begellataes

A Thousand Times — 64.

I like it when you smile, its cute.

. . .

Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali Gael begitu bersemangat seperti sekarang. Padahal siang ini agendanya hanyalah berangkat ke kampus bersama Aidan.

Gael sudah beberapa kali menjalin hubungan dengan seseorang. Dia bukan anak laki-laki dengan minim pengalaman untuk masalah percintaan. Tidak seperti Aidan. Semasa SMA dia pernah berganti pacar sebanyak empat kali, itu juga tidak ada yang benar-benar membuat jantungnya berdebar atau kegirangan seperti sekarang.

Sudah dibilang. Ada yang berbeda dari anak laki-laki aneh bernama Aidan ini. Harusnya Gael takut, karena pria itu sudah seperti penguntit gila di awal-awal pertemuan mereka. Tapi setiap kali Aidan malu, salah tingkah dan kabur saat Gael menatapnya, membuat Gael malah jadi penasaran dengan pria itu. Gael malah menganggap Aidan itu lucu.

Hmmm, lucu katanya.

Lucu, karena mana ada penguntit yang malu-malu dan kabur saat orang yang diuntit mendekatinya. Hanya Aidan yang melakukan itu, malah membuat Gael semakin penasaran akan dirinya.

Selain itu, Gael juga tidak mau berbohong. Tidak mungkin dia berbohong dan mengatakan kalau Aidan itu tidak tampan. Gila, dia tampan sekali. Bisa-bisa Aidan dicalonkan masuk ke dalam daftar pria tampan di universitas mereka.

Sepanjang perjalanan di motor ke stasiun KRL dirinya dibuat senyum-senyum karena membayangkan akan bertemu lagi dengan Aidan. Gio—kakaknya—pasti kebingungan dalam hati.

Gael turun dari motor dengan senyum yang mengembang lebar sekali, membuat Gio mengerutkan keningnya. “Dek, lagi ga sehat ya hari ini?”

Gael menggeleng tidak santai. “Sehat banget kok! Udah, bang Gio pergi sana. Katanya mau ke Gramedia Matraman dulu. Gaga berangkat ya baaang.” setelah itu Gael langsung berlari memasuki stasiun KRL Tebet dengan wajah riangnya.

Kira-kira si Aidan sudah sampai belum ya?

Lalu nanti mereka harus mengobrolkan apa?

Padahal sejak kemarin Gael sudah semangat sekali ingin bertemu. Tidak tahu juga alasannya apa, yang jelas dirinya hanya ingin bertemu Aidan.

Langit Jakarta siang ini mendung, diselimuti oleh awan berwarna kelabu yang siap menumpahkan airnya ke seluruh penjuru kota. Biasanya Gael akan sangat membenci hujan, apalagi hujan di musim panas yang sangat tidak jelas ini. Hujan yang sering menjadi penghambat untuk dirinya berangkat ke kampus.

Tapi hari ini cuaca mendung dan ancaman turun hujan di seluruh kota tidak mampu membuat suasana hatinya menjadi buruk. Soalnya dia sudah keburu senang memikirkan Aidan.

Aidan, Aidan, Aidan!

Gael bersenandung kecil, mungkin hanya dirinya yang dapat mendengar suara senandungnya sendiri. Kartu e-money miliknya ditempelkan pada alat yang ada di pintu masuk stasiun, lalu setelah itu kakinya melangkah dengan santai menuju peron 1—jalur kereta arah Depok-Bogor.

Senyumannya semakin mengembang ketika melihat Aidan sedang duduk di bangku peron seorang diri. Hari ini Aidan hanya mengenakan kaos hitam lengan pendek, jaket berwarna biru donker, dipadukan dengan celana jeans berwarna senada dengan kaosnya. Tas ranselnya dia gendong di punggungnya, lalu tangannya memegang satu botol air mineral juga bungkusan kertas Roti'o. Pasti dia membelinya tadi di dekat pintu masuk stasiun.

Gael menggigit bibir bawahnya, sembari kakinya berjalan menghampiri tempat di mana Aidan duduk.

“Kiw, cowok. Sendirian ajaaa....”

Aidan agak sedikit mendongak ke arah kirinya, di sana Gael berdiri dengan wajah indahnya seperti biasa. Hari ini langit di atas sana mendung, tapi wajah Gael yang cerah membuat dirinya lupa tentang cuaca di sekitarnya.

Gael memberi isyarat kepada Aidan untuk sedikit bergeser, kemudian dia ikut duduk di sebelah Aidan. Senyuman anak itu masih dengan indah terpajang di wajahnya. Membuat Aidan harus curi-curi pandang sedikit dan buru-buru memandang ke arah lain ketika jantungnya berdebar. Sialan, pria di sebelahnya ini kok bisa begitu indah?

“Tadi gue lihat kereta tujuan Depok udah lewat. Kok lo ga naik? Nungguin gue yaaa?” tanya Gael.

Tubuhnya sedikit miring, agar bisa menghadap ke Aidan. Membuat Aidan yang menyadari hal itu langsung otomatis bergeser, sedikit memberi jarak di antara mereka.

“T-tadi ga sadar kalau itu tujuan Depok.” jawab Aidan terbata-bata.

Gael langsung tertawa geli saat itu juga. Selain bukan penguntit yang handal, ternyata pria ini juga tidak pandai berbohong. Aidan justru kini semakin terlihat lucu dan menggemaskan di mata Gael.

“Oh gituuu? Makanya jangan bengong mikirin gue terus!”

Gael tersenyum ketika mengatakan itu, namun Aidan justru memaki dirinya dalam hati. Senyuman lucu Gael mampu membuat tubuhnya membatu, kaku dan otaknya kosong. Bingung harus merespon apa, karena wajah dan senyuman indah pria itu yang memenuhi pikirannya sekarang.

Gerimis mulai turun di luar sana. Beruntungnya, mereka berdua masih terlindungi oleh atap peron stasiun, meski sesekali angin kencang berhasil membawa bulir-bulir air hujan ke arah tempat di mana mereka duduk.

Tangan Aidan tiba-tiba saja menyerahkan kertas bungkusan berisi Roti’o yang sudah dia pegang sedari tadi. Gael hanya bisa melongo kebingungan. Aidan menyodorkan sesuatu, namun wajah pria itu tidak mengarah ke arahnya sama sekali.

“I-ini ambil. Buat ganjel makan siang. Biasanya kalau hujan bikin laper tuh.” kata Aidan.

Gael sepertinya akan tersenyum seperti orang gila sepanjang hari ini. Masa bodoh dengan pandangan orang lain tentangnya.

Tangan ramping dan indah milik Gael menyambut bungkus kertas tersebut. “Thanks?

Suara Gael melembut, tidak seberat suara normalnya. Karena saat ini dia sedang dibuat malu dan deg-degan parah hanya karena hal kecil yang dilakukan Aidan. Gael tidak tahu saja, kalau Aidan juga sedang menyembunyikan senyum malunya saat ini.

Mereka larut dan tenggelam dalam rasa senang dan malu di saat yang bersamaan. Suara rintik hujan yang membentur atap stasiun, suara klakson kendaraan di luar sana dan bahkan suara pengumuman kedatangan kereta pun terabaikan. Yang bisa mereka dengar hanyalah suara debaran jantung mereka sendiri yang tidak bekerja dengan normal siang itu.

Kereta dengan 10 gerbong di hadapan mereka berhenti. Aidan tersadar kalau sekarang sudah saatnya untuk menghentikan acara malu-malu mereka. Bisa-bisa mereka ketinggalan kereta dan harus menunggu kedatangan kereta selanjutnya yang masih tertahan di stasiun Tanah Abang. Jadwal KRL memang memusingkan dan sering sekali tidak tepat waktu, jadi lebih baik mereka bergegas naik sekarang.

“Eh, ayo, nanti kita ketinggalan kereta.” Aidan berkata, lalu dia buru-buru berdiri dan menarik tangan Gael untuk memasuki kereta di depan mereka.

Gerbong bertuliskan angka 3 ini terpantau sepi. Karena Aidan dan Gael menaiki kereta yang berlawanan arah dengan rute padat penumpang dan ini bukanlah jam berangkat atau pulang kerja. Karena biasanya kereta arah Jakartalah yang akan dipenuhi oleh banyak penumpang.

Pergelangan tangan Gael masih digenggam oleh tangan Aidan, bahkan ketika mereka berdua sudah duduk dengan nyaman di dalam kereta. Mata Gael terpaku, menatap bungkusan Roti’o yang belum sempat disantap olehnya. Lalu tatapan itu beralih pada tangan Aidan yang dengan nyaman dan hangat berada di sana, menggenggam pergelangan tangannya. Gael yang cerewet dan agresif dibuat menjadi si pendiam dan melebur dalam rasa malu yang menyenangkan. Dia hanya diam, menikmati memandang tangannya berada di genggaman tangan pria itu.

Gael suka hal yang sedang dilihatnya. Dia bahkan menyadari detail kecil, seperti, tangannya jauh lebih ramping dan kurus di sebelah tangan Aidan. Jari Aidan mungkin sedikit lebih pendek dari Gael, namun tangannya terlihat jauh lebih besar. Warna kulit mereka juga terlihat jelas berbeda. Kulit Aidan jauh lebih pucat dibanding Gael. Lalu ada tato-tato kecil di telapak tangannya yang menghiasi kulit pucat Aidan. Indah sekali.

“Eh, sorry. Gue ga sadar kalau tadi pegang tangan lo.” Aidan panik. Dia buru-buru melepas pegangan tangannya pada Gael saat menyadari apa yang baru saja dia lakukan. Siaaal, malu sekali rasanya. Selain malu, Aidan juga takut kalau Gael menilai buruk dirinya. Bagaimana kalau Gael menganggap Aidan mencuri kesempatan dan tidak sopan?

“D-duh, sumpah gue ga sadar. Gue kira dari tadi tangan gue pegang botol aqua, soalnya tangan lo dingin…”

Gael mati-matian menahan tawanya. Aidan terlihat begitu panik saat ini. “Sebentar, emang tangan gue sebesar botol aqua, hmmm?”

“ENGGA GITUUU, PETEEE.” Aidan panik, sampai tidak sadar kalau dia setengah teriak saat menjawab pertanyaan Gael barusan. “E-eh, sorry. Engga gitu maksudnya…”

“Hahaha, astaga. Santai aja sih, gue cuma bercanda kok. Aidan lo lucu banget, ih!”

Tolong, Aidan bisa tidak ya lompat sekarang juga dari kereta? Rasanya malu sekali. Namun masih ada sisa 15 menit lagi hingga mereka tiba di stasiun kampus mereka.

“Kayaknya mendingan gue diem deh. Kalau ngomong malah buat malu diri sendiri.” kata Aidan.

Gael semakin tertawa geli. Namun buru-buru menggeleng, tidak setuju dengan perkataan Aidan tersebut. Gael tidak mau pria itu diam. Gael mau mereka lebih banyak mengobrol, mau mengetahui lebih banyak hal lagi tentang Aidan.

“Jangaaan. Jangan diem, dong!”

Aidan tersentak, kaget. “K-kenapa?”

“Ya, engga apa-apa. Gue mau ngobrol aja sama lo. Oh iya, omong-omong soal ngobrol…” Aidan mengerutkan alisnya, mengantisipasi perkataan Gael selanjutnya. Lalu pria lucu dan indah di hadapan Aidan itu menyodorkan ponselnya. Membuat Aidan semakin kebingungan.

Ini Gael saking kaya rayanya ingin membagi-bagi hp atau bagaimana?

“Nomor lo.”

“Hah?”

“Gue minta nomor lo, Aidan. Astagaaa.”

Mati. Aidan sudah melebur bersama dengan sisa-sisa air hujan yang menempel di jendela dan badan kereta.

“Engg boleh, ya?” tanya Gael.

Tangannya masih terulur di depan Aidan. Namun wajahnya berubah menjadi begitu sedih. Wajahnya tertunduk dan bibirnya dia kerucutkan sedikit. Apakah mungkin untuk menolak ketika Gael memberikan wajah lucunya seperti itu?

Mana bisa~

Aidan menghela napasnya. Dia ambil ponsel milik Gael yang masih terulur di hadapannya. Kemudian dia masukkan nomor teleponnya ke dalam ponsel pintar milik Gael. “Nih, udah ya. Ga usah pasang muka begitu. Gue lemah…”

Gael langsung tersenyum puas. Dia ambil kembali ponsel miliknya, lalu terlihat sedikit berpikir. Kira-kira nama kontak yang cocok untuk Aidan apa ya?

Hmm…

Ai—dan stalker payah

“Okay. Nanti gue chat, jangan lupa save balik nomor gueee.”

Aidan hanya bisa mengangguk.

Lalu suasana hening sebentar. Gael sibuk senyum-senyum melihat nama kontak Aidan pemberiannya. Sedangkan Aidan bingung harus melakukan apa. Masih ada dua stasiun lagi sebelum stasiun tujuan mereka, mungkin kira-kira 6 menit sebelum mereka sampai.

“Rotinya ga dimakan?” Aidan bertanya. Tiba-tiba sekali, entah dapat keberanian dari mana. Membuat Gael menoleh dan melepaskan fokusnya dari ponselnya. “Oh iya. Nanti aja sebelum masuk kelas! Heheh. Oh iya, lo ga beli buat diri lo sendiri?” tanya Gael.

Aidan menggeleng. “Tadi kepikirannya cuma beliin buat lo. Tapi gue beli aqua kok.”

Sinting, jawaban Aidan yang terlalu jujur membuat jantung Gael hampir melompat turun di stasiun Lenteng Agung. Sabar, dua stasiun lagi mereka sampai, jangan lompat dulu ya jantungnya Gael!

Salah tingkah. Aduh, Gael saat ini sedang salah tingkah, teman-teman. Kepalanya tidak gatal sudah habis digaruki, lorong gerbong mereka yang sepi juga sudah dijelajahi oleh matanya. Pokoknya sebisa mungkin tidak menatap ke arah Aidan.

“Tenang aja, ga gue racunin kok. Haha.”

Tuhan, ini Aidan tiba-tiba saja menjadi banyak bicara. Jantung Gael sudah tidak tahu lagi seperti apa.

“I-ih, engga ada yang nuduh lo racunin juga yeee.”

“Kali aja gitu. Gue engga bakal ngeracunin lo lah, gila aja kali. Masa anak lucu begini tega gue racunin—” Gael buru-buru menginterupsi perkataan Aidan. “Anak apa?” tanya Gael.

“Anak lucu…”

“Gue lucu, hm?”

Setelah itu Aidan mengunci rapat mulutnya. Nah, memang lebih baik dia memasang mode kalem dan tidak banyak bicara. Kalau tidak inilah yang terjadi. Mulutnya itu suka tidak bisa direm atau dikontrol, teman-teman.

“Cieee. Gue lucuuuu???” Gael masih menggoda dengan semangat.

Namun Aidan masih kukuh mengunci mulutnya rapat-rapat. Ketika kereta mereka sampai di stasiun kampus, Aidan langsung buru-buru keluar dari kereta. Tidak peduli Gael yang mengeluh di belakang sana dan berteriak untuk minta ditunggui olehnya.

“Hiii. Kok kabur sih? Kerjaan lo tuh kalau ketemu gue kalau ga berkaca-kaca ya kabur, dasar!”

Tidak dengar, Aidan tidak mau dengaaar. Dia masih terlalu malu. Langkahnya cepat sekali, bahkan Aidan sudah keluar berhasil keluar dari stasiun. Gael mempercepat langkahnya, ingin menyusul Aidan yang sudah terlebih dahulu keluar.

“Pete, gue duluan yaaa? Nanti ketinggalan bus. Dadaaah.” Aidan kabur. Berlari kencang sekali ke arah bus kampus mereka. Tidak peduli kalau dia harus menerjang rintik hujan yang sedang turun saat ini. Dia meninggalkan Gael yang masih tertawa karena tingkah lucunya.

Dasar. Aidan gemes banget, sih?

Setelah itu Gael buru-buru mengirimkan pesan kepada Barry. Sahabatnya itu sudah berangkat terlebih dahulu ke kampus di pagi hari.

Barryyy, jemput Gaga dong di stasiun. Hehehe. Ga bawa payuuung nih🥺

. . .

At My Worst — Dua Puluh Dua.

