No one is sent by accident to anyone. . . .
Berkali-kali gagal dalam urusan percintaan. Berkali-kali menjalani hubungan tanpa status dan tidak menemui tujuan yang sama di akhir. Taehyung seakan sudah hafal dengan putaran kehidupan percintaannya yang itu-itu saja. Awalnya dia tidak terlalu memusingkan hal ini—kehidupan percintaannya yang pelik—hingga suatu hari dia merasa ada yang aneh.
Hal aneh yang terjadi bukan tentang dirinya saja, melainkan tentang kak Jungkook.
Untuk kesekian kalinya dia mendengar cerita sang Ibu dan sahabat Ibunya. Taehyung sering mendengar cerita tentang kegagalan dalam kisah cinta kak Jungkook. Sebagai contoh, kakak kemarin putus tuh, atau si kakak ditinggal tunangan sama mantannya, Taehyungie tahu mantannya kakak yang terakhir? Oh iya, dia minta putus karena mau pindah jauh banget. Engga sanggup LDR katanya. Dan masih ada banyak cerita lainnya tentang putusnya kak Jungkook dengan sang mantan.
Suatu hari Taehyung meluangkan waktunya untuk merenung di depan cermin. Menatap sosok dirinya yang terpantul di depan sana. Kalau dipikir-pikir, Taehyung tidak jelek kok. Namun mengapa kisah cintanya selalu gagal, bahkan sebelum Taehyung memulainya?
Seakan mendapatkan sebuah titik yang terhubung, Taehyung mulai memikirkan kalau gagalnya kisah cinta kak Jungkook dan dirinya itu karena omongan kedua Ibu mereka yang terus-menerus membicarakan tentang perjodohan.
Omongan mami dan bunda rasanya udah bukan cuma ledekan. Tapi kayak doa, sampai Tuhan denger. Saking seringnya mereka ngomongin soal aku dan kak Jungkook. Taehyung pernah mengeluh begitu kepada teman-temannya, yang tentu saja disambut dengan sebuah tawa puas. Mereka adalah saksi dari perjalanan kisah cinta Taehyung yang berputar di situ-situ saja.
Sebuah helaan napas dari Taehyung adalah akhir dari pikiran panjangnya tentang kutukan perjodohan. Pikirannya yang sempat hanyut sudah kembali berpijak pada daratan.
Matanya memandang ke jam yang melingkari pergelangan tangannya. Ini sudah telat lima belas menit dan kak Hyungshik masih belum memunculkan batang hidungnya. Tahu gitu Taehyung tadi menyempatkan waktu untuk berjalan-jalan mengelilingi department store terlebih dahulu.
Kue stroberi di hadapannya seakan teriak, meminta Taehyung untuk menyentuhnya. Ketimbang dia dibiarkan di atas meja begitu saja.
Tak tahan lagi, Taehyung langsung menyambar ponselnya yang diletakkan di meja. Dia kirim sebuah pesan pada ruang obrolan bersama dengan kak Hyungshik. Namun sialan, kini pesannya bahkan tidak terkirim.
Baiklah, Taehyung hanya akan menunggu sepuluh menit lagi. Kalau pria itu tidak datang dalam waktu sepuluh menit, maka dirinya akan pergi. Tidak peduli kalau Hyungshik sudah di jalan atau bahkan sedang memarkirkan mobilnya di parkiran.
Lima menit berlalu.
Delapan menit.
Sembilan menit.
Sepuluh menit....
Taehyung tersenyum miris. Membayangkan dirinya yang mungkin sekarang terlihat begitu menyedihkan. Seisi ruangan dipenuhi oleh lagu cinta yang terputar dari speaker kafe, namun Taehyung malah kesal mendengarnya. Persetanlah dengan cinta. Memang sepertinya, mau sampai kapan pun kisah percintaannya tidak akan pernah bisa berjalan mulus.
