A Thousand Times — 107.

Sometimes, soulmate aren’t just lovers.

. . .

Barry yakin kalau hari ini adalah hari yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Apalagi ketika dia mengingat kak Wibbi dan hari sabtu yang mereka lalui bersama. Kak Wibbi si cowok manis yang selalu memasang topeng dingin setiap kali mereka bertemu, padahal aslinya begitu hangat dan lucu.

Ya, awalnya dia pikir harinya sudah cukup bahagia dengan keberadaan kak Wibbi di dekatnya selama seharian ini. Mereka mengobrol, tertawa dan saling menatap dengan penuh damba. Barry merasa begitu bahagia saat mendengar cerita tentang kucing kesayangan kak Wibbi yang bernama Molly. Pria manis itu berkata kalau Barry akan dikenalkan kepada anak bulunya kelak. Setelah itu mereka berjalan berdampingan. Menikmati semilir angin kota Jakarta sembari mengunjungi beberapa museum bersejarah di kawasan Kota Tua.

Namun kadar bahagianya tidak sebanding ketika dia bertemu Gael malam ini. Gael yang bercerita dengan semangat ketika dirinya membahas sosok Aidan. Ada saatnya ketika pipi Gael bersemu, matanya menerawang. Seakan kembali pada momen di mana dirinya dan Aidan menghabiskan waktu bersama.

Ternyata melihat sahabatnya sedari TK begitu semangat dan berbinar saat membicarakan Aidan juga bisa membuat dirinya bahagia. Bahagia sekali, bahkan Barry tidak mengerti kenapa kebahagiaan yang dirasakan Gael seakan tersalurkan dan merasuk pada dirinya.

“Ai itu lucuuu bangeeet. Kadang dia bisa malu-malu, kadang dia juga bisa bertindak spontan yang buat gue degdegan banget, Barry.”

Barry hanya mengangguk, namun ada sebuah senyuman kecil terukir di wajahnya.

Jam sudah menunjukkan pukul 10:45 malam, namun tidak membuat kedua anak itu menghentikan kegiatan mengobrol mereka. Barry tengkurap di atas kasur Gael, sembari salah satu tangannya menopang dagunya. Kedua telinganya masih dengan setia menanti kelanjutan dari ocehan Gael tentang Aidan. Padahal dirinya juga ingin bercerita tentang kak Wibbi, namun melihat Gael yang begitu semangat dia jadi mengurungkan niat.

“Rasanya aneh banget, kayak bocah SMP yang pertama kali jatuh cinta. Aduh, Barry, engga bisa dijelasin. Tapi yang jelas, ada sesuatu dari dia yang bikin gue ga berhenti senyum dan penasaran terus.” Gael kembali berkata.

“Lucu banget ngeliat Gaga jatuh cinta begini. Kayaknya baru kali ini deh sampai segininya, Ga.” Barry berkata. Disambut dengan sebuah anggukan penuh semangat dari Gael. “Iya, gue juga engga tau kenapa bisa begini. Tapi menurut Barry gimana tentang Aidan?” tanya Gael.

Barry bangkit dari posisi tengkurapnya. Dia kini bersandar pada kepala kasur Gael. Kedua tangannya terlipat di depan dada, sesaat wajahnya terlihat menimbang pertanyaan Gael barusan. “Hm, gimana yaaa?”

Gael memutar bola matanya. Kemudian badan Barry habis dipukuli dengan guling milik Gael.

Barry tertawa sembari meringis. Mulutnya berulang kali mengucap kata ampun, yang tentu saja tidak diindahkan oleh Gael. Memang Barry ini suka sekali meledeknya, jadi sesekali harus diberi pelajaran semacam ini.

“Ampuuun, ih, Ga. Iya, iya, Barry jawab nih…” jawab Barry, meminta ampun. Tentu saja bantal guling yang sedari tadi melayang bebas ke badan Barry itu otomatis berhenti. Gael nampak fokus, diam dengan anteng menanti jawaban dari Barry.

“Sejujurnya, Gaga keliatan lebih banyak senyum dan ketawa akhir-akhir ini. Ya, walaupun lo biasanya juga receh dan ketawa mulu. Tapi kali ini kan beda, ada seseorang yang jadi alesan lo buat ketawa. Artinya orang itu bisa bahagiain lo. Selama orang itu bisa bahagiain lo dan buat lo ketawa, jawaban gue ya orang itu baik.”

Setelah itu seluruh wajah dan telinga Gael berubah menjadi merah padam. Kata-kata sahabatnya itu semakin membuat debaran jantungnya berkali-kali lipat dari sebelumnya. Membuat Gael sadar juga kalau rasa tertarik dan penasarannya pada Aidan mungkin kini sudah berkembang.

Badannya tengkurap dan kepalanya langsung disembunyikan ke bawah bantal. Aduh, malu. Padahal tadi dirinya sendiri yang bertanya pada Barry.

“Dih, apa sih sampai salah tingkah gitu hahaha.”

Dengan itu tubuh Gael habis dikelitiki oleh Barry. Membuat pria lucu bernama Gael itu berguling-guling di atas kasurnya. Gini gantian dia yang meminta ampun pada Barry. Napasnya sudah tersenggal-senggal akibat tidak berhenti tertawa. Tapi tetap saja sahabatnya itu tidak dengan mudah memberi ampun.

Dalam hati Barry ikut kegemasan melihat tingkah sahabatnya yang sedang kasmaran itu. Kalau sore lalu dia berpikir alasan bahagianya hari ini adalah kak Wibbi, mungkin pikiran itu sudah berubah sekarang. Ternyata sahabatnya tertawa dan tersenyum bahagia juga bisa membuat dirinya berkali-kali lipat bahagia.

Kegiatan menggelitik tubuh Gael dan tawa dari keduanya terhenti ketika terdengar sebuah bunyi notifikasi dari ponsel Gael. Anak itu langsung buru-buru melompat dan menggapai ponselnya di atas meja.

Sedetik kemudian wajahnya sudah dihiasi oleh sebuah senyuman malu dan semu merah pada pipinya. Pesan singkat dari Aidanlah alasannya.

Ai—dan stalker payah

Udah tidur, ya? Kalau gitu mimpi yang indah ya, El.

. . .


. . .

All the Love, Bae.