The best time for new beginnings is now.

. . .

Adalah canggung. Sebuah kata yang tepat menggambarkan situasi yang terjadi antara Jungkook dan Taehyung.

Asap mengepul dari cangkir kopi di hadapan Jungkook, namun pria itu enggan menyesapnya. Duduk di kursi yang bersisian dengan Taehyung, setelah adegan peluk-pelukan paksa tadi rupanya terasa sangat aneh. Bahkan istilah kopi tidak pernah salah yang ada dalam kamus Jungkook seolah lenyap. Dia membiarkan segelas kopi dengan harumnya yang menyerbak hingga ke indra penciumannya itu tidak bergeming di atas meja.

Dari ruang tengah masih terdengar bisik-bisik tawa dari Bunda dan Mama, entah apa yang mereka bicarakan di sana. Mungkin kisah tentang seseorang kenalan mereka di masa muda, atau sedang puas membahas kedua anaknya. Jungkook dan Taehyung pun tidak tahu. Mereka hanya dapat terduduk dalam balutan suasana canggung di teras belakang.

Taehyung menarik napasnya. Jungkook langsung dapat menangkap ketidaknyamanan yang dirasakan Taehyung. Wajar, Jungkook pun merasa situasi ini memang aneh dan tidak nyaman. Namun dia terlihat lebih mahir mengontrol emosinya sendiri, ketimbang pria yang empat tahun lebih muda itu.

Cangkir kopi yang dibiarkan menganggur beberapa saat diangkat oleh Jungkook. Dia tiup sebentar, membiarkan kepulan asap itu terbang dan pergi. Kemudian menyesapnya. “Kamu kalau mau balik ke kamar engga apa-apa, kok. Kakak di sini aja nungguin bunda”

Taehyung yang sejak tadi tidak berani memandang ke arah Jungkook pun menoleh. Dia tatap sosok Jungkook yang sedang menyesap kopinya dengan tenang. Ya, kak Jungkook memang selalu begitu.

Bahkan sejak umurnya tiga belas tahun, kala dirinya baru masuk SMP, Taehyung sudah dapat melihat sosok kak Jungkook dengan image seperti itu. Kakak, begitu Taehyung memanggilnya memiliki aura yang tenang, dewasa dan juga lembut. Matanya sudah ribuan kali merekam bagaimana sikap Jungkook yang manis pada sang Ibu.

Jungkook tidak pernah marah tiap kali kedua orangtua mereka meledek dan membicarakan perihal perjodohan. Berbeda dengan respon Taehyung yang selalu heboh. Taehyung akan teriak, memprotes, bersemu dan kemudian kabur untuk masuk ke dalam kamarnya.

Sebuah ketukan yang berulang bersumber dari atas meja menyadarkan Taehyung. Dirinya larut dalam pikirannya tadi. Gerak tubuh Jungkook, ekspresi wajah dan cara berbicara pria itu membuat fokus Taehyung buyar.

“Kok bengong? Sana, kalau kamu mau masuk kamar engga apa-apa kok. Omongan bunda dan mami engga perlu diturutin.” kata Jungkook.

Kepalanya menggeleng cepat, tetap mulutnya membisu. Kemudian dia tertunduk. Sibuk menggertakkan jari, membiarkan bunyi kecil yang timbul dari sana menghapus rasa malunya. Sialan, Taehyung ketahuan melamun dan menatap kak Jungkook tadi.

“Canggung banget, ya?” Jungkook kembali berkata, disusul dengan suara tawa kecil yang keluar dari mulutnya. Dia letakkan kembali cangkir kopi pada meja bulat di sebelah.

Taehyung kembali mengangkat kepalanya. Dia mengangguk, memasang puppy eyes yang tidak pernah gagal membuat orang yang melihat gemas. “Banget, kak. Aduh, aku tuh ngerasa ga enak sama kakak karena sering diledek begini.” jawab Taehyung.

Sepasang mata lucu yang berbinar, rambut cokelat gelapnya yang bergoyang ketika kepalanya mengangguk. Hal kecil itu dapat membuat Jungkook mengulas sebuah senyuman tipis.

Selama ini dia tidak pernah ambil pusing pada perkataan sang ibu dan sahabatnya. Jungkook tidak pernah terbebani atau takut untuk mengencani seseorang yang dia suka. Hingga tidak pernah terbersit dalam pikirannya tentang hal ini: sebenarnya dia menganggap Taehyung itu apa?

Hubungan keluarganya sangatlah dekat. Sejak kecil mereka terbiasa main dan bertemu, meski tidak ada begitu banyak komunikasi yang terjalin. Jungkook sejak kecil menjadi pribadi yang pendiam dan tidak banyak bicara. Namun, dia angkat langsung bergerak setiap kali seseorang meminta bantuannya untuk melakukan sesuatu. Setiap Taehyung merengek pelan meminta bantuannya mengambil bola yang tersangkut di atas lemari pajangan, setiap Taehyung kecil tidak sanggup menggapai pintu kabinet untuk mengambil alat makan.

