalau gue belum makan?”
Jeongguk hanya tersenyum bangga sambil mengedikkan bahu. Seakan-akan dirinya adalah orang yang paling tahu segalanya tentang Taehyung. Sedangkan Taehyung hanya bisa menyipitkan matanya, lalu tertawa melihat tingkah konyol Jeongguk.
“Ini gua beli empat porsi. Buat kita berdua sama buat anak-anak part time,” kata Jeongguk, sambil tangannya membantu Taehyung mengeluarkan kotak-kotak makanan tersebut. Taehyung kembali menatap Jeongguk dengan tidak percaya, memasang ekspresi pura-pura tersentuh yang dilebih-lebihkan. “Iya, iya, engga perlu makin terpesona gitu.” Kata Jeongguk.
Taehyung beranjak untuk memberi makanan kepada dua pekerjanya. Meninggalkan Jeongguk yang kini sedang menyiapkan makanan dan alat makan untuk mereka berdua. Begitu Taehyung kembali ke kursi mereka, Jeongguk langsung menyodorkan sumpit kayu yang sudah dia pisahkan dengan mulus. Taehyung tersenyum lebar, lalu berkata, “Thanks, hehehe.”
Dia melahap makanannya dengan senang. Tanpa sadar kalau Jeongguk sudah menata semuanya sesuai dengan kebiasaan Taehyung. Kotak makanan di hadapannya, sendok di sebelah kiri, lalu di bagian atas sebelah kanan ada dua minuman yang bersebelahan. Karena Taehyung suka sekali minuman karbonasi, lalu Jeongguk selalu mengingatkan agar Taehyung rajin minum air mineral.
Bibir Jeongguk dihias senyuman simpul. Matanya memperhatikan ekspresi Taehyung yang begitu sibuk dengan makanannya. Bagaimana bibir pria itu selalu mengerucut setiap kali mengunyah. Bagaimana kepalanya mengangguk-angguk ketika merasa makanannya begitu nikmat, lalu tersenyum lucu setelah itu. Ketika sudah puas dengan pemandangan di hadapannya, barulah Jeongguk fokus dengan makanannya sendiri.
. . .
Terkadang Jeongguk memang sulit ditebak. Bahkan sejak dulu hingga sekarang. Jeongguk adalah anak laki-laki yang paling sulit Taehyung pahami, hingga dia dibuat pusing sendiri dengan semua apa yang dilakukannya. Termasuk dengan apa yang mereka lakukan saat ini di dalam mobil Jeongguk.
Mobil Jeongguk terparkir di pinggir jalan, di bawah lengkungan lampu oranye yang meremang. Setelah Jeongguk berhenti untuk membeli bungeoppang dan minuman hangat. Padahal bisa saja mereka langsung pulang ke apartemen, tanpa harus mampir ke mana pun. Dan kini kima belas menit sudah terlewat dengan suara radio mobil yang diatur dalam volume kecil. Jeongguk sibuk mengunyah roti ikan miliknya, Taehyung sibuk menyesap minuman hangatnya.
Setidaknya katakanlah sesuatu, Jeon Jeongguk. Jangan membuat Taehyung merasa canggung dan aneh dengan kesunyian ini. Karena demi Tuhan, suasananya tiba-tiba aneh. Entah karena baru kali ini Taehyung melihat Jeongguk begitu fokus memakan roti ikan, atau karena pencahayaan remang di luar sana yang mendukung.
“Gue kira lo udah kenyang?” tanya Taehyung pada akhirnya.
“Ah? Oh, tiba-tiba aja pengin makan * bungeoppang*. Lo kenapa engga dihabisin?” Jeongguk bertanya balik.
Taehyung menggeleng. “Nanti aja, masih kenyang.”
Setelah itu Jeongguk hanya mengangguk-angguk saja. Membuat Taehyung menghela napas berat. Lalu dia memilih untuk memandang keluar jendela. Menikmati jalanan lengang di malam musim dingin. Di mana hanya ada beberapa mobil yang berlalu-lalang. Mungkin orang-orang sudah berlindung di balik selimut mereka di rumah. Atau mungkin juga ada beberapa yang masih duduk di warung tenda, untuk sekadar menghangatkan badan dengan sebotol soju.
“Taehyung?” panggil Jeongguk. Membuat Taehyung menolehkan kepalanya secepat kilat. Akhir-akhir ini Jeongguk lebih sering memanggilnya dengan sebutan Coki-coki ketimbang nama aslinya. Tentu saja Taehyung agak terkejut.
Kedua alisnya terangkat, seakan itu sudah mewakilkan tanya di hatinya. Entah dirinya sadar atau tidak kalau mobil Jeongguk jauh lebih gelap dibanding jalanan di luar sana.
