Tacenda

. . .

“You can't start a new chapter of your life, if you keep re-reading the last one.”

Entah mana yang lebih buruk; duduk di depan orang asing dan mendengarkan orang itu berceloteh panjang lebar, atau, pikiranmu melayang jauh pada sosok yang tidak ingin kamu ingat kembali. Mungkin keduanya bukanlah pilihan yang bagus. Mungkin juga, sejak awal memang tidak ada yang namanya sebuah pilihan untuk Taehyung.

Sudut bibirnya terangkat beberapa kali, sudah sejak sepuluh menit yang lalu. Sebuah etika dasar menghargai lawan bicara di hadapannya. Anak itu memaksa sebuah senyuman mengiasi wajah, di saat hatinya menginginkan hal sebaliknya.

Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja, hingga menimbulkan suara benturan kecil antara kuku dan kayu. Ada saat di mana Taehyung akan melamun, memandang kosong ke arah acak. Suara orang di sekitarnya tidak mampu menarik jiwanya kembali ke tempat di mana raganya berada. Taehyung larut dalam bayangan indah akan harinya dengan sosok itu, dia yang selalu memiliki hati Taehyung.

“Hei? Tae, gue terlalu berisik, ya? hehehe. Sorry.”

Buru-buru kepalanya menggeleng. Tentu, orang di hadapannya ini tidak melakukan kesalahan apa pun. Di sini dirinyalah yang bersalah. Taehyung yang salah, karena dengan angkuhnya menerima tawaran Jimin. Taehyung begitu angkuh, mengira kalau kegiatannya saat ini bukanlah apa-apa. Menemui pria yang hendak Jimin kenalkan padanya, Taehyung pikir ini adalah hal yang mudah. Namun, kenyataan selalu berbanding terbalik dengan sebuah harapan, dengan bayang-bayang di dalam benaknya.

Ternyata rasanya begitu sulit. Sulit sekali. Terlebih, saat bayangan Jungkook yang malah memenuhi pikirannya saat ini. Di saat ada seorang pria—yang mungkin—baik sedang mencoba mengenal dirinya, Taehyung justru terjebak dalam banyang semu akan masa lalu.

“Maaf, nu. Kayaknya gue lagi kurang enak badan, makanya engga fokus gini. Duh, maaf banget.” ucap Taehyung, yang tentu saja penuh dusta. Ekspresi bersalah langsung terpasang di wajahnya, karena sejujurnya, Taehyung juga tidak ingin untuk membohongi pria itu.

Senyuman hangat dari Eunwoo terpasang, malah membuat dada Taehyung terasa nyeri. Taehyung tidak hanya sedang menyakiti dirinya sendiri, namun juga menyakiti hati Eunwoo saat ini. Mungkin saja pria itu merasa tidak dihargai, karena perkataannya diabaikan sedari tadi oleh Taehyung.

“Mm, kita balik aja gimana? Gue anter pulang, ya? Engga ada penolakan pokoknya, hehehe.”

Taehyung tertawa miris, merasa semakin tidak enak hati. Sudah sebulan ini Jimin berusaha mengenalkan mereka berdua, Eunwoo si teman SMP Jimin dulu, dengan Taehyung yang masih terpuruk dengan luka. Jimin berkata, tidak baik kalau Taehyung terus-terusan menutup hati dan mengabaikan lukanya. Tidak dengan berpura-pura baik-baik saja, atau sengaja menyibukkan diri dengan lembur kerja selama berbulan-bulan. Sudah waktunya dia membuka lembaran baru, sudah waktunya Taehyung memberi kesempatan untuk dirinya dan untuk masa depannya.

Nyatanya, tidak akan ada masa depan tanpa seorang Jungkook di hidupnya. Tidak akan ada seorang pun yang dapat menggantikan posisi Jungkook di hati Taehyung. Mau Taehyung membohongi dirinya dan orang di sekitarnya, mau dia berbohong dengan Jungkook sekalipun, kenyataannya akan selalu sama.

Seperti dedaunan yang jatuh di musim gugur, seperti ranting yang membeku di puncak musim dingin. Perasaannya sudah tidak tersisa lagi. Hati Taehyung sudah mati untuk hati yang baru, sejak dirinya memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Jungkook.

Eunwoo meminta izin untuk membayar pesanan mereka, meminta Taehyung untuk pergi terlebih dahulu keuar dari Pison—kafe tempat di mana mereka berada. Taehyung berupaya untuk mencegah pria itu, membayar bill mereka masing-masing, namun Eunwoo dengan kukuh menolaknya.

Minuman yang masih memenuhi gelas tertinggal di atas meja. Taehyung berdiri, mengambil langkah kecil untuk keluar dari tempat kafe yang sedang sepi itu. Kepalanya menunduk, seakan di bawah sana lantai menjanjikan sebuah ketenangan hati. Suara decitan pintu di hadapan Taehyung terdengar, membuat tubuhnya membatu di tempat sebentar.

“Loh, Taetae?”

