A Thousand Times — 64.
I like it when you smile, its cute.
. . .
Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali Gael begitu bersemangat seperti sekarang. Padahal siang ini agendanya hanyalah berangkat ke kampus bersama Aidan.
Gael sudah beberapa kali menjalin hubungan dengan seseorang. Dia bukan anak laki-laki dengan minim pengalaman untuk masalah percintaan. Tidak seperti Aidan. Semasa SMA dia pernah berganti pacar sebanyak empat kali, itu juga tidak ada yang benar-benar membuat jantungnya berdebar atau kegirangan seperti sekarang.
Sudah dibilang. Ada yang berbeda dari anak laki-laki aneh bernama Aidan ini. Harusnya Gael takut, karena pria itu sudah seperti penguntit gila di awal-awal pertemuan mereka. Tapi setiap kali Aidan malu, salah tingkah dan kabur saat Gael menatapnya, membuat Gael malah jadi penasaran dengan pria itu. Gael malah menganggap Aidan itu lucu.
Hmmm, lucu katanya.
Lucu, karena mana ada penguntit yang malu-malu dan kabur saat orang yang diuntit mendekatinya. Hanya Aidan yang melakukan itu, malah membuat Gael semakin penasaran akan dirinya.
Selain itu, Gael juga tidak mau berbohong. Tidak mungkin dia berbohong dan mengatakan kalau Aidan itu tidak tampan. Gila, dia tampan sekali. Bisa-bisa Aidan dicalonkan masuk ke dalam daftar pria tampan di universitas mereka.
Sepanjang perjalanan di motor ke stasiun KRL dirinya dibuat senyum-senyum karena membayangkan akan bertemu lagi dengan Aidan. Gio—kakaknya—pasti kebingungan dalam hati.
Gael turun dari motor dengan senyum yang mengembang lebar sekali, membuat Gio mengerutkan keningnya. “Dek, lagi ga sehat ya hari ini?”
Gael menggeleng tidak santai. “Sehat banget kok! Udah, bang Gio pergi sana. Katanya mau ke Gramedia Matraman dulu. Gaga berangkat ya baaang.” setelah itu Gael langsung berlari memasuki stasiun KRL Tebet dengan wajah riangnya.
Kira-kira si Aidan sudah sampai belum ya?
Lalu nanti mereka harus mengobrolkan apa?
Padahal sejak kemarin Gael sudah semangat sekali ingin bertemu. Tidak tahu juga alasannya apa, yang jelas dirinya hanya ingin bertemu Aidan.
Langit Jakarta siang ini mendung, diselimuti oleh awan berwarna kelabu yang siap menumpahkan airnya ke seluruh penjuru kota. Biasanya Gael akan sangat membenci hujan, apalagi hujan di musim panas yang sangat tidak jelas ini. Hujan yang sering menjadi penghambat untuk dirinya berangkat ke kampus.
Tapi hari ini cuaca mendung dan ancaman turun hujan di seluruh kota tidak mampu membuat suasana hatinya menjadi buruk. Soalnya dia sudah keburu senang memikirkan Aidan.
Aidan, Aidan, Aidan!
Gael bersenandung kecil, mungkin hanya dirinya yang dapat mendengar suara senandungnya sendiri. Kartu e-money miliknya ditempelkan pada alat yang ada di pintu masuk stasiun, lalu setelah itu kakinya melangkah dengan santai menuju peron 1—jalur kereta arah Depok-Bogor.
Senyumannya semakin mengembang ketika melihat Aidan sedang duduk di bangku peron seorang diri. Hari ini Aidan hanya mengenakan kaos hitam lengan pendek, jaket berwarna biru donker, dipadukan dengan celana jeans berwarna senada dengan kaosnya. Tas ranselnya dia gendong di punggungnya, lalu tangannya memegang satu botol air mineral juga bungkusan kertas Roti'o. Pasti dia membelinya tadi di dekat pintu masuk stasiun.
Gael menggigit bibir bawahnya, sembari kakinya berjalan menghampiri tempat di mana Aidan duduk.
“Kiw, cowok. Sendirian ajaaa....”
