A Thousand Times —114.

Seeing you smile makes me smile too.

. . .

Gael melepas sabuk pengamannya ketika mobil sedan milik Aidan berhenti di depan pagar rumahnya. Dia tenteng satu plastik dengan isi mie ayam yamin titipan bang Gio sebelumnya. Dia sudah siap turun dari mobil Aidan, sebelum akhirnya tangannya ditahan oleh sosok pria di sampingnya.

Gael menoleh, matanya sedikit membesar penuh tanya. “Kenapa, Ai?”

Aidan menggeleng. Bibirnya mengukir sebuah senyuman simpul. Dia menikmati pemandangan di hadapannya. Menikmati wajah lucu Gael yang sedang menatapnya. Matanya membesar, bibirnya sedikit terbuka.

“Engga apa-apa, cuma masih mau liat El aja.” jawab Aidan.

Gael langsung otomatis menggigit bibir bawahnya. Meringis, menahan malu yang luar biasa. Ingin sekali rasanya dia memukul pria itu, mengamuk karena telah membuat jantungnya berdegup tidak karuan. Apalagi kali ini Aidan mengatakan itu dengan santai, sambil matanya menatap Gael.

Aidan mengulas senyuman hangat. Membuat perdebatan batin diri Gael berakhir dengan sebuah usapan di kepala pria lucu itu. “Udah, sana turun. Pasti bang Gio udah nungguin dan kelaperan, hahaha.”

Sejak kemarin, waktu dirinya mendeklarasikan kata-kata suka pada Aidan. Yang untungnya saja pria itu juga mengatakan dirinya memiliki rasa yang sama terhadap Gael. Jantung Gael serasa menari-nari, melompat dengan tempo cepat. Bukan dengan tempo musik ballad seperti yang sering didengar Barry, atau jenis musik keroncong yang sering menjadi teman bibi memasak di dapur. Bisa jadi sebuah konser heavy metal sedang berlangsung di dalam sana.

“Ai!” protes Gael.

“Kenapa, hm?”

Gael ingin berkata, kalau Aidan memberikan efek yang luar biasa besar pada kerja jantungnya. Ingin mengatakan kalau dirinya mungkin bisa gila jika terus menerus dibuat tidak berhenti tersenyum. Ingin memaki Aidan yang kini bersikap begitu santai setelah acara pernyataan rasa suka kemarin. Sedang Gael hampir gila semalaman memikirkan Aidan. Barry adalah saksi bagaimana pria lucu itu tidak ada henti mengucapkan nama Aidan.

“Engga, gapapa. Yaudah, El turun ya?”

Namun tangannya kembali ditarik. “Jangan lupa chat Ai ya nanti? Hehehe.”

Gael merengut, namun seulas senyuman merekah dengan indah setelah itu. Kepalanya mengangguk, mewakilkan bibirnya yang kini tidak bisa berucap. Dia terlalu sibuk tersenyum sampai lupa bagaimana caranya berbicara.

“Engga mau, maunya Ai yang ngechat duluan.” ucap Gael. Dalam hati dia bersorak, senang dan suka dengan sisi Aidan yang baru dia temui ini. Sisi Aidan yang manis. Berbeda dengan pria yang pertama kali dia temui.

“Iya, nanti Ai yang chat El duluan. Ai yang ucapin El selamat tidur duluan juga.” jawab Aidan.

Gael tertawa kecil. Kemudian dia kembali berkata, “Yaudah, beneran turun ya nih. Sampai nanti Ai.”

Namun tangannya kembali ditahan oleh Aidan. Tersangka yang menahan tangannya itu kembali tersenyum, membuat Gael mau tidak mau ikut tersenyum. Senyuman Aidan begitu menular malam ini, hanya dengan melihat saja membuat Gael tidak sadar kalau bibirnya sudah membuat lengkungan ke atas. “Besok ke kampus?” tanya Aidan.

Gael mengangguk. Tubuhnya dia sandarkan kembali pada kursi penumpang, namun dia tetap menghadap ke arah Aidan. “Iya, ada jadwal UAS. Tiga mata kuliah pula, untung ga bentrok.”

“Jam berapa emangnya?”

“Jam 10.30, 13.00 sama jam 15.30. Jadi sampai sore masih ada jadwal UAS, huft.” jawab Gael. Wajahnya langsung masam mengingat dirinya ada jadwal UAS esok hari, sedang jam segini dirinya masih belum belajar. Malah duduk dengan nyaman di kursi penumpang mobil Aidan.

“Mau bareng? Tapi ga naik kereta, Ai kayaknya bawa mobil besok.” tawa Aidan.

“Eh, engga apa-apa emangnya? Ai ada jadwal juga?” tanya Gael.

Aidan tertawa, sebelum akhirnya menyahut, “Ya engga apa-apa dong, kan Ai yang ngajak. Besok mau ke kosan Nabil juga kok pagi.”

“Oooh, yaudah kalau gitu. Ayo bareng, hehe!”

Aduh, Gael menjawab dengan semangat. Anak itu tersenyum sampai matanya menyipit, sampai Aidan bisa melihat bulu mata Gael yang panjang ikut turun ke bawah.

“Yaudah. Jam sepuluh kurang 15 menit Ai jemput, ya?”

Gael mengangguk semangat. Namun tubuhnya tidak bergerak kali ini. Dia tidak lagi berpamitan untuk turun dari mobil Aidan. Badannya malah menempel dengan nyaman di sana. Ketika matanya bertemu dengan mata Aidan, anak itu malah tersenyum malu.

“Masih mau di sini?”

“Iya, 5 menit ajaaa. Habis itu El beneran turun deh.”

Tentu saja Aidan tidak akan protes. Dia membiarkan Gael duduk dengan manis di sana, di bangku penumpang mobilnya. Mereka hanya diam dengam senyuman mengembang. Membiarkan waktu terkikis dengan alunan lagu yang sedang terputar di radio. . . .


. . . All the Love, Bae.