. . . Take the first step in faith. You don't have to see the whole staircase, just take the first step. . . .

Sebuah teriakan kencang dari arah sebelahnya berhasil membuat Jimin terlonjak kaget. Ini sudah belasan kali Taehyung berteriak sejak film dimulai. Jika anak itu berteriak sekali lagi, Jimin dapat memastikan kalau kaca jendelanya akan pecah. Bukan karena lengkingan teriaknya yang begitu keras, namun karena tetangganya melempar sesuatu agar Taehyung bisa diam.

Jimin menekan layar laptop Taehyung, agar film yang mereka tonton menjadi mode pause. “Taehyung, astaga. Udahan aja deh, kamu berisik banget.”

Taehyung menggeleng, bersikeras kalau dirinya mampu melanjutkan film ini. Namun Jiminlah yang rasanya tidak mampu. Gendang telinganya mungkin pecah dan terkena serangan jantung karena terus-menerus dibuat kaget.

“Gausah dilanjut. Ini kak Hoseok juga udah sampai. DIa di bawah.”

Wajah Taehyung berubah menjadi sedih. Tapi apa boleh buat, dirinya tidak bisa protes kalau Jimin sudah begini.

“Dia suruh masuk aja, langsung naik ke atas. Aku males keluar kamaaar.” jawab Taehyung.

Jimin menggeleng, tidak paham lagi dengan sahabatnya itu hari ini. Kim Taehyung benar-benar mengurung diri di kamar, entah apa alasannya. Akhirnya Jimin bangkit untuk menjemput Hoseok, meninggalkan Taehyung yang masih tengkurap dengan malas di atas kasurnya.

Tubuhnya seakan diberi lem dan enggan untuk bergerak sama sekali, bahkan untuk sekadar mengubah posisinya. Ponselnya diletakkan tak jauh dari pipinya yang menempel dengan bantal. Benda itu bergetar dua kali, dipikir kalau Jimin atau kak Hoseok yang berada di bawah sana menghubunginya. Untuk apa juga?

Namun ternyata nama kak Jungkooklah yang muncul pada notifikasi di layar ponselnya. Taehyung menahan teriakannya kala membaca pesan yang dikirim oleh kak Jungkook. Panik setengah mati, sampai anak itu bangun dari posisi ternyamannya tadi. Taehyung miringis, hingga ekspresi di wajahnya terlihat seperti hampir menangis.

Jimin dan Hoseok langsung terheran-heran melihat penampakan Taehyung. Mereka baru saja masuk ke kamar anak itu dan langsung disambut oleh wajah meringis Taehyung.

Jimin mendekat, lalu duduk di sebelah Taehyung. “Heh, kamu kenapa?”

Anak itu tidak menjawab, dia malah berguling-guling di atas kasurnya. Dipikir Jimin dan Hoseok bisa membaca apa yang ada di dalam pikiran dia mungkin. Setelah beberapa saat bergulingan di kasur, anak itu akhirnya diam. Dia menatap kedua sahabatnya bergantian.

“Kak Jungkook dan bunda otw ke sini. Kenapa pas banget ada kaliaaan???”

Berbeda dengan Taehyung yang lesu, kedua sahabatnya itu langsung bersemangat sekali. Mata mereka berbinar dan tertawa girang.

Sial. Di saat dirinya panik karena bisa saja terjadi hal yang tidak diinginkan saat kak Jungkook bertemu dengan kedua sahabatnya. Jimin dan kak Hoseok itu sudah pasti akan masuk ke dalam aliansi mami dan bunda. Taehyung yakin kalau makan malam ini akan penuh dengan ledekkan dari keempat orang itu.

Huft.

. .


. .

Mami berteriak berulang kali, menyuruh Taehyung untuk turun ke bawah. Bunda dan Jungkook baru saja sampai beberapa menit yang lalu. Beliau juga meminta Jimin dan Hoseok untuk ikut turun ke lantai bawah. Jujur, Taehyung belum menyiapkan hatinya.

Namun sang Ibu tidak akan membiarkan Taehyung berada nyaman dan tenang di kamarnya. Apalagi kalau bunda dan kak Jungkook sedang berada di rumahnya. Ya, pada akhirnya dia memang harus menghadapi situasi ini. Bertemu dengan kak Jungkook setelah acara ajakan serius dari pria yang lebih tua itu. Ditambah, kak Jungkook akan bertemu juga dengan kedua sahabatnya hari ini. Mampuslah Taehyung.

Badannya diangkat oleh Jimin dari kasurnya. Kemudian Hoseok bertugas untuk menggeret anak itu hingga ke lantai bawah. Taehyung meringis, namun hanya bisa pasrah. Tangan kanannya digeret oleh Hoseok, sedang punggungnya didorong oleh Jimin. Taehyung berjalan tanpa tenaga, seolah nyawanya masih tertinggal di kamar kesayangannya.

Badannya ditahan, dipegang oleh Jimin yang berjalan di belakangnya persis. Untunglah, jadi Taehyung tidak akan tersandung hingga terjerembab ke lantai dasar rumahnya sendiri.

Dia tarik napasnya dalam-dalam. Lalu kepalnya diangkat, membuat matanya langsung bertemu dengan kak Jungkook yang sedang duduk di sofa ruang tengah.

Kak Jungkook duduk dengan salah satu kaki menyilang, pahanya memangku tablet kerjanya. Namun ketika mata mereka saling bertemu, benda yang ada di pangkuannya itu terabaikan. Dia malah sibuk mengunci tatapan mata Taehyung, hingga anak itu merasakan sensasi panas pada pipinya.

Pria itu, kak Jungkook, dia tidak melakukan apa-apa. Dia tidak tersenyum dan tidak berkata apa pun, anehnya bisa membuat Taehyung salah tingkah. Mungkin karena kak Jungkook terlihat sempurna tanpa melakukan apa pun. Wajahnya sangat tampan, tubuhnya proporsional, kak Jungkook tidak perlu melakukan apa pun untuk enak dipandang.

Dia letakkan tablet kerjanya ke atas meja. Lalu berdiri, berjalan menghampiri Taehyung yang masih dipegang oleh Hoseok dan Jimin. Karena anak itu bahkan terlihat lemas—sebenarnya malas—untuk berjalan. Senyum kecil kak Jungkook mengembang, sebelum akhirnya berkata, “kamu kenapa? Sakit? Lemes banget.”

Ya, kak Jungkook bertanya pada Taehyung tanpa mempedulikan kalau dua orang lainnya di antara mereka.

Hoseok dan Jimin saling menatap. Memberi isyarat pada satu sama lain, seakan pikiran mereka terhubung dengan sebuah telepati. Dalam hati keduanya merutuki Taehyung dan kak Jungkook yang membuat eksistensi mereka di bumi ini seakan lenyap. Ya, dunia serasa hanya milik berdua.

Kak Jungkook maju, semakin mendekat ke arah Taehyung. Membuat Hoseok otomatis mengambil langkah mundur, Jimin pun bergeser untuk menjauh dari kedua orang itu. Pada akhirnya, Hoseok dan Jimin meninggalkan mereka, memilih untuk membantu bunda dan mami yang sedang sibuk menata meja makan.

“Muka kamu pucet banget. Kamu sakit?”

Taehyung menggeleng. Bibir bawahnya dia gigit, karena sepertinya dia akan mengunci mulutnya rapat-rapat. Namun sikap Taehyung yang begini malah membuat kak Jungkook gemas bukan main. Tangannya hampir saja terulur, hendak mengusap rambut Taehyung dan mengacaknya pelan. Untungnya kesadaran berhasil menarik kembali tangannya untuk turun.

“Es krim stroberinya aku masukin ke dalam freezer ya.”

Taehyung masih menutup rapat mulutnya. Sebagai gantinya, dia mengangguk untuk menjawab pertanyaan kak Jungkook.

Dari arah ruang makan dia mendengar kalau kedua sahabatnya sedang mengobrol dengan mami dan bunda. Tentu saja kalimat bunda tidak absen untuk memperkenalkan dirinya pada dua teman Taehyung itu.

“Temen-temennya Taehyungie ya? Kenalin, bunda calon mertuanya Taehyungie.”

Untuk sekian kalinya Taehyung meringis hari ini. Berbeda dengan ekspresi yang terpasang pada wajah cantik Taehyung, Jungkook justru tertunduk dan menyembunyikan senyumannya ketika mendengar sang ibu mengatakan itu.

Dia bersumpah sudah mendenganya jutaan kali. Namun kini rasanya beda. Ada getaran aneh yang terasa nikmat dari dalam dadanya. Jungkook menyukai perasaan itu.

Tangannya menarik pergelangan tangan Taehyung dengan pelan. Dia genggam tangan ramping Taehyung untuk berjalan ke arah ruang makan.

Pemandangan tidak biasa itu sukses membuat empat pasang mata lainnya yang berada di sana terbelalak. Mustahil sekali, rasanya seperti mimpi. Jungkook berjalan sambil menggandeng tangan Taehyung ke arah ruang makan. Anak laki-laki manis itu menurut, namun kepalanya tertunduk. Seakan dengan tertunduk gurat merah pada wajahnya tidak akan terlihat.

Lalu keempat orang lainnya pura-pura cuek. Mereka melanjutkan pembicaraan yang sempat terpotong. Namun tetap, mata mereka masih mencuri-curi pandang ke arah Taehyung dan Jungkook. Melihat bagaimana manisnya sikap Jungkook ketika dia menarik bangku untuk Taehyung, agar anak itu bisa duduk dengan mudah.

Sepanjang acara makan malam pun keduanya masih menjadi pemeran utamanya. Semua mata tertuju pada Jungkook dan Taehyung. Sang bunda tersenyum penuh arti, sekaligus bangga. Beliau menyaksikan bagaimana gentle sikap sang anak pada Taehyung. Cara dia menuangkan air pada gelas minum Taehyung. Beberapa kali menaruh lauk pada mangkuk nasi pria manis itu. Bahkan hal kecil seperti menggeser piring berisi kimchi milik Taehyung yang berada di ujung meja dan mungkin hapir terjun bebas ke lantai.

Dan dalam hati pun kini Taehyung sedang berteriak atas segala perlakuan manis kak Jungkook. Dia tidak banyak berbicara, namun lebih banyak bertindak. Mungkin juga bukan tipe pria yang akan melontarkan rayuan dan kata-kata manis kepada orang yang dikasihi, namun kak Jungkook akan melakukan apa pun untuk mereka.

Pikiran Taehyung sibuk berkompromi dengan hatinya. Bertanya tentang bagaimana sikap yang harus dia ambil setelah melihat tindakan kak Jungkook. Pria itu terlihat jujur tentang omongannya. Taehyung bisa melihat usaha kak Jungkook yang begitu tulus. Pria itu melakukannya seakan dari hati dan tanpa paksaan sama sekali.

Mungkin sudah waktunya Taehyung untuk mencoba. Taehyung mencoba melangkah dan berjalan menuju kak Jungkook. Tidak apa-apa kalau langkahnya pelan dan berhati-hati. Asal dirinya bisa menimbang dan mengumpulkan keyakinan. Kalau memang kak Jungkooklah tempat tujuan kaki Taehyung melangkah.

. . .