And then my soul saw you and kind of went, “oh, there you are. I've been looking for you.”
. . .
Embusan angin di pertengahan oktober menyelip masuk, menemani derit pintu kayu yang baru saja dibuka Taehyung. Mari kita ucapkan salam kepada musim gugur!
Taehyung bersyukur ketika kulitnya merasakan suhu ruangan yang begitu hangat. Jungkook menuntunnya masuk ke sisi pojok di bagian depan kafe. Spot kesukaan Taehyung setiap kali anak itu main ke kafe Jungkook. Meja marble berbentuk persegi menempel dengan dinding, begitu juga dengan lampu berbentuk bulat yang menghadap ke bawah di sana. Ada satu hal lagi yang Taehyung sukai dari sudut kafe Jungkook yang itu. Ada sebuah tulisan menyambung di dindingnya, dekat dengan kursi duduknya.
Coffee is always a good idea.
Itu ide dari Jungkook. Karena di kamus Jungkook, kopi tidak pernah salah. Apa pun situatinya.
Taehyung melepaskan mantel cokelat muda yang dia kenakan, bahannya tidak terlalu tebal untuk dipakai di bulan oktober. Masih aman untuk menjaga tubuhnya tetap hangat dan juga tidak merasa pengap. Kemudian disampirkan pada punggung kursi. Duduk manis dengan kaki yang dilipat menyilang di bawah meja. Sembari menunggu kak Jungkook yang izin sebentar untuk masuk ke ruangan staff, Taehyung membuang waktunya untuk memandang keluar jendela kafe.
Di luar sana, sepanjang jalanan, warna oranye telah mendominasi kota. Dedaunan kini sudah berganti warna menjadi oranye, merah dan kuning. Warnanya begitu hangat di mata, meski udara di bulan ini sudah mulai berangin dan agak dingin.
Musim gugur berada pada urutan pertama, di atas ketiga musim lainnya. Padahal Taehyung lahir di bulan bulan Desember, saat puncak musim dingin berlangsung. Namun anak itu tidak begitu kuat dengan udara yang terlalu dingin. Musim panas juga tidak begitu cocok untuk Taehyung yang aktif. Sedangkan untuk musim semi Taehyung berpikir kalau keindahannya tidak bertahan lama.
Sebuah mug putih berisikan cokelat panas mendarat di hadapan Taehyung. Membuat dirinya yang sedari tadi fokus menikmati warna oranye di luar sana mengalihkan pandangan. Dia tersenyum saat melihat cangkirnya, lalu berganti untuk menatap Jungkook.
“Terima kasih, kak Jungkook!” seru anak itu.
Kedua telapak tangannya melingkari mug, menyerap rasa hangat untuk beberapa saat. Lalu dia angkat mug itu dengan hati-hati. Menyesap cokelat panas yang sebelumnya sudah dia tiup beberapa kali hingga suhunya sedikit menurun.
“Omong-omong, Soobin lagi keluar sebentar. Tadi aku nitip carbonara buat kamu dari restoran biasa, engga apa-apa kan? Seingetku kamu belum cerita udah makan siang ini.” Jungkook berkata panjang lebar. Membuat senyuman di wajah Taehyung kian mengembang.
“Iya, engga apa-apa. Kebetulan aku belum makan, kak.” Taehyung menjawab.
Jungkook menopang dagunya pada tangan yang dia tempel di atas meja. Matanya sibuk memperhatikan Taehyung yang sedang menyesap cokelat panasnya. Kepalanya sedikit menunduk, bibirnya mengerucut karena sibuk meniupi mug dengan kebulan asap tipis itu. Membuat Jungkook tertawa tanpa mengeluarkan suara.
Bahkan anak itu masih belum sadar juga kalau sedari tadi Jungkook sibuk memperhatikannya. Jungkook, pria itu suka mempelajari diri Taehyung dalam diam. Jungkook mulai mempelajari kebiasaan-kebiasaan kecil Taehyung. Seperti, Taehyung lebih suka minum cokelat hangat ketimbang kopi susu ketika cuaca dingin. Anak itu suka memeluk cangkir hangat, agar tubuh dan pikirannya bisa lebih rileks. Taehyung juga lebih suka minum cokelat hangat menggunakan mug besat, agar lebih nyaman dipeluk. Jungkook sampai membeli satu cangkir khusus yang hanya akan digunakan ketika Taehyung berkunjung ke kafenya. Jungkook suka memperhatikan tiap gerak-gerik yang dilakukan pria manis itu.