Aidan agak sedikit mendongak ke arah kirinya, di sana Gael berdiri dengan wajah indahnya seperti biasa. Hari ini langit di atas sana mendung, tapi wajah Gael yang cerah membuat dirinya lupa tentang cuaca di sekitarnya.
Gael memberi isyarat kepada Aidan untuk sedikit bergeser, kemudian dia ikut duduk di sebelah Aidan. Senyuman anak itu masih dengan indah terpajang di wajahnya. Membuat Aidan harus curi-curi pandang sedikit dan buru-buru memandang ke arah lain ketika jantungnya berdebar. Sialan, pria di sebelahnya ini kok bisa begitu indah?
“Tadi gue lihat kereta tujuan Depok udah lewat. Kok lo ga naik? Nungguin gue yaaa?” tanya Gael.
Tubuhnya sedikit miring, agar bisa menghadap ke Aidan. Membuat Aidan yang menyadari hal itu langsung otomatis bergeser, sedikit memberi jarak di antara mereka.
“T-tadi ga sadar kalau itu tujuan Depok.” jawab Aidan terbata-bata.
Gael langsung tertawa geli saat itu juga. Selain bukan penguntit yang handal, ternyata pria ini juga tidak pandai berbohong. Aidan justru kini semakin terlihat lucu dan menggemaskan di mata Gael.
“Oh gituuu? Makanya jangan bengong mikirin gue terus!”
Gael tersenyum ketika mengatakan itu, namun Aidan justru memaki dirinya dalam hati. Senyuman lucu Gael mampu membuat tubuhnya membatu, kaku dan otaknya kosong. Bingung harus merespon apa, karena wajah dan senyuman indah pria itu yang memenuhi pikirannya sekarang.
Gerimis mulai turun di luar sana. Beruntungnya, mereka berdua masih terlindungi oleh atap peron stasiun, meski sesekali angin kencang berhasil membawa bulir-bulir air hujan ke arah tempat di mana mereka duduk.
Tangan Aidan tiba-tiba saja menyerahkan kertas bungkusan berisi Roti’o yang sudah dia pegang sedari tadi. Gael hanya bisa melongo kebingungan. Aidan menyodorkan sesuatu, namun wajah pria itu tidak mengarah ke arahnya sama sekali.
“I-ini ambil. Buat ganjel makan siang. Biasanya kalau hujan bikin laper tuh.” kata Aidan.
Gael sepertinya akan tersenyum seperti orang gila sepanjang hari ini. Masa bodoh dengan pandangan orang lain tentangnya.
Tangan ramping dan indah milik Gael menyambut bungkus kertas tersebut. “Thanks?”
Suara Gael melembut, tidak seberat suara normalnya. Karena saat ini dia sedang dibuat malu dan deg-degan parah hanya karena hal kecil yang dilakukan Aidan. Gael tidak tahu saja, kalau Aidan juga sedang menyembunyikan senyum malunya saat ini.
Mereka larut dan tenggelam dalam rasa senang dan malu di saat yang bersamaan. Suara rintik hujan yang membentur atap stasiun, suara klakson kendaraan di luar sana dan bahkan suara pengumuman kedatangan kereta pun terabaikan. Yang bisa mereka dengar hanyalah suara debaran jantung mereka sendiri yang tidak bekerja dengan normal siang itu.
Kereta dengan 10 gerbong di hadapan mereka berhenti. Aidan tersadar kalau sekarang sudah saatnya untuk menghentikan acara malu-malu mereka. Bisa-bisa mereka ketinggalan kereta dan harus menunggu kedatangan kereta selanjutnya yang masih tertahan di stasiun Tanah Abang. Jadwal KRL memang memusingkan dan sering sekali tidak tepat waktu, jadi lebih baik mereka bergegas naik sekarang.
“Eh, ayo, nanti kita ketinggalan kereta.” Aidan berkata, lalu dia buru-buru berdiri dan menarik tangan Gael untuk memasuki kereta di depan mereka.
Gerbong bertuliskan angka 3 ini terpantau sepi. Karena Aidan dan Gael menaiki kereta yang berlawanan arah dengan rute padat penumpang dan ini bukanlah jam berangkat atau pulang kerja. Karena biasanya kereta arah Jakartalah yang akan dipenuhi oleh banyak penumpang.