Detik selanjutnya, Taehyung sudah tidak bisa merasakan apa pun di sekelilingnya. Semuanya membisu, seakan telinganya tidak dapat lagi berfungsi untuk mendengar suara. Laras dari bisik suara sosok di hadapannya, ataupun lagu yang berputar dari pengeras suara kafe, keduanya tak mampu menembus indra pendengaran Taehyung. Dari sekian banyak kemungkinan yang terjadi tentang kebetulan, mengapa harus kebetulan ini yang datang menghampirinya?

Taehyung rasanya ingin mengutuk sang nasib atau si kebetulan.

Figur wanita dewasa dan cantik itu mengampiri Taehyung. Tangannya mengelus lengan Taehyung, yang kini masih membatu di tempat. “Sayang? Kebetulan banget ketemu di sini,” katanya.

Kemudian dia datang. Dia, yang sedari tadi bayangnya memenuhi pikiran Taehyung. Jungkook memasuki kafe, dengan pakaian santai yang biasa dia kenakan. Wajahnya panik dua detik, namun kemudian berhasil dia normalkan kembali.

“Mama...?” kata Taehyung. Setelah dengan susah payah mengumpulkan suaranya kembali.

“Taetae sayang ke mana saja? Kok engga malam mingguan sama Jungkook, ini bocahnya malah ngajak mama makan malem bareng.”

Sial, lidah Taehyung kelu. Entah bagaimana dirinya harus menjelaskan situasi yang sebenarnya terjadi kepada ibunda dari mantan pacarnya itu. Mirisnya, sang mama—begitu Taehyung menyapa wanita yang melahirkan Jungkook—pun tidak tahu apa pun. Baik orangtuanya, maupun orangtua Jungkook, mereka sama-sama belum mengetahui kalau hubungan kedua anak mereka telah kandas.

Jungkook diam di tempat, tak bereaksi apa pun pada pertanyaan ibunya. Taehyung ingin berteriak, meminta pertolongan pada pria itu agar membantunya keluar dari situasi rumit ini.

“A—mm, aku beberapa bulan ini heboh urusan kantor, ma.”

Sosok yang dipanggil mama cemberut, merespons jawaban Taehyung yang terdengar mengecewakan. Kira-kira, sudah 5 bulan pacar dari anaknya absen mengunjungi kediaman keluarga Jungkook. Biasanya, anak itu akan berkeliaran di sana pada akhir pekan, atau hari besar lainnya. Bagai ditelan bumi, Taehyung tiba-tiba saja tidak lagi berkunjung. Sang anak pun tidak pernah memberikan jawaban yang jelas.

Seperti tidak bisa membaca situasi, atau malah melakukannya dengan sengaja, perkataan selanjutnya dari sang ibu sukses membuat keduanya ketar-ketir. “Kalian aneh ih, diem-dieman begini. Lagi berantem ya? Kayak ketemu mantan, sok cuek begitu.”

Ya, memang sudah jadi mantan ma. Jungkook sih ingin sekali menjawab begitu.

Mulut Taehyung sudah terbuka, hendak menjawab sesuatu. Namun lidahnya seakan tidak bisa bergerak, beribu diksi yang ada di kepalanya menguap tak tersisa. Tangannya yang basah akan peluh mengepal, menyalurkan rasa gugup yang menyelimutinya.

Eunwoo, pria itu memperhatikan tiga sosok itu. Merekam bagaimana punggung Taehyung yang sedikit bergetar, kakinya diam membeku di depan dua sosok asing. Wanita yang terlihat sepantaran ibunya masih sibuk memberikan afeksi pada Taehyung, sedang sosok pria yang berjarak lebih jauh dari Taehyung sibuk memalingkan pandangan.

Eunwoo tahu siapa pria itu. Tentu saja, Jimin pernah menunjukkan foto Taehyung dan pria dari masa lalu pria itu. Eunwoo tahu secuil kisah tentang pasangan itu, sebagai bekal ilmu mendekati Taehyung katanya.

Langkahnya mendekat, tersenyum ramah kepada sang wanita asing. Kemudian berkata pelan pada Taehyung, “gue tunggu di mobil, ya?”

Taehyung hanya bisa menjawabnya dengan anggukan kecil, kemudian kembali terjebak pada situasi canggung.

Tangannya mendorong pelan pundak sang ibu. “Ma, masuk duluan aja gih cari tempat duduk. Aku nanti nyusul, mau bicara dulu sama Taehyung. Kasihan itu temennya Taehyung nungguin.”

Setelah ibunya pergi, Jungkook dan Taehyung akhirnya mendapat ruang untuk mereka berdua. Rasanya aneh. Berbulan-bulan mencoba lari dari rasa sakit, mencoba kabur dari bayang-bayang satu sama lain, mereka kini harus kembali bertemu. Dengan situasi yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Taehyung berkata, sebaiknya mereka berdua tidak perlu bertemu. Tidak seharusnya mereka bertatap muka, tidak dengan keadaan luka yang masih terasa basah dalam kedua hati mereka.

Namun, tidak ada jalan lain selain bertemu dengