begellataes

And then my soul saw you and kind of went, “oh, there you are. I've been looking for you.”

. . .

Embusan angin di pertengahan oktober menyelip masuk, menemani derit pintu kayu yang baru saja dibuka Taehyung. Mari kita ucapkan salam kepada musim gugur!

Taehyung bersyukur ketika kulitnya merasakan suhu ruangan yang begitu hangat. Jungkook menuntunnya masuk ke sisi pojok di bagian depan kafe. Spot kesukaan Taehyung setiap kali anak itu main ke kafe Jungkook. Meja marble berbentuk persegi menempel dengan dinding, begitu juga dengan lampu berbentuk bulat yang menghadap ke bawah di sana. Ada satu hal lagi yang Taehyung sukai dari sudut kafe Jungkook yang itu. Ada sebuah tulisan menyambung di dindingnya, dekat dengan kursi duduknya.

Coffee is always a good idea.

Itu ide dari Jungkook. Karena di kamus Jungkook, kopi tidak pernah salah. Apa pun situatinya.

Taehyung melepaskan mantel cokelat muda yang dia kenakan, bahannya tidak terlalu tebal untuk dipakai di bulan oktober. Masih aman untuk menjaga tubuhnya tetap hangat dan juga tidak merasa pengap. Kemudian disampirkan pada punggung kursi. Duduk manis dengan kaki yang dilipat menyilang di bawah meja. Sembari menunggu kak Jungkook yang izin sebentar untuk masuk ke ruangan staff, Taehyung membuang waktunya untuk memandang keluar jendela kafe.

Di luar sana, sepanjang jalanan, warna oranye telah mendominasi kota. Dedaunan kini sudah berganti warna menjadi oranye, merah dan kuning. Warnanya begitu hangat di mata, meski udara di bulan ini sudah mulai berangin dan agak dingin.

Musim gugur berada pada urutan pertama, di atas ketiga musim lainnya. Padahal Taehyung lahir di bulan bulan Desember, saat puncak musim dingin berlangsung. Namun anak itu tidak begitu kuat dengan udara yang terlalu dingin. Musim panas juga tidak begitu cocok untuk Taehyung yang aktif. Sedangkan untuk musim semi Taehyung berpikir kalau keindahannya tidak bertahan lama.

Sebuah mug putih berisikan cokelat panas mendarat di hadapan Taehyung. Membuat dirinya yang sedari tadi fokus menikmati warna oranye di luar sana mengalihkan pandangan. Dia tersenyum saat melihat cangkirnya, lalu berganti untuk menatap Jungkook.

“Terima kasih, kak Jungkook!” seru anak itu.

Kedua telapak tangannya melingkari mug, menyerap rasa hangat untuk beberapa saat. Lalu dia angkat mug itu dengan hati-hati. Menyesap cokelat panas yang sebelumnya sudah dia tiup beberapa kali hingga suhunya sedikit menurun.

“Omong-omong, Soobin lagi keluar sebentar. Tadi aku nitip carbonara buat kamu dari restoran biasa, engga apa-apa kan? Seingetku kamu belum cerita udah makan siang ini.” Jungkook berkata panjang lebar. Membuat senyuman di wajah Taehyung kian mengembang.

“Iya, engga apa-apa. Kebetulan aku belum makan, kak.” Taehyung menjawab.

Jungkook menopang dagunya pada tangan yang dia tempel di atas meja. Matanya sibuk memperhatikan Taehyung yang sedang menyesap cokelat panasnya. Kepalanya sedikit menunduk, bibirnya mengerucut karena sibuk meniupi mug dengan kebulan asap tipis itu. Membuat Jungkook tertawa tanpa mengeluarkan suara.

Bahkan anak itu masih belum sadar juga kalau sedari tadi Jungkook sibuk memperhatikannya. Jungkook, pria itu suka mempelajari diri Taehyung dalam diam. Jungkook mulai mempelajari kebiasaan-kebiasaan kecil Taehyung. Seperti, Taehyung lebih suka minum cokelat hangat ketimbang kopi susu ketika cuaca dingin. Anak itu suka memeluk cangkir hangat, agar tubuh dan pikirannya bisa lebih rileks. Taehyung juga lebih suka minum cokelat hangat menggunakan mug besat, agar lebih nyaman dipeluk. Jungkook sampai membeli satu cangkir khusus yang hanya akan digunakan ketika Taehyung berkunjung ke kafenya. Jungkook suka memperhatikan tiap gerak-gerik yang dilakukan pria manis itu.

Taehyung mendongak, setelah sibuk berurusan dengan mug berisikan cokelat panas. Matanya membulat. Kaget, ketika dilihat Jungkook dengan fokus menatapi dirinya. Taehyung langsung buru-buru memalingkan wajahnya. Tidak memberikan akses untuk Jungkook bisa leluasa memandang dan membuat pipinya panas.

“Kak! Jangan suka ngeliatin begitu, aku engga nyaman ih.” kata Taehyung. Yang mana membuat Jungkook tertawa terbahak-bahak. Si pria yang lebih muda itu masih sering bersemu dan merasa malu dengan sikap Jungkook. Tidak jarang Jungkook dibuat tertawa geli karena tingkah Taehyung saat malu-malu.

Tangannya meletakkan mug ke atas meja. Taehyung mendecak sebal. “Ck. Ketimbang ngetawain aku, mending kak Jungkook jelasin apa yang bisa aku bantu. Hitung-hitung hemat waktu, biar bisa cepet selesai.”

Namun Jungkook hanya diam saja. Tidak lama, Jungkook memberikan sebuah cengiran pada Taehyung. Membuat Taehyung bergidik ngeri dan bingung, kak Jungkook aneh!.

“Hehehe, aku bohong. Semua persiapan event udah beres sebenernya. Aku cuma mau ketemuan aja, sekalian ngajak kamu pergi nanti sore.”

Taehyung merengut, merasa sebal karena Jungkook ternyata berbohong. Padahal dia sudah mempersiapkan segala skill saat dirinya bekerja di perusahaan EO besar. Niatnya ingin pamer, meski kini dirinya sudah menjadi pengangguran. Namun ternyata kak Jungkooknya itu bohong. Huft.

“Hi, jangan cemberut gitu. Aku nanti mau ajak kamu pergi, mood-nya harus bagus dong.”

. . .

Beberapa helai daun berwarna oranye beterbangan, terbawa angin yang ditimbulkan oleh kendaraan yang berlalu lalang. Namun salah satunya bukanlah mobil sedan hitam milik Jungkook. Dia berkendara dengan santai dan aman, tentu saja karena dia membawa Taehyung bersamanya. Keselamat mereka lebih penting ketimbang buru-buru dimakan waktu.

Mobil Jungkook terparkir di depan toko bertulisankan Allure Diamonds. Membuat alis Taehyung mengerut tajam dan dalam. Bahkan dari bagian depan dan namanya saja Taehyung sudah tahu barang apa yang dijual oleh toko itu. Dirinya sibuk mencerna, sampai tidak sadar kalau Jungkook sudah membukakan pintu untuknya.

Taehyung keluar dari mobil. Diam, mematung, sembari matanya menatap Jungkook penuh tanda tanya. Dia meminta sebuah jawaban melalui tatapannya itu.

Kak Jungkook menuntun Taehyung tanpa memberi jawaban apa pun. Tangan kanannya diletakkan pada pinggang Taehyung dengan protektif namun manis di saat yang bersamaan. Tidak ada tekanan pada sentuhannya, kak Jungkook bahkan mengehargai kenyamanan Taehyung.

Dalam hati ada sebuah pesta kembang api yang begitu heboh. Jantungnya terus-menerus berdegup dengan kencang, sampai dia takut kalau seluruh orang di ruangan itu dapat mendengarnya. Taehyung memandang orang di dalam bantinnya, di dalam cerim yang terus mengulang sebuah kalimat. Diharap hal itu dapat membuat Taehyung jauh lebih tenang.

Gila kali, engga mungkin kan kak Jungkook ngajakin nyari cicin buat kita berdua?

Cermin dengan sosok orang di batinnya itu langsung pecah ketika kak Jungkook berkata, “ayo, kita pilih cicin buat kita berdua. Dua pasang ya, buat tunangan dan nikah nanti.”

Taehyung yang kaget otomatis berteriak. Membuat beberapa pengunjung lain dan karyawan toko melirik ke arah mereka berdua. Buru-buru, mukanya langsung ditutup menggunakan kedua tangannya. “Kak becanda aja nih!”

Jungkook tak bergeming, tak jua bersuara. Dia sangat serius saat ini, sehingga rasanya sedikit kecewa saat Taehyung mengira kalau dirinya sedang bercanda.

“Taehyung, aku serius. Serius banget.”

Tangan yang menghalangi wajah Taehyung ditarik oleh Jungkook dengan pelan. Matanya menatap lurus ke arah Taehyung, meminta atensi penuh dari sang laki-laki manis. Sejak awal memang dirinya dan Taehyung tidak menegaskan status hubungan mereka. Namun, kedua orang itu seharusnya tahu ke mana tujuan mereka berada. Hari di mana Jungkook mengatakan dirinya ingin mencoba mengenal karakter Taehyung, ingin mencoba serius dan meminta Taehyung menjadi teman hidupnya, semua itu adalah kesungguhan.

“Aku serius, Taehyung. Maaf, kamu tahu aku ga pandai deh ngerangkai kata-kata manis. Cuma aku mau tegasin di sini, aku juga mau nanya ke kamu,” Jungkook berhenti sebentar, namun tak semerta-merta membuat rasa gugup Taehyung hilang. “Kim Taehyung, mau jadi teman hidupku?”

Demi Tuhan, Taehyung tidak ingin menangis. Tapi tidak tahu kenapa air matanya tiba-tiba saja sudah menetes sebanyak dua kali, menghiasi pipi mulusnya. “HAH, KAK JUNGKOOOOOK.”

Anak itu sudah tidak peduli lagi dengan orang lain di sekitar mereka. Kini rasanya hanya ada kak Jungkook. Hanya ada dirinya dan kak Jungkooknya dan waktu yang berhenti berputar di sekeliling mereka. Arloji di pergelangannya berhenti berdetak, yang ada hanyalah suara detak jangungnya dengan ritme cepat. Detik itu juga Taehyung langsung melompat masuk ke dalam pelukan Jungkook. Dia mengangguk, tanpa perlu berpikir terlalu panjang.

Jungkook tersenyum bahagia. Menyambut badan Taehyung dalam pelukannya. Mendekap badan pria itu tanpa berniat untuk melepaskannya. Ini adalah kali pertama mereka melakukan kontak fisik di luar bergandengan tangan atau tangan Jungkook yang sering isang mengacak rambut Taehyung.

Nyatanya, tidak butuh waktu yang lama untuk keduanya mengenal karakter satu sama lain. Jungkook dan Taehyung sudah saling mengenal selama hampir dua puluh lima tahun, sama dengan umur Taehyung tahun ini. Jungkook ingat hari di saat Taehyung lahir, salju turun begitu deras memenuhi kota Seoul. Jungkook ingat sang bunda yang mengajaknya menjenguk mami ketika melahirkan anak laki-laki lucu bernama Taehyung. Jungkook yang berumur empat tahun kala itu, tidak pernah berpikir kalau adik bayi yang berada dalam gendongan mami akan tumbuh seindah ini.