You are the sweetest feeling i know.

. . .

Aku dan Jungkook meninggalkan pesta pukul 08:00, dikarenakan kakiku yang sudah tidak mampu lagi untuk diajak beraktifitas hingga malam.

Dimulai dari pemberkatan di pagi hari, acara makan siang, hingga pesta di malam hari yang dikhususkan untuk teman-teman terdekat Jimin dan Kak Yoongi. Namun yang ku lakukan hanyalah duduk di kursi sembari memijit kakiku yang mulai pegal. Pada akhirnya, Jungkook berinisiatif meminta izin agar kami bisa pulang duluan.

Sebenarnya aku merasa tidak enak pada Jiminie dan kak Yoongi. Ini hari bahagia mereka yang hanya terjadi sekali seumur hidup, harusnya aku ada dan ikut merayakan bersama mereka. Namun tanganku sudah keburu digeret oleh Jungkook untuk keluar dari venue pesta.

Aku cemberut, namun Jungkook tidak peduli. Dia malah menyempatkan diri untuk mampir ke apotek sebentar untuk membeli plester pijat. Katanya, benda ini bisa mengurangi rasa pegal dan sakit pada kakiku.

Ketika sampai di flat, Jungkook menyuruhku untuk mandi terlebih dahulu. Dia juga cerewet sekali, mengingatkanku untuk tidak lupa mandi menggunakan air hangat. Sementara itu dia merapihkan kasur kami agar aku dan dia bisa segera pergi tidur dengan nyaman.

Rasanya, Jungkookie yang manis telah menambah kadar kemanisannya padaku untuk hari ini. Tanganku tidak dibiarkan untuk menganggur tanpa bertautan dengan tangannya. Matanya tidak mau melepaskan pandangannya padaku, meski bintang utama untuk hari ini adalah Jimin dan kak Yoongi.

Kim Taehyung, jangan lupa bersyukur hari ini. Karena Tuhan mempertemukanmu dengan Jungkook dan membiarkanmu menjadi manusia yang paling beruntung sedunia.

Tuhan, terima kasih. Aku sangat bersyukur untuk hal ini.

Aku berselonjor di atas kasur, dengan laptop yang dipangku di atas pahaku. Pukul 09:40 aku masih menyempatkan diri untuk membuka email kantor. Meski hari ini adalah akhir pekan, tidak menutup kemungkinan kalau tidak ada satu pun rekan kerjaku yang tidak mengirimkan laporan pekerjaan.

Jungkook sudah rapih dengan pakaian tidurnya. Namun rambutnya masih sedikit basah dan terlihat acak-acakan. Kemudian priaku ikut naik ke atas kasur kami dan memelukku dari samping.

“Kok masih memeriksa pekerjaan? Engga mau langsung istirahat, hm?” tanya Jungkook.

“Sebentar lagi, sayang. Ini Yeonjun, dari cabang Yeongsan meminta masukan untuk supplier alat peraga yang baru.” aku menjawab. Pandanganku masih tertuju pada laptop dan mengirimkan data-data yang dibutuhkan oleh Yeonjun. Setelah itu melepaskan pelukan Jungkook, agar aku bisa menaruh laptop-ku tempat semula.

“Taehyung-ah, cepat naik ke kasur atau aku gendong kamu secara paksa?”

Jungkook masih duduk di kasur, menantiku untuk kembali naik dan dia bisa melanjutkan acara memeluk tubuhku lagi. Aku dibuat tersenyum karena hal sekecil ini.

“Jungkookieee, gendong aku sini. Tiba-tiba kakiku keram, engga bisa jalan ke sanaaa.”

At My Worst — Dua Puluh Dua.

You are the sweetest feeling i know.

. . .

Aku dan Jungkook meninggalkan pesta pukul 08:00, dikarenakan kakiku yang sudah tidak mampu lagi untuk diajak beraktifitas hingga malam.

Dimulai dari pemberkatan di pagi hari, acara makan siang, hingga pesta di malam hari yang dikhususkan untuk teman-teman terdekat Jimin dan Kak Yoongi. Namun yang ku lakukan hanya duduk di kursi sembari memijit kakiku yang mulai pegal. Pada akhirnya, Jungkook berinisiatif meminta izin agar kami bisa pulang duluan.

Sebenarnya aku merasa tidak enak pada Jiminie dan kak Yoongi. Ini hari bahagia mereka yang hanya terjadi sekali seumur hidup, harusnya aku ada dan ikut merayakan bersama mereka. Namun tanganku sudah keburu digeret oleh Jungkook untuk keluar dari venue pesta.

Aku cemberut, namun Jungkook tidak peduli. Dia malah menyempatkan diri untuk mampir ke apotek sebentar untuk membeli plester pijat. Katanya, benda ini bisa mengurangi rasa pegal dan sakit pada kakiku.

At My Worst — Dua Belas

True love doesn’t meet you at your best. It meets you in your mess.

– J.S. Park -

. . .

Aku sudah pernah melihat bagaimana Jungkook berada di titik terendah dalam hidupnya. Sekacau apa dirinya saat itu, seakan-akan dunia hancur dan waktu berhenti berputar hanya untuknya.

Jungkook adalah pria dengan beribu ambisi di hidupnya, namun sayangnya nasib baik tak kunjung menghampiri priaku itu. Jungkook gigih, Jungkook cerdas, Jungkook rupawan. Namun itu semua belum cukup kuat untuk membawa Jungkook masuk ke dalam dunia seni dan musik yang dia cintai.

Gitar, piano, drum yang sudah menjadi teman sehari-harinya bahkan masih juga kurang untuk membuktikan kalau Jungkook-ku adalah musisi yang hebat.

Jungkook harus merelakan impiannya menjadi musisi di umur yang ke-19 tahun. Di saat dirinya dengan sangat amat sadar kalau musik adalah separuh dari jiwanya—separuhnya lagi adalah aku!

Jungkook harus merelakan impiannya untuk menjadi musisi dan mengambil jurusan Ilmu Politik di kampus. Keluarga Jeon sudah secara turun-temurun menekuni bidang politik, jadi agaknya akan mustahil bagi Jungkook untuk keluar dari bidang tersebut. Ayahnya, Pamannya dan sepupunya adalah perwakilan diplomatik yang cukup terkenal di Korea Selatan, ini juga yang menjadi beban tersendiri untuk Jungkook.

Keluarga Jungkook begitu keras. Berbeda 180 derajat dengan keluargaku yang terkesan lebih permisif dalam mendidik dan membesarkanku. Aku dibesarkan dengan diselimuti hangatnya kasih sayang kedua orangtuaku. Ayah dan Ibu tidak pernah menutup mata dan telinga setiap kali aku menjelaskan sesuatu dari sudut pandangku, terlebih jika itu berkaitan langsung dengan kehidupanku.

Sayangnya, priaku itu kurang beruntung dalam hal ini. Keluarga Jungkook dengan segala pikiran sempit mereka tidak akan pernah bisa mendukung keinginannya. Dia hanya memiliki dirinya sendiri yang bisa menjadi pegangan, yang bisa mendukung keputusannya, kemudian aku akan menjadi pelengkap. Aku akan memastikan kalau Jungkook tidak lagi merasa seperti itu. Jungkook tidak lagi sendirian, karena aku akan berada di sampingnya apa pun keadaannya.

Saat hari kelulusannya, Jungkook akhirnya memutuskan untuk angkat kaki dari rumah. Jungkook muak dan sudah tidak bisa lagi menuruti apa yang keluarganya inginkan. Jungkook tidak bisa lagi terus-terusan menjadi boneka orangtuanya.

Tentu saja hari itu akulah satu-satunya orang yang menangis kejar. Aku merosot ke lantai flat-ku dan menangis hingga sesenggukan, ketika melihat Jungkook berdiri di depan pintu flat dengan menggendong tas ransel miliknya. Wajah Jungkook dihiasi oleh rasa lelah dan gurat-gurat kecewaan. Hatiku begitu sakit setiap kali mengulang kembali gambaran hari itu dalam ingatanku.

Saat itu aku hanya bisa menarik Jungkook untuk masuk ke dalam dekapanku. Aku memeluknya dengan erat, seakan-akan pelukanku yang erat itu dapat mengangkat seluruh rasa sakit, rasa lelah dan luka yang sedang menggerogotinya.

Kami mulai membangun mimpi bersama-sama dan memutuskan tinggal di flat kecil milikku sejak saat itu. Dimulai dari kami yang sama-sama menganggur, hingga akhirnya aku mendapat pekerjaan di salah satu butik besar di daerah Gangnam. Berawal dari anak magang yang hanya disuruh pekerjaan sepele—seperti membuat kopi, hingga akhirnya aku bisa berada di titik ini. Aku, Kim Taehyung yang sudah menjabat sebagai kepala di divisi Merchandiser di butik terkenal selama satu setengah tahun. Hebat bukaaan?

Tentu saja ini semua tidak lekang dari segala dukungan yang Jungkook berikan. Jungkook memberiku begitu banyak saran dan masukan, hingga aku yakin kalau pekerjaanku ini memang benar-benar hal yang aku inginkan dan aku sukai. Jungkook selalu memastikan kalau aku tidak pernah menyerah untuk kebahagiaanku dan mimpiku untuk bekerja di bidang fashion.

Maka dari itu aku melakukan hal yang sama. Aku akan selalu mendukungnya dengan sepenuh hatiku, dengan sekuat tenagaku. Setiap kali Jungkook lelah dan ingin menyerah akan mimpinya, aku akan mengirimkan kekuatan untuknya hingga Jungkook kembali bersemangat, yeay. Aku ingin Jungkook tahu, kalau aku selalu percaya padanya.

Berkali-kali Jungkook mencoba untuk mengikuti audisi di benerapa agensi besar. Namun pacarku itu selalu saja mendapatkan hasil yang tidak sejalan dengan apa yang diinginkan. Memang dasar mereka tidak memiliki taste yang bagus dalam bermusik! Padahal Jungkookie adalah musisi terhebat sedunia.

Terkadang Jungkook merasa dirinya tidak pantas untuk mendapatkanku—katanya. Tapi aku tidak pernah sekali pun berpikir demikian. Aku justru berterimakasih kepada semesta yang telah mempertemukan kami. Aku bersyukur setiap detiknya, karena aku memiliki Jungkookie di sisiku. Apa jadinya Kim Taehyung tanpa Jeon Jungkook di hidupnya? Aku tidak akan pernah tahu jawabannya.

Pagi ini Jungkookie memelukku di dapur kami yang kecil. Leher dan rahangku habis dikecupi olehnya, membuat diriku menghentikan kegiatan mencuci piring untuk sementara waktu. Aku mengeluh, namun tetap menikmati sikap manis priaku itu.

Jungkook kemudian memutar tubuhku, agar aku dapat menghadap ke arahnya dan menatap matanya. Dia tangkup pipiku. Aku lihat ada sebuah senyuman simpul menghiasi wajah tampannya, membuatku ikut tersenyum. Tubuh kami begitu dekat, namun aku tidak bisa memeluk tubuhnya karena tanganku kotor dengan busa dari sabun pencuci piring.

“Hari ini aku mau coba ikut audisi lagi, sebagai produser musik di salah satu agensi. Ya, memang engga besar sih. Tapi engga ada salahnya untuk mencoba, bukan?” kata Jungkook.

Aku langsung bersemangat. Kepalaku mengangguk, bahkan aku yakin sekali kalau aku dapat mematahkan leherku karena anggukan yang terlalu bersemangat itu.

“Loh, apa bedanya agensi kecil atau besar? Pokoknya kamu harus tetap semangat!!!” jawabku.

Aku peluk tubuh Jungkook seerat mungkin, tidak peduli kalau bajunya basah terkena busa dari tanganku. Dalam hati aku berdoa, agar dunia melunak dan tidak lagi begitu keras pada priaku. Aku harap semesta membiarkan Jungkook bahagia dengan mimpinya, seperti apa yang sudah Jungkook lakukan untuk diriku dan mimpiku.

Jungkook berangkat pukul 11:35 pagi dari flat. Namun hingga kini aku belum mendapatkan kabar apa pun darinya, padahal hari sudah hampir berganti menjadi malam. Dalam waktu beberapa menit lagi aku bisa memastikan kalau matahari akan tenggelam di ufuk barat. Rasanya aku sudah mulai kehilangan konsentrasi untuk bekerja, tiba-tiba saja rasa gugup menyerangku.

“Kak Taehyung, ini hasil survei visual effect display ke pelanggan di minggu ini. Apa mau diperiksa lagi?” Choi Beomgyu, salah satu anak buahku di divisi Visual Marchandiser menyerahkan hasil rekap dari survei yang dimaksud ke atas mejaku.

Namun rasa gugup ini nampaknya semakin bertambah parah, disusul dengan rasa mual dan sekelilingku yang seperti berputar hebat.

Aku menyempatkan diri untuk menyelesaikan beberapa pekerjaanku, lalu akhirnya izin untuk kembali lebih awal hari ini. Kalau diteruskan bekerja yang ada aku akan berakhir ke rumah sakit, bukan ke dalam pelukan Jungkook nanti malam.

Aku butuh Jungkook dan memeluknya untuk membuat rasa mualku ini lenyap, karena Jungkookie adalah obat dan penawar dari rasa sakit yang paling ampuh!

. . .


. . .

Hallo, selamat membaca Short AU yang sudah lama aku anggurin ini! huhuhu. Maaf kalau di atas ada begitu banyak typo(s) ya guys~

All the Love, Bae.

A Thousand Times – 42.

Two souls don't find each other by simple accident.

. . .

Pria aneh bernama Aidan yang selalu menatap Gael dengan mata berkaca-kaca itu sukses mendapatkan perhatiannya.

Gael dibuat kesulitan tidur hanya karena memikirkan apa yang sebenarnya ada di benak pria itu setiap kali mereka bertemu. Apa yang pria itu pikirkan setiap kali mata mereka beradu tatap. Gael masih belum mendapatkan jawaban pasti. Yang Gael ketahui hanyalah kalau Aidan berkata dirinya mirip dengan sebuah Pete.

Pete, hm. Agaknya Gael jengkel saat dia bertanya kepada Aidan dan pria itu menjawab kalau Gael mirip seperti buah dengan aroma yang luaaar biasaaa kuat itu.

Berkali-kali Gael mencoba mengajak Aidan mengobrol melalui pesan di media sosial. Namun pria itu selalu saja mencari cara untuk menghindar dan menyudahi obrolan mereka. Kan Gael jadi gemas sendiri. Gael jadi semakin dibuat penasaran dengan pria aneh yang selalu menyebut dirinya ini mirip dengan biji-bijian hijau itu—Gael tidak tahu harus menyebut petai atau pete itu dengan sebutan apa. Sebenarnya dia masuk ke kategori sayuran atau buah-buahan atau tidak keduanya?

Gael sayang, petai atau pete itu masuk ke kategori buah. Namun pete yang dimaksud oleh Aidan itu berbeda dengan apa yang kamu pikirkan.

Pete yang sebenarnya Kimtae itu adalah panggilan dari Aidan untukmu di kehidupan sebelumnya. Panggilan dari Jeon Jeongguk untuk Kim Taehyung. Pria lucu yang sukses mengambil seluruh isi hatinya, namun tidak pernah bisa dia miliki.

Tentu saja fakta ini tidak akan pernah Gael ketahui, atau mungkin belum?

Gael hanya tahu kalau Aidan itu aneh. Tapi keanehan pria itu terkadang bisa membuat dia keheranan sekaligus tertawa geli. Ada sesuatu tentang Aidan yang membuatnya ingin mengetahui lebih dan lebih lagi. Dorongan dari dalam dirinya untuk lebih mengenal pria aneh itu semakin besar.

Tidak peduli kalau kakaknya yang protektif akan marah besar kalau mengetahui fakta ini: Gael yang justru mengejar dan ingin mengetahui lebih banyak hal tentang pria aneh bernama Aidan. Pria yang sudah seperti penguntit kelas coro, alias dia payah sekali!

Jadi, di sinilah Gael berada. Pukul 08:54, sudah duduk manis di stasiun Tebet dengan segelas karton cokelat panas yang dia beli di Indomaret tadi. Memang benar-benar Aidan itu. Dia bisa menimbulkan efek sebesar ini pada Gael. Biasanya dia hanya akan berangkat ke kampus dengan perhitungan waktu yang pas-pasan.

