A Thousand Times — 095.
It’s the connection we can’t explain.
. . .
Suara mesin mobilnya lenyap. Tergantikan oleh suara rintik hujan yang mengguyur daerah Tebet menjelang sore hari ini. Mobil Aidan terparkir di bawah pohon besar, berlindung dari derasnya hujan sembari menunggu jawaban pesan dari Gael. Layar ponselnya yang berisikan google maps menunjukkan kalau dia sudah sampai di alamat yang dituju.
Di sinilah Aidan, di depan bangunan tingkat dua bercat putih dengan pagar besi yang menjulang tinggi. Ponselnya bergetar, adalah jawaban dari Gael yang sukses membuat senyuman mengembang lebar di wajah tampannya itu.
Ai, sebentar. El keluar dan bawain payung yaaa. Kata Gael dalam pesan singkat tersebut.
Tidak lama, sosok Gael muncul dari balik pagar yang dibuka. Kakinya berlari kecil, menghampiri mobil Aidan tanpa peduli kalau jalanan di depan rumahnya becek dan licin. Rasanya Aidan ingin sekali keluar dari mobil dan menyuruh anak itu berhati-hati. Tidak perlu berlari seperti tadi segala.
Gael tersenyum dan mengetuk kaca jendela mobil Aidan, mengisyaratkan pria itu untuk keluar dan bergabung dalam naungan payung yang dia bawa.
Aidan di dalam sana, dalam mobilnya dengan keadaan mesin mobil yang sudah mati, sedang mengatur napasnya terlebih dahulu. Sebelum akhirnya dia membuka pintu mobilnya, mengusir mundur Gael beberapa langkah. Lalu tersenyum kiku.
“Hai…?” sapa Aidan, canggung.
Gael tertawa, lalu menarik tubuh Aidan untuk merapat ke arahnya. Mereka berbagi naungan payung, sembari berjalan masuk menuju rumah Gael. Bahu mereka berbenturan, menimbulkan sengatan aneh pada diri Aidan. Aduh, sial, gugup sekali. Apalagi jarak keduanya belum pernah serapat ini sebelumnya.
Mereka berjalan dengan hati-hati hingga sampai di teras rumah Gael. Beberapa saat, Gael menyibak bulir-bulir air hujan yang menempel pada payungnya. Dia lipat lagi payung itu dengan rapih. Setelah itu Gael langsung masuk begitu saja ke dalam rumahnya.
Aidan masih diam, menunggu sang tuan rumah member aba-aba selanjutnya. Haruskah dia duduk di kursi yang disediakan di teras ini atau bagaimana.
Dan Gael pun kembali keluar. Matanya memandang bingung ke arah Aidan yang hanya diam berdiri di depan teras.
“Ai, ngapain di luar? Banyak angin tauuu. Berisik juga, nanti ga kedengeran kalau kita ngobrol.” kata Gael. Kemudian tangannya menarik tangan Aidan untuk ikut masuk bersamanya ke dalam rumah.
Rumahnya sepi, Gael tidak bohong perihal Ayah, Bunda dan kakaknya yang jarang berada di rumah ketika akhir pekan. Ini hari sabtu, kedua orangtuanya biasa menghabiskan akhir pekan mereka di rumah kelurga yang berada di luar kota. Sedangkan Gio, dia pasti sibuk mengurus tugas akhirnya di kosan teman. Ah, syukurlah, Aidan jadinya tidak perlu khawatir kalau-kalau dirinya langsung diajak bertanding catur saat ini juga.
“Sebentar ya, El ke belakang dulu. Mau minta tolong bibi buatin minuman anget hehe dan ngambil papan catur di ruang tengah.” kata Gael, lalu memberi isyarat pada Aidan untuk duduk.
Aidan mengangguk dan menurut. Tetap, dia masih mengunci rapat bibirnya.
Samar-samar telinganya dapat mendengar konversasi yang terjadi antara Gael dan sang bibi di dalam sana. Karena wanita—yang dipanggil bibi oleh Gael—agaknya cukup keras berkata.
“Cie adeee, disamperin sama siapa itu? Bibi jarang-jarang ngeliat cowok ganteng main ke sini kecuali Barry.”
Panggilan ade terdengar begitu pas untuk Gael yang lucu.