Jungkook tidak pernah memikirkan bagaimana sosok Taehyung untuk dirinya. Apa Taehyung itu adik kecil? Orang asing? Anak dari sahabat bunda atau apa?

Jungkook menyimpulkan perasaannya tanpa pernah berpikir lebih jauh terlebih dahulu. Karena Taehyung lebih muda dan anak sahabat bunda, secara otomatis dia selalu berpikir kalau Taehyung itu adalah seorang adik kecil. Setiap kali bunda dan mamanya Taehyung membahas perjodohan, Jungkook tidak pernah menanggapi dengan serius. Ya, karena dia pikir Taehyung itu adalah seorang adik. Bukan seorang pria manis yang mungkin bisa mengisi relung hatinya.

Selama beberapa tahun hubungan Jungkook dan Taehyung berjarak. Entah karena keduanya sudah tumbuh dewasa atau ada faktor lainnya. Jungkook sibuk dengan studi dan dilanjut dengan urusan pekerjaan. Taehyung juga sudah bukan anak kecil yang selalu mengikuti ke mana pun mamanya pergi.

Dan baru kali ini Jungkook sempat menanyakan hal itu pada dirinya? Sebenarnya posisi Taehyung itu apa?

Taehyung sudah tidak lagi menatap matanya dengan sebuah puppy eyes. Anak itu terus-terusan sibuk melihat ke arah lain. Matanya menyusuri setiap sudut yang bisa dia jelajahi selain tempat Jungkook duduk. Sebelah sudut bibir Jungkook terangkat, lalu menjawab peryanyaan Taehyung tadi, “engga enak kenapa? Emang kelakuan bunda dan mami begitu, kita juga udah hafal. Hahaha.”

Ada sebuah perasaan lega ketika mendengar jawaban Jungkook. Taehyung selama ini khawatir akan tanggapan Jungkook tentang ledekkan bunda dan mami. Dia pikir pria itu akan risih dan muak. Ah, benar juga. Kak Jungkook sudah jauh lebih dewasa secara umur dan mental, dia pasti akan menyikapi hal ini dengan cara yang berbeda dari Taehyung.

“Ah, bener juga. Harusnya kita udah ga heran, karena denger omongan mereka belasan tahun.”

Mata Taehyung berwarna cokelat muda, senada dengan warna rambutnya ketika terpapar oleh cahaya matahari. Jungkook baru menyadari itu setelah seumur hidupnya mengenal anak itu. Jungkook selalu sadar kalau bulu mata Taehyung panjang. Sadar ada sebuah tahi lalat di bagian bawah mata sebelah kanan Taehyung, dekat dengan bulu matanya. Namun Jungkook tidak pernah menyadari kalau warna mata Taehyung ternyata begitu indah.

Ah, Taehyung bukan lagi anak kecil seperti apa yang ada di ingatannya. Sosok Taehyung yang terekam dalam benak Jungkook adalah versi Taehyung beberapa tahun yang lalu. Masih menyandang status sebagai junior di SMA. Versi Taehyung yang jauh lebih kurus dan kecil dibanding sosok yang saat ini Jungkook lihat.

Ternyata Taehyung tumbuh seindah ini.

“Kamu berubah, ya?”

Kata-kata Jungkook membuat kedua alis Taehyung mengerut. Di hadapannya, kak Jungkook sedang menatapnya lekat dan penuh arti. Taehyung berasa ditelanjangi karena tatapan pria itu yang terlalu dalam.

“H-hah? Berubah gimana, kak?”

“Hahaha, engga. Dulu kamu kecil banget badannya, sekarang malah tingginya udah hampir sama kayak kakak.”

Taehyung berdecak. “Emangnya aku kecil teruuus. Kak, aku udah 25 tahun sekarang, udah kerja, udah dewasaaa.”

Jungkook tertawa renyah. Sebuah momen langka yang jarang sekali Taehyung lihat. Biasanya kak Jungkook itu kaku dan kalem. Namun malam ini dia terdengar lebih aktif berbicara dan hangat. Suasana canggung yang sempat menyelimuti mereka pun mencair.

“Iya, iya, keliatan. Sekarang badan kamu berisi, pipinya juga makin bulet.”

Taehyung melemparkan tatapan sebal ke arah Jungkook. “Hih, secara ga langsung kakak mau bilang aku gendut ya?”

Jungkook menggeleng, namun suara tawanya tak kian berhenti. Membuat Taehyung merengut dan mengerucutkan bibirnya dengan lucu. Tangannya merogoh saku celana di sela-sela kegiatan tertawa, lalu Jungkok memberikan ponselnya pada Taehyung. Membuat mata anak itu melebar, seakan bertanya apa yang sedang dilakukan kak Jungkook. “Omong-omong, kayaknya kakak belum nyimpen nomor kamu.”

Tangannya terulur, menggapai ponsel Jungkook. Mulutnya terbuka, karena terlalu sulit mencerna situasi yang sedang terjadi. Dalam hati dia dibuat dilema antara dua hal. Engga, kak Jungkook begini itu wajar, Tae. Engga boleh overthinking atau GR.

tbc. . . .