Tumbuh indah dan begitu baik. Hingga keduanya saling terikat oleh takdir. Mereka tidak dipertemukan oleh Tuhan hanya sebagai kenalan biasa, tidak juga sebagai kakak-beradik tanpa ikatan darah, melainkan untuk menjadi pelengkap dari satu sama lain. Bertahun-tahun mata mereka tertutup oleh sebuah pemikiran lucu: tidak boleh jatuh cinta, karena mereka seperti keluarga!

Nyatanya, takdir dan semesta memang menginginkan mereka untuk bersatu.

Jungkook sudah berjalan begitu jauh tanpa arah pasti. Berkali-kali dia singgah di tempat yang salah, hingga akhirnya dia menemukan tujuannya yang sebenarnya. Jungkook menemukan arah ke mana kakinya akan melangkah, mengantarkan dirinya pada sebuah kebahagiaan dan keutuhan.

Ternyata Taehyung adalah tujuannya. Taehyung adalah pelabuhan terakhirnya.

. . .

And then my soul saw you and kind of went, “oh, there you are. I've been looking for you.”

. . .


. . .

Embusan angin di pertengahan oktober menyelip masuk, menemani derit pintu kayu yang baru saja dibuka Taehyung. Mari kita ucapkan salam kepada musim gugur!

Taehyung bersyukur ketika kulitnya merasakan suhu ruangan yang begitu hangat. Jungkook menuntunnya masuk ke sisi pojok di bagian depan kafe. Spot kesukaan Taehyung setiap kali anak itu main ke kafe Jungkook. Meja marble berbentuk persegi menempel dengan dinding, begitu juga dengan lampu berbentuk bulat yang menghadap ke bawah di sana. Ada satu hal lagi yang Taehyung sukai dari sudut kafe Jungkook yang itu. Ada sebuah tulisan menyambung di dindingnya, dekat dengan kursi duduknya.

Coffee is always a good idea.

Itu ide dari Jungkook. Karena di kamus Jungkook, kopi tidak pernah salah. Apa pun situatinya.

Taehyung melepaskan mantel cokelat muda yang dia kenakan, bahannya tidak terlalu tebal untuk dipakai di bulan oktober. Masih aman untuk menjaga tubuhnya tetap hangat dan juga tidak merasa pengap. Kemudian disampirkan pada punggung kursi. Duduk manis dengan kaki yang dilipat menyilang di bawah meja. Sembari menunggu kak Jungkook yang izin sebentar untuk masuk ke ruangan staff, Taehyung membuang waktunya untuk memandang keluar jendela kafe.

Di luar sana, sepanjang jalanan, warna oranye telah mendominasi kota. Dedaunan kini sudah berganti warna menjadi oranye, merah dan kuning. Warnanya begitu hangat di mata, meski udara di bulan ini sudah mulai berangin dan agak dingin.

Musim gugur berada pada urutan pertama, di atas ketiga musim lainnya. Padahal Taehyung lahir di bulan bulan Desember, saat puncak musim dingin berlangsung. Namun anak itu tidak begitu kuat dengan udara yang terlalu dingin. Musim panas juga tidak begitu cocok untuk Taehyung yang aktif. Sedangkan untuk musim semi Taehyung berpikir kalau keindahannya tidak bertahan lama.

Secangkir cokelat panas mendarat di hadapan Taehyung. Membuat dirinya yang sedari tadi fokus menikmati warna oranye di luar sana mengalihkan pandangan. Dia tersenyum saat melihat cangkirnya, lalu berganti untuk menatap Jungkook.

“Terima kasih, kak Jungkook!” seru anak itu.

Kedua telapak tangannya melingkari cangkir, menyerap rasa hangat untuk beberapa saat. Lalu dia angkat cangkir itu dengan hati-hati. Menyesap cokelat panas yang sebelumnya sudah dia tiup beberapa kali hingga suhunya sedikit menurun.

“Omong-omong, Soobin lagi keluar sebentar. Tadi aku nitip carbonara buat kamu dari restoran biasa, engga apa-apa kan? Seingetku kamu belum cerita udah makan siang ini.” Jungkook berkata panjang lebar. Membuat senyuman di wajah Taehyung kian mengembang.

“Iya, engga apa-apa. Kebetulan aku belum makan, kak.” Taehyung menjawab.

Jungkook menopang dagunya pada tangan yang dia tempel di atas meja. Matanya sibuk mempe

Now that i know you exist, how do i not love you?

. . .

Seakan waktu berhenti berputar, sekilingnya pun membeku bagai sebuah foto. Jungkook mungkin akan mengutip perkataan Profesor Senovilla tentang perlambatan waktu. Atau perkataan Gary Gibbons, seorang ahli kosmologi dari Universitas Cambridge tentang sebuah waktu yang akan menghilang.

Waktu Jungkook melambat, hingga matanya dapat merekam dengan jelas senyuman indah Taehyung. Sekelilingnya pun membeku, membisu, membatu. Senyuman Taehyung adalah penyebabnya.

Pria manis itu berceloteh panjang lebar, namun telinga Jungkook tidak dapat mendengar apa pun. Jungkook terhipnotis, dia masuk jauh sekali ke dalam mata Taehyung. Hingga rasanya dia lupa apa itu bumi dan daratan. Jungkook menemukan tempat yang jauh lebih indah, itu semua ada di dalam mata Taehyung ketika dia tersenyum.

Rasanya begitu mustahil kalau selama ini dia buta akan hal yang begitu indah. Hal indah yang berada di dekatnya. Jungkook sudah mengenal pria manis ini selama hampir dua puluh lima tahun, sungguh sangat bodoh karena Jungkook telat menyadari ini semua.

“Terus aku pernah dalam sebulan engga makan daging, karena si mami masak bulgogi hampir setiap hari dalam seminggu. Setelah itu aku selalu mual kalau lihat daging!” Taehyung berkata. Melanjutkan ceritanya yang sebenarnya tidak didengar oleh Jungkook.

Pria itu hanya mengangguk dan tersenyum, seakan dirinya sedang fokus mendengarkan cerita Taehyung dengan tenang. Padahal, boro-boro mendengar, matanya masih tenggelam dalam pesona Taehyung yang telat dia sadari itu.

“Kak?” Alis Taehyung mengerut, kepalanya dia miringkan sebelah. Sepertinya dia mulai sadar kalau jiwa kak Jungkook sedang tidak menyatu dengan raganya saat ini. “Kak, kamu dengerin aku engga?”

Mata Jungkook sedikit melebar. “Hah? Ah, denger kok.”

Taehyung mendecih. Tentu saja kak Jungkook nampak tidak mendengarkan dirinya yang dari tadi bercerita panjang lebar. Sebal sekali, ternyata Taehyung berbicara sendirian sejak tadi.

“Aku dengerin kok, tapi engga bisa fokus. Soalnya muka kamu lucu.”

Taehyung masih merajuk. Kedua tangannya dilipat di depan dada, lalu wajahnya dia palingkan.

Jungkook tertawa kecil, lalu mengacak-acak rambut Taehyung dengan lembut. “Jangan ngambek, aku dengerin kok kamu bahas soal daging. Nih, dimakan lagi.”

Dua potong daging yang sudah dibakar dengan matang diletakkan di atas mangkuk nasi Taehyung. Jungkook mengisyaratkan anak itu untuk menlanjutkan makannya. Bibir Taehyung mengerucut lucu. Tangannya yang dilipat di depan dada kini sudah beralih mengambil sendok nasinya lagi.

Bahkan Taehyung tetap terlihat lucu dan cantik saat dirinya merajuk. Bagaimana bisa Jungkook tidak mengulumkan senyuman. Kedua sudut bibirnya itu terangkat secara otomatis.

Setelah itu Jungkook kembali mengambil potongan besar daging dari pemanggang di atas meja. Dia potong daging itu menjadi lima, lalu menggeser piringnya ke arah Taehyung. Semua dilakukan agar Taehyung dapat makan dengan nyaman. Baru setelah itu dia mengambil potongan daging untuk dirinya sendiri.

Dalam diam Taehyung menyadari detail kecil yang dilakukan kak Jungkook. Hanya dengan hal itu pipi Taehyung kini bersemu. Taehyung menyembunyikan sebuah senyuman kecil di balik mulutnya yang terngah mengunyah itu.

Kak Jungkook tidak mengharapkan apa pun. Kak Jungkook pun tidak pernah meminta apa pun dari Taehyung. Dia masih sama, masih tidak banyak berbicara apalagi menuntut.

Pria itu tidak pernah mengatakan tiga kata keramat yang biasa dilontarkan dengan mudah oleh pria lain. Namun anehnya Taehyung tetap merasa dirinya diselimuti oleh banyak kasih dari kak Jungkook. Pria itu memperlakukannya dengan manis melalui tindakan-tindakan kecilnya.

Orang lain mungkin melihat hal itu sepele, namun tidak bagi Taehyung.

Kak Jungkook selalu mengelap bagian atas kaleng soda, kemudian dia membukakannya dan memberikan kepada Taehyung. Tidak pernah menjadi orang yang tidak membalas pesan terakhir, karena Taehyunglah yang sering melakukan hal itu. Dirinya sering kali tanpa sadar meninggalkan pesan kak Jungkook dalam keadaan sudah dibaca.

Taehyung tertawa di sela-sela kegiatan mengunyahnya, sembari memikirkan betapa manisnya sikap kak Jungkook. Membuat orang yang bersangkutan langsung menoleh. “Tae, kenapa? kamu keselek? atau kenapa?”

Taehyung menggeleng dengan heboh, lalu tertawa. Membuat Jungkook semakin bingung. “Engga apa-apa. Kakak ayo lanjutin makan, habis ini kan masih mau ke toko ice cream!”

Taehyung menoleh, tersenyum sambil menatap mata Jungkook. Kemudian satu potongan besar daging melayang ke atas mangkuk Jungkook. Tentu saja Taehyung yang menaruhnya di sana.

“Kakak tuh jangan semua potongan yang besar dikasih ke aku, nanti aku kekenyangan! Kak Jungkook juga butuh makan yang banyaaak, supaya aku gendutnya ga sendirian.”

Setelah itu Jungkook melahap potongan daging pemberian Taehyung. Senyuman menghiasi wajahnya, tidak peduli kalau ada sebuah potongan daging yang sedang dia kunyah di dalam mulut. Sedang Taehyung, anak itu mengulum senyuman malu.

. . .


. . . Take the first step in faith. You don't have to see the whole staircase, just take the first step. . . .

Sebuah teriakan kencang dari arah sebelahnya berhasil membuat Jimin terlonjak kaget. Ini sudah belasan kali Taehyung berteriak sejak film dimulai. Jika anak itu berteriak sekali lagi, Jimin dapat memastikan kalau kaca jendelanya akan pecah. Bukan karena lengkingan teriaknya yang begitu keras, namun karena tetangganya melempar sesuatu agar Taehyung bisa diam.

Jimin menekan layar laptop Taehyung, agar film yang mereka tonton menjadi mode pause. “Taehyung, astaga. Udahan aja deh, kamu berisik banget.”

Taehyung menggeleng, bersikeras kalau dirinya mampu melanjutkan film ini. Namun Jiminlah yang rasanya tidak mampu. Gendang telinganya mungkin pecah dan terkena serangan jantung karena terus-menerus dibuat kaget.

“Gausah dilanjut. Ini kak Hoseok juga udah sampai. DIa di bawah.”