Taehyung mendongak, setelah sibuk berurusan dengan mug berisikan cokelat panas. Matanya membulat. Kaget, ketika dilihat Jungkook dengan fokus menatapi dirinya. Taehyung langsung buru-buru memalingkan wajahnya. Tidak memberikan akses untuk Jungkook bisa leluasa memandang dan membuat pipinya panas.
“Kak! Jangan suka ngeliatin begitu, aku engga nyaman ih.” kata Taehyung. Yang mana membuat Jungkook tertawa terbahak-bahak. Si pria yang lebih muda itu masih sering bersemu dan merasa malu dengan sikap Jungkook. Tidak jarang Jungkook dibuat tertawa geli karena tingkah Taehyung saat malu-malu.
Tangannya meletakkan mug ke atas meja. Taehyung mendecak sebal. “Ck. Ketimbang ngetawain aku, mending kak Jungkook jelasin apa yang bisa aku bantu. Hitung-hitung hemat waktu, biar bisa cepet selesai.”
Namun Jungkook hanya diam saja. Tidak lama, Jungkook memberikan sebuah cengiran pada Taehyung. Membuat Taehyung bergidik ngeri dan bingung, kak Jungkook aneh!.
“Hehehe, aku bohong. Semua persiapan event udah beres sebenernya. Aku cuma mau ketemuan aja, sekalian ngajak kamu pergi nanti sore.”
Taehyung merengut, merasa sebal karena Jungkook ternyata berbohong. Padahal dia sudah mempersiapkan segala skill saat dirinya bekerja di perusahaan EO besar. Niatnya ingin pamer, meski kini dirinya sudah menjadi pengangguran. Namun ternyata kak Jungkooknya itu bohong. Huft.
“Hi, jangan cemberut gitu. Aku nanti mau ajak kamu pergi, mood-nya harus bagus dong.”
. . .
Beberapa helai daun berwarna oranye beterbangan, terbawa angin yang ditimbulkan oleh kendaraan yang berlalu lalang. Namun salah satunya bukanlah mobil sedan hitam milik Jungkook. Dia berkendara dengan santai dan aman, tentu saja karena dia membawa Taehyung bersamanya. Keselamat mereka lebih penting ketimbang buru-buru dimakan waktu.
Mobil Jungkook terparkir di depan toko bertulisankan Allure Diamonds. Membuat alis Taehyung mengerut tajam dan dalam. Bahkan dari bagian depan dan namanya saja Taehyung sudah tahu barang apa yang dijual oleh toko itu. Dirinya sibuk mencerna, sampai tidak sadar kalau Jungkook sudah membukakan pintu untuknya.
Taehyung keluar dari mobil. Diam, mematung, sembari matanya menatap Jungkook penuh tanda tanya. Dia meminta sebuah jawaban melalui tatapannya itu.
Kak Jungkook menuntun Taehyung tanpa memberi jawaban apa pun. Tangan kanannya diletakkan pada pinggang Taehyung dengan protektif namun manis di saat yang bersamaan. Tidak ada tekanan pada sentuhannya, kak Jungkook bahkan mengehargai kenyamanan Taehyung.
Dalam hati ada sebuah pesta kembang api yang begitu heboh. Jantungnya terus-menerus berdegup dengan kencang, sampai dia takut kalau seluruh orang di ruangan itu dapat mendengarnya. Taehyung memandang orang di dalam bantinnya, di dalam cerim yang terus mengulang sebuah kalimat. Diharap hal itu dapat membuat Taehyung jauh lebih tenang.
Gila kali, engga mungkin kan kak Jungkook ngajakin nyari cicin buat kita berdua?
Cermin dengan sosok orang di batinnya itu langsung pecah ketika kak Jungkook berkata, “ayo, kita pilih cicin buat kita berdua. Dua pasang ya, buat tunangan dan nikah nanti.”