Kelas pagi di hari kamis pada pukul 10.30, jadi dia berangkat dari rumah sekitar pukul 09:45 dan hanya membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit untuk naik kereta dari rumahnya untuk bisa sampai ke kampus.

Namun hari ini berbeda. Gael datang pagi-pagi sekali dan bahkan melewatkan jam sarapannya hanya demi bisa bertemu dengan Aidan. Ada begitu banyak hal yang ingin dia tanyakan kepada pria itu. Salah satunya adalah: kenapa Aidan terasa begitu familiar untuknya?

Gael yakin sekali kalau ini adalah kali pertama dia mengenal Aidan. Pria itu bukanlah teman sekolahnya dulu, Gael bahkan sampai memeriksa buku tahunan sekolahnya dari TK hingga SMA. Tentu saja Aidan tidak ada di sana. Tapi anehnya pria aneh itu tidak terasa asing. Seakan-akan mereka pernah menjadi bagian hidup satu sama lain.

Ya, karena memang begitu yang sebenarnya terjadi, Gael. Kalian memang sudah pernah bertemu sebelumnya. Jiwa kalian pernah bertemu dengan rupa yang sama di kehidupan sebelumnya. Namun sayangnya perasaan kalian tidak berjalan dua arah saat itu.

Tapi, mari kita tinggalkan cerita yang sudah berlalu. Buku itu sudah tertutup dan tidak ada lagi hal yang bisa diubah, ceritanya sudah memiliki akhirnya sendiri. Lebih baik fokus pada buku yang baru saja dibuka dan masih memiliki banyak halaman kosong, bukan?

Gael meniup-niup cokelat panas di dalam gelas karton yang dia pegang. Kakinya berayun-ayun di atas bangku tunggu yang tidak seberapa tinggi itu. Huft, bosan, Gael sudah bosan sekali menunggu. Pria aneh itu mau datang pukul berapa, sih?

Orang-orang yang duduk di sekitarnya sudah silih berganti pergi. Kereta arah Bogor dan Depok juga beberapa kali lewat. Mungkin Gael sudah sampai di kampus dan sempat untuk memesan bubur ayam terlebih dahulu kalau dia menaiki beberapa kereta yang lewat tadi. Tapi kan orang yang dia tunggu-tunggu belum datang.

Aidan belum juga datang bahkan saat gelas karton berisikan cokelat panas itu sudah raib dan berpindah ke dalam perut Gael. Apa jangan-jangan Aidan tidak berangkat ke kampus ya hari ini?

Seketika rasa kecewa menyelimuti hati Gael. Rasanya percuma sekali berangkat dan menunggu sejak pagi di stasiun. Karena orang yang ingin dia temui tidak kunjung datang sampai sekarang.

Bibirnya tertekuk ke arah bawah, membuat sebuah lengkungan terbalik dan ekspresi kecut menghiasi wajah indahnya. Dia buang gelas karton yang sudah kosong ke tempat sampah di sebelahnya. Kakinya berdiri, lalu dia rapihkan sedikit bajunya yang agak lecak.

Mungkin hari ini mereka tidak bisa bertemu, tidak apa-apa. Gael akan meneror DM twitter milik Aidan nanti. Mungkin juga dia akan mencari tahu fakultas pria itu, lalu tiba-tiba saja menghampirinya saat jam makan siang. Masih ada banyak hari dan banyak cara untuk bertemu dengannya, jadi Gael tidak perlu khawatir.

Terlebih, diam-diam Gael juga sudah bersekongkol dengan Nuel untuk mengatur jadwal makan siang bersama dengan Aidan. Soalnya, kalau mengharapkan Aidan akan menerima ajakan dari Gael rasanya akan sangat mustahil. Maka dari itu Gael dengan otak encernya meminta bantuan Nuel.

Nuel pun juga setuju, HEHEHE.

Rasa kecewa Gael tidak bertahan lama. Setelah itu dia sudah bisa tersenyum jahil ketika mengingat rencana liciknya bersama Nuel. Lihat saja nanti, Aidan akan dibuat terkena serangan jantung sungguhan oleh Gael!

Tidak lama terdengar pemberitahuan bahwa kereta yang akan Gael tumpangi akan segera datang. Pria lucu itu berjalan maju hingga ke belakang garis pembatas peron. Dia berdiri dengan sabar, menunggu hingga kereta benar-benar berhenti. Setelah kereta berhenti dan pintu di hadapannya terbuka, Gael membiarkan para penumpang dari dalam kereta untuk terlebih dahulu. Baru setelah itu dia melangkah naik ke dalam gerbong bernomor 9 itu.

Sedetik sebelum pintu tertutup, gerbong yang Gael tumpangi itu dibuat heboh oleh satu orang penumpang. Kaki pria itu hampir terjepit karena nekat menerobos meski tahu bahwa pintu gerbong kereta akan segera ditutup. Napas pria itu terengah dan pelipisnya dipenuhi oleh peluh. Namun bukan itu yang paling menarik perhatian Gael.

Dia Aidan Maheswara. Pria aneh yang selalu menatapnya dengan mata berkaca-kaca dan menyamakan dirinya dengan pete.

Aidan nampak kaget saat melihat kehadiran Gael di dalam gerbong itu. Gael yang duduk dengan nyaman, dengan tangan di lipat di depan dada dan kaki menyilang dengan rapih. Pria lucu itu sedang menatapnya dengan seringaian kecil di bibirnya. Seakan-akan Aidan adalah mangsa empuk dan dirinya siap untuk menerkam pria itu.

Sial. Saat Aidan membalikkan tubuhnya, pintu gerbong kereta sudah benar-benar tertutup dan kereta juga sudah mulai jalan menuju ke stasiun berikutnya.

Sepertinya Aidan harus pura-pura tidak melihat saja, lalu kabur dan pindah ke gerbong yang lain. Ya, ide ini tidak ada salahnya untuk dicoba.

Dengan ekspresi yang dibuat sedatar mungkin, Aidan langsung memutar badannya ke arah kanan. Kemudian dia mengambil langkah besar untuk segera pergi ke gerbong selanjutnya. Ayo, cepat, cepat, cepaaat. Aidan jalan yang cepat sebelum...

“Mau pergi ke mana Aidaaan? hehehehe.”

Sebelum Gael tidak akan membiarkan kamu pergi begitu saja~

Napas Aidan tercekat, sialan. Langkahnya langsung terhenti, bulu kuduknya juga berdiri dengan horrornya ketika mendengar suara Gael yang tiba-tiba saja sudah ada di sebelahnya.

Sudah seperti bertemu hantu penunggu danau atau si merah yang katanya suka hinggap di belakang bus kampusnya ketika malam hari.

Suara wanita terdengar, memberitahukan kalau mereka akan segera berhenti di stasiun cawang beberapa saat lagi. Mungkin Aidan harus memanfaatkan momentum ini untuk kabur dari Gael. Pokoknya harus kabur, karena nyalinya belum terkumpul untuk dapat berbicara dan bertatapan langsung dengan pria itu.

Hih, apa bedanya kamu dengan Jeongguk, Aidan?

Namun Gael sepertinya cepat tanggap. Dia buru-buru menahan tangan Aidan tepat ketika pintu gerbong terbuka. Dia tarik pria itu untuk duduk di barisan bangku yang kosong. Kemudian tersenyum polos ketika Aidan menatapnya dengan tatapan bingung dan takut.

Tunggu, bukannya kemarin-kemarin dia sudah seperti penguntit gilanya Gael? lihatlah anak itu sekarang. Aidan seperti anak berumur lima tahun yang dibawa kabur oleh orang asing dan tidak bisa melakukan apa-apa.

“Hiii, kok lo ngeliatin gue begitu? Udah kayak anak TK diculik om om aja sih!” protes Gael.

Aidan masih diam. Rasanya begitu sulit memproses apa yang sedang terjadi saat ini. Gael, si pria lucu yang beberapa kali muncul secara tidak wajar dalam mimpinya itu kini ada bersamanya. Dia duduk di sebelah Aidan, di dalam gerbong yang sama bernomor 8 dan dengan santainya menggeret tangannya tadi.

Kurang ajar. Gael tidak tahu apa ya kalau di dalam sana jantung Aidan sedang tidak bekerja dengan benar. Rasanya seperti habis disuruh keliling GOR Seomantri sebanyak 8 kali tanpa jeda istirahat. Telapak tangannya berkeringat karena tidak bisa menahan degup jantungnya dan rasa gugup.

Aidan memang payah untuk urusan percintaan, namun dia juga kaget kalau ternyata dirinya sepayah ini. Padahal si Pete—Gael—hanyalah pria yang belakangan ini masuk ke dalam mimpinya. Kenapa efeknya bisa sebesar ini?

“Kok lo diem aja sih?” tanya Gael.

Pria itu tidak menoleh sedikit pun ke arah Aidan. Dia justru sedang sibuk mengeluarkan buku catatan dari tas belacu berwarna krem miliknya. gael membuka sampul buku tersebut, kemudian melihat jadwal untuk hari ini.

Profesor di English Morphology & Syntax berkata kalau beliau akan telat masuk untuk 1 jam sks. Jadi Gael masih memiliki banyak waktu, mungkin dia bisa mampir dan membeli roti sebelum jalan ke fakultasnya nanti.

Aidan masih diam. Dia hanya memperhatikan jari indah dan lentik milik Gael yang sedang membuka halaman demi halaman pada buku catatannya. Gael memastikan kalau hari ini benar-benar tidak ada tugas atau catatan dari dosennya yang terlewat atau tertinggal. Bahkan jari indahnya saja bisa membuat jantungnya berdegup kencang lagi. Buru-buru Aidan menggelengkan kepalanya, sebelum pikirannya berlarian ke mana-mana.

Buku catatan itu tertutup, Gael langsung segera memasukannya ke dalam tas belacu miliknya lagi. Kemudian tiba-tiba saja Gael menoleh. Mata besar dan indah miliknya menatap mata Aidan tanpa memberi peringatan terlebih dahulu, membuat Aidan sedikit terlonjak sebelum akhirnya terkunci oleh tatapan Gael yang begitu menghipnotis.

Berada di jarak yang sedekat ini dan bisa memandangi wajah Gael dengan jelas membuat Aidan sadar. Aidan semakin yakin kalau wajah inilah yang selalu dia lihat dalam mimpinya. Wajah pria ini, wajah yang begitu indah dan sempurna yang sedang menatap ya dengan tatapan sedih. Wajah indah itu dihiasi oleh sisa air mata yang mengering dan hidungnya yang kemerahan.

“Mau bilang gue mirip pete lagi, mmmm?”

Aidan langsung kembali tersadar setelah ditarik masuk ke dalam dunia yang hanya dipenuhi oleh pria berwajah sedih bernama Pete itu. Kepalanya dengan refleks mengangguk, menjawab pertanyaan Gael.

Sumpah, Gael tidak tahu lagi harus mendekati dan mengajak ngobrol pria ini seperti apa. Aidan seakan menjadi tunawicara setiap kali dirinya bertemu dengan Gael. Lidahnya kelu dan pita suaranya tidak menghasilkan bunyi apa pun.

“Kenapa sih lo diem doang? Gamau ngobrol sama gue ya? Atau si pete itu bikin lo sakit hati dan setiap liat gue lo jadi males ngomong.”

Bukan begitu, tentu saja.

Aidan yakin kalau bukan itulah penyebab dirinya menjadi sekaku kanebo kering setiap bertemu Gael.

“Yaudah, gue diem aja deh kalau gitu.” Gael berkata dengan nada suara yang dibuat begitu kecewa dan sedih.

Sial, hatinya jadi terenyuh. Kok Aidan tidak suka ya mengetahui pria lucu itu bersedih. Buru-buru Aidan menyanggah perkataan Gael, karena tidak ingin mendengar nada sedih dan kecewa pria itu lagi. “Engga, gue cuma gugup aja….”

Kedua alis Gael terangkat, membuat mata anak itu membulat. “Kenapa gugup emangnya? Awas aja kalau jawabannya karena gue mirip pete!”

Aidan tertawa melihat wajah lucu Gael yang berubah menjadi pura-pura galak di kalimat terakhir. Rasa gugup yang tadi menggerayangi dirinya seakan pergi sementara waktu.

“Tapi lo beneran mirip seseorang yang namanya pete.” jawab Aidan.

Gael yang mendengar jawaban tersebut hendak melontarkan kalimat-kalimat protesnya. Namun peberitahuan bahwa mereka akan segera tiba di stasiun tujuan membuat pembicaraan mereka terputus.

Aidan dan Gael menunda obrolan mereka mengenai Pete dan Gael. Kedua pria itu berdiri dari tempat duduknya, kemudian berjalan menuju pintu gerbong kereta. Mereka berjalan bersama-sama, seakan lupa kalau beberapa waktu lalu keduanya seperti main kucing-kucingan—Aidan lebih tepatnya.

Langkah kaki Gael terhenti di depan halte stasiun. Bus kampusnya mungkin sebentar lagi akan pergi, jadi dirinya dan Aidan tidak memiliki banyak waktu.

Gael mengulurkan tangannya pada Aidan, membuat pria itu terpaku selama beberapa saat. Lalu uluran tangannya tak lama disambut oleh Aidan.

“Aidan Maheswara, Arsi’19.” kata Aidan ketika tangan mereka berjabatan.

“Nayaka Gael, Sasing’19.” Gael menjawabnya dengan senyuman merekah dengan indah di wajahnya.

Jabatan tangan mereka terlepas, saat Aidan sadar kalau bus kampus mereka akan benar-benar pergi sebentar lagi. Gael pun paham, fakultas Aidan ada di bagian belakang kampusnya yang luas biasa besar dan dikelilingi oleh hutan kota ini. Dia hanya tertawa kecil kemudian berkata, “Sampai nanti Aidan. Sana gih naik bus, keburu ketinggalan tuh.”

Aidan pun tersenyum kikuk sembari melambaikan tangannya ke arah Gael. “Mm, sampai nanti?”

Setelah itu Aidan berlari menaiki bus kampus mereka. Gael tetap berdiri di depan Halte, menunggu sampai bus yang ditumpangi Aidan pergi dan hilang dari penglihatannya. Setelah itu dia berjalan riang menuju ke lampu merah pejalan kaki, menunggu untuk bisa menyeberang jalan dengan aman ketika lampu itu berubah menjadi hijau.

Dua jiwa yang tidak memiliki cerita indah di kehidupan sebelumnya dipertemukan kembali oleh takdir. Bukan hanya takdir, tapi juga janji setulus hati yang mereka buat bersama-sama. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini, apalagi jika jiwa yang sudah diperbincangkan. Pertemuan Aidan dan Gael memang sudah tertulis di jalanan takdir mereka berdua. Karena dua jiwa tersebut sudah mengikat janji pada satu sama lain.

. . . . .

Author’s Note:

Hallo, guys! Maafin aku baru sempet ngetik narasi. Soalnya aku sembari ngetik 2 naskah lainnya (salah satunya Flat 202 yang lagi kejar deadline terbit bulan depan! Huhu). Terus kondisi rumahku lagi ga kondusif, lagi direnov besar-besaran dan cuma kamarku yang rapih tidak terjamah wkwkwk.

Akhirnya si Aidan dan Gael kenalan dengan proper guys!!! Wkwkwk. Semoga rumahku cepat kelar ya, biar aku bisa konsen ngetik dan lebih banyak narasi lagi di cerita ini~

Sampai nantiii, manteman!

All the Love, Bae.

A Thousand Times – 42.

Two souls don't find each other by simple accident.

. . .

Pria aneh bernama Aidan yang selalu menatap Gael dengan mata berkaca-kaca itu sukses mendapatkan perhatiannya.

Gael dibuat kesulitan tidur hanya karena memikirkan apa yang sebenarnya ada di benak pria itu setiap kali mereka bertemu. Apa yang pria itu pikirkan setiap kali mata mereka beradu tatap. Gael masih belum mendapatkan jawaban pasti. Yang Gael ketahui hanyalah kalau Aidan berkata dirinya mirip dengan sebuah Pete.

Pete, hm. Agaknya Gael jengkel saat dia bertanya kepada Aidan dan pria itu menjawab kalau Gael mirip seperti buah dengan aroma yang luaaar biasaaa kuat itu.