Aidan tersenyum, ketika telinganya menangkap pekikan tertahan dari Gael. “Ssst, bibiiii nanti dia denger. Ini temen baru ade, bibi jangan ngomong macem-macem ih malu!”
Lagi, Aidan merasakan apa yang acapkali orang-orang katakan. Ada satu momen di hidupku, ketika seseorang bisa menimbulkan efek kupu-kupu beterbangan dengan liar di dalam perut. Menggelitik, namun menyenangkan. Saat hari itu tiba, seharusnya kamu mulai mempertanyaan apa eksistensi dan arti dirinya di hidupmu. Hingga dia dapat memberi pengaruh yang begitu besar.
Pertemuannya dengan Gael sangat amat singkat. Jauh dari kata layak dan manis. Justru kata uniklah yang dapat menggambarkan pertemuan mereka berdua.
Namun itu semua bukanlah penghalang dari rasa di dalam dirinya untuk terus tumbuh. Meski cenderung malu, Aidan selalu senang mengobrol dengan Gael. Karena Gael itu sangat amat lucu, juga teman mengobrol yang baik. Setiap kali dirinya bertemu atau sekadar mengobrol dengan pria itu, selalu ada gejolak aneh dari dalam dirinya. Gejolak aneh, yang membuat dirinya lupa kalau pada dasarnya mereka berdua adalah orang asing. Orang asing yang terasa begitu familiar.
Tentu saja, kalian pernah terjebak di dalam kisah cinta segitiga yang rumit di kehidupan sebelumnya.
Gael kembali dengan nampan berisikan dua cangkir teh hangat dan beberapa camilan. Ah, dia juga mengapit papan catur di ketiaknya. Tenang saja, ketiak Gael tidak bau kok. Kepalanya sedikit dimiringkan ke arah kiri, memperhatikan Aidan yang sedang larut dalam lamunannya.
Gael tersenyum. Hati-hati, kakinya melangkah mendekat. Kemudian dia letakkan cangkir, camilan dan papan catur ke atas meja. Membuat Aidan tersadar dari lamunannya itu.
“Eh, sorry, udah dari tadi El baliknya?”
Gael menggeleng. “Ngelamunin apa sih?”, lalu dia duduk di bagian sofa yang lainnya.
“E-engga hahaha. Rumah El sepi banget, ya?” tanya Aidan mencoba untuk membangun obrolan.
“Hahaha, iyaaa. Kalau weekend gini Ayah dan Bunda di Bogor. Kalau bang Gio paling di kosan temennya belajar, kan tengah bulan ini dia maju sidang.” jelas Gael.
Aidan mengangguk paham.
“Jadi, Ai engga akan ditodong suruh main catur kalau abang El pulang kan ya?”
Gael tertawa geli. “Iya, engga. Ai tenang aja. Tapi, sebelum kita mulai belajar caturnya... El punya permintaan.”
Waduh. Jantung Aidan sedang melompat-lompat bebas di dalam sana, ketika Gael berkata dirinya memiliki permintaan. Ada berbagai macam kemungkinan, namun Aidan tidak bisa memikirkan satu hal pun.
“A-apa?”
“Terima dulu request dari El di twitter, hehehe.”
“Hah… gimana?”
“Ayo mutualan di twitter, Ai.”
Sebentar, Aidan butuh waktu untuk mencari alasan yang tepat.
“Belum bisa sekarang, El.” jawab Aidan pada akhirnya.
“Loh, kenapa?” tanya Gael. Alisnya mengerut.
“Kayak yang Ai bilang waktu itu, mutualannya nanti aja kalau perasaannya udah mutual….”
Gael telihat seperti menimbang sesuatu. “El suka sama Ai. Kalau Ai suka El atau engga?” tanya Gael tiba-tiba.
Wah. Pertanyaan kelewat polos dari Gael itu bisa-bisa membuat jantung Aidan sungguhan melompat keluar kali ini. Bagaimana bisa Gael mengatakan suka dengan begitu tenangnya?
“El suka samai Ai. Kalau Ai suka sama El juga atau engga?” Gael mengulang pertanyaannya.
“Ya…suka.”
Jawaban dari Aidan yang singkat sudah cukup membuat Gael tersenyum puas.
“Berarti perasaannya udah mutual! Hehehe.”
. . .