“Anu—aduh,” Jeongguk berusaha untuk berkata-kata. Mengeluarkan kalimat sederhana yang sebenarnya sudah dia siapkan sejak tadi. Namun dirinya tidak tahu kalau ternyata rasa sesulit itu untuk mengucapkannya secara langsung. “Mm, itu,”
Kerutan pada kening Taehyung terukir semakin dalam. Otaknya seakan ikut membeku dan tidak dapat membantu Jeongguk untuk mengatakan apa yang ingin pria itu katakan. Tentu saja, Taehyung kan juga tidak bisa membaca apa yang ada di pikiran Jeongguk.
“Apa?” tanya Taehyung.
Jeongguk menghela napasnya pelan. Kemudian tangannya melepaskan sabuk pengaman, agar tubuhnya dapat leluasa mengambil sesuatu di kursi bagian belakang. Mata Taehyung mengikuti gerak tubuh Jeongguk. Memperhatikan tangan Jeongguk yang meraih sesuatu yang indah, kemudian menyerahkan benda itu padanya. “Ini, buat lo. Sejujurnya, gua mau banget ngelakuin ini dengan romantis. Tapi gua bingung, karena, you know gua engga familier sama hal ini,”
Taehyung hanya diam. Karena merasa kalau kalimat Jeongguk belum selesai sampai di sana. Ada hal lain yang ingin pria itu katakan.
“Sorry, kalau bukan ini yang ada di bayangan lo. Sorry karena engga nanya lebih lanjut preferensi lo. Tadinya, mau nyoba ngajak candle light dinner di restoran yang pernah lo ceritain. Tapi reservasinya susah banget ternyata, dan gua udah engga sanggup nahan lebih lama. Rasanya udah banyak banget waktu yang gua buang sia-sia. Gua udah pernah menyesal jadi pengecut sepuluh tahun yang lalu. Dan, gua engga mau ngulangin kebodohan yang sama lagi,”
Taehyung hanya dapat menahan napasnya. Adegan ini sebelumnya hanya terjadi di dalam mimpinya saja. Taehyung bahkan terlalu takut untuk memikirkannya di siang hari, hingga harapan kecil itu hanya bisa dia kubur dalam-dalam. Hanya bisa dia putar ketika jiwanya sibuk menjelajah di alam mimpi.
Dan hari ini pun datang. Kali ini Taehyung tidak bermimpi. Telinganya dengan jelas mendengar tiap kata yang keluar dari mulut Jeongguk.
“Kim Taehyung, do you want to go out with me? Would you be my one and only?”
Jeongguk akhirnya berhasil menyelesaikan kalimatnya. Menatap Taehyung yang kini sedang terdiam. Sebelum ini hatinya begitu yakin kalau Taehyung tidak akan menolaknya. Kalau kali ini waktunya sudah tepat untuk mereka berdua. Namun, melihat respons Taehyung yang terdiam begini membuatnya ciut. Rasa percaya diri yang sudah dikumpulkan tiba-tiba saja lenyap. Mungkin Jeongguk harus menyiapkan hatinya untuk rasa kecewa setelah ini.
Namun, Jeongguk sepertinya harus mengurungkan itu semua. Karena di hadapannya itu, Taehyung sedang tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya. “I do.”
“I do, Jeon Jeongguk.” Ulang Taehyung dengan lebih tegas. Meski pipinya menghangat dan mungkin sudah semerah tomat, Taehyung tetap menjawabnya dengan yakin.
Dalam dadanya sedang berlangsung sebuah pesta. Taehyung bisa merasakan kini jantungnya berpacu. Suara pukulan drum dan klarinet berpadu, di tengah-tengah pesta kembang api yang begitu heboh.
Setelah itu Taehyung tidak sadar lagi dengan apa yang terjadi di dalam dadanya. Karena tubuhnya ditarik oleh Jeongguk begitu saja. Mungkin pria itu bisa merasakan debaran jantung Taehyung yang kelewat kencang. Yang Taehyung ingat hanyalah kalau pikirannya kosong saat itu. Karena Taehyung merasa kalau hari itu adalah hari terbahagia selama 29 tahun hidup.
Jauh dari skenario yang sering dibayangkan: tentang pernyataan cinta super romantis seperti yang ada di drama. Taehyung bahkan merasa ini sudah begitu membuatnya bahagia. Di dalam mobil Jeongguk yang terparkir di bawah lampu jalanan, dengan dua gelas karton cokelat panas dan beberapa keping roti ikan. Menurut Taehyung, ini sudah sangat manis. Jeongguk manis dengan caranya sendiri. Dan itu semua sudah lebih dari cukup. Karena yang Taehyung butuhkan hanyalah cinta dan kasih Jeongguk yang tulus.
. . .