Berkali-kali Gael mencoba mengajak Aidan mengobrol melalui pesan di media sosial. Namun pria itu selalu saja mencari cara untuk menghindar dan menyudahi obrolan mereka. Kan Gael jadi gemas sendiri. Gael jadi semakin dibuat penasaran dengan pria aneh yang selalu menyebut dirinya ini mirip dengan biji-bijian hijau itu—Gael tidak tahu harus menyebut petai atau pete itu dengan sebutan apa. Sebenarnya dia masuk ke kategori sayuran atau buah-buahan atau tidak keduanya?

Gael sayang, petai atau pete itu masuk ke kategori buah. Namun pete yang dimaksud oleh Aidan itu berbeda dengan apa yang kamu pikirkan.

Pete yang sebenarnya Kimtae itu adalah panggilan dari Aidan untukmu di kehidupan sebelumnya. Panggilan dari Jeon Jeongguk untuk Kim Taehyung. Pria lucu yang sukses mengambil seluruh isi hatinya, namun tidak pernah bisa dia miliki.

Tentu saja fakta ini tidak akan pernah Gael ketahui, atau mungkin belum?

Gael hanya tahu kalau Aidan itu aneh. Tapi keanehan pria itu terkadang bisa membuat dia keheranan sekaligus tertawa geli. Ada sesuatu tentang Aidan yang membuatnya ingin mengetahui lebih dan lebih lagi. Dorongan dari dalam dirinya untuk lebih mengenal pria aneh itu semakin besar.

Tidak peduli kalau kakaknya yang protektif akan marah besar kalau mengetahui fakta ini: Gael yang justru mengejar dan ingin mengetahui lebih banyak hal tentang pria aneh bernama Aidan. Pria yang sudah seperti penguntit kelas coro, alias dia payah sekali!

Jadi, di sinilah Gael berada. Pukul 08:54, sudah duduk manis di stasiun Tebet dengan segelas karton cokelat panas yang dia beli di Indomaret tadi. Memang benar-benar Aidan itu. Dia bisa menimbulkan efek sebesar ini pada Gael. Biasanya dia hanya akan berangkat ke kampus dengan perhitungan waktu yang pas-pasan.

Kelas pagi di hari kamis pada pukul 10.30, jadi dia berangkat dari rumah sekitar pukul 09:45 dan hanya membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit untuk naik kereta dari rumahnya untuk bisa sampai ke kampus.

Namun hari ini berbeda. Gael datang pagi-pagi sekali dan bahkan melewatkan jam sarapannya hanya demi bisa bertemu dengan Aidan. Ada begitu banyak hal yang ingin dia tanyakan kepada pria itu. Salah satunya adalah: kenapa Aidan terasa begitu familiar untuknya?

Gael yakin sekali kalau ini adalah kali pertama dia mengenal Aidan. Pria itu bukanlah teman sekolahnya dulu, Gael bahkan sampai memeriksa buku tahunan sekolahnya dari TK hingga SMA. Tentu saja Aidan tidak ada di sana. Tapi anehnya pria aneh itu tidak terasa asing. Seakan-akan mereka pernah menjadi bagian hidup satu sama lain.

Ya, karena memang begitu yang sebenarnya terjadi, Gael. Kalian memang sudah pernah bertemu sebelumnya. Jiwa kalian pernah bertemu dengan rupa yang sama di kehidupan sebelumnya. Namun sayangnya perasaan kalian tidak berjalan dua arah saat itu.

Tapi, mari kita tinggalkan cerita yang sudah berlalu. Buku itu sudah tertutup dan tidak ada lagi hal yang bisa diubah, ceritanya sudah memiliki akhirnya sendiri. Lebih baik fokus pada buku yang baru saja dibuka dan masih memiliki banyak halaman kosong, bukan?

Gael meniup-niup cokelat panas di dalam gelas karton yang dia pegang. Kakinya berayun-ayun di atas bangku tunggu yang tidak seberapa tinggi itu. Huft, bosan, Gael sudah bosan sekali menunggu. Pria aneh itu mau datang pukul berapa, sih?

Orang-orang yang duduk di sekitarnya sudah silih berganti pergi. Kereta arah Bogor dan Depok juga beberapa kali lewat. Mungkin Gael sudah sampai di kampus dan sempat untuk memesan bubur ayam terlebih dahulu kalau dia menaiki beberapa kereta yang lewat tadi. Tapi kan orang yang dia tunggu-tunggu belum datang.

Aidan belum juga datang bahkan saat gelas karton berisikan cokelat panas itu sudah raib dan berpindah ke dalam perut Gael. Apa jangan-jangan Aidan tidak berangkat ke kampus ya hari ini?

Seketika rasa kecewa menyelimuti hati Gael. Rasanya percuma sekali berangkat dan menunggu sejak pagi di stasiun. Karena orang yang ingin dia temui tidak kunjung datang sampai sekarang.

Bibirnya tertekuk ke arah bawah, membuat sebuah lengkungan terbalik dan ekspresi kecut menghiasi wajah indahnya. Dia buang gelas karton yang sudah kosong ke tempat sampah di sebelahnya. Kakinya berdiri, lalu dia rapihkan sedikit bajunya yang agak lecak.

Mungkin hari ini mereka tidak bisa bertemu, tidak apa-apa. Gael akan meneror DM twitter milik Aidan nanti. Mungkin juga dia akan mencari tahu fakultas pria itu, lalu tiba-tiba saja menghampirinya saat jam makan siang. Masih ada banyak hari dan banyak cara untuk bertemu dengannya, jadi Gael tidak perlu khawatir.

Terlebih, diam-diam Gael juga sudah bersekongkol dengan Nuel untuk mengatur jadwal makan siang bersama dengan Aidan. Soalnya, kalau mengharapkan Aidan akan menerima ajakan dari Gael rasanya akan sangat mustahil. Maka dari itu Gael dengan otak encernya meminta bantuan Nuel.

Nuel pun juga setuju, HEHEHE.

Rasa kecewa Gael tidak bertahan lama. Setelah itu dia sudah bisa tersenyum jahil ketika mengingat rencana liciknya bersama Nuel. Lihat saja nanti, Aidan akan dibuat terkena serangan jantung sungguhan oleh Gael!

Tidak lama terdengar pemberitahuan bahwa kereta yang akan Gael tumpangi akan segera datang. Pria lucu itu berjalan maju hingga ke belakang garis pembatas peron. Dia berdiri dengan sabar, menunggu hingga kereta benar-benar berhenti. Setelah kereta berhenti dan pintu di hadapannya terbuka, Gael membiarkan para penumpang dari dalam kereta untuk terlebih dahulu. Baru setelah itu dia melangkah naik ke dalam gerbong bernomor 9 itu.

Sedetik sebelum pintu tertutup, gerbong yang Gael tumpangi itu dibuat heboh oleh satu orang penumpang. Kaki pria itu hampir terjepit karena nekat menerobos meski tahu bahwa pintu gerbong kereta akan segera ditutup. Napas pria itu terengah dan pelipisnya dipenuhi oleh peluh. Namun bukan itu yang paling menarik perhatian Gael.

Dia Aidan Maheswara. Pria aneh yang selalu menatapnya dengan mata berkaca-kaca dan menyamakan dirinya dengan pete.

Aidan nampak kaget saat melihat kehadiran Gael di dalam gerbong itu. Gael yang duduk dengan nyaman, dengan tangan di lipat di depan dada dan kaki menyilang dengan rapih. Pria lucu itu sedang menatapnya dengan seringaian kecil di bibirnya. Seakan-akan Aidan adalah mangsa empuk dan dirinya siap untuk menerkam pria itu.

Sial. Saat Aidan membalikkan tubuhnya, pintu gerbong kereta sudah benar-benar tertutup dan kereta juga sudah mulai jalan menuju ke stasiun berikutnya.

Sepertinya Aidan harus pura-pura tidak melihat saja, lalu kabur dan pindah ke gerbong yang lain. Ya, ide ini tidak ada salahnya untuk dicoba.

Dengan ekspresi yang dibuat sedatar mungkin, Aidan langsung memutar badannya ke arah kanan. Kemudian dia mengambil langkah besar untuk segera pergi ke gerbong selanjutnya. Ayo, cepat, cepat, cepaaat. Aidan jalan yang cepat sebelum...

“Mau pergi ke mana Aidaaan? hehehehe.”

Sebelum Gael tidak akan membiarkan kamu pergi begitu saja~

Napas Aidan tercekat, sialan. Langkahnya langsung terhenti, bulu kuduknya juga berdiri dengan horrornya ketika mendengar suara Gael yang tiba-tiba saja sudah ada di sebelahnya.

Sudah seperti bertemu hantu penunggu danau atau si merah yang katanya suka hinggap di belakang bus kampusnya ketika malam hari.

Suara wanita terdengar, memberitahukan kalau mereka akan segera berhenti di stasiun cawang beberapa saat lagi. Mungkin Aidan harus memanfaatkan momentum ini untuk kabur dari Gael. Pokoknya harus kabur, karena nyalinya belum terkumpul untuk dapat berbicara dan bertatapan langsung dengan pria itu.

Hih, apa bedanya kamu dengan Jeongguk, Aidan?

Namun Gael sepertinya cepat tanggap. Dia buru-buru menahan tangan Aidan tepat ketika pintu gerbong terbuka. Dia tarik pria itu untuk duduk di barisan bangku yang kosong. Kemudian tersenyum polos ketika Aidan menatapnya dengan tatapan bingung dan takut.

Tunggu, bukannya kemarin-kemarin dia sudah seperti penguntit gilanya Gael? lihatlah anak itu sekarang. Aidan seperti anak berumur lima tahun yang dibawa kabur oleh orang asing dan tidak bisa melakukan apa-apa.

“Hiii, kok lo ngeliatin gue begitu? Udah kayak anak TK diculik om om aja sih!” protes Gael.

Aidan masih diam. Rasanya begitu sulit memproses apa yang sedang terjadi saat ini. Gael, si pria lucu yang beberapa kali muncul secara tidak wajar dalam mimpinya itu kini ada bersamanya. Dia duduk di sebelah Aidan, di dalam gerbong yang sama bernomor 8 dan dengan santainya menggeret tangannya tadi.

Kurang ajar. Gael tidak tahu apa ya kalau di dalam sana jantung Aidan sedang tidak bekerja dengan benar. Rasanya seperti habis disuruh keliling GOR Seomantri sebanyak 8 kali tanpa jeda istirahat. Telapak tangannya berkeringat karena tidak bisa menahan degup jantungnya dan rasa gugup.

Aidan memang payah untuk urusan percintaan, namun dia juga kaget kalau ternyata dirinya sepayah ini. Padahal si Pete—Gael—hanyalah pria yang belakangan ini masuk ke dalam mimpinya. Kenapa efeknya bisa sebesar ini?

“Kok lo diem aja sih?” tanya Gael.

Pria itu tidak menoleh sedikit pun ke arah Aidan. Dia justru sedang sibuk mengeluarkan buku catatan dari tas belacu berwarna krem miliknya. gael membuka sampul buku tersebut, kemudian melihat jadwal untuk hari ini.

Profesor di English Morphology & Syntax berkata kalau beliau akan telat masuk untuk 1 jam sks. Jadi Gael masih memiliki banyak waktu, mungkin dia bisa mampir dan membeli roti sebelum jalan ke fakultasnya nanti.

Aidan masih diam. Dia hanya memperhatikan jari indah dan lentik milik Gael yang sedang membuka halaman demi halaman pada buku catatannya. Gael memastikan kalau hari ini benar-benar tidak ada tugas atau catatan dari dosennya yang terlewat atau tertinggal. Bahkan jari indahnya saja bisa membuat jantungnya berdegup kencang lagi. Buru-buru Aidan menggelengkan kepalanya, sebelum pikirannya berlarian ke mana-mana.

Buku catatan itu tertutup, Gael langsung segera memasukannya ke dalam tas belacu miliknya lagi. Kemudian tiba-tiba saja Gael menoleh. Mata besar dan indah miliknya menatap mata Aidan tanpa memberi peringatan terlebih dahulu, membuat Aidan sedikit terlonjak sebelum akhirnya terkunci oleh tatapan Gael yang begitu menghipnotis.

Berada di jarak yang sedekat ini dan bisa memandangi wajah Gael dengan jelas membuat Aidan sadar. Aidan semakin yakin kalau wajah inilah yang selalu dia lihat dalam mimpinya. Wajah pria ini, wajah yang begitu indah dan sempurna yang sedang menatap ya dengan tatapan sedih. Wajah indah itu dihiasi oleh sisa air mata yang mengering dan hidungnya yang kemerahan.

“Mau bilang gue mirip pete lagi, mmmm?”

Aidan langsung kembali tersadar setelah ditarik masuk ke dalam dunia yang hanya dipenuhi oleh pria berwajah sedih bernama Pete itu. Kepalanya dengan refleks mengangguk, menjawab pertanyaan Gael.

Sumpah, Gael tidak tahu lagi harus mendekati dan mengajak ngobrol pria ini seperti apa. Aidan seakan menjadi tunawicara setiap kali dirinya bertemu dengan Gael. Lidahnya kelu dan pita suaranya tidak menghasilkan bunyi apa pun.

“Kenapa sih lo diem doang? Gamau ngobrol sama gue ya? Atau si pete itu bikin lo sakit hati dan setiap liat gue lo jadi males ngomong.”

Bukan begitu, tentu saja.

Aidan yakin kalau bukan itulah penyebab dirinya menjadi sekaku kanebo kering setiap bertemu Gael.

“Yaudah, gue diem aja deh kalau gitu.” Gael berkata dengan nada suara yang dibuat begitu kecewa dan sedih.

Sial, hatinya jadi terenyuh. Kok Aidan tidak suka ya mengetahui pria lucu itu bersedih. Buru-buru Aidan menyanggah perkataan Gael, karena tidak ingin mendengar nada sedih dan kecewa pria itu lagi. “Engga, gue cuma gugup aja….”

Kedua alis Gael terangkat, membuat mata anak itu membulat. “Kenapa gugup emangnya? Awas aja kalau jawabannya karena gue mirip pete!”

Aidan tertawa melihat wajah lucu Gael yang berubah menjadi pura-pura galak di kalimat terakhir. Rasa gugup yang tadi menggerayangi dirinya seakan pergi sementara waktu.

“Tapi lo beneran mirip seseorang yang namanya pete.” jawab Aidan.

Gael yang mendengar jawaban tersebut hendak melontarkan kalimat-kalimat protesnya. Namun peberitahuan bahwa mereka akan segera tiba di stasiun tujuan membuat pembicaraan mereka terputus.

Aidan dan Gael menunda obrolan mereka mengenai Pete dan Gael. Kedua pria itu berdiri dari tempat duduknya, kemudian berjalan menuju pintu gerbong kereta. Mereka berjalan bersama-sama, seakan lupa kalau beberapa waktu lalu keduanya seperti main kucing-kucingan—Aidan lebih tepatnya.

Langkah kaki Gael terhenti di depan halte stasiun. Bus kampusnya mungkin sebentar lagi akan pergi, jadi dirinya dan Aidan tidak memiliki banyak waktu.

Gael mengulurkan tangannya pada Aidan, membuat pria itu terpaku selama beberapa saat. Lalu uluran tangannya tak lama disambut oleh Aidan.

“Aidan Maheswara, Arsi’19.” kata Aidan ketika tangan mereka berjabatan.

“Nayaka Gael, Sasing’19.” Gael menjawabnya dengan senyuman merekah dengan indah di wajahnya.

Jabatan tangan mereka terlepas, saat Aidan sadar kalau bus kampus mereka akan benar-benar pergi sebentar lagi. Gael pun paham, fakultas Aidan ada di bagian belakang kampusnya yang luas biasa besar dan dikelilingi oleh hutan kota ini. Dia hanya tertawa kecil kemudian berkata, “Sampai nanti Aidan. Sana gih naik bus, keburu ketinggalan tuh.”

Aidan pun tersenyum kikuk sembari melambaikan tangannya ke arah Gael. “Mm, sampai nanti?”

Setelah itu Aidan berlari menaiki bus kampus mereka. Gael tetap berdiri di depan Halte, menunggu sampai bus yang ditumpangi Aidan pergi dan hilang dari penglihatannya. Setelah itu dia berjalan riang menuju ke lampu merah pejalan kaki, menunggu untuk bisa menyeberang jalan dengan aman ketika lampu itu berubah menjadi hijau.

Dua jiwa yang tidak memiliki cerita indah di kehidupan sebelumnya dipertemukan kembali oleh takdir. Bukan hanya takdir, tapi juga janji setulus hati yang mereka buat bersama-sama. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini, apalagi jika jiwa yang sudah diperbincangkan. Pertemuan Aidan dan Gael memang sudah tertulis di jalanan takdir mereka berdua. Karena dua jiwa tersebut sudah mengikat janji pada satu sama lain.

. . . . .

Author’s Note:

Hallo, guys! Maafin aku baru sempet ngetik narasi. Soalnya aku sembari ngetik 2 naskah lainnya (salah satunya Flat 202 yang lagi kejar deadline terbit bulan depan! Huhu). Terus kondisi rumahku lagi ga kondusif, lagi direnov besar-besaran dan cuma kamarku yang rapih tidak terjamah wkwkwk.

Akhirnya si Aidan dan Gael kenalan dengan proper guys!!! Wkwkwk. Semoga rumahku cepat kelar ya, biar aku bisa konsen ngetik dan lebih banyak narasi lagi di cerita ini~

Sampai nantiii, manteman!

All the Love, Bae.

A Thousand Times Prolog: Pria Asing dan Ingatan dari Masa Lalu.

. . .

In another lifetime, I would never change my mind. I would do it again, a thousand times.

Aidan tidak tahu kenapa sekelilingnya terasa begitu aneh.

Dia yakin kalau awal dia memasuki pertemuan ini dirinya masih baik-baik saja. Nuel, temannya itu, masih sempat mengajak dia berdiskusi tentang perkataan dari seorang guru atau pembicara yang ada di depan sana. Aduh, Aidan saja tidak tahu harus memanggil beliau dengan sebutan apa.

Bahkan dirinya sempat mengejek si pembicara yang sedang dengan serius menceritakan isi buku Republic yang ditulis oleh seorang filsuf terkenal asal Yunani, Plato.

Bisa-bisanya Nuel mengajak Aidan hadir dalam diskusi aneh ini. Tema yang diangkat saja tidak masuk akal sama sekali. Bagaimana bisa dirinya datang dan mendengarkan ocehan dari seseorang yang berdiri di atas podium dan berkata panjang lebar tentang sebuah ‘reinkarnasi’.

Awalnya Aidan masih bisa memaklumi keanehan yang terjadi. Misalnya, dia yang datang dan duduk mendengarkan ocehan seseorang yang sedang membahas tentang omong kosong—reinkarnasi. Aidan lebih memilih mengabaikan ocehan orang tersebut dan akan menimpali sesekali dengan decihan.

Namun tiba-tiba saja sesuatu terjadi pada dirinya. Kepalanya terasa begitu sakit, seakan-akan ada seseorang yang sengaja membenturkan atau memukulnya dengan sebuah benda padat. Pusing sekali, sakit sekali dan bahkan rasa mual ikut menyusul.

Temannya yang dengan kurang ajar menggeretnya ke tempat ini masih fokus mendengarkan khotbah atau ocehan dari seseorang yang katanya ahli di bidang ini. Aidan tidak mau tahu, karena kepalanya kini terasa semakin sakit. Mendengar ocehan tidak logis dari orang tersebut membuat sakit di kepalanya bertambah parah, rasanya seperti ingin pecah.

“Teori Socrates mengatakan bahwa belajar adalah ‘perenungan’. Teori ini berperan besar dalam Meno dan Phaedrus. Kalian tahu tentang itu? kalau tidak, saya bisa pinjamkan bukunya nanti.” orang itu kembali bersuara.

Mengapa orang-orang dapat mengingat jawaban atas pertanyaan yang sebelumnya tidak mereka miliki?

Sekelilingnya terasa berputar. Penglihatannya kabur dan pendengarannya menjadi buruk. Suara si pengkhotbah di atas sana terdengar samar-samar menghilang dan digantikan oleh sebuah bunyi aneh yang begitu menyiksa gendang telinganya.

Sialan. Bisa diem aja ga sih ini orang?

Dalam hati Aidan menyahut. Sakit di kepalanya semakin menjadi dan disusul dengan suara dengungan di telinganya yang mengeras. Tangannya mencoba menggapai ke kursi di sebelahnya, meminta pertolongan Nuel agar segera membawa dirinya keluar dari tempat ini. Ke mana pun, tolong, bawa Aidan pergi ke mana saja. Kalau perlu langsung bawa dia ke rumah sakit terdekat.

Dirinya tidak lagi mendengar ocehan si guru di depan sana yang masih asik membahas tentang filsafat reinkarnasi. Satu-satunya hal yang di dengar hanyalah bunyi ngiiing berkepanjangan, seakan-akan ada puluhan lebah yang melintas tanpa permisi di dekat telinganya.

Lalu bayangan orang asing tiba-tiba saja muncul. Seorang pria dengan mata besar yang sedang menatapnya dengan tatapan sedih. Ada sisa-sisa air mata yang masih membekas di sekitar mata dan pipinya.

Hanya sekelebat bayangan, namun bisa membuat setetes air matanya jatuh dan terjun bebas pada pipinya. Aduh, kenapa ini tiba-tiba dadanya terasa sesak dan sakit?

Rasanya seperti Aidan pernah membagi luka yang sama dengan orang itu, meski dirinya tidak tahu apa yang sedang dia rasakan saat ini. Hanya saja, orang asing itu terasa begitu familiar untuknya.

Tapi Aidan tidak tahu siapa orang itu. Aidan juga tidak tahu kenapa rasanya sakit sekali, seperti ada ribuan belati yang menancap di dadanya. Lalu hal selanjutnya yang dia ingat hanyalah seluruh ruangan yang tiba-tiba menggelap.

. . .

A Thousand Times Prologue.

Identical Twins — 200.

In another lifetime, I would never change my mind. I would do it again, a thousand times.

• • •

Langkah Taehyung terhenti di anak tangga teratas, begitu matanya melihat kehadiran Jeongguk yang sudah sampai terlebih dahulu.

Pria itu memunggungi Taehyung. Badannya bersandar pada tembok pembatas di atap gedung, sembari sibuk menikmati pemandangan langit sore yang cerah. Taehyung berjalan menghampiri Jeongguk. Anak itu mengambil tempat di sisi kanan Jeongguk, tidak lupa juga memberi sedikit jarak di antara mereka berdua.

Taehyung ikut larut dalam pemandangan indah yang disuguhkan dari atas atap. Pohon-pohon yang sudah ditumbuhi dengan dedaunan hijau terlihat begitu kecil dari atas atap gedung. Asrama Taehyung juga terlihat lebih dekat dari jarak yang sesungguhnya.

“Engga nyangka ya sebentar lagi udah engga bisa sering-sering lihat ini semua.” Jeongguk mulai membuka suaranya.

Taehyung mengangguk. “Empat tahun ngehabisin banyak waktu di kampus ini, pasti nanti bakal kangen banget deh suasananyaaa.”

Mata Taehyung terpejam, menikmati cuaca di sore itu yang sudah tidak terlalu panas. Jeongguk menoleh saat itu, senyuman di bibirnya terukir dengan jelas. Jeongguk tidak lagi menahan semuanya.

Setelah merenungkan hari-hari yang sudah berlalu, Jeongguk sadar kalau inilah jalan satu-satunya yang dapat dia ambil. Dia mencoba untuk mengikhlaskan perasaannya untuk Taehyung. Karena mungkin sejak awal bukan dirinya yang ditakdirkan untuk Taehyung.

Dari awal semuanya adalah Jungkook, adik kembarnya.

Mungkin rasanya memang berat. Apalagi saat awal Jeongguk mencoba mempertimbangkan semuanya matang-matang. Berat rasanya menghapus perasaan yang begitu dalam, meski dia tahu kalau perasaan itu tidak mungkin terbalas. Sulit sekali, Jeongguk bohong kalau berkata sebaliknya.

Namun saat Jeongguk mencoba untuk mengikhlaskan segalanya, semua terasa lebih mudah. Langkahnya tidak lagi berat saat melihat sosok Taehyung, dadanya tidak lagi perih bagai tersayat pisau, kepalanya tidak lagi sakit setiap kali memikirkan nasib kurang beruntungnya.

Dibanding memaksakan terus hal yang tidak mungkin, Jeongguk lebih memilih untuk menerima.

Adiknya sudah bahagia dengan Taehyung. Kedua orang itu bahagia, jadi tidak seharusnya Jeongguk mementingkan diri dan perasaannya lagi. Keadaan sudah berbeda dari beberapa waktu lalu. Kini Taehyung sudah memilih siapa orang yang berhak menjadi penghuni hatinya secara utuh.

Jeongguk mengikhlaskan takdir lucunya yang mempertemukan Jeongguk dengan Taehyung. Takdir yang membuat dia jatuh cinta pada pria itu dan berakhir dengan Taehyung yang mencintai adiknya ketimbang dirinya. Mungkin memang ini jalan cerita yang sudah ditulis oleh Tuhan untuknya.

Terkadang seseorang yang hadir di hidup ini bukan ditakdirkan untuk menjadi tempat pemberhentian terakhir kita. Terkadang mereka hanya menjadi sebuah tempat persinggahan sementara. Begitulah Taehyung untuk Jeongguk.

“Kamu berangkat lusa, ya?” tanya Taehyung.

Jeongguk mengerjapkan matanya beberapa kali, ketika dia sadar kalau kini Taehyung sudah menatap ke arahnya.

“Besok lebih tepatnya, hahaha.” Jeongguk menjawabnya dengan diselingi tawa kecil.

“Oh..? Aku kira lusa. Cepet banget ya ternyata....”

Jeongguk menatap Taehyung dengan wajah yang dihiasi oleh senyuman jahilnya. “Kenapa? Lo nanti merasa kehilangan gua ya? Nanti pasti kangen digangguin sama gua.”

Taehyung berdecih, mencibir perkataan kelewat percaya diri dari Jeongguk.

“Hih, kurang-kurangin ngeselinnyaaa.”

Jeongguk tertawa puas sekali. Rasanya begitu aneh, karena ini kali pertama Jeongguk bisa tertawa selepas itu saat bersama Taehyung.

Tak lama tawa Jeongguk lenyap dan digantikan oleh keheningan selama beberapa saat. Tiba-tiba Jeongguk menghadapkan badannya ke arah Taehyung. Wajahnya berubah menjadi serius, membuat bulu kuduk Taehyung berdiri seketika.

“Kim, gua mau izin buat nyelesaiin semuanya hari ini. Boleh kan? Lo dengerin semua perkataan gua ya?”

Taehyung melongo, kebingungan dengan maksud dari kalimat Jeongguk. Dirinya tidak mengerti apa arti dari ‘menyelesaikan’ yang Jeongguk maksud di sini. Memangnya apa yang ingin dia selesaikan?

Semuanya... Jeongguk ingin menyelesaikan semuanya sebelum dia pergi.

“Selesai apanya, Jeongguk?” tanya Taehyung, anak itu kebingungan.

Jeongguk tersenyum kecil sebelum memulai ceritanya. Sebuah cerita panjang tentang pria yang mengagumi Taehyung selama bertahun-tahun lamanya. Tentang Jeongguk yang selama ini terlalu bodoh dan salah mengambil langkah untuk menunjukkan perasaannya untuk Taehyung.

“Gua inget banget waktu itu kelas ilmu pengantar sosial, kali pertama gua lihat lo di kelas. Lo lucu banget, Kim. Selucu itu sampai bikin gua yang tadinya ngantuk jadi seger dan ga bisa berhenti merhatiin lo.”

Astaga, Taehyung tidak menyiapkan dirinya untuk situasi ini. Napasnya tercekat, meski dirinya sudah sebisa mungkin mengontrol perasaannya saat Jeongguk mulai berbicara.

“Kim Taehyung, cowok lucu yang jadi inceran banyak senior dan temen-temen di kampus. Ramah, pecicilan, polos, gimana ga banyak orang yang naksir sama lo? Hadeh. Gua perlahan mulai nikmatin waktu gua untuk ngagumin lo dari jauh. Nontonin setiap siaran lo di radio kampus. Bahkan gua pernah kirim surat saat itu, hahaha.”

“Surat? Kamu kirim surat di jam siaranku?” tanya Taehyung.

Jeongguk mengangguk. Ada seulas senyuman di wajahnya ketika mengingat kembali momen beberapa tahun itu.

“Iya, gua ngirimin lo surat. Waktu itu lo udah mau berhenti siaran, terus gua request lagu My Love dari Westlife deh.”

Ah, Taehyung mengingat momen itu. Tentu saja Taehyung tidak akan melupakannya. Karena itu adalah salah satu kejadian manis yang pernah terjadi di hidupnya. Bahkan Taehyung masih menyimpan surat tersebut di dalam laci meja belajarnya.

“I-itu dari kamu?” tanya Taehyung lagi. Entah sudah berapa kali anak itu bertanya pada Jeongguk sejak tadi.

“Iyaaa. Hahaha, pasti lo engga akan nyangka kan?”

Taehyung hanya memberikan anggukan sebagai jawaban. Anak itu membiarkan Jeongguk melanjutkan perkataannya.

“Awalnya gua pikir perasaan gua ke lo tuh biasa aja. Nanti juga bakal hilang. Tapi ternyata gua salah, Kimtae. Gua baru sadar kalau perasaan gua udah terlanjur terlalu dalam ke lo, gua terlambat sadarin itu semua. Gua baru berasa ditampar sama kenyataan waktu Jungkook mulai deket sama lo, terus lo keliatan welcome ke dia. Ya, emang salah gua sih yang bikin lo kesel terus hahaha.”

Tuhan. Taehyung bingung harus menjawab apa. Taehyung bingung harus memberikan reaski bagaimana saat ini. Bahkan otaknya bekerja begitu lambat untuk mencerna segala perkataan Jeongguk. Rasanya kalimat demi kalimat itu hanya masuk ke telinga kiri dan langsung keluar dari telinga kanannya, tanpa membiarkan Taehyung bisa mencerna terlebih dahulu.

“Jeongguk, aku...”

Pria di hadapan Taehyung mengisyaratkan anak itu untuk diam. Biarkan Jeongguk menyelesaikan cerita panjang tentang cinta tak terbalas miliknya itu. Agar beban yang Jeongguk tanggung bisa segera terangkat.

“Oke, point pertama kelar. Gua engga bener-bener niat bikin lo kesel selama ini. Gua cuma... apa ya istilahnya? Cari perhatian lo aja. Iya, gua emang salah di situ. Terus yang kedua, gua bukan cowok di atap kampus yang lo maksud. Maaf kalau selama beberapa waktu bikin lo bingung sama perasaan lo sendiri, hahaha.”

Mata Taehyung terbelalak saat Jeongguk mengatakan hal terakhir. Taehyung ingat kalau dirinya pernah menyebut Jeongguk sebagai pria dari atas atap. Taehyung ingat saat meminta Jeongguk untuk tidak membuatnya bingung dengan perasaannya sendiri. Tapi, apa kata Jeongguk tadi?

Kata Jeongguk, dia bukan pria yang kamu temui di atap Taehyung.

“Kamu, bukan apa?” Taehyung bertanya untuk sekadar memastikan.

Jeongguk tertawa lagi. “Gua bukan cowok yang lo temuin di atap waktu malam tahun baru. Itu Jungkook, waktu itu lo ketemu sama Jungkook.”

Dari awal emang Jungkook, makanya gua mutusin buat bener-bener ikhlasin lo.

Jeongguk sadar, kalau dari awal bukan dirinyalah yang menjadi peneran utama dalam cerita hidup Taehyung. Tuhan memilih Jungkook sedari awal. Kim Taehyung juga memilih Jungkook sejak awal pertemuan mereka. Terlepas dari kesalahpahaman Taehyung mengenali Jungkook sebagai Jeongguk.

Mau tetap kukuh dan memperjuangkan perasaannya pun semacam percuma. Percuma Jeongguk bersikeras memperjuangkan perasaannya yang berjalan satu arah. Taehyung tidak akan pernah membalas perasaannya. Justru yang ada hanyalah luka di antara mereka bertiga jika Jeongguk masih ngotot untuk melanjutkan perjuangannya.