Pergelangan tangan Gael masih digenggam oleh tangan Aidan, bahkan ketika mereka berdua sudah duduk dengan nyaman di dalam kereta. Mata Gael terpaku, menatap bungkusan Roti’o yang belum sempat disantap olehnya. Lalu tatapan itu beralih pada tangan Aidan yang dengan nyaman dan hangat berada di sana, menggenggam pergelangan tangannya. Gael yang cerewet dan agresif dibuat menjadi si pendiam dan melebur dalam rasa malu yang menyenangkan. Dia hanya diam, menikmati memandang tangannya berada di genggaman tangan pria itu.
Gael suka hal yang sedang dilihatnya. Dia bahkan menyadari detail kecil, seperti, tangannya jauh lebih ramping dan kurus di sebelah tangan Aidan. Jari Aidan mungkin sedikit lebih pendek dari Gael, namun tangannya terlihat jauh lebih besar. Warna kulit mereka juga terlihat jelas berbeda. Kulit Aidan jauh lebih pucat dibanding Gael. Lalu ada tato-tato kecil di telapak tangannya yang menghiasi kulit pucat Aidan. Indah sekali.
“Eh, sorry. Gue ga sadar kalau tadi pegang tangan lo.” Aidan panik. Dia buru-buru melepas pegangan tangannya pada Gael saat menyadari apa yang baru saja dia lakukan. Siaaal, malu sekali rasanya. Selain malu, Aidan juga takut kalau Gael menilai buruk dirinya. Bagaimana kalau Gael menganggap Aidan mencuri kesempatan dan tidak sopan?
“D-duh, sumpah gue ga sadar. Gue kira dari tadi tangan gue pegang botol aqua, soalnya tangan lo dingin…”
Gael mati-matian menahan tawanya. Aidan terlihat begitu panik saat ini. “Sebentar, emang tangan gue sebesar botol aqua, hmmm?”
“ENGGA GITUUU, PETEEE.” Aidan panik, sampai tidak sadar kalau dia setengah teriak saat menjawab pertanyaan Gael barusan. “E-eh, sorry. Engga gitu maksudnya…”
“Hahaha, astaga. Santai aja sih, gue cuma bercanda kok. Aidan lo lucu banget, ih!”
Tolong, Aidan bisa tidak ya lompat sekarang juga dari kereta? Rasanya malu sekali. Namun masih ada sisa 15 menit lagi hingga mereka tiba di stasiun kampus mereka.
“Kayaknya mendingan gue diem deh. Kalau ngomong malah buat malu diri sendiri.” kata Aidan.
Gael semakin tertawa geli. Namun buru-buru menggeleng, tidak setuju dengan perkataan Aidan tersebut. Gael tidak mau pria itu diam. Gael mau mereka lebih banyak mengobrol, mau mengetahui lebih banyak hal lagi tentang Aidan.
“Jangaaan. Jangan diem, dong!”
Aidan tersentak, kaget. “K-kenapa?”
“Ya, engga apa-apa. Gue mau ngobrol aja sama lo. Oh iya, omong-omong soal ngobrol…” Aidan mengerutkan alisnya, mengantisipasi perkataan Gael selanjutnya. Lalu pria lucu dan indah di hadapan Aidan itu menyodorkan ponselnya. Membuat Aidan semakin kebingungan.
Ini Gael saking kaya rayanya ingin membagi-bagi hp atau bagaimana?
“Nomor lo.”
“Hah?”
“Gue minta nomor lo, Aidan. Astagaaa.”
Mati. Aidan sudah melebur bersama dengan sisa-sisa air hujan yang menempel di jendela dan badan kereta.
“Engg boleh, ya?” tanya Gael.
Tangannya masih terulur di depan Aidan. Namun wajahnya berubah menjadi begitu sedih. Wajahnya tertunduk dan bibirnya dia kerucutkan sedikit. Apakah mungkin untuk menolak ketika Gael memberikan wajah lucunya seperti itu?