Wajah Taehyung berubah menjadi sedih. Tapi apa boleh buat, dirinya tidak bisa protes kalau Jimin sudah begini.

“Dia suruh masuk aja, langsung naik ke atas. Aku males keluar kamaaar.” jawab Taehyung.

Jimin menggeleng, tidak paham lagi dengan sahabatnya itu hari ini. Kim Taehyung benar-benar mengurung diri di kamar, entah apa alasannya. Akhirnya Jimin bangkit untuk menjemput Hoseok, meninggalkan Taehyung yang masih tengkurap dengan malas di atas kasurnya.

Tubuhnya seakan diberi lem dan enggan untuk bergerak sama sekali, bahkan untuk sekadar mengubah posisinya. Ponselnya diletakkan tak jauh dari pipinya yang menempel dengan bantal. Benda itu bergetar dua kali, dipikir kalau Jimin atau kak Hoseok yang berada di bawah sana menghubunginya. Untuk apa juga?

Namun ternyata nama kak Jungkooklah yang muncul pada notifikasi di layar ponselnya. Taehyung menahan teriakannya kala membaca pesan yang dikirim oleh kak Jungkook. Panik setengah mati, sampai anak itu bangun dari posisi ternyamannya tadi. Taehyung miringis, hingga ekspresi di wajahnya terlihat seperti hampir menangis.

Jimin dan Hoseok langsung terheran-heran melihat penampakan Taehyung. Mereka baru saja masuk ke kamar anak itu dan langsung disambut oleh wajah meringis Taehyung.

Jimin mendekat, lalu duduk di sebelah Taehyung. “Heh, kamu kenapa?”

Anak itu tidak menjawab, dia malah berguling-guling di atas kasurnya. Dipikir Jimin dan Hoseok bisa membaca apa yang ada di dalam pikiran dia mungkin. Setelah beberapa saat bergulingan di kasur, anak itu akhirnya diam. Dia menatap kedua sahabatnya bergantian.

“Kak Jungkook dan bunda otw ke sini. Kenapa pas banget ada kaliaaan???”

Berbeda dengan Taehyung yang lesu, kedua sahabatnya itu langsung bersemangat sekali. Mata mereka berbinar dan tertawa girang.

Sial. Di saat dirinya panik karena bisa saja terjadi hal yang tidak diinginkan saat kak Jungkook bertemu dengan kedua sahabatnya. Jimin dan kak Hoseok itu sudah pasti akan masuk ke dalam aliansi mami dan bunda. Taehyung yakin kalau makan malam ini akan penuh dengan ledekkan dari keempat orang itu.

Huft.

. .


. .

Mami berteriak berulang kali, menyuruh Taehyung untuk turun ke bawah. Bunda dan Jungkook baru saja sampai beberapa menit yang lalu. Beliau juga meminta Jimin dan Hoseok untuk ikut turun ke lantai bawah. Jujur, Taehyung belum menyiapkan hatinya.

Namun sang Ibu tidak akan membiarkan Taehyung berada nyaman dan tenang di kamarnya. Apalagi kalau bunda dan kak Jungkook sedang berada di rumahnya. Ya, pada akhirnya dia memang harus menghadapi situasi ini. Bertemu dengan kak Jungkook setelah acara ajakan serius dari pria yang lebih tua itu. Ditambah, kak Jungkook akan bertemu juga dengan kedua sahabatnya hari ini. Mampuslah Taehyung.

Badannya diangkat oleh Jimin dari kasurnya. Kemudian Hoseok bertugas untuk menggeret anak itu hingga ke lantai bawah. Taehyung meringis, namun hanya bisa pasrah. Tangan kanannya digeret oleh Hoseok, sedang punggungnya didorong oleh Jimin. Taehyung berjalan tanpa tenaga, seolah nyawanya masih tertinggal di kamar kesayangannya.

Badannya ditahan, dipegang oleh Jimin yang berjalan di belakangnya persis. Untunglah, jadi Taehyung tidak akan tersandung hingga terjerembab ke lantai dasar rumahnya sendiri.

Dia tarik napasnya dalam-dalam. Lalu kepalnya diangkat, membuat matanya langsung bertemu dengan kak Jungkook yang sedang duduk di sofa ruang tengah.

Kak Jungkook duduk dengan salah satu kaki menyilang, pahanya memangku tablet kerjanya. Namun ketika mata mereka saling bertemu, benda yang ada di pangkuannya itu terabaikan. Dia malah sibuk mengunci tatapan mata Taehyung, hingga anak itu merasakan sensasi panas pada pipinya.

Pria itu, kak Jungkook, dia tidak melakukan apa-apa. Dia tidak tersenyum dan tidak berkata apa pun, anehnya bisa membuat Taehyung salah tingkah. Mungkin karena kak Jungkook terlihat sempurna tanpa melakukan apa pun. Wajahnya sangat tampan, tubuhnya proporsional, kak Jungkook tidak perlu melakukan apa pun untuk enak dipandang.

Dia letakkan tablet kerjanya ke atas meja. Lalu berdiri, berjalan menghampiri Taehyung yang masih dipegang oleh Hoseok dan Jimin. Karena anak itu bahkan terlihat lemas—sebenarnya malas—untuk berjalan. Senyum kecil kak Jungkook mengembang, sebelum akhirnya berkata, “kamu kenapa? Sakit? Lemes banget.”

Ya, kak Jungkook bertanya pada Taehyung tanpa mempedulikan kalau dua orang lainnya di antara mereka.

Hoseok dan Jimin saling menatap. Memberi isyarat pada satu sama lain, seakan pikiran mereka terhubung dengan sebuah telepati. Dalam hati keduanya merutuki Taehyung dan kak Jungkook yang membuat eksistensi mereka di bumi ini seakan lenyap. Ya, dunia serasa hanya milik berdua.

Kak Jungkook maju, semakin mendekat ke arah Taehyung. Membuat Hoseok otomatis mengambil langkah mundur, Jimin pun bergeser untuk menjauh dari kedua orang itu. Pada akhirnya, Hoseok dan Jimin meninggalkan mereka, memilih untuk membantu bunda dan mami yang sedang sibuk menata meja makan.

“Muka kamu pucet banget. Kamu sakit?”

Taehyung menggeleng. Bibir bawahnya dia gigit, karena sepertinya dia akan mengunci mulutnya rapat-rapat. Namun sikap Taehyung yang begini malah membuat kak Jungkook gemas bukan main. Tangannya hampir saja terulur, hendak mengusap rambut Taehyung dan mengacaknya pelan. Untungnya kesadaran berhasil menarik kembali tangannya untuk turun.

“Es krim stroberinya aku masukin ke dalam freezer ya.”

Taehyung masih menutup rapat mulutnya. Sebagai gantinya, dia mengangguk untuk menjawab pertanyaan kak Jungkook.

Dari arah ruang makan dia mendengar kalau kedua sahabatnya sedang mengobrol dengan mami dan bunda. Tentu saja kalimat bunda tidak absen untuk memperkenalkan dirinya pada dua teman Taehyung itu.

“Temen-temennya Taehyungie ya? Kenalin, bunda calon mertuanya Taehyungie.”

Untuk sekian kalinya Taehyung meringis hari ini. Berbeda dengan ekspresi yang terpasang pada wajah cantik Taehyung, Jungkook justru tertunduk dan menyembunyikan senyumannya ketika mendengar sang ibu mengatakan itu.

Dia bersumpah sudah mendenganya jutaan kali. Namun kini rasanya beda. Ada getaran aneh yang terasa nikmat dari dalam dadanya. Jungkook menyukai perasaan itu.

Tangannya menarik pergelangan tangan Taehyung dengan pelan. Dia genggam tangan ramping Taehyung untuk berjalan ke arah ruang makan.

Pemandangan tidak biasa itu sukses membuat empat pasang mata lainnya yang berada di sana terbelalak. Mustahil sekali, rasanya seperti mimpi. Jungkook berjalan sambil menggandeng tangan Taehyung ke arah ruang makan. Anak laki-laki manis itu menurut, namun kepalanya tertunduk. Seakan dengan tertunduk gurat merah pada wajahnya tidak akan terlihat.

Lalu keempat orang lainnya pura-pura cuek. Mereka melanjutkan pembicaraan yang sempat terpotong. Namun tetap, mata mereka masih mencuri-curi pandang ke arah Taehyung dan Jungkook. Melihat bagaimana manisnya sikap Jungkook ketika dia menarik bangku untuk Taehyung, agar anak itu bisa duduk dengan mudah.

Sepanjang acara makan malam pun keduanya masih menjadi pemeran utamanya. Semua mata tertuju pada Jungkook dan Taehyung. Sang bunda tersenyum penuh arti, sekaligus bangga. Beliau menyaksikan bagaimana gentle sikap sang anak pada Taehyung. Cara dia menuangkan air pada gelas minum Taehyung. Beberapa kali menaruh lauk pada mangkuk nasi pria manis itu. Bahkan hal kecil seperti menggeser piring berisi kimchi milik Taehyung yang berada di ujung meja dan mungkin hapir terjun bebas ke lantai.

Dan dalam hati pun kini Taehyung sedang berteriak atas segala perlakuan manis kak Jungkook. Dia tidak banyak berbicara, namun lebih banyak bertindak. Mungkin juga bukan tipe pria yang akan melontarkan rayuan dan kata-kata manis kepada orang yang dikasihi, namun kak Jungkook akan melakukan apa pun untuk mereka.

Pikiran Taehyung sibuk berkompromi dengan hatinya. Bertanya tentang bagaimana sikap yang harus dia ambil setelah melihat tindakan kak Jungkook. Pria itu terlihat jujur tentang omongannya. Taehyung bisa melihat usaha kak Jungkook yang begitu tulus. Pria itu melakukannya seakan dari hati dan tanpa paksaan sama sekali.

Mungkin sudah waktunya Taehyung untuk mencoba. Taehyung mencoba melangkah dan berjalan menuju kak Jungkook. Tidak apa-apa kalau langkahnya pelan dan berhati-hati. Asal dirinya bisa menimbang dan mengumpulkan keyakinan. Kalau memang kak Jungkooklah tempat tujuan kaki Taehyung melangkah.

. . .

No one is sent by accident to anyone. . . .

Berkali-kali gagal dalam urusan percintaan. Berkali-kali menjalani hubungan tanpa status dan tidak menemui tujuan yang sama di akhir. Taehyung seakan sudah hafal dengan putaran kehidupan percintaannya yang itu-itu saja. Awalnya dia tidak terlalu memusingkan hal ini—kehidupan percintaannya yang pelik—hingga suatu hari dia merasa ada yang aneh.

Hal aneh yang terjadi bukan tentang dirinya saja, melainkan tentang kak Jungkook.

Untuk kesekian kalinya dia mendengar cerita sang Ibu dan sahabat Ibunya. Taehyung sering mendengar cerita tentang kegagalan dalam kisah cinta kak Jungkook. Sebagai contoh, kakak kemarin putus tuh, atau si kakak ditinggal tunangan sama mantannya, Taehyungie tahu mantannya kakak yang terakhir? Oh iya, dia minta putus karena mau pindah jauh banget. Engga sanggup LDR katanya. Dan masih ada banyak cerita lainnya tentang putusnya kak Jungkook dengan sang mantan.

Suatu hari Taehyung meluangkan waktunya untuk merenung di depan cermin. Menatap sosok dirinya yang terpantul di depan sana. Kalau dipikir-pikir, Taehyung tidak jelek kok. Namun mengapa kisah cintanya selalu gagal, bahkan sebelum Taehyung memulainya?