Jeongguk mengikhlaskan, bukan berarti dia pengecut. Justru Jeongguk adalah orang yang paling pemberanai sejagat raya ini. Karena dia berani untuk mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya. Mengikhlaskan seseorang yang begitu disayangi tidaklah mudah, bukan begitu teman-teman?

“Dari awal lo jatuh cinta sama Jungkook, bukan gua Kim. Ini yang bikin gua mikir berkali-kali. Bikin gua sadar juga kalau emang perasaan gua buat lo udah seharusnya selesai.”

Taehyung ingin sekali menanggapi perkataan Jeongguk. Dari tadi pikirannya sibuk mencari berbagai kata, namun tidak ada satu pun kata yang dapat dia ungkapkan. Semuanya tertahan di ujung lidahnya, kemudian otaknya kembali buyar. Semua kata-kata itu kembali hilang.

“Sekarang gua bakal nganggep lo ade nomor dua gua. Jadi gua harap kita engga akan canggung setelah ini, oke”

Taehyung hanya bisa diam, seakan dirinya adalah bayi yang belum bisa berbicara. Entah kenapa Taehyung merasa dirinya begitu bodoh saat ini. Bahkan untuk menjawab kalimat sederhana dan bersahabat dari Jeongguk saja dirinya tidak mampu.

Taehyung masih terlalu kaget dengan situasi yang dia hadapi saat ini. Sepertinya, otak Taehyung menerima terlalu banyak informasi dari Jeongguk. Sampai-sampai rasanya sudah bukan pening lagi, Taehyung sampai kehilangan daya cerna dalam otaknya.

“Kok lo diem aja Kimtae? Mulai sekarang lo gua anggep ade, oke?”

Jeongguk tidak membutuhkan persetujuan dari Taehyung. Dia mengusak rambut Taehyung pelan, kemudian tertawa lepas sekali. Segala beban yang dia pikul di pundaknya seakan terangkat. Jeongguk merasa lega karena sudah memberitahukan semua itu pada Taehyung.

“Jeongguk, aku bingung mau jawab apa....” kata Taehyung.

“Lah, lo ga perlu jawab apa-apa Kim. Hahahaha. Yang paling penting gua udah ungkapin ini semua, setelah itu ya kita ga perlu mikirin ini lagi. Hidup tetap berjalan.”

“Terus aku beneran diangkat jadi adik kamu yang kedua? Nanti aku sama Jungkook juga adik kakak dong?” Taehyung mencoba untuk bergurau.

Tawa mereka berdua lepas setelah itu. Langit sore di musim panas menjadi saksi kalau keduanya kini baik-baik saja. Jeongguk dan Taehyung jauh lebih santai dan lega dengan situasi ini.

Hari itu ditutup dengan seulas senyuman yang menghiasi wajah tampan Jeongguk. Matahari terlihat mulai menenggelamkan diri di ufuk barat kota Seoul. Namun kedua pasang kaki mereka tetap diam, tidak ada inisiatif meninggalkan atap kampus meski hari sudah hampir berganti.

Jeongguk hanya butuh hari ini saja. Dia membiarkan perasaannya pada Taehyung tetap membara untuk hari ini, sebelum pada akhirnya semua itu harus padam. Perasaannya untuk Taehyung sebagai orang yang dia kagumi, bukan sekadar sebagai teman.

Setelah hari berganti, Jeongguk berjanji kalau dia tidak akan pernah membiarkan perasaan itu kembali muncul ke permukaan. Jeongguk memastikan kalau dirinya bisa mengubur dalam-dalam segala rasa yang telah dia biarkan tumbuh selama bertahun-tahun itu.

“Kimtae... sebelum hari ini berakhir, gua boleh minta sesuatu sama lo?”

Taehyung menatap Jeongguk. Kedua alisnya yang terangkat mengisyaratkan sebuah tanda tanya.

“Kamu mau minta apa?” tanya Taehyung

Jeongguk memberi jeda sedikit. Membiarkan suara angin menemani sunyinya atap gedung saat itu. Jeongguk membutuhkan banyak keberanian untuk mengatakan kalimat selanjutnya. Pikir Jeongguk, katakan sekarang atau tidak sama sekali. Karena dia tidak tahu apakah akan ada kesempatan lainnya untuk mereka berdua bisa mengobrol tentang perasaan seperti sekarang.

“Kalau kita ketemu di kehidupan selanjutnya, jangan pilih orang lain lagi ya?”

Sialan, hati Taehyung bagai teriris. Sakiiit, sakit bukan main sampai dia tidak sadar kalau pelupuk matanya sudah dibanjiri oleh genangan air mata.

“Hih, ngomong apa sih kamu! Ini juga, kenapa coba aku nangiiis?”

Jeongguk tertawa. Lalu tangannya aktif membantu Taehyung menghapus air matanya. “Dih, cemen. Padahal gua cuma bilang begitu, tapi masa udah nangis aja?”

“Engga tau, aku males ih!”

“Janji dulu, Kimtae. Jawab dulu pertanyaan gua itu.”

Taehyung tidak menjawabnya, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut manisnya itu. Namun matanya yang basah dan merah menatap lurus ke bola mata Jeongguk. Mata Taehyung berbicara lebih dalam dibandingkan dengan kata-kata yang dapat keluar dari mulutnya. Jeongguk pun dapat tersenyum lega setelah itu.

Jeongguk tertampar sebuah kenyataan saat dia memutuskan untuk mengubur segala perasaannya untuk Taehyung. Saat lagu 1000x dari Jarryd James memenuhi seisi kamarnya semalaman.

Dia tidak pernah menyesal pernah mengenal dan menjatuhkan hatinya pada seorang Kim Taehyung. Meski takdir begitu licik mempermainkan hatinya. Jeongguk tetap bersyukur pernah merasakan rasa sayang yang begitu besar untuk seseorang di luar keluarga intinya, dan orang itu adalah Taehyung. Jeongguk tidak pernah menyesal, meski pada akhirnya pria yang dia sayangi berakhir menjadi milik adik kembarnya.

Mungkin di kehidupan selanjutnya takdir tidak akan begitu kejam pada mereka berdua. Mungkin di kehidupan selanjutnya, mereka akan berakhir pada pelukan satu sama lain. Mungkin di kehidupan selanjutnya, perasaan Jeongguk tidak lagi berjalan satu arah.

Perasaannya pada Taehyung memang akan dia kubur dalam-dalam. Namun Jeongguk tidak akan pernah akan membiarkan seluruh perasaannya menghilang seutuhnya. Jeongguk menguburnya dalam-dalam, agar rasa itu tetap indah. Agar tidak menimbulkan luka untuk dirinya atau orang lain.

Jeongguk tidak keberatan untuk mengubur perasaannya itu hingga seribu tahun lamanya. Asalkan dirinya akan tetap bisa mencintai Taehyung di kehidupan lainnya.

“Mulai sekarang panggil gua abang, oke? Lo kan udah gua angkat jadi ade kedua gua.”

Tubuh Taehyung didorong oleh Jeongguk—tentu dengan lembut—menuju ke arah pintu keluar atap. Taehyung sempat memberontak kecil, namun tetap saja mereka berjalan menuruni anak tangga bersama-sama. Hari sudah mulai gelap, mereka tidak mungkin terus-terusan di atas sana kan?

“Kalau aku panggil abang, berarti boleh minta jajan ke kamu?” ledek Taehyung

“Tunggu abang selesai S2 dan kerja dulu ya, de?”

Setelah itu Taehyung dibuat merinding disco dan kabur karena ucapak Jeongguk. Sedangkan pria itu tertawa puas melihat reaksi yang Taehyung berikan.

. . . . . .

Seoul, 2025.

Jungkook memeluk tubuh Taehyung dari belakang. Menyalurkan seluruh rasa aman dan nyaman pada pacarnya yang baru saja menyelesaikan acara menangisnya itu.

Dia dibuat tertawa geli ketika melihat Taehyung bercerita panjang lebar sembari menangis. Pipinya basah, dipenuhi oleh air mata dan lendir yang keluar dari hidungnya.

Entah sudah berapa banyak tissue yang Jungkook habiskan untuk membersihkan wajah pacarnya itu. Karena Taehyung menangis hampir satu jam lamanya, bercerita tentang bagaimana ending cerita Toy Story tidak pernah gagal membuat dirinya menangis sesenggukan.

Jungkook sudah melakukan berbagai cara; menepuk dan mengelus punggung Taehyung, menciumi seluruh wajah pria itu. Namun tetap saja tidak dapat mengehentikan tangisan Taehyung.

“Kookoo... kenapa Andy ga bawa semuanya aja, sih?” tanya Taehyung, masih tidak terima dengan bagaimana jalan cerita di film itu berakhir.

“Sayang, udah jangan nangis ya? Mending kamu siap-siap, nanti jam 7 kan makan malam di rumahku. Kita harus ngerayain kepulangannya abang.”

Oh iya, Taehyung melupakan hal penting itu. Padahal dirinya sudah membuat penanda di kalender sejak jauh-jauh hari, kalau Jeongguk akan kembali ke Korea Selatan.

Tiga hari lalu juga Jeongguk menghubungi Taehyung, bercerita panjang lebar tentang adik kembarnya yang menelepon di tengah malam waktu London. Jeongguk panik, dikira ada hal penting apa yang terjadi di Seoul saat itu. Ternyata, adiknya itu hanya ingin berkonsultasi.

Jungkook sudah sebulan ini menyimpan sebuah benda berharga yang dia beli khusus untuk Taehyung. Namun nyalinya selalu ciut setiap kali ingin memberikan barang tersebut pada sang pacar. Tangannya tidak mau berhenti berkeringat dan bergetar, jadinya benda itu hanya tersimpan di saku jaketnya selama sebulan penuh.

Jeongguk tertawa terpingkal-pingkal ketika mendengar cerita adiknya. Ternyata Jungkook yang kaku dan pengecut soal urusan percintaan sudah kembali.

Suatu hari musim semi, saat peringatan hari jadi mereka yang keempat, Jeongguk berencana memberikan sebuah cincin yang indah untuk Taehyung. Bukan cincin lamaran, hanya sebuah hadiah saja. Karena rasanya mereka masih sedikit jauh dari tahapan itu.

Padahal hanya memberi hadiah, namun entah kenapa rasanya begitu sulit. Sudah ingin mengajak Taehyung bersanding di altar dan mengucapkan janji suci bersama.

“Omong-omong, kamu nanti jangan kaget ya?” Jungkook berkata.

“Hah? Kaget kenapa?”

“Nanti bakal banyak banget orang di rumah. Beberapa keluarga besarku juga ikut dateng kayaknya.”

Harusnya Jeongguk langsung kembali ke Seouk setelah selesai menempuh strata dua-nya. Namun pria itu memutuskan untuk mencari banyak pengalaman lain yang bisa dia cicipi sebelum kembali ke tanah kelahirannya. Jeongguk menghabiskan banyak waktu untuk menjelajah benua Eropa hingga ke Asia tenggara.

Kini sudah waktunya dia pulang ke rumah. Tentu saja keluarga dan sahabat-sahabatnya sudah menantikan hari ini untuk datang. Maka dari itu mereka semua memutuskan untuk berkumpul, merayakan pulangnya Jeongguk bersama-sama.

“Ya ampun, sebentar aku mandi dulu. Kookoo tunggu di sini ya? Atau mau ngobrol sama papa di bawah?”

Taehyung tidak menunggu jawaban Jungkook, karena dirinya sudah terlebih dahulu masuk ke dalam kamar mandi.

Jungkook hanya bisa tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Kemudian dirinya pergi turun ke lantai satu rumah Taehyung, menunggu anak itu yang sedang mandi sembari berbincang dengan orangtua pacarnya.

. .

Ruang tengah rumah keluarga Jeon sudah ramai akan sanak saudara dan teman-teman dekat si kembar.

Pintu kaca yang selama ini menjadi penyekat antara ruang keluarga dan halaman belakang rumah dibiarkan terbuka. Agar ruangan terasa tidak sumpek karena banyaknya orang yang berkumpul di satu ruangan.

Berbagai macam makanan dan minuman sudah disajikan di atas meja. Beberapa orang juga sudah sibuk bolak-balik menyicipinya.

Para orangtua berkumpul di ruang tengah keluarga Jeon. Berdiskusi tentang suatu hal atau sekadar mengenang beberapa kejadian di masa lalu, tentang anak, keponakan dan cucu mereka. Sedangkan para anak muda memilih untuk mengambil daerah kekuasaan mereka di teras halaman belakang.

Di sana sudah hadir sahabat-sahabat dari si kembar Jeon. Mingyu, Eunwoo dan Wonwoo. Mereka bertiga juga sudah menantikan datangnya hari ini, hari di mana Jeongguk akan pulang ke Seoul. Setelah bertahun-tahun terlewati tanpa adanya Jeongguk di sisi mereka. Apalagi Jeongguk jarang sekali mengambil waktu liburnya untuk pulang ke Seoul, alhasil mereka harus memupuk rindu pada Jeongguk.

“Ini bintang utama malam ini mana sih? Lama banget turunnya.” Mingyu mengeluh.

Sedangkan Jungkook dan Taehyung tidak mempedulikan wajah sebal Mingyu yang sudah bosan setengah mati itu.

Pasangan itu sibuk menyuapkan sendok demi sendok makanan yang mereka ambil dari meja. Lalu saling bertukar pendapat tentang makanan tersebut. Seperti, “ah, kayaknya saus stroberinya terasa terlalu manis”, “Mana coba, sini aku cium bibirnya biar tahu manis beneran atau engga.” atau, “Sayang, coba tart keju langganan mama deh. Aku suka banget makan ini dari kecil, si abang juga.”

Meski sudah melihat pemandangan ini selama empat tahun lamanya, teman-temannya masih sering dibuat tidak habis pikir dengan kadar kebucinan Jungkook pada Taehyung. Jungkook yang kaku, yang beberapa tahun lalu sangat sukit membuka hatinya untuk seseorang kini sudah hilang. Adanya hanya Jungkook yang lembut dan manis pada Taehyung.

Gila, cinta memang bisa membuat manusia berubah.

“Kalian engga bosen pacaran setiap hari?” kini Wonwoo ikutan dibuat jengah.

Namun Jungkook dan Taehyung memilih untuk tidak mengindahkan perkataan sahabat mereka itu. Oh ya, tentu saja sahabat Jungkook sudah menjadi sahabat Taehyung juga sekarang.

Tak lama orang yang paling dinanti-nanti muncul juga. Dengan style pakaian yang jauh lebih dewasa dibanding beberapa tahun lalu. Jeongguk yang suka berbagai warna sweater atau hoodie, kini lebih suka mengenakan kemeja. Rambutnya yang terakhir kali berwarna pirang sudah kembali menjadi warna hitam. Pria itu tersenyum dan menyapa beberapa orang di ruang tengah, tidak lupa juga dia membungkuk untuk menunjukkan rasa hormat pada tamu yang jauh lebih tua darinya.

Mingyu sudah heboh melambai-lambaikan tangannya dari teras belakang. Sampai akhirnya Jeongguk menyadari kehadiran kelima orang itu di sana.

Senyuman Jeongguk mengembang. Terlihat sekali kalau dirinya bahagia karena bisa berjumpa dengan orang-orang yang disayangi lagi.

Mereka—Mingyu, Eunwoo dan Wonwoo—mengantri untuk dapat memeluk Jeongguk, tidak peduli dengan gengsi yang terkadang begitu besar. Membuat Jungkook dan Taehyung tertawa puas melihat keributan ketiga orang itu saat ingin memeluk Jeongguk.

Tidak banyak yang berubah, kecuali tampilan dari masing-masing mereka yang sudah lebih dewasa. Tentu saja, ini sudah empat tahun sejak mereka lulus perkuliahan.

Jeongguk mengacak rambut Taehyung sebelum akhirnya memeluk tubuh pria itu dengan lembut. Jeongguk tidak memeluk adik kembarnya, karena tentu saja mereka sudah bertemu dan berpelukan sejak kemarin.

“Gila, kalian kangen banget ya sama gua pasti? hahaha.” kata Jeongguk, setelah dia selesai dengan acara peluk-pelukan untuk melepas rindu pada teman-temannya itu.