Dia makan strawberry shortcake yang tidak bersalah itu. Mengunyahnya dengan pelan, menikmati waktunya dengan satu suapan asupan manis. Rasa manis krim dan lembutnya kue lumer di dalam mulutnya. Suasana hati yang buruk pun perlahan hilang. Terima kasih, stawberry shortcake memang tidak pernah gagal membuat Taehyung bahagia!
Dia buka satu nama kontak di ponselnya, kemudian menekan tombol block yang tersedia di sana. Taehyung tersenyum puas sambil berdiri. Kemudian kakinya melangkah pergi dari kafe tanpa penyesalan apa pun.
. .
. .
Taehyung sudah bisa mendengar suara tawa Jimin, Hoseok dan Yoongi saat dirinya menceritakan apa yang terjadi hari ini.
Ya, kisah cinta Taehyung yang bahkan belum dimulai malah gagal lagi. Sialan memang Park Hyungshik. Taehyung tidak akan sudi bertemu dan berbicara lagi dengan pria itu.
Kakinya melangkah tanpa arah mengelilingi department store ini. Memasuki satu demi satu toko yang kebanyakan menjual produk high end. Tentu saja dirinya hanya memasuki toko untuk penyegaran mata, karena isi dompetnya akan meringis kala melihat tag harga yang tertera di sana.
Ujungnya, drugstore akan menjadi tempat terindah dan ternyaman bagi Taehyung dan juga dompetnya. Kalau masih di level ini, Taehyung yakin dirinya masih mampu untuk membeli beberapa jenis produk yang bisa membuat suasana hatinya membaik.
Dia berkeliling. Mengambil beberapa sheet mask dan lipbalm dengan varian rasa baru. Sambil mengangguk-angguk lucu, yang tanpa sadar sedikit menarik perhatian orang lain padanya. Namun anak itu tidak menyadarinya, saking dia terlalu asik dengan dirinya sendiri.
Taehyung keluar dari toko dengan senyuman mengembang. Dia tenteng bungkusan karton berisikan belanjaannya. Sudah cukup Taehyung berurusan dengan hari buruknya. Mungkin sekarang waktunya anak itu untuk pulang, berendam dengan air hangat dan tidur lebih awal malam ini. Tenaganya cukup terkuras karena rasa kecewa dan marah satu jam lalu.
Dari dalam sakunya, Taehyung merasakan ponselnya bergetar. Sudah bisa dipastikan kalau oknum yang terus-menerus menghubunginya adalah ketiga sahabatnya. Mereka pasti sedang bertanya-tanya apa yang saat ini Taehyung lakukan bersama kak Hyungshik. Di saat kenyataannya, Taehyung malah sedang memutari department store seorang diri. Tidak ada kak Hyungshik dan kencan manis yang sudah dijanjikan olehnya.
Taehyung menyiuk, menghela napasnya sebentar. Dia ambil ponselnya dari dalam saku, karena benda itu tidak mau berhenti berbunyi.
Matanya melebar sepersekian detik ketika melihat nama yang tertera pada layar ponselnya. Bukan Jimin, Hoseok, Yoongi, apalagi si brengsek Hyungshik.
melainkan, Kak Jungkook.
Taehyung mendeham. Mencoba mengumpulkan suaranya yang mungkin kini sedang tertahan di tenggorokan. Melihat nama kak Jungkook menghubunginya membuat Taehyung syok. Terlalu kaget, nampaknya.
“Um, hallo, kak?” sapa Taehyung ketika dirinya mengangkat panggilan dari Jungkook. Dalam hati dia bersyukur karena pita suaranya masih dapat berfungsi dengan baik.
“Lagi di mana?”
Kak Jungkook bertanya, to the point sekali. Seakan dirinya tidak mendengar sapaan ramah Taehyung dengan suaranya yang sedikit bergetar.