Seakan mendapatkan sebuah titik yang terhubung, Taehyung mulai memikirkan kalau gagalnya kisah cinta kak Jungkook dan dirinya itu karena omongan kedua Ibu mereka yang terus-menerus membicarakan tentang perjodohan.

Omongan mami dan bunda rasanya udah bukan cuma ledekan. Tapi kayak doa, sampai Tuhan denger. Saking seringnya mereka ngomongin soal aku dan kak Jungkook. Taehyung pernah mengeluh begitu kepada teman-temannya, yang tentu saja disambut dengan sebuah tawa puas. Mereka adalah saksi dari perjalanan kisah cinta Taehyung yang berputar di situ-situ saja.

Sebuah helaan napas dari Taehyung adalah akhir dari pikiran panjangnya tentang kutukan perjodohan. Pikirannya yang sempat hanyut sudah kembali berpijak pada daratan.

Matanya memandang ke jam yang melingkari pergelangan tangannya. Ini sudah telat lima belas menit dan kak Hyungshik masih belum memunculkan batang hidungnya. Tahu gitu Taehyung tadi menyempatkan waktu untuk berjalan-jalan mengelilingi department store terlebih dahulu.

Kue stroberi di hadapannya seakan teriak, meminta Taehyung untuk menyentuhnya. Ketimbang dia dibiarkan di atas meja begitu saja.

Tak tahan lagi, Taehyung langsung menyambar ponselnya yang diletakkan di meja. Dia kirim sebuah pesan pada ruang obrolan bersama dengan kak Hyungshik. Namun sialan, kini pesannya bahkan tidak terkirim.

Baiklah, Taehyung hanya akan menunggu sepuluh menit lagi. Kalau pria itu tidak datang dalam waktu sepuluh menit, maka dirinya akan pergi. Tidak peduli kalau Hyungshik sudah di jalan atau bahkan sedang memarkirkan mobilnya di parkiran.

Lima menit berlalu.

Delapan menit.

Sembilan menit.

Sepuluh menit....

Taehyung tersenyum miris. Membayangkan dirinya yang mungkin sekarang terlihat begitu menyedihkan. Seisi ruangan dipenuhi oleh lagu cinta yang terputar dari speaker kafe, namun Taehyung malah kesal mendengarnya. Persetanlah dengan cinta. Memang sepertinya, mau sampai kapan pun kisah percintaannya tidak akan pernah bisa berjalan mulus.

Dia makan strawberry shortcake yang tidak bersalah itu. Mengunyahnya dengan pelan, menikmati waktunya dengan satu suapan asupan manis. Rasa manis krim dan lembutnya kue lumer di dalam mulutnya. Suasana hati yang buruk pun perlahan hilang. Terima kasih, stawberry shortcake memang tidak pernah gagal membuat Taehyung bahagia!

Dia buka satu nama kontak di ponselnya, kemudian menekan tombol block yang tersedia di sana. Taehyung tersenyum puas sambil berdiri. Kemudian kakinya melangkah pergi dari kafe tanpa penyesalan apa pun.

. .


. .

Taehyung sudah bisa mendengar suara tawa Jimin, Hoseok dan Yoongi saat dirinya menceritakan apa yang terjadi hari ini.

Ya, kisah cinta Taehyung yang bahkan belum dimulai malah gagal lagi. Sialan memang Park Hyungshik. Taehyung tidak akan sudi bertemu dan berbicara lagi dengan pria itu.

Kakinya melangkah tanpa arah mengelilingi department store ini. Memasuki satu demi satu toko yang kebanyakan menjual produk high end. Tentu saja dirinya hanya memasuki toko untuk penyegaran mata, karena isi dompetnya akan meringis kala melihat tag harga yang tertera di sana.

Ujungnya, drugstore akan menjadi tempat terindah dan ternyaman bagi Taehyung dan juga dompetnya. Kalau masih di level ini, Taehyung yakin dirinya masih mampu untuk membeli beberapa jenis produk yang bisa membuat suasana hatinya membaik.

Dia berkeliling. Mengambil beberapa sheet mask dan lipbalm dengan varian rasa baru. Sambil mengangguk-angguk lucu, yang tanpa sadar sedikit menarik perhatian orang lain padanya. Namun anak itu tidak menyadarinya, saking dia terlalu asik dengan dirinya sendiri.

Taehyung keluar dari toko dengan senyuman mengembang. Dia tenteng bungkusan karton berisikan belanjaannya. Sudah cukup Taehyung berurusan dengan hari buruknya. Mungkin sekarang waktunya anak itu untuk pulang, berendam dengan air hangat dan tidur lebih awal malam ini. Tenaganya cukup terkuras karena rasa kecewa dan marah satu jam lalu.

Dari dalam sakunya, Taehyung merasakan ponselnya bergetar. Sudah bisa dipastikan kalau oknum yang terus-menerus menghubunginya adalah ketiga sahabatnya. Mereka pasti sedang bertanya-tanya apa yang saat ini Taehyung lakukan bersama kak Hyungshik. Di saat kenyataannya, Taehyung malah sedang memutari department store seorang diri. Tidak ada kak Hyungshik dan kencan manis yang sudah dijanjikan olehnya.

Taehyung menyiuk, menghela napasnya sebentar. Dia ambil ponselnya dari dalam saku, karena benda itu tidak mau berhenti berbunyi.

Matanya melebar sepersekian detik ketika melihat nama yang tertera pada layar ponselnya. Bukan Jimin, Hoseok, Yoongi, apalagi si brengsek Hyungshik.

melainkan, Kak Jungkook.

Taehyung mendeham. Mencoba mengumpulkan suaranya yang mungkin kini sedang tertahan di tenggorokan. Melihat nama kak Jungkook menghubunginya membuat Taehyung syok. Terlalu kaget, nampaknya.

“Um, hallo, kak?” sapa Taehyung ketika dirinya mengangkat panggilan dari Jungkook. Dalam hati dia bersyukur karena pita suaranya masih dapat berfungsi dengan baik.

“Lagi di mana?”

Kak Jungkook bertanya, to the point sekali. Seakan dirinya tidak mendengar sapaan ramah Taehyung dengan suaranya yang sedikit bergetar.

Taehyung menepi sebentar. Mencari sisi yang sepi agar dirinya tidak mengganggu orang-orang yang sedang berlalu-lalang atau sebaliknya. Kakinya bermain-main dengan lantai, mengetuk-ngetuk pelan. Lalu menjawab, “aku lagi di department store, kenapa ya kak?”

“Aku di seberang kamu.” jawab Jungkook

Taehyung masih memasang tampang biasa saja, karena dirinya tidak benar-benar mencerna perkataan Jungkook. Matanya sibuk memandangi sepatunya yang mengetuk lantai tanpa ritme pasti. Setelah beberapa detik Taehyung baru menyadari apa yang baru saja dikatakan Jungkook.

Kepalanya diangkat. Matanya menyusuri sisi lain dari tempatnya berdiri. Benar saja, ada Jungkook di sana. Sedang bersandar pada tembok, satu tangannya menenteng banyak sekali tas karton dari beberapa brand terkenal. Tangan yang satunya terangkat, memegang ponselnya yang tertempel pada telinga.

Mata Taehyung membulat.

“Kakak ngapain?” tanya Taehyung.

Namun sambungan telepon keburu diputus oleh Jungkook. Taehyung melihat pria itu mengambil langkah, mendekat ke arah Taehyung. Iya, Taehyung yakin kalau Jungkook kini berjalan ke arahnya. Karena hanya ada Taehyung yang sedang berdiri di pojokan. Dia tersenyum ketika kakinya sudah sampai di hadapan Taehyung.

“Kamu yang ngapain sendirian di sini?” Jungkook membalas pertanyaan Taehyung yang tadi belum sempat dijawab di telepon.

Taehyung menggaruk tengkuknya, meski tidak ada rasa gatal di bagian sana. “Um, tadi janjian sama temen. Tapi dianya ga jadi dateng, hehe.”

Mata Jungkook mengikuti gerak bibir Taehyung. Gerak tangan anak itu. Bagaimana matanya yang tidak berani menatap Jungkook. Lalu sebuah senyuman miring terpasang di wajah Jungkook. Taehyung terlihat tidak nyaman dengan pertanyaan barusan, Jungkook menyadarinya.

“Oh, habis ini mau ke mana lagi?” tanya Jungkook.

Taehyung diam sebentar, memikirkan apa dia memiliki rencana lain selain segera pulang ke rumahnya dan mengakhiri hari buruknya. Namun sepertinya tidak ada.

“Pulang kayaknya kak, hehe. Kakak sendirian?” tanya Taehyung. Kemudian matanya tertuju pada tas belanja yang ditenteng Jungkook. Sepertinya kak Jungkook bukan tipe orang yang suka menghabiskan waktu dan uangnya untuk berbelanja barang-barang bermerek seperti ini.

“Aku nemenin bunda belanja, tapi bundanya lagi ke toilet.”

Taehyung mengangguk-angguk. Satu hal yang baru dia sadari, kalau sejak tadi Jungkook tidak menggunakan embel-embel kakak untuk menyebutkan dirinya.

“Kamu pulang bareng aku dan bunda aja.”

Taehyung hendak menolak, karena rasanya lebih baik dia pulang sendiri. Mungkin naik taksi atau bus jauh adalah pilihan yang tepat, karena dia bisa merenungkan hari ini. Namun ponsel Jungkook keburu berbunyi, sebuah panggilan dari bunda yang kini sedang mencari-cari anak tampan satu-satunya itu.

“Iya bunda, sebentar ya,” Jungkook berkata sembari melirik ke arah Taehyung. “Aku lagi sama Taehyung nih. Sebentar ya aku jalan ke sana.”

Dan setelah itu Taehyung tidak bisa memutar balik. Dia mengikuti langkah kaki Jungkook, membuntuti pria yang lebih tua empat tahun ketimbang dirinya itu.

Dalam hati dia bertanya-tanya.

Kenapa bisa dia kebetulan bertemu dengan kak Jungkook seperti ini?

Lagi, lagi, takdir seakan menuntunnya pada kak Jungkook.

. . .


The best time for new beginnings is now.

. . .

Adalah canggung. Sebuah kata yang tepat menggambarkan situasi yang terjadi antara Jungkook dan Taehyung.

Asap mengepul dari cangkir kopi di hadapan Jungkook, namun pria itu enggan menyesapnya. Duduk di kursi yang bersisian dengan Taehyung, setelah adegan peluk-pelukan paksa tadi rupanya terasa sangat aneh. Bahkan istilah kopi tidak pernah salah yang ada dalam kamus Jungkook seolah lenyap. Dia membiarkan segelas kopi dengan harumnya yang menyerbak hingga ke indra penciumannya itu tidak bergeming di atas meja.

Dari ruang tengah masih terdengar bisik-bisik tawa dari Bunda dan Mama, entah apa yang mereka bicarakan di sana. Mungkin kisah tentang seseorang kenalan mereka di masa muda, atau sedang puas membahas kedua anaknya. Jungkook dan Taehyung pun tidak tahu. Mereka hanya dapat terduduk dalam balutan suasana canggung di teras belakang.