“Hih, bisa-bisanya lo ngomong gitu setelah bertahun-tahun engga balik ke Seoul?” Mingyu memprotes ledekan dari Jeongguk tersebut.

“Hahaha, keterusan. Kalian jangan pernah jalan-jalan ke luar negeri sendirian deh. Soalnya nagih hahaha.” jawab Jeongguk.

Empat tahun berlalu bukanlah sebuah waktu yang singkat. Mereka melewati banyak hari-hari buruk dan hari-hari yang indah akan pekerjaan, akan percintaan, akan hubungan bersosial. Kini mereka menjadi lebih dewasa, baik dari segi umur ataupun pemikiran.

Sudah tidak ada lagi yang pernah membahas perihal cinta segitiga bermuda semasa kuliah. Sudah tidak pernah ada lagi yang menyinggung perasaan Jeongguk pada Taehyung. Karena, kini semuanya terasa jauh lebih nyaman dan bahagia.

Jeongguk menepati janjinya di hari terakhir dia mengobrol dengan Taehyung. Setelah hari berakhir, dia akan mengubur dalam-dalam perasaannya untuk Taehyung. Kini Taehyung sudah dia anggap sebagai adik keduanya dibandingkan dengan pacar adik kembarnya.

Jeongguk menjadi tempat Taehyung berkeluh kesah akan harinya di Seoul, juga tempat dia marah-marah ketika Jungkook sedang menyebalkan. Jeongguk suka dengan hubungannya dan Taehyung saat ini, dibandingkan dengan sebuah hubungan dengan perasaan yang berjalan searah. Jeongguk lebih nyaman dengan situasi mereka sekarang.

Kalian tahu apa yang paling penting?

Mereka semua kini bahagia. Mereka bahagia dengan jalannya masing-masing. Tidak ada lagi tangis pilu dan rasa sakit yang membelenggu.

Omong-omong, Mingyu dan Wonwoo juga sudah resmi berpacaran sejak satu tahun yang lalu, lho~

Butuh waktu bertahun-tahun untuk kedua orang itu bisa terbuka dan sadar akan perasaan mereka pada satu sama lain. Bahkan keempat teman lainnya dibuat tertawa hingga menangis saat diberi tahu kabar ini pertama kali.

Berbeda dengan dua pasangan itu, Jeongguk dan Eunwoo masih belum menemukan seseorang yang tepat dalam hidup mereka. Eunwoo masih sama, sibuk dengan pekerjaannya yang penuh dengan dedikasi tinggi itu. Jeongguk juga masih sibuk mencari-cari banyak pengalaman baru di hidupnya. Ah, iya, Jeongguk juga berencana untuk melamar menjadi seorang produser di salah satu saluran berita internasional berpusat di Asia Tenggara. Jeongguk jatuh cinta dengan cuaca dan lingkungan bersosial di sana ketika dirinya sibuk bepergian seorang diri.

Taehyung kini sudah bekerja di salah satu agensi iklan yang cukup besar di korea. Sedangkan Jeongguk kini bekerja di salah satu perusahaan swasta dan menempati posisi HR. Dia juga berencana untuk meneruskan studi strata dua di bidang Psikologi.

“Terus, lo udah kasih cincinnya ke Taehyung belum dek?” kata Jeongguk tiba-tiba.

Suasana yang tadinya penuh tawa berubah hening. Semua melongo kaget ketika mendengar perkataan Jeongguk tentang cincin. Termasuk orang yang bersangkutan, Taehyung tidak tahu menahu perihal Jungkook yang ingin memberinya cincin.

“Loh, ini udah mau lamar-lamaran ajaaa???” tanya Eunwoo histeris.

Kan, mereka salah paham. Padahal Jungkook hanya ingin memberikan cincin pada Taehyung saja, bukan sebuab ajakan menikah atau lamaran. Namun pertanyaan itu sukses membuat pipi Taehyung bersemu seperti tomat.

Bagaimana kalau Jungkook gas saja?

Taehyung sudah terlanjur malu-malu dan berpikir demikian. Sepertinya, alangkah lebih baik kalau Jungkook tidak membiarkan harapan Taehyung yang sudah melambung tinggi itu untuk terjun bebas ke daratan.

Lamar, lamar, lamar!

“Taetae, mau aku lamar sekarang?” tanya Jungkook lembut.

Identical Twins Ends Here! . . . . .

Author’s note:

Hallo, mantemaaan. Maafin aku karena lama banget drop narasi iniii. Huhuhu, aku ga biasa ngetik di hp jadinya leleeet. Maafin juga kalau banyak typo ya!

Ga terasa udah ending aja, huhuhu. Padahal awal ngetik cerita ini aku bilang fluff, tapi, tapi ternyata berbawaaang hahaha.

Semuanya udah nemuin kebahagiaan masing-masing guys. Jeongguk dan Taehyung juga lebih nyaman dengan hubungan mereka yang sekarang. Yeay, happy ending!

btw, nanti aku bakal nulis sequel dari cerita ini yaaa. Previewnya aku taruh di tweet selanjutnya. Xixixi. Sampai jumpa di cerita aku lainnya!😉😉😉

All the Love, Bae.

Identical Twins — 173

Sometimes, keeping your distance is the best thing you can do for your healing heart.

. . .

Jungkook tidak tahu, apakah senyuman dan tawa yang ditunjukkan oleh sang kakak hanyalah sebuah topeng atau kebenaran. Rasanya sulit sekali menebak apa yang ada di kepala sang kakak akhir-akhir ini. Padahal dulu mereka selalu memahami satu sama lain tanpa perlu adanya kata-kata yang menjelaskan. Kakaknya tertawa, namun matanya terlihat begitu bengkak. Bibirnya terangkat ke atas, membentuk sebuah senyuman. Namun entah mengapa pandangan mata itu terasa begitu kosong.

Tahu tidak apa yang paling mengiris hati Jungkook?

Dirinya bahkan baru mengetahui rencana Jeongguk untuk melanjutkan S2 ke London. Padahal kakak kembarnya dulu selalu cerewet, bercerita tentang hal ini dan itu. Jungkook selalu senang setiap kali mendengar kakak kembarnya yang lebih cerewet itu bercerita. Jungkook senang menjadi teman berkeluh kesah, teman berbagi pikiran dan bertukar pendapat.

Namun Jungkook tidak menyukai situasi yang terjadi dengan dirinya dan Jeongguk belakangan ini. Menaruh hati dan perasaan pada satu orang yang sama dengan saudara kembar bukanlah ide yang bagus. Jungkook rela berbagi kamar, rela bertukar baju dan berbagi lauknya dengan sang kakak, tapi tidak dengan berbagi perasaan dengan orang yang sama.

Kakaknya itu tidak banyak berbicara. Jeongguk hanya tertawa terbahak-bahak ketika Mingyu sudah mulai berulah dan bertingkah bodoh. Lalu, ketika Wonwoo dan Mingyu yang tidak pernah bisa berhenti berdebat. Tapi Jungkook tidak yakin kalau pikiran sang kakak berada bersama mereka di kafe itu.

Beberapa kali Jungkook diam memperhatikan sang kakak, lalu orang yang bersangkutan akan sadar. Dia hanya akan mengangkat dagunya, mengisyaratkan sebuah pertanyaan pada sang adik yang terus-terusan memperhatikannya. Kemudian Jungkook hanya menggeleng.

Kedai BBQ yang mereka datangi akan tutup dalam waktu sepuluh menit. Akhirnya mereka memutuskan untuk menyudahi malam yang katanya penuh canda, tawa dan waktu berkualitas itu. Semua orang memutuskan untuk pulang karena saat itu hari sudah larut. Berbeda sengan yang lain, Jungkook akhirnya mengajak kakak kembarnya untuk mengobrol empat mata.

Kedua pria kembar itu berjalan menuju CU yang terletak di perempatan jalan, tak jauh dari kafe yang mereka datangi tadi. Dua kaleng soju mereka jadikan teman mengobrol di meja depan CU yang malam itu terlihat begitu sepi.

Tidak ada yang bersuara, membiarkan keheningan menyelimuti keduanya selama beberapa saat. Hanya ada suara kaleng yang dibuka, kemudian Jeongguk yang meneguk kaleng sojunya. Sedang Jungkook sibuk mengetuk-ngetuk kaleng soju di tangannya ke atas meja, menimbulkan bunyi benturan kecil yang sedikit mengganggu.

“Mau ngomongin apaan, dek? Lo malah diem.” Jeongguk bersuara pada akhirnya. Kaleng sojunya dia letakkan di atas meja, kini kedua tangannya di lipat ke dada dan badannya bersandar pada kursi.

“Kenapa lo engga ada diskusi atau cerita apa-apa sama gue bang? London, really?”

Ada begitu banyak kekecewaan yang tergambar dalam ekspresi wajah Jungkook, kakaknya bisa menangkap itu semua dengan begitu jelas. Menghabiskan 23 tahun bersama, selalu berbagi cerita, pikiran dan pendapat, tentu mengambil keputusan untuk pergi jauh bukanlah suatu hal yang mudah.

Apa jadinya Jeongguk kalau harus hidup jauh dari mama, papa dan Jungkook? Dia belum pernah membayangkan hal ini akan terjadi dalam hidupnya.

Namun ternyata rasa sakit yang ditimbulkan dari patah hatinya jauh di luar ekspektasi. Jeongguk pikir, asal Taehyung dan adiknya bahagia itu sudah cukup. Cukup untuk membuatnya bisa melupakan rasa sakitnya, cukup karena orang-orang yang disayangi bisa bahagia bersama. Tapi, nyatanya Jeongguk salah karena meremehkan perasaannya pada Taehyung. Dia—Kim Taehyung—yang selama tiga tahun ini Jeongguk pikir hanya sebatas rasa kagum, justru menjadi sosok yang berhasil menyita seluruh ruang di hati dan pikirannya.

Rasa sakitnya yang begitu dalam membuat Jeongguk mengambil langkah nekat. Jeongguk merasa kalau lebih baik dia pergi sejauh mungkin, menyembuhkan dirinya yang tidak akan sanggup jika harus terus-menerus melihat sosok Kim Taehyung. Jeongguk tidak sanggup mengingat kenyataan yang begitu pahit dan tidak adil untuk dirinya. Sakit, karena pria manis yang menempati seisi hatinya itu milik adiknya sendiri.

Dari miliyaran orang yang ada di dunia, mengapa harus adiknya sendiri yang menjadi saingan dalam urusan percintaan ini?

Mengapa adiknya sendiri yang berhasil mendapatkan hati dari Kim Taehyung?

Pertanyaan itu terus menerus memenuhi pikirannya. Membuat Jeongguk merasa kalau rasa sakit ini sudah tidak sehat lagi. Jeongguk butuh waktu untuk sembuh. Namun dirinya tidak akan berhasil jika Taehyung masih tetap berada di sekitarnya. Maka dari itu Jeongguk memutuskan untuk pergi jauh, jauh sekali dari tanah kelahirannya dan keluarga yang begitu dia sayangi.

“Gua kemarin masih mikir-mikir. Tapi sepanjang ngebut skripsian kemarin gua malah jadi mantepin hati. Kayaknya seru ya dek kalau ngerasain pengalaman kayak Papa dulu.” Jawab Jeongguk pada akhirnya.

“Kok tiba-tiba? Bukannya dulu kita sepakat buat nolak tawaran papa buat lanjut ke London?”

“Waktu berubah, kita pun berubah dek.”

Betul. Sering kali waktu mengubah manusia atau manusia yang berubah seiring dengan berjalannya waktu. Tidak ada yang bisa menjamin kalau segala hal akan tetap sama. Sebuah perasaan bisa berubah dan sebuah janji bisa diingkari.

“Lo yakin ini keputusan yang tepat? Udah diskusi sama mama?” tanya Jungkook lagi.

Jeongguk menggeleng. “Belum bilang ke mama. Rencananya nanti setelah semuanya udah siap, biar mama engga bisa ngelarang haha. Bandel emang gua dek, jangan dicontoh ya.”

“Kalau emang lo ngerasa itu yang terbaik buat diri lo, gue cuma bisa ngedukung apa pun keputusan lo bang,” Jungkook berkata, “Gue ade lo satu-satunya. Kembaran lo. Kita hidup dari lahir barengan terus, jangan lupa kalau gue selalu mau lo bahagia juga.”

Jeongguk tahu itu. Namun tetap saja, kini jalan satu-satunya untuk bahagia hanyalah meninggalkan segala rasa sakitnya di Korea dan menyembuhkan lukanya di tempat yang begitu jauh.

Mungkin nanti Jeongguk akan berkeliling setiap hari menumpangi double decker bus di London. Menyewa apartemen kecil di bawah tanah dengan view setengah jalanan tempat orang berlalu lalang, menikmati pemandangan itu sembari menyesap teh hangat dari balik jendela. Mungkin juga Jeongguk akan naik London eye untuk menikmati pemandangan seluruh kota dari atas sana. Dengar-dengar London eye itu sebuah roda pengamatan yang terbesar di dunia dengan ketinggian 135 meter atau 433 kaki, pasti Jeongguk akan terkesima dengan pemandangan kota London dan melupakan segala bebannya.

“Gua tau dek. Gua juga mau lo selalu bahagia.” jawab Jeongguk, kemudian dia tersenyum tipis.

Gua mau lo bahagia. Makanya gua harus pergi, dek. Gua harus pergi biar kita semua bisa bahagia.

Jeongguk merasa begitu pengecut saat ini. Dia memilih untuk pergi dan kabur dari rasa sakitnya, memilih jalan pintas yang mungkin akan sangat dia syukuri di kemudian hari atau bisa juga dia sesali untuk yang ke sekian kalinya.

“Gue engga tau apa pantes ngomong begini ke lo.... tapi, kalau misalnya Taehyung adalah alasan lo pergi, gue harap lo selesaiin apa yang perlu diselesaiin dulu sama dia.”

Memangnya apa yang harus diselesaikan?

Jeongguk tertawa miris. “Emangnya apa yang perlu diselesaiin dek?”

“Gue engga tau bang. Cuma lo yang tau apa yang hati lo rasain. Cuma lo yang tau apa kira-kira yang perlu kalian selesaiin.”

Bukankah Jeongguk yang bilang kalau dirinya ingin mengungkapkan perasaannya pada Taehyung dengan cara yang lebih pantas?

Jeongguk hanya perlu mengungkapkan apa yang selama ini dia rasakan, sebelum dirinya memutuskan untuk menyembuhkan lukanya. Mengobrol dengan Taehyung sebelum dia memutuskan untuk membuang segala kenangan pahit tentang pria manis itu nantinya. Karena nantinya akan percuma. Percuma jika Jeongguk ngotot ingin menyembuhkan sakit di hatinya, namun segala unek-unek yang dirasakan masih dia tahan seorang diri.

“Dek, gue bakal pikirin ini baik-baik. Btw, thanks ya?”

“Makasih buat apa?”

“Hahaha, engga apa-apa. Udah yuk pulang, mama pasti udah ngomel dan gerbang udah digembok nih.”

. . .


. . . Author's note:

Harusnya aku post ini kemarin, tapi engga sempet ternyata karena aku balik malem huhu.

Btw, memang harus sedih-sedih dulu buat ketemu sama si bahagia. Kan si ade udah bahagia bersama Taetae, jadi mari doakan si abang bisa lekas menemukan kebahagiaannya!

Oh iya, bentar lagi AU ini tamat ya guys. Tyda kerasa aku ngetik mereka selama dua bulan huhu. Ide yang awalnya bermula dari mata burikku kalau ngelihat sekitar burem banget tanpa kacamata dan lensa kontak, eh jadilah si kembar dan taetae dengan penglihatan buruk. :(

Ku terlalu banyak cuap-cuap. Baiklaaa, sampai nanti lagi~

All the Love, Bae.

FLAT 202 | SLICE. warning: susu pisang dan Taetae sedikit nakal di akhir!

Hugging is a silent way of saying ’you matter to me’.


. .

Jungkook panik setengah mati begitu menyadari tidak adanya eksistensi Kim Taehyung di lokasi pemotretan. Padahal beberapa saat yang lalu pria manisnya itu masih lompat-lompat kegirangan di sisi pojok ruangan, matanya besarnya tidak berhenti memandang ke arah tempat di mana Jungkook berada. Setiap kali Jungkook mencuri kesempatan untuk melirik ke tempat Taehyung, pacar lucunya itu akan melambai-melambaikan tangannya. Kalau sudah begitu, senyuman kecil pada bibir Jungkook sangat mustahil untuk bisa disembunyikan.