Taehyung yang kaget otomatis berteriak. Membuat beberapa pengunjung lain dan karyawan toko melirik ke arah mereka berdua. Buru-buru, mukanya langsung ditutup menggunakan kedua tangannya. “Kak becanda aja nih!”
Jungkook tak bergeming, tak jua bersuara. Dia sangat serius saat ini, sehingga rasanya sedikit kecewa saat Taehyung mengira kalau dirinya sedang bercanda.
“Taehyung, aku serius. Serius banget.”
Tangan yang menghalangi wajah Taehyung ditarik oleh Jungkook dengan pelan. Matanya menatap lurus ke arah Taehyung, meminta atensi penuh dari sang laki-laki manis. Sejak awal memang dirinya dan Taehyung tidak menegaskan status hubungan mereka. Namun, kedua orang itu seharusnya tahu ke mana tujuan mereka berada. Hari di mana Jungkook mengatakan dirinya ingin mencoba mengenal karakter Taehyung, ingin mencoba serius dan meminta Taehyung menjadi teman hidupnya, semua itu adalah kesungguhan.
“Aku serius, Taehyung. Maaf, kamu tahu aku ga pandai deh ngerangkai kata-kata manis. Cuma aku mau tegasin di sini, aku juga mau nanya ke kamu,” Jungkook berhenti sebentar, namun tak semerta-merta membuat rasa gugup Taehyung hilang. “Kim Taehyung, mau jadi teman hidupku?”
Demi Tuhan, Taehyung tidak ingin menangis. Tapi tidak tahu kenapa air matanya tiba-tiba saja sudah menetes sebanyak dua kali, menghiasi pipi mulusnya. “HAH, KAK JUNGKOOOOOK.”
Anak itu sudah tidak peduli lagi dengan orang lain di sekitar mereka. Kini rasanya hanya ada kak Jungkook. Hanya ada dirinya dan kak Jungkooknya dan waktu yang berhenti berputar di sekeliling mereka. Arloji di pergelangannya berhenti berdetak, yang ada hanyalah suara detak jangungnya dengan ritme cepat. Detik itu juga Taehyung langsung melompat masuk ke dalam pelukan Jungkook. Dia mengangguk, tanpa perlu berpikir terlalu panjang.
Jungkook tersenyum bahagia. Menyambut badan Taehyung dalam pelukannya. Mendekap badan pria itu tanpa berniat untuk melepaskannya. Ini adalah kali pertama mereka melakukan kontak fisik di luar bergandengan tangan atau tangan Jungkook yang sering isang mengacak rambut Taehyung.
Nyatanya, tidak butuh waktu yang lama untuk keduanya mengenal karakter satu sama lain. Jungkook dan Taehyung sudah saling mengenal selama hampir dua puluh lima tahun, sama dengan umur Taehyung tahun ini. Jungkook ingat hari di saat Taehyung lahir, salju turun begitu deras memenuhi kota Seoul. Jungkook ingat sang bunda yang mengajaknya menjenguk mami ketika melahirkan anak laki-laki lucu bernama Taehyung. Jungkook yang berumur empat tahun kala itu, tidak pernah berpikir kalau adik bayi yang berada dalam gendongan mami akan tumbuh seindah ini.
Tumbuh indah dan begitu baik. Hingga keduanya saling terikat oleh takdir. Mereka tidak dipertemukan oleh Tuhan hanya sebagai kenalan biasa, tidak juga sebagai kakak-beradik tanpa ikatan darah, melainkan untuk menjadi pelengkap dari satu sama lain. Bertahun-tahun mata mereka tertutup oleh sebuah pemikiran lucu: tidak boleh jatuh cinta, karena mereka seperti keluarga!
Nyatanya, takdir dan semesta memang menginginkan mereka untuk bersatu.
Jungkook sudah berjalan begitu jauh tanpa arah pasti. Berkali-kali dia singgah di tempat yang salah, hingga akhirnya dia menemukan tujuannya yang sebenarnya. Jungkook menemukan arah ke mana kakinya akan melangkah, mengantarkan dirinya pada sebuah kebahagiaan dan keutuhan.
Ternyata Taehyung adalah tujuannya. Taehyung adalah pelabuhan terakhirnya.
. . .