Taehyung menepi sebentar. Mencari sisi yang sepi agar dirinya tidak mengganggu orang-orang yang sedang berlalu-lalang atau sebaliknya. Kakinya bermain-main dengan lantai, mengetuk-ngetuk pelan. Lalu menjawab, “aku lagi di department store, kenapa ya kak?”
“Aku di seberang kamu.” jawab Jungkook
Taehyung masih memasang tampang biasa saja, karena dirinya tidak benar-benar mencerna perkataan Jungkook. Matanya sibuk memandangi sepatunya yang mengetuk lantai tanpa ritme pasti. Setelah beberapa detik Taehyung baru menyadari apa yang baru saja dikatakan Jungkook.
Kepalanya diangkat. Matanya menyusuri sisi lain dari tempatnya berdiri. Benar saja, ada Jungkook di sana. Sedang bersandar pada tembok, satu tangannya menenteng banyak sekali tas karton dari beberapa brand terkenal. Tangan yang satunya terangkat, memegang ponselnya yang tertempel pada telinga.
Mata Taehyung membulat.
“Kakak ngapain?” tanya Taehyung.
Namun sambungan telepon keburu diputus oleh Jungkook. Taehyung melihat pria itu mengambil langkah, mendekat ke arah Taehyung. Iya, Taehyung yakin kalau Jungkook kini berjalan ke arahnya. Karena hanya ada Taehyung yang sedang berdiri di pojokan. Dia tersenyum ketika kakinya sudah sampai di hadapan Taehyung.
“Kamu yang ngapain sendirian di sini?” Jungkook membalas pertanyaan Taehyung yang tadi belum sempat dijawab di telepon.
Taehyung menggaruk tengkuknya, meski tidak ada rasa gatal di bagian sana. “Um, tadi janjian sama temen. Tapi dianya ga jadi dateng, hehe.”
Mata Jungkook mengikuti gerak bibir Taehyung. Gerak tangan anak itu. Bagaimana matanya yang tidak berani menatap Jungkook. Lalu sebuah senyuman miring terpasang di wajah Jungkook. Taehyung terlihat tidak nyaman dengan pertanyaan barusan, Jungkook menyadarinya.
“Oh, habis ini mau ke mana lagi?” tanya Jungkook.
Taehyung diam sebentar, memikirkan apa dia memiliki rencana lain selain segera pulang ke rumahnya dan mengakhiri hari buruknya. Namun sepertinya tidak ada.
“Pulang kayaknya kak, hehe. Kakak sendirian?” tanya Taehyung. Kemudian matanya tertuju pada tas belanja yang ditenteng Jungkook. Sepertinya kak Jungkook bukan tipe orang yang suka menghabiskan waktu dan uangnya untuk berbelanja barang-barang bermerek seperti ini.
“Aku nemenin bunda belanja, tapi bundanya lagi ke toilet.”
Taehyung mengangguk-angguk. Satu hal yang baru dia sadari, kalau sejak tadi Jungkook tidak menggunakan embel-embel kakak untuk menyebutkan dirinya.
“Kamu pulang bareng aku dan bunda aja.”
Taehyung hendak menolak, karena rasanya lebih baik dia pulang sendiri. Mungkin naik taksi atau bus jauh adalah pilihan yang tepat, karena dia bisa merenungkan hari ini. Namun ponsel Jungkook keburu berbunyi, sebuah panggilan dari bunda yang kini sedang mencari-cari anak tampan satu-satunya itu.
“Iya bunda, sebentar ya,” Jungkook berkata sembari melirik ke arah Taehyung. “Aku lagi sama Taehyung nih. Sebentar ya aku jalan ke sana.”
Dan setelah itu Taehyung tidak bisa memutar balik. Dia mengikuti langkah kaki Jungkook, membuntuti pria yang lebih tua empat tahun ketimbang dirinya itu.
Dalam hati dia bertanya-tanya.
Kenapa bisa dia kebetulan bertemu dengan kak Jungkook seperti ini?
Lagi, lagi, takdir seakan menuntunnya pada kak Jungkook.
. . .