Mana bisa~
Aidan menghela napasnya. Dia ambil ponsel milik Gael yang masih terulur di hadapannya. Kemudian dia masukkan nomor teleponnya ke dalam ponsel pintar milik Gael. “Nih, udah ya. Ga usah pasang muka begitu. Gue lemah…”
Gael langsung tersenyum puas. Dia ambil kembali ponsel miliknya, lalu terlihat sedikit berpikir. Kira-kira nama kontak yang cocok untuk Aidan apa ya?
Hmm…
Ai—dan stalker payah
“Okay. Nanti gue chat, jangan lupa save balik nomor gueee.”
Aidan hanya bisa mengangguk.
Lalu suasana hening sebentar. Gael sibuk senyum-senyum melihat nama kontak Aidan pemberiannya. Sedangkan Aidan bingung harus melakukan apa. Masih ada dua stasiun lagi sebelum stasiun tujuan mereka, mungkin kira-kira 6 menit sebelum mereka sampai.
“Rotinya ga dimakan?” Aidan bertanya. Tiba-tiba sekali, entah dapat keberanian dari mana. Membuat Gael menoleh dan melepaskan fokusnya dari ponselnya. “Oh iya. Nanti aja sebelum masuk kelas! Heheh. Oh iya, lo ga beli buat diri lo sendiri?” tanya Gael.
Aidan menggeleng. “Tadi kepikirannya cuma beliin buat lo. Tapi gue beli aqua kok.”
Sinting, jawaban Aidan yang terlalu jujur membuat jantung Gael hampir melompat turun di stasiun Lenteng Agung. Sabar, dua stasiun lagi mereka sampai, jangan lompat dulu ya jantungnya Gael!
Salah tingkah. Aduh, Gael saat ini sedang salah tingkah, teman-teman. Kepalanya tidak gatal sudah habis digaruki, lorong gerbong mereka yang sepi juga sudah dijelajahi oleh matanya. Pokoknya sebisa mungkin tidak menatap ke arah Aidan.
“Tenang aja, ga gue racunin kok. Haha.”
Tuhan, ini Aidan tiba-tiba saja menjadi banyak bicara. Jantung Gael sudah tidak tahu lagi seperti apa.
“I-ih, engga ada yang nuduh lo racunin juga yeee.”
“Kali aja gitu. Gue engga bakal ngeracunin lo lah, gila aja kali. Masa anak lucu begini tega gue racunin—” Gael buru-buru menginterupsi perkataan Aidan. “Anak apa?” tanya Gael.
“Anak lucu…”
“Gue lucu, hm?”
Setelah itu Aidan mengunci rapat mulutnya. Nah, memang lebih baik dia memasang mode kalem dan tidak banyak bicara. Kalau tidak inilah yang terjadi. Mulutnya itu suka tidak bisa direm atau dikontrol, teman-teman.
“Cieee. Gue lucuuuu???” Gael masih menggoda dengan semangat.
Namun Aidan masih kukuh mengunci mulutnya rapat-rapat. Ketika kereta mereka sampai di stasiun kampus, Aidan langsung buru-buru keluar dari kereta. Tidak peduli Gael yang mengeluh di belakang sana dan berteriak untuk minta ditunggui olehnya.
“Hiii. Kok kabur sih? Kerjaan lo tuh kalau ketemu gue kalau ga berkaca-kaca ya kabur, dasar!”
Tidak dengar, Aidan tidak mau dengaaar. Dia masih terlalu malu. Langkahnya cepat sekali, bahkan Aidan sudah keluar berhasil keluar dari stasiun. Gael mempercepat langkahnya, ingin menyusul Aidan yang sudah terlebih dahulu keluar.
“Pete, gue duluan yaaa? Nanti ketinggalan bus. Dadaaah.” Aidan kabur. Berlari kencang sekali ke arah bus kampus mereka. Tidak peduli kalau dia harus menerjang rintik hujan yang sedang turun saat ini. Dia meninggalkan Gael yang masih tertawa karena tingkah lucunya.
Dasar. Aidan gemes banget, sih?
Setelah itu Gael buru-buru mengirimkan pesan kepada Barry. Sahabatnya itu sudah berangkat terlebih dahulu ke kampus di pagi hari.
Barryyy, jemput Gaga dong di stasiun. Hehehe. Ga bawa payuuung nih🥺
. . .