Taehyung menarik napasnya. Jungkook langsung dapat menangkap ketidaknyamanan yang dirasakan Taehyung. Wajar, Jungkook pun merasa situasi ini memang aneh dan tidak nyaman. Namun dia terlihat lebih mahir mengontrol emosinya sendiri, ketimbang pria yang empat tahun lebih muda itu.

Cangkir kopi yang dibiarkan menganggur beberapa saat diangkat oleh Jungkook. Dia tiup sebentar, membiarkan kepulan asap itu terbang dan pergi. Kemudian menyesapnya. “Kamu kalau mau balik ke kamar engga apa-apa, kok. Kakak di sini aja nungguin bunda”

Taehyung yang sejak tadi tidak berani memandang ke arah Jungkook pun menoleh. Dia tatap sosok Jungkook yang sedang menyesap kopinya dengan tenang. Ya, kak Jungkook memang selalu begitu.

Bahkan sejak umurnya tiga belas tahun, kala dirinya baru masuk SMP, Taehyung sudah dapat melihat sosok kak Jungkook dengan image seperti itu. Kakak, begitu Taehyung memanggilnya memiliki aura yang tenang, dewasa dan juga lembut. Matanya sudah ribuan kali merekam bagaimana sikap Jungkook yang manis pada sang Ibu.

Jungkook tidak pernah marah tiap kali kedua orangtua mereka meledek dan membicarakan perihal perjodohan. Berbeda dengan respon Taehyung yang selalu heboh. Taehyung akan teriak, memprotes, bersemu dan kemudian kabur untuk masuk ke dalam kamarnya.

Sebuah ketukan yang berulang bersumber dari atas meja menyadarkan Taehyung. Dirinya larut dalam pikirannya tadi. Gerak tubuh Jungkook, ekspresi wajah dan cara berbicara pria itu membuat fokus Taehyung buyar.

“Kok bengong? Sana, kalau kamu mau masuk kamar engga apa-apa kok. Omongan bunda dan mami engga perlu diturutin.” kata Jungkook.

Kepalanya menggeleng cepat, tetap mulutnya membisu. Kemudian dia tertunduk. Sibuk menggertakkan jari, membiarkan bunyi kecil yang timbul dari sana menghapus rasa malunya. Sialan, Taehyung ketahuan melamun dan menatap kak Jungkook tadi.

“Canggung banget, ya?” Jungkook kembali berkata, disusul dengan suara tawa kecil yang keluar dari mulutnya. Dia letakkan kembali cangkir kopi pada meja bulat di sebelah.

Taehyung kembali mengangkat kepalanya. Dia mengangguk, memasang puppy eyes yang tidak pernah gagal membuat orang yang melihat gemas. “Banget, kak. Aduh, aku tuh ngerasa ga enak sama kakak karena sering diledek begini.” jawab Taehyung.

Sepasang mata lucu yang berbinar, rambut cokelat gelapnya yang bergoyang ketika kepalanya mengangguk. Hal kecil itu dapat membuat Jungkook mengulas sebuah senyuman tipis.

Selama ini dia tidak pernah ambil pusing pada perkataan sang ibu dan sahabatnya. Jungkook tidak pernah terbebani atau takut untuk mengencani seseorang yang dia suka. Hingga tidak pernah terbersit dalam pikirannya tentang hal ini: sebenarnya dia menganggap Taehyung itu apa?

Hubungan keluarganya sangatlah dekat. Sejak kecil mereka terbiasa main dan bertemu, meski tidak ada begitu banyak komunikasi yang terjalin. Jungkook sejak kecil menjadi pribadi yang pendiam dan tidak banyak bicara. Namun, dia angkat langsung bergerak setiap kali seseorang meminta bantuannya untuk melakukan sesuatu. Setiap Taehyung merengek pelan meminta bantuannya mengambil bola yang tersangkut di atas lemari pajangan, setiap Taehyung kecil tidak sanggup menggapai pintu kabinet untuk mengambil alat makan.

Jungkook tidak pernah memikirkan bagaimana sosok Taehyung untuk dirinya. Apa Taehyung itu adik kecil? Orang asing? Anak dari sahabat bunda atau apa?

Jungkook menyimpulkan perasaannya tanpa pernah berpikir lebih jauh terlebih dahulu. Karena Taehyung lebih muda dan anak sahabat bunda, secara otomatis dia selalu berpikir kalau Taehyung itu adalah seorang adik kecil. Setiap kali bunda dan mamanya Taehyung membahas perjodohan, Jungkook tidak pernah menanggapi dengan serius. Ya, karena dia pikir Taehyung itu adalah seorang adik. Bukan seorang pria manis yang mungkin bisa mengisi relung hatinya.

Selama beberapa tahun hubungan Jungkook dan Taehyung berjarak. Entah karena keduanya sudah tumbuh dewasa atau ada faktor lainnya. Jungkook sibuk dengan studi dan dilanjut dengan urusan pekerjaan. Taehyung juga sudah bukan anak kecil yang selalu mengikuti ke mana pun mamanya pergi.

Dan baru kali ini Jungkook sempat menanyakan hal itu pada dirinya? Sebenarnya posisi Taehyung itu apa?

Taehyung sudah tidak lagi menatap matanya dengan sebuah puppy eyes. Anak itu terus-terusan sibuk melihat ke arah lain. Matanya menyusuri setiap sudut yang bisa dia jelajahi selain tempat Jungkook duduk. Sebelah sudut bibir Jungkook terangkat, lalu menjawab peryanyaan Taehyung tadi, “engga enak kenapa? Emang kelakuan bunda dan mami begitu, kita juga udah hafal. Hahaha.”

Ada sebuah perasaan lega ketika mendengar jawaban Jungkook. Taehyung selama ini khawatir akan tanggapan Jungkook tentang ledekkan bunda dan mami. Dia pikir pria itu akan risih dan muak. Ah, benar juga. Kak Jungkook sudah jauh lebih dewasa secara umur dan mental, dia pasti akan menyikapi hal ini dengan cara yang berbeda dari Taehyung.

“Ah, bener juga. Harusnya kita udah ga heran, karena denger omongan mereka belasan tahun.”

Mata Taehyung berwarna cokelat muda, senada dengan warna rambutnya ketika terpapar oleh cahaya matahari. Jungkook baru menyadari itu setelah seumur hidupnya mengenal anak itu. Jungkook selalu sadar kalau bulu mata Taehyung panjang. Sadar ada sebuah tahi lalat di bagian bawah mata sebelah kanan Taehyung, dekat dengan bulu matanya. Namun Jungkook tidak pernah menyadari kalau warna mata Taehyung ternyata begitu indah.

Ah, Taehyung bukan lagi anak kecil seperti apa yang ada di ingatannya. Sosok Taehyung yang terekam dalam benak Jungkook adalah versi Taehyung beberapa tahun yang lalu. Masih menyandang status sebagai junior di SMA. Versi Taehyung yang jauh lebih kurus dan kecil dibanding sosok yang saat ini Jungkook lihat.

Ternyata Taehyung tumbuh seindah ini.

“Kamu berubah, ya?”

Kata-kata Jungkook membuat kedua alis Taehyung mengerut. Di hadapannya, kak Jungkook sedang menatapnya lekat dan penuh arti. Taehyung berasa ditelanjangi karena tatapan pria itu yang terlalu dalam.

“H-hah? Berubah gimana, kak?”

“Hahaha, engga. Dulu kamu kecil banget badannya, sekarang malah tingginya udah hampir sama kayak kakak.”

Taehyung berdecak. “Emangnya aku kecil teruuus. Kak, aku udah 25 tahun sekarang, udah kerja, udah dewasaaa.”

Jungkook tertawa renyah. Sebuah momen langka yang jarang sekali Taehyung lihat. Biasanya kak Jungkook itu kaku dan kalem. Namun malam ini dia terdengar lebih aktif berbicara dan hangat. Suasana canggung yang sempat menyelimuti mereka pun mencair.

“Iya, iya, keliatan. Sekarang badan kamu berisi, pipinya juga makin bulet.”

Taehyung melemparkan tatapan sebal ke arah Jungkook. “Hih, secara ga langsung kakak mau bilang aku gendut ya?”

Jungkook menggeleng, namun suara tawanya tak kian berhenti. Membuat Taehyung merengut dan mengerucutkan bibirnya dengan lucu. Tangannya merogoh saku celana di sela-sela kegiatan tertawa, lalu Jungkok memberikan ponselnya pada Taehyung. Membuat mata anak itu melebar, seakan bertanya apa yang sedang dilakukan kak Jungkook. “Omong-omong, kayaknya kakak belum nyimpen nomor kamu.”

Tangannya terulur, menggapai ponsel Jungkook. Mulutnya terbuka, karena terlalu sulit mencerna situasi yang sedang terjadi. Dalam hati dia dibuat dilema antara dua hal. Engga, kak Jungkook begini itu wajar, Tae. Engga boleh overthinking atau GR.

tbc. . . .

Seeing you smile makes me smile too.

. . .

Gael melepas sabuk pengamannya ketika mobil sedan milik Aidan berhenti di depan pagar rumahnya. Dia tenteng satu plastik dengan isi mie ayam yamin titipan bang Gio sebelumnya. Dia sudah siap turun dari mobil Aidan, sebelum akhirnya tangannya ditahan oleh sosok pria di sampingnya.

Gael menoleh, matanya sedikit membesar penuh tanya. “Kenapa, Ai?”

Aidan menggeleng. Bibirnya mengukir sebuah senyuman simpul. Dia menikmati pemandangan di hadapannya. Menikmati wajah lucu Gael yang sedang menatapnya. Matanya membesar, bibirnya sedikit terbuka.

“Engga apa-apa, cuma masih mau liat El aja.” jawab Aidan.

Gael langsung otomatis menggigit bibir bawahnya. Meringis, menahan malu yang luar biasa. Ingin sekali rasanya dia memukul pria itu, mengamuk karena telah membuat jantungnya berdegup tidak karuan. Apalagi kali ini Aidan mengatakan itu dengan santai, sambil matanya menatap Gael.

Aidan mengulas senyuman hangat. Membuat perdebatan batin diri Gael berakhir dengan sebuah usapan di kepala pria lucu itu. “Udah, sana turun. Pasti bang Gio udah nungguin dan kelaperan, hahaha.”

Sejak kemarin, waktu dirinya mendeklarasikan kata-kata suka pada Aidan. Yang untungnya saja pria itu juga mengatakan dirinya memiliki rasa yang sama terhadap Gael. Jantung Gael serasa menari-nari, melompat dengan tempo cepat. Bukan dengan tempo musik ballad seperti yang sering didengar Barry, atau jenis musik keroncong yang sering menjadi teman bibi memasak di dapur. Bisa jadi sebuah konser heavy metal sedang berlangsung di dalam sana.

“Ai!” protes Gael.

“Kenapa, hm?”

Gael ingin berkata, kalau Aidan memberikan efek yang luar biasa besar pada kerja jantungnya. Ingin mengatakan kalau dirinya mungkin bisa gila jika terus menerus dibuat tidak berhenti tersenyum. Ingin memaki Aidan yang kini bersikap begitu santai setelah acara pernyataan rasa suka kemarin. Sedang Gael hampir gila semalaman memikirkan Aidan. Barry adalah saksi bagaimana pria lucu itu tidak ada henti mengucapkan nama Aidan.

“Engga, gapapa. Yaudah, El turun ya?”

Namun tangannya kembali ditarik. “Jangan lupa chat Ai ya nanti? Hehehe.”

Gael merengut, namun seulas senyuman merekah dengan indah setelah itu. Kepalanya mengangguk, mewakilkan bibirnya yang kini tidak bisa berucap. Dia terlalu sibuk tersenyum sampai lupa bagaimana caranya berbicara.

“Engga mau, maunya Ai yang ngechat duluan.” ucap Gael. Dalam hati dia bersorak, senang dan suka dengan sisi Aidan yang baru dia temui ini. Sisi Aidan yang manis. Berbeda dengan pria yang pertama kali dia temui.

“Iya, nanti Ai yang chat El duluan. Ai yang ucapin El selamat tidur duluan juga.” jawab Aidan.

Gael tertawa kecil. Kemudian dia kembali berkata, “Yaudah, beneran turun ya nih. Sampai nanti Ai.”

Namun tangannya kembali ditahan oleh Aidan. Tersangka yang menahan tangannya itu kembali tersenyum, membuat Gael mau tidak mau ikut tersenyum. Senyuman Aidan begitu menular malam ini, hanya dengan melihat saja membuat Gael tidak sadar kalau bibirnya sudah membuat lengkungan ke atas. “Besok ke kampus?” tanya Aidan.

Gael mengangguk. Tubuhnya dia sandarkan kembali pada kursi penumpang, namun dia tetap menghadap ke arah Aidan. “Iya, ada jadwal UAS. Tiga mata kuliah pula, untung ga bentrok.”

“Jam berapa emangnya?”

“Jam 10.30, 13.00 sama jam 15.30. Jadi sampai sore masih ada jadwal UAS, huft.” jawab Gael. Wajahnya langsung masam mengingat dirinya ada jadwal UAS esok hari, sedang jam segini dirinya masih belum belajar. Malah duduk dengan nyaman di kursi penumpang mobil Aidan.

“Mau bareng? Tapi ga naik kereta, Ai kayaknya bawa mobil besok.” tawa Aidan.

“Eh, engga apa-apa emangnya? Ai ada jadwal juga?” tanya Gael.

Aidan tertawa, sebelum akhirnya menyahut, “Ya engga apa-apa dong, kan Ai yang ngajak. Besok mau ke kosan Nabil juga kok pagi.”

“Oooh, yaudah kalau gitu. Ayo bareng, hehe!”

Aduh, Gael menjawab dengan semangat. Anak itu tersenyum sampai matanya menyipit, sampai Aidan bisa melihat bulu mata Gael yang panjang ikut turun ke bawah.

“Yaudah. Jam sepuluh kurang 15 menit Ai jemput, ya?”

Gael mengangguk semangat. Namun tubuhnya tidak bergerak kali ini. Dia tidak lagi berpamitan untuk turun dari mobil Aidan. Badannya malah menempel dengan nyaman di sana. Ketika matanya bertemu dengan mata Aidan, anak itu malah tersenyum malu.

“Masih mau di sini?”

“Iya, 5 menit ajaaa. Habis itu El beneran turun deh.”

Tentu saja Aidan tidak akan protes. Dia membiarkan Gael duduk dengan manis di sana, di bangku penumpang mobilnya. Mereka hanya diam dengam senyuman mengembang. Membiarkan waktu terkikis dengan alunan lagu yang sedang terputar di radio. . . .


. . . All the Love, Bae.

Sometimes, soulmate aren’t just lovers.

. . .

Barry yakin kalau hari ini adalah hari yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Apalagi ketika dia mengingat kak Wibbi dan hari sabtu yang mereka lalui bersama. Kak Wibbi si cowok manis yang selalu memasang topeng dingin setiap kali mereka bertemu, padahal aslinya begitu hangat dan lucu.

Ya, awalnya dia pikir harinya sudah cukup bahagia dengan keberadaan kak Wibbi di dekatnya selama seharian ini. Mereka mengobrol, tertawa dan saling menatap dengan penuh damba. Barry merasa begitu bahagia saat mendengar cerita tentang kucing kesayangan kak Wibbi yang bernama Molly. Pria manis itu berkata kalau Barry akan dikenalkan kepada anak bulunya kelak. Setelah itu mereka berjalan berdampingan. Menikmati semilir angin kota Jakarta sembari mengunjungi beberapa museum bersejarah di kawasan Kota Tua.

Namun kadar bahagianya tidak sebanding ketika dia bertemu Gael malam ini. Gael yang bercerita dengan semangat ketika dirinya membahas sosok Aidan. Ada saatnya ketika pipi Gael bersemu, matanya menerawang. Seakan kembali pada momen di mana dirinya dan Aidan menghabiskan waktu bersama.

Ternyata melihat sahabatnya sedari TK begitu semangat dan berbinar saat membicarakan Aidan juga bisa membuat dirinya bahagia. Bahagia sekali, bahkan Barry tidak mengerti kenapa kebahagiaan yang dirasakan Gael seakan tersalurkan dan merasuk pada dirinya.

“Ai itu lucuuu bangeeet. Kadang dia bisa malu-malu, kadang dia juga bisa bertindak spontan yang buat gue degdegan banget, Barry.”

Barry hanya mengangguk, namun ada sebuah senyuman kecil terukir di wajahnya.

Jam sudah menunjukkan pukul 10:45 malam, namun tidak membuat kedua anak itu menghentikan kegiatan mengobrol mereka. Barry tengkurap di atas kasur Gael, sembari salah satu tangannya menopang dagunya. Kedua telinganya masih dengan setia menanti kelanjutan dari ocehan Gael tentang Aidan. Padahal dirinya juga ingin bercerita tentang kak Wibbi, namun melihat Gael yang begitu semangat dia jadi mengurungkan niat.

“Rasanya aneh banget, kayak bocah SMP yang pertama kali jatuh cinta. Aduh, Barry, engga bisa dijelasin. Tapi yang jelas, ada sesuatu dari dia yang bikin gue ga berhenti senyum dan penasaran terus.” Gael kembali berkata.

“Lucu banget ngeliat Gaga jatuh cinta begini. Kayaknya baru kali ini deh sampai segininya, Ga.” Barry berkata. Disambut dengan sebuah anggukan penuh semangat dari Gael. “Iya, gue juga engga tau kenapa bisa begini. Tapi menurut Barry gimana tentang Aidan?” tanya Gael.

Barry bangkit dari posisi tengkurapnya. Dia kini bersandar pada kepala kasur Gael. Kedua tangannya terlipat di depan dada, sesaat wajahnya terlihat menimbang pertanyaan Gael barusan. “Hm, gimana yaaa?”

Gael memutar bola matanya. Kemudian badan Barry habis dipukuli dengan guling milik Gael.

Barry tertawa sembari meringis. Mulutnya berulang kali mengucap kata ampun, yang tentu saja tidak diindahkan oleh Gael. Memang Barry ini suka sekali meledeknya, jadi sesekali harus diberi pelajaran semacam ini.

“Ampuuun, ih, Ga. Iya, iya, Barry jawab nih…” jawab Barry, meminta ampun. Tentu saja bantal guling yang sedari tadi melayang bebas ke badan Barry itu otomatis berhenti. Gael nampak fokus, diam dengan anteng menanti jawaban dari Barry.

“Sejujurnya, Gaga keliatan lebih banyak senyum dan ketawa akhir-akhir ini. Ya, walaupun lo biasanya juga receh dan ketawa mulu. Tapi kali ini kan beda, ada seseorang yang jadi alesan lo buat ketawa. Artinya orang itu bisa bahagiain lo. Selama orang itu bisa bahagiain lo dan buat lo ketawa, jawaban gue ya orang itu baik.”

Setelah itu seluruh wajah dan telinga Gael berubah menjadi merah padam. Kata-kata sahabatnya itu semakin membuat debaran jantungnya berkali-kali lipat dari sebelumnya. Membuat Gael sadar juga kalau rasa tertarik dan penasarannya pada Aidan mungkin kini sudah berkembang.

Badannya tengkurap dan kepalanya langsung disembunyikan ke bawah bantal. Aduh, malu. Padahal tadi dirinya sendiri yang bertanya pada Barry.

“Dih, apa sih sampai salah tingkah gitu hahaha.”

Dengan itu tubuh Gael habis dikelitiki oleh Barry. Membuat pria lucu bernama Gael itu berguling-guling di atas kasurnya. Gini gantian dia yang meminta ampun pada Barry. Napasnya sudah tersenggal-senggal akibat tidak berhenti tertawa. Tapi tetap saja sahabatnya itu tidak dengan mudah memberi ampun.

Dalam hati Barry ikut kegemasan melihat tingkah sahabatnya yang sedang kasmaran itu. Kalau sore lalu dia berpikir alasan bahagianya hari ini adalah kak Wibbi, mungkin pikiran itu sudah berubah sekarang. Ternyata sahabatnya tertawa dan tersenyum bahagia juga bisa membuat dirinya berkali-kali lipat bahagia.

Kegiatan menggelitik tubuh Gael dan tawa dari keduanya terhenti ketika terdengar sebuah bunyi notifikasi dari ponsel Gael. Anak itu langsung buru-buru melompat dan menggapai ponselnya di atas meja.

Sedetik kemudian wajahnya sudah dihiasi oleh sebuah senyuman malu dan semu merah pada pipinya. Pesan singkat dari Aidanlah alasannya.

Ai—dan stalker payah

Udah tidur, ya? Kalau gitu mimpi yang indah ya, El.

. . .


. . .

All the Love, Bae.

A Thousand Times — 095.

It’s the connection we can’t explain.

. . .

Suara mesin mobilnya lenyap. Tergantikan oleh suara rintik hujan yang mengguyur daerah Tebet menjelang sore hari ini. Mobil Aidan terparkir di bawah pohon besar, berlindung dari derasnya hujan sembari menunggu jawaban pesan dari Gael. Layar ponselnya yang berisikan google maps menunjukkan kalau dia sudah sampai di alamat yang dituju.

Di sinilah Aidan, di depan bangunan tingkat dua bercat putih dengan pagar besi yang menjulang tinggi. Ponselnya bergetar, adalah jawaban dari Gael yang sukses membuat senyuman mengembang lebar di wajah tampannya itu.

Ai, sebentar. El keluar dan bawain payung yaaa. Kata Gael dalam pesan singkat tersebut.

Tidak lama, sosok Gael muncul dari balik pagar yang dibuka. Kakinya berlari kecil, menghampiri mobil Aidan tanpa peduli kalau jalanan di depan rumahnya becek dan licin. Rasanya Aidan ingin sekali keluar dari mobil dan menyuruh anak itu berhati-hati. Tidak perlu berlari seperti tadi segala.

Gael tersenyum dan mengetuk kaca jendela mobil Aidan, mengisyaratkan pria itu untuk keluar dan bergabung dalam naungan payung yang dia bawa.

Aidan di dalam sana, dalam mobilnya dengan keadaan mesin mobil yang sudah mati, sedang mengatur napasnya terlebih dahulu. Sebelum akhirnya dia membuka pintu mobilnya, mengusir mundur Gael beberapa langkah. Lalu tersenyum kiku.

“Hai…?” sapa Aidan, canggung.

Gael tertawa, lalu menarik tubuh Aidan untuk merapat ke arahnya. Mereka berbagi naungan payung, sembari berjalan masuk menuju rumah Gael. Bahu mereka berbenturan, menimbulkan sengatan aneh pada diri Aidan. Aduh, sial, gugup sekali. Apalagi jarak keduanya belum pernah serapat ini sebelumnya.