Beberapa set lampu, crew lain yang berlalu lalang dan juga seorang model wanita bertubuh ramping dan berkaki jenjang sempat menghalangi Jungkook untuk bisa melihat ke arah tempat pacarnya menunggu. Saat sebelum memulai pemotretan, Jungkook meminta pacarnya itu untuk menunggu di sisi pojok ruangan bersama dua anak minor yang kinisudah tidak berusia minor lagi—Jinyoung dan Jihoon. Namun tiba-tiba ketiga orang itu menghilang entah ke mana. Begitu pemotretan selesai, Jungkook buru-buru izin untuk pergi pada crew yang lainnya. Bahkan diskusi pemilihan foto bersama sang model dia lakukan dengan begitu singkat.

Kaki Jungkook berlari kecil, menyusuri jalanan Itaewon yang ramai oleh pejalan kaki pada sore menjelang malam itu. Jungkook menghubungi nomor pacarnya, namun tidak aktif sama sekali. Menghubungi nomor Jinyoung dan Jihoon juga tidak ada jawaban. Mereka itu kenapa tiba-tiba menghilang tanpa memberi kabar terlebih dahulu, sih. kan Jungkook panik bukan main.

Tak lama ponsel Jungkook bergetar. Sebuah pesan singkat dari Jinyoung itu langsung buru-buru Jungkook baca.

Anak minor nomor 2.

Susu pisang hyung, kami sudah pulang duluan ke flat. Tadi Taetae hyung merajuk.

Astaga, kenapa pacar lucunya tiba-tiba merajuk? . . .


. . .

Saat tiba di lantai dua gedung flat, Jungkook langsung buru-buru menekan pin akses masuk ke dalam flat bernomor 202. Namun anehnya permintaan masuk selalu gagal. Pintu dikunci dari dalam membuat Jungkook tertahan dan tidak diizinkan untuk masuk. Kok bisa, ya? Padahal Jungkook yakin kalau pin aksesnya sudah benar.

Akhirnya dia putuskan untuk mengirim pesan ke pada pria manisnya itu. Bertanya apakah pintu flat sengaja dikunci dari dalam dan Jungkook tidak diperbolehkan masuk. Tak lama ada sebuah pesan balasan dari Taehyung yang membuat Jungkook kaget selama beberapa saat.

Tidak, aku tidak mau bertemu susu pisang dulu, begitu kata Taehyung.

Lalu jungkook kembali menanyakan penyebab pacarnya itu tidak ingin menemui Jungkook. Setelahnya, jawaban jujur dan menggemaskan Taehyung berhasil membuat Jungkook ketar-ketir menahan debaran di jantungnya. Hanya seorang Kim Taehyung yang mampu membuat irama debaran jantung Jungkook bekerja tidak normal, bahkan setelah berpacaran lebih dari tiga tahun lamanya.

Sebal. Tidak suka melihat susu pisang tadi dekat-dekat dengan nuna cantik.

Kata Jinyoungie nuna tadi suka dengan susu pisang. Aku tidak suka, aku sebal.

Selama ini Taehyung tidak pernah menunjukan sisi cemburunya yang ternyata begitu menggemaskan seperti ini. Jungkook bahkan sering kali dibuat bingung. Pacarnya ini sebenarnya pernah cemburu atau tidak pada dirinya?

Ya, susu pisang..., bagaimana Taetae ingin cemburu kalau kamu saja tidak memiliki waktu untuk sekadar menoleh ke arah lain. Pandangan matamu itu hanya tertuju pada satu orang. Matamu hanya ingin memandangi dan mengagumi keindahan Kim Taehyung. Perhatianmu sepenuhnya hanya ditujukan untuk Taehyung. Bahkan kamu lebih memiliki banyak waktu untuk mengagumi dan memanjakan pacar lucumu dibanding dirimu sendiri. Apa mungkin Taehyung sempat menyicipi yang namanya perasaan cemburu?

Tentu tidak~

Aduh, Jungkook ingin segera menarik tubuh Taehyung untuk masuk ke dalam pelukannya. Ingin segera menghujani wajah lucu pacarnya dengan banyak ciuman.

Jadi begitu pintu di hadapannya itu terbuka, Jungkook langsung mengambil langkah besar ke arah tempat di mana Taehyung berdiri.

Jungkook lihat kalau pacar lucunya sudah mengenakan piyama satin berwarna biru. Sandal lucu rumahannya juga sudah melindungi kedua kaki Taehyung dari dinginnya lantai. Kemudian dia tarik badan pacarnya dengan lembut dan masuk ke dalam pelukannya.

Jungkook mendekap Taehyung tubuh Taehyung dengan erat, namun tidak sampai membuat anak itu sesak dan tidak nyaman. Puncak kepala Taehyung sudah habis dikecupi oleh Jungkook, namun Taehyung menyukainya. Taehyung selalu suka segala sentuhan lembut Jungkook itu pada dirinya. Kedua tangan Taehyung melingkari leher Jungkook. Dijauhkan sedikit badannya, agar memberi jarak dan dapat leluasa memandangi wajah pacarnya.

“Taetae sayang, jangan menghilang tiba-tiba seperti tadi lagi. Aku khawatir tahu. Aku sampai berlari keliling Itaewon, menyusuri gang-gang dan kafe di sekitar lokasi tadi.”

Bibir Taehyung mengerucut dan membuat sedikit lengkungan ke arah bawah. Mata besarnya menatap Jungkook dengan penuh rasa bersalah.

“Maafkan aku ya, susu pisang? Tadi aku keburu sebal, sampai tidak memikirkan kalau susu pisang pasti akan khawatir.”

Jungkook mengangguk kecil, salah satu sudut bibirnya terangkat sedikit. “Sudah aku maafkan, asal sayangku juga memaafkanku.” jawab Jungkook.

“Aku tidak marah ke susu pisaaang. Sudah tidak sebal, soalnya sudah dipeluk. Tapi, tapi, tapi, banyak ciumannya belum diberikan oleh susu pisang.”

Jungkook tertawa kecil mendengar perkataan pacarnya. Dia angkat tubuh Taehyung dengan tiba-tiba, membuat pacarnya itu sedikit terlonjak kaget. Kemudian Jungkook menggendong Taehyung hingga memasuki kamar mereka. Namun kedua pasang mata mereka tidak berhenti menatap satu sama lain, tanpa mempedulikan posisi mereka saat ini. Taehyung tersenyum malu-malu, kemudian menyembunyikan wajahnya di leher Jungkook.

Tubuh Taehyung diletakkan ke atas kasur dengan hati-hati sekali, sekan-akan tubuhnya adalah sebuah permen kapas yang rapuh. Jungkook menyusul naik ke atas kasur, kemudian mengkungkung tubuh Taehyung dan menyisahkan jarak tipis di antara mereka.

Dekat sekali, sampai-sampai mereka berdua bisa mendengar deru napas satu sama lain. Mungkin sebentar lagi keduanya bisa saling mendengar suara detak jantung mereka yang sedang beradu balap di dalam sana. Taehyung deg-degan sekali, tapi menyukai alasan dibalik rasa deg-degannya tersebut.

Wajah Jungkook membelakangi cahaya lampu kamar di langit-langit atap kamar mereka, namun Taehyung tetap bisa melihat wajah pacarnya dengan jelas. Ekspresi wajah Jungkook yang melembut setiap kali menatap mata Taehyung dengan penuh kasih sayang. Tatapan mata Jungkook yang selalu mengingatkan diri Taehyung kalau dia begitu disayang. Mengingatkan Taehyung kalau ada seseorang yang begitu menganggap dirinya istimewa.

Kamu memang istimewa Taehyung-ah.

“Susu pisang, cepaaat. Ayo beri ciuman untukku yang banyak!”

Taehyung bersuara, setelah membiarkan dirinya dan Jungkook diam dan larut dalam tatapan satu sama lain.

“Panggil aku sayang dulu, baru akan aku beri ciuman.”

“Tadi kan perjanjiannya tidak begituuu.” Taehyung protes.

Jungkook tertawa kecil, kemudian menggelinding ke sisi kasur miliknya di sebelah kanan. Posisinya kini sudah berada di sebelah Taehyung, menghadap ke arahnya dan memeluk pinggang pria manis itu.

Tanpa abaa-aba, tanpa adanya pemberitahuan, Jungkook sudah mendekatkan wajahnya dengan wajah Taehyung. Dia kecupi bibir tebal Taehyung yang sudah dilapisi oleh lipbalm rasa stroberi. Kemudian kecupan itu berganti menjadi sebuah lumatan, disusul oleh ciuman yang semakin dalam. Membuat Taehyung mengikuti apa yang Jungkook lakukan. Pria manis itu membalas lumatan pada bibir bawah dan bibir atas Jungkook secara gantian. Kedua tangan Taehyung melingkar, memeluk tubuh Jungkook dengan erat.

Mereka terlalu larut dalam buaian bibir masing-masing yang begitu candu, sampai-sampai hampir lupa mengambil napas. Saliva di antara kedua bibir itu menyatu, namun keduanya tidak merasa jijik sama sekali. Ciuman yang lumayan terasa panas namun nyaman itu dilepaskan sebentar oleh Jungkook. Membuat Taehyung sedikit kecewa saat tautan dan lumatan di bibir keduanya terhenti.

“Bayi beruang nakal sekali, tadi menggigit-gitit bibirku. Siapa yang mengajarkan kamu begitu, hum?” ledek Jungkook

Taehyung yang baru menyadari tindakannya tadi langsung merasa malu. Dia sembunyikan wajahnya pada dada bidang Jungkook yang masih dibalut kemeja putih.

“Aku tidak sengaja!” jawab Taehyung.

Jungkook tertawa. “Tidak perlu malu dong, aku malah suka saat bayi beruangku sedikit nakal seperti tadi. Haha.”

Jawaban Jungkook semakin membuat Taehyung malu dan berakhir dengan pukulan-pukulan kecil yang mendarat di punggungnya.

“Tidak sakit sayang, pukulanmu mah hanya menggelitik saja.”

“Ih, sebaaal. Aku sebal sekali dengan susu pisang!”

“Aku masih ingin mencium kamu, masih ingin memeluk kamu. Masih ingin dicium dan digigiti bibirnya juga. Tapi aku harus mandi dulu, supaya bersih dan wangi. Bagaimana?” tanya Jungkook

Sial, memang Jeon Jungkook alias susu pisang ini senang sekali meledek Taehyung. Hampir setiap kali mereka menghabiskan malam penuh dengan ciuman akan berakhir dengan ledekan si susu pisang raksasa itu. Taehyung kan jadi malunya dobel dobel. Tapi nanti juga dia melupakan rasa malunya ketika bibirnya dan bibir Jungkook saling bertautan.

“Sana mandiii, dasar susu pisang bau! Susu pisang nakal, nanti aku akan laporkan ke Jiminie dan Yoongi hyung.” amuk Taehyung. Kedua tangannya mendorong Jungkook dari atas kasur.

“Nanti kalau kamu melapor kan jadi tidak bisa mencoba nakal bersamaku.”

AaaAaaAAaaa. Taehyung menjerit dalam hati. Bisa-bisanya susu pisang berkata seperti itu tepat setelah sesi ciuman hampir panas mereka?

“Kok kamu kaget? aku mendengar obrolanmu dengan Yoongi hyung waktu di apartemennya. Kamu minta diajari menjadi sedikir nakal, huh. Nakal sekali bayi beruangku. Kalau mau nakal seharusnya kamu bertanya dan minta diajari olehku langsung. Kita kan bisa belajar bersama.”

Setelah itu, satu bantal dengan sarung berwarna putih melayang bebas ke arah wajah susu pisang. Disusul dengan suara teriakan Taehyung yang kini wajahnya sudah dibenamkan ke kasur dan ditutupi bantal miliknya.

Tiga tahun lima bulan menjalin hubungan, lebih dari dua tahun tinggal bersama. Bukanlah waktu yang singkat untuk mereka berdua. Namun Jeon Jungkook tidak pernah melewati batasnya, susu pisang tidak pernah meminta atau mengajak Taehyung melakukan 'hubungan' di luar dari ciuman hampir panas mereka.

Terkadang Yoongi dan Jimin curiga, kedua anak itu hanya berpura-pura lugu saja dan sudah pernah melakukan 'hal itu'. Padahal keduanya jujur. Hubungan mereka masih semurni tiga tahun lalu, saat susu pisang dan Taehyung yang suka malu-malu kucing untuk menggenggam tangan, masih sama ketika pipi Taehyung akan merah setiap kali Jungkook mengecup bibirnya. Jantung keduanya selalu berdebar tidak normal setiap kali menatap mata satu sama lain. Tidak peduli tiga tahun yang lalu atau hari ini, semua itu masih sama.

Banyak hal yang berubah dalam hidup mereka. Susu pisang yang tidak bisa berekspresi tiga tahun lalu, kini sudah pandai menyalurkan ekspresi dari macam-macam emosi. Susu pisang sudah bisa tersenyum kecil dan tertawa, apa lagi jika Taehyung adalah alasannya. Taehyung juga bukan lagi anak laki-laki yang bersembunyi di balik topeng 'baik-baik saja' miliknya. Tidak lagi menjadi anak penuh tawa dengan masa lalu yang begitu penuh misteri dan rasa sakit.

Banyak yang berubah dari diri mereka, namun perasaan pada satu sama lain tetaplah sama. Perasaan mereka tidak pernah berkurang, justru terus berkembang dan tumbuh setiap harinya. Taehyung masih suka merasa malu karena perlakuan manisnya susu pisang. Jungkook masih selalu dibuat gemas oleh macam-macam tingkah Taehyung

Malam itu keduanya terlelap dalam pelukan hangat satu sama lain. Pintu kamar sengaja dikunci, agar Yeontan dan Franklin tidak mengganggu malam hari keduanya yang begitu manis dan hangat. Kulit telanjang tanpa lindungan sehelai kain pun dari keduanya menyatu di dalam selimut.

Tenang saja teman-teman. Susu pisang dan Taetae belum 'melakukan itu', mereka hanya belajar sedikit saja~

Dengan ajaib Taehyung mengiyakan perkataan Jungkook tentang 'belajar nakal bersama'. Membuat Jungkook dibuat hampir terkena serangan jantung saat mendengarnya. Taehyung berkata dia serius dengan tatapan mata lucunya, Jungkook jadi bingung harus merasa senang atau merasa bersalah dengan tawaran nakalnya tersebut.

Keduanya tidak—belum—melakukan itu. Mereka hanya tidur tanpa adanya baju atasan yang melindungi tubuh satu sama lain. Terlelap pulas dalam dunia mimpi yang begitu indah. Terlelap dalam dekapan tubuh orang terkasih yang terasa begituuuu hangat. Pelukan keduanya yang selalu terasa sehangat dan senyaman rumah, karena mereka memang rumah dari satu sama lain.

Suara napas teratur Jungkook dan Taehyung saling beriringan, mengisi kesunyian malam hari di kamar mereka. Jungkook menepati janjinya untuk tidak melepaskan pelukan—begitu pula Taehyung. Wajah Taehyung yang tidur dengan damai bersembunyi di dalam dada Jungkook. Namun, sepertinya bekas-bekas merah keunguan pada leher dan dada Taehyung tidak dapat disembunyikan esok hariiii~

Malam menjelang musim panas Taetae dan susu pisang dilewati dengan pengalaman baru, yaitu: belajar nakal bersama-sama!

. . .


. . .

Author's note:

Halloooo, aku nulis ini di siang hari lebaran kedua. Ujungnya ada konten menjurus nakalnya Taetae dan susu pisang, YA AMPUUUUN. Bayi-bayi aku sudah nakal. Btw, di sini waktunya udah skip ke waktu yang sekarang (2021), berarti tiga udah tiga tahun Taetae dan susu pisang jadian. Ga terasa dua anak itu udah hampir tiga setengah tahun aja, tapi masih selalu maniiiis.

sampai jumpa di oneshot atau one tweet FLAT 202 lainnya. Semoga ini bisa mengobati kerinduan aku dan teman-teman ke dua anak ituuu~

All the Love, Bae.