Mereka berjalan dengan hati-hati hingga sampai di teras rumah Gael. Beberapa saat, Gael menyibak bulir-bulir air hujan yang menempel pada payungnya. Dia lipat lagi payung itu dengan rapih. Setelah itu Gael langsung masuk begitu saja ke dalam rumahnya.

Aidan masih diam, menunggu sang tuan rumah member aba-aba selanjutnya. Haruskah dia duduk di kursi yang disediakan di teras ini atau bagaimana.

Dan Gael pun kembali keluar. Matanya memandang bingung ke arah Aidan yang hanya diam berdiri di depan teras.

“Ai, ngapain di luar? Banyak angin tauuu. Berisik juga, nanti ga kedengeran kalau kita ngobrol.” kata Gael. Kemudian tangannya menarik tangan Aidan untuk ikut masuk bersamanya ke dalam rumah.

Rumahnya sepi, Gael tidak bohong perihal Ayah, Bunda dan kakaknya yang jarang berada di rumah ketika akhir pekan. Ini hari sabtu, kedua orangtuanya biasa menghabiskan akhir pekan mereka di rumah kelurga yang berada di luar kota. Sedangkan Gio, dia pasti sibuk mengurus tugas akhirnya di kosan teman. Ah, syukurlah, Aidan jadinya tidak perlu khawatir kalau-kalau dirinya langsung diajak bertanding catur saat ini juga.

“Sebentar ya, El ke belakang dulu. Mau minta tolong bibi buatin minuman anget hehe dan ngambil papan catur di ruang tengah.” kata Gael, lalu memberi isyarat pada Aidan untuk duduk.

Aidan mengangguk dan menurut. Tetap, dia masih mengunci rapat bibirnya.

Samar-samar telinganya dapat mendengar konversasi yang terjadi antara Gael dan sang bibi di dalam sana. Karena wanita—yang dipanggil bibi oleh Gael—agaknya cukup keras berkata.

“Cie adeee, disamperin sama siapa itu? Bibi jarang-jarang ngeliat cowok ganteng main ke sini kecuali Barry.”

Panggilan ade terdengar begitu pas untuk Gael yang lucu.

Aidan tersenyum, ketika telinganya menangkap pekikan tertahan dari Gael. “Ssst, bibiiii nanti dia denger. Ini temen baru ade, bibi jangan ngomong macem-macem ih malu!”

Lagi, Aidan merasakan apa yang acapkali orang-orang katakan. Ada satu momen di hidupku, ketika seseorang bisa menimbulkan efek kupu-kupu beterbangan dengan liar di dalam perut. Menggelitik, namun menyenangkan. Saat hari itu tiba, seharusnya kamu mulai mempertanyaan apa eksistensi dan arti dirinya di hidupmu. Hingga dia dapat memberi pengaruh yang begitu besar.

Pertemuannya dengan Gael sangat amat singkat. Jauh dari kata layak dan manis. Justru kata uniklah yang dapat menggambarkan pertemuan mereka berdua.

Namun itu semua bukanlah penghalang dari rasa di dalam dirinya untuk terus tumbuh. Meski cenderung malu, Aidan selalu senang mengobrol dengan Gael. Karena Gael itu sangat amat lucu, juga teman mengobrol yang baik. Setiap kali dirinya bertemu atau sekadar mengobrol dengan pria itu, selalu ada gejolak aneh dari dalam dirinya. Gejolak aneh, yang membuat dirinya lupa kalau pada dasarnya mereka berdua adalah orang asing. Orang asing yang terasa begitu familiar.

Tentu saja, kalian pernah terjebak di dalam kisah cinta segitiga yang rumit di kehidupan sebelumnya.

Gael kembali dengan nampan berisikan dua cangkir teh hangat dan beberapa camilan. Ah, dia juga mengapit papan catur di ketiaknya. Tenang saja, ketiak Gael tidak bau kok. Kepalanya sedikit dimiringkan ke arah kiri, memperhatikan Aidan yang sedang larut dalam lamunannya.

Gael tersenyum. Hati-hati, kakinya melangkah mendekat. Kemudian dia letakkan cangkir, camilan dan papan catur ke atas meja. Membuat Aidan tersadar dari lamunannya itu.

“Eh, sorry, udah dari tadi El baliknya?”

Gael menggeleng. “Ngelamunin apa sih?”, lalu dia duduk di bagian sofa yang lainnya.

“E-engga hahaha. Rumah El sepi banget, ya?” tanya Aidan mencoba untuk membangun obrolan.

“Hahaha, iyaaa. Kalau weekend gini Ayah dan Bunda di Bogor. Kalau bang Gio paling di kosan temennya belajar, kan tengah bulan ini dia maju sidang.” jelas Gael.

Aidan mengangguk paham.

“Jadi, Ai engga akan ditodong suruh main catur kalau abang El pulang kan ya?”

Gael tertawa geli. “Iya, engga. Ai tenang aja. Tapi, sebelum kita mulai belajar caturnya... El punya permintaan.”

Waduh. Jantung Aidan sedang melompat-lompat bebas di dalam sana, ketika Gael berkata dirinya memiliki permintaan. Ada berbagai macam kemungkinan, namun Aidan tidak bisa memikirkan satu hal pun.

“A-apa?”

“Terima dulu request dari El di twitter, hehehe.”

“Hah… gimana?”

“Ayo mutualan di twitter, Ai.”

Sebentar, Aidan butuh waktu untuk mencari alasan yang tepat.

“Belum bisa sekarang, El.” jawab Aidan pada akhirnya.

“Loh, kenapa?” tanya Gael. Alisnya mengerut.

“Kayak yang Ai bilang waktu itu, mutualannya nanti aja kalau perasaannya udah mutual….”

Gael telihat seperti menimbang sesuatu. “El suka sama Ai. Kalau Ai suka El atau engga?” tanya Gael tiba-tiba.

Wah. Pertanyaan kelewat polos dari Gael itu bisa-bisa membuat jantung Aidan sungguhan melompat keluar kali ini. Bagaimana bisa Gael mengatakan suka dengan begitu tenangnya?

“El suka samai Ai. Kalau Ai suka sama El juga atau engga?” Gael mengulang pertanyaannya.

“Ya…suka.”

Jawaban dari Aidan yang singkat sudah cukup membuat Gael tersenyum puas.

“Berarti perasaannya udah mutual! Hehehe.”

. . .

A Thousand Times — 64.

I like it when you smile, its cute.

. . .

Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali Gael begitu bersemangat seperti sekarang. Padahal siang ini agendanya hanyalah berangkat ke kampus bersama Aidan.

Gael sudah beberapa kali menjalin hubungan dengan seseorang. Dia bukan anak laki-laki dengan minim pengalaman untuk masalah percintaan. Tidak seperti Aidan. Semasa SMA dia pernah berganti pacar sebanyak empat kali, itu juga tidak ada yang benar-benar membuat jantungnya berdebar atau kegirangan seperti sekarang.

Sudah dibilang. Ada yang berbeda dari anak laki-laki aneh bernama Aidan ini. Harusnya Gael takut, karena pria itu sudah seperti penguntit gila di awal-awal pertemuan mereka. Tapi setiap kali Aidan malu, salah tingkah dan kabur saat Gael menatapnya, membuat Gael malah jadi penasaran dengan pria itu. Gael malah menganggap Aidan itu lucu.

Hmmm, lucu katanya.

Lucu, karena mana ada penguntit yang malu-malu dan kabur saat orang yang diuntit mendekatinya. Hanya Aidan yang melakukan itu, malah membuat Gael semakin penasaran akan dirinya.

Selain itu, Gael juga tidak mau berbohong. Tidak mungkin dia berbohong dan mengatakan kalau Aidan itu tidak tampan. Gila, dia tampan sekali. Bisa-bisa Aidan dicalonkan masuk ke dalam daftar pria tampan di universitas mereka.

Sepanjang perjalanan di motor ke stasiun KRL dirinya dibuat senyum-senyum karena membayangkan akan bertemu lagi dengan Aidan. Gio—kakaknya—pasti kebingungan dalam hati.

Gael turun dari motor dengan senyum yang mengembang lebar sekali, membuat Gio mengerutkan keningnya. “Dek, lagi ga sehat ya hari ini?”

Gael menggeleng tidak santai. “Sehat banget kok! Udah, bang Gio pergi sana. Katanya mau ke Gramedia Matraman dulu. Gaga berangkat ya baaang.” setelah itu Gael langsung berlari memasuki stasiun KRL Tebet dengan wajah riangnya.

Kira-kira si Aidan sudah sampai belum ya?

Lalu nanti mereka harus mengobrolkan apa?

Padahal sejak kemarin Gael sudah semangat sekali ingin bertemu. Tidak tahu juga alasannya apa, yang jelas dirinya hanya ingin bertemu Aidan.

Langit Jakarta siang ini mendung, diselimuti oleh awan berwarna kelabu yang siap menumpahkan airnya ke seluruh penjuru kota. Biasanya Gael akan sangat membenci hujan, apalagi hujan di musim panas yang sangat tidak jelas ini. Hujan yang sering menjadi penghambat untuk dirinya berangkat ke kampus.

Tapi hari ini cuaca mendung dan ancaman turun hujan di seluruh kota tidak mampu membuat suasana hatinya menjadi buruk. Soalnya dia sudah keburu senang memikirkan Aidan.

Aidan, Aidan, Aidan!

Gael bersenandung kecil, mungkin hanya dirinya yang dapat mendengar suara senandungnya sendiri. Kartu e-money miliknya ditempelkan pada alat yang ada di pintu masuk stasiun, lalu setelah itu kakinya melangkah dengan santai menuju peron 1—jalur kereta arah Depok-Bogor.

Senyumannya semakin mengembang ketika melihat Aidan sedang duduk di bangku peron seorang diri. Hari ini Aidan hanya mengenakan kaos hitam lengan pendek, jaket berwarna biru donker, dipadukan dengan celana jeans berwarna senada dengan kaosnya. Tas ranselnya dia gendong di punggungnya, lalu tangannya memegang satu botol air mineral juga bungkusan kertas Roti'o. Pasti dia membelinya tadi di dekat pintu masuk stasiun.

Gael menggigit bibir bawahnya, sembari kakinya berjalan menghampiri tempat di mana Aidan duduk.

“Kiw, cowok. Sendirian ajaaa....”

Aidan agak sedikit mendongak ke arah kirinya, di sana Gael berdiri dengan wajah indahnya seperti biasa. Hari ini langit di atas sana mendung, tapi wajah Gael yang cerah membuat dirinya lupa tentang cuaca di sekitarnya.

Gael memberi isyarat kepada Aidan untuk sedikit bergeser, kemudian dia ikut duduk di sebelah Aidan. Senyuman anak itu masih dengan indah terpajang di wajahnya. Membuat Aidan harus curi-curi pandang sedikit dan buru-buru memandang ke arah lain ketika jantungnya berdebar. Sialan, pria di sebelahnya ini kok bisa begitu indah?

“Tadi gue lihat kereta tujuan Depok udah lewat. Kok lo ga naik? Nungguin gue yaaa?” tanya Gael.

Tubuhnya sedikit miring, agar bisa menghadap ke Aidan. Membuat Aidan yang menyadari hal itu langsung otomatis bergeser, sedikit memberi jarak di antara mereka.

“T-tadi ga sadar kalau itu tujuan Depok.” jawab Aidan terbata-bata.

Gael langsung tertawa geli saat itu juga. Selain bukan penguntit yang handal, ternyata pria ini juga tidak pandai berbohong. Aidan justru kini semakin terlihat lucu dan menggemaskan di mata Gael.

“Oh gituuu? Makanya jangan bengong mikirin gue terus!”

Gael tersenyum ketika mengatakan itu, namun Aidan justru memaki dirinya dalam hati. Senyuman lucu Gael mampu membuat tubuhnya membatu, kaku dan otaknya kosong. Bingung harus merespon apa, karena wajah dan senyuman indah pria itu yang memenuhi pikirannya sekarang.

Gerimis mulai turun di luar sana. Beruntungnya, mereka berdua masih terlindungi oleh atap peron stasiun, meski sesekali angin kencang berhasil membawa bulir-bulir air hujan ke arah tempat di mana mereka duduk.

Tangan Aidan tiba-tiba saja menyerahkan kertas bungkusan berisi Roti’o yang sudah dia pegang sedari tadi. Gael hanya bisa melongo kebingungan. Aidan menyodorkan sesuatu, namun wajah pria itu tidak mengarah ke arahnya sama sekali.

“I-ini ambil. Buat ganjel makan siang. Biasanya kalau hujan bikin laper tuh.” kata Aidan.

Gael sepertinya akan tersenyum seperti orang gila sepanjang hari ini. Masa bodoh dengan pandangan orang lain tentangnya.

Tangan ramping dan indah milik Gael menyambut bungkus kertas tersebut. “Thanks?

Suara Gael melembut, tidak seberat suara normalnya. Karena saat ini dia sedang dibuat malu dan deg-degan parah hanya karena hal kecil yang dilakukan Aidan. Gael tidak tahu saja, kalau Aidan juga sedang menyembunyikan senyum malunya saat ini.

Mereka larut dan tenggelam dalam rasa senang dan malu di saat yang bersamaan. Suara rintik hujan yang membentur atap stasiun, suara klakson kendaraan di luar sana dan bahkan suara pengumuman kedatangan kereta pun terabaikan. Yang bisa mereka dengar hanyalah suara debaran jantung mereka sendiri yang tidak bekerja dengan normal siang itu.

Kereta dengan 10 gerbong di hadapan mereka berhenti. Aidan tersadar kalau sekarang sudah saatnya untuk menghentikan acara malu-malu mereka. Bisa-bisa mereka ketinggalan kereta dan harus menunggu kedatangan kereta selanjutnya yang masih tertahan di stasiun Tanah Abang. Jadwal KRL memang memusingkan dan sering sekali tidak tepat waktu, jadi lebih baik mereka bergegas naik sekarang.

“Eh, ayo, nanti kita ketinggalan kereta.” Aidan berkata, lalu dia buru-buru berdiri dan menarik tangan Gael untuk memasuki kereta di depan mereka.

Gerbong bertuliskan angka 3 ini terpantau sepi. Karena Aidan dan Gael menaiki kereta yang berlawanan arah dengan rute padat penumpang dan ini bukanlah jam berangkat atau pulang kerja. Karena biasanya kereta arah Jakartalah yang akan dipenuhi oleh banyak penumpang.

Pergelangan tangan Gael masih digenggam oleh tangan Aidan, bahkan ketika mereka berdua sudah duduk dengan nyaman di dalam kereta. Mata Gael terpaku, menatap bungkusan Roti’o yang belum sempat disantap olehnya. Lalu tatapan itu beralih pada tangan Aidan yang dengan nyaman dan hangat berada di sana, menggenggam pergelangan tangannya. Gael yang cerewet dan agresif dibuat menjadi si pendiam dan melebur dalam rasa malu yang menyenangkan. Dia hanya diam, menikmati memandang tangannya berada di genggaman tangan pria itu.

Gael suka hal yang sedang dilihatnya. Dia bahkan menyadari detail kecil, seperti, tangannya jauh lebih ramping dan kurus di sebelah tangan Aidan. Jari Aidan mungkin sedikit lebih pendek dari Gael, namun tangannya terlihat jauh lebih besar. Warna kulit mereka juga terlihat jelas berbeda. Kulit Aidan jauh lebih pucat dibanding Gael. Lalu ada tato-tato kecil di punggung tangannya yang menghiasi kulit pucat Aidan. Indah sekali.

“Eh, sorry. Gue ga sadar kalau tadi pegang tangan lo.” Aidan panik. Dia buru-buru melepas pegangan tangannya pada Gael saat menyadari apa yang baru saja dia lakukan. Siaaal, malu sekali rasanya. Selain malu, Aidan juga takut kalau Gael menilai buruk dirinya. Bagaimana kalau Gael menganggap Aidan mencuri kesempatan dan tidak sopan?

“D-duh, sumpah gue ga sadar. Gue kira dari tadi tangan gue pegang botol aqua, soalnya tangan lo dingin…”

Gael mati-matian menahan tawanya. Aidan terlihat begitu panik saat ini. “Sebentar, emang tangan gue sebesar botol aqua, hmmm?”

“ENGGA GITUUU, PETEEE.” Aidan panik, sampai tidak sadar kalau dia setengah teriak saat menjawab pertanyaan Gael barusan. “E-eh, sorry. Engga gitu maksudnya…”

“Hahaha, astaga. Santai aja sih, gue cuma bercanda kok. Aidan lo lucu banget, ih!”

Tolong, Aidan bisa tidak ya lompat sekarang juga dari kereta? Rasanya malu sekali. Namun masih ada sisa 15 menit lagi hingga mereka tiba di stasiun kampus mereka.

“Kayaknya mendingan gue diem deh. Kalau ngomong malah buat malu diri sendiri.” kata Aidan.

Gael semakin tertawa geli. Namun buru-buru menggeleng, tidak setuju dengan perkataan Aidan tersebut. Gael tidak mau pria itu diam. Gael mau mereka lebih banyak mengobrol, mau mengetahui lebih banyak hal lagi tentang Aidan.

“Jangaaan. Jangan diem, dong!”

Aidan tersentak, kaget. “K-kenapa?”

“Ya, engga apa-apa. Gue mau ngobrol aja sama lo. Oh iya, omong-omong soal ngobrol…” Aidan mengerutkan alisnya, mengantisipasi perkataan Gael selanjutnya. Lalu pria lucu dan indah di hadapan Aidan itu menyodorkan ponselnya. Membuat Aidan semakin kebingungan.

Ini Gael saking kaya rayanya ingin membagi-bagi hp atau bagaimana?

“Nomor lo.”

“Hah?”

“Gue minta nomor lo, Aidan. Astagaaa.”

Mati. Aidan sudah melebur bersama dengan sisa-sisa air hujan yang menempel di jendela dan badan kereta.

“Engg boleh, ya?” tanya Gael.

Tangannya masih terulur di depan Aidan. Namun wajahnya berubah menjadi begitu sedih. Wajahnya tertunduk dan bibirnya dia kerucutkan sedikit. Apakah mungkin untuk menolak ketika Gael memberikan wajah lucunya seperti itu?

Mana bisa~

Aidan menghela napasnya. Dia ambil ponsel milik Gael yang masih terulur di hadapannya. Kemudian dia masukkan nomor teleponnya ke dalam ponsel pintar milik Gael. “Nih, udah ya. Ga usah pasang muka begitu. Gue lemah…”

Gael langsung tersenyum puas. Dia ambil kembali ponsel miliknya, lalu terlihat sedikit berpikir. Kira-kira nama kontak yang cocok untuk Aidan apa ya?

Hmm…

Ai—dan stalker payah

“Okay. Nanti gue chat, jangan lupa save balik nomor gueee.”

Aidan hanya bisa mengangguk.

Lalu suasana hening sebentar. Gael sibuk senyum-senyum melihat nama kontak Aidan pemberiannya. Sedangkan Aidan bingung harus melakukan apa. Masih ada dua stasiun lagi sebelum stasiun tujuan mereka, mungkin kira-kira 6 menit sebelum mereka sampai.

“Rotinya ga dimakan?” Aidan bertanya. Tiba-tiba sekali, entah dapat keberanian dari mana. Membuat Gael menoleh dan melepaskan fokusnya dari ponselnya. “Oh iya. Nanti aja sebelum masuk kelas! Heheh. Oh iya, lo ga beli buat diri lo sendiri?” tanya Gael.

Aidan menggeleng. “Tadi kepikirannya cuma beliin buat lo. Tapi gue beli aqua kok.”

Sinting, jawaban Aidan yang terlalu jujur membuat jantung Gael hampir melompat turun di stasiun Lenteng Agung. Sabar, dua stasiun lagi mereka sampai, jangan lompat dulu ya jantungnya Gael!

Salah tingkah. Aduh, Gael saat ini sedang salah tingkah, teman-teman. Kepalanya tidak gatal sudah habis digaruki, lorong gerbong mereka yang sepi juga sudah dijelajahi oleh matanya. Pokoknya sebisa mungkin tidak menatap ke arah Aidan.

“Tenang aja, ga gue racunin kok. Haha.”

Tuhan, ini Aidan tiba-tiba saja menjadi banyak bicara. Jantung Gael sudah tidak tahu lagi seperti apa.

“I-ih, engga ada yang nuduh lo racunin juga yeee.”

“Kali aja gitu. Gue engga bakal ngeracunin lo lah, gila aja kali. Masa anak lucu begini tega gue racunin—” Gael buru-buru menginterupsi perkataan Aidan. “Anak apa?” tanya Gael.

“Anak lucu…”

“Gue lucu, hm?”

Setelah itu Aidan mengunci rapat mulutnya. Nah, memang lebih baik dia memasang mode kalem dan tidak banyak bicara. Kalau tidak inilah yang terjadi. Mulutnya itu suka tidak bisa direm atau dikontrol, teman-teman.

“Cieee. Gue lucuuuu???” Gael masih menggoda dengan semangat.

Namun Aidan masih kukuh mengunci mulutnya rapat-rapat. Ketika kereta mereka sampai di stasiun kampus, Aidan langsung buru-buru keluar dari kereta. Tidak peduli Gael yang mengeluh di belakang sana dan berteriak untuk minta ditunggui olehnya.

“Hiii. Kok kabur sih? Kerjaan lo tuh kalau ketemu gue kalau ga berkaca-kaca ya kabur, dasar!”

Tidak dengar, Aidan tidak mau dengaaar. Dia masih terlalu malu. Langkahnya cepat sekali, bahkan Aidan sudah keluar berhasil keluar dari stasiun. Gael mempercepat langkahnya, ingin menyusul Aidan yang sudah terlebih dahulu keluar.

“Pete, gue duluan yaaa? Nanti ketinggalan bus. Dadaaah.” Aidan kabur. Berlari kencang sekali ke arah bus kampus mereka. Tidak peduli kalau dia harus menerjang rintik hujan yang sedang turun saat ini. Dia meninggalkan Gael yang masih tertawa karena tingkah lucunya.

Dasar. Aidan gemes banget, sih?

Setelah itu Gael buru-buru mengirimkan pesan kepada Barry. Sahabatnya itu sudah berangkat terlebih dahulu ke kampus di pagi hari.

Barryyy, jemput Gaga dong di stasiun. Hehehe. Ga bawa payuuung nih🥺

. . .

Author's note:

Guys, sorry kalau banyak typos yaaa. Huhuhu.

All the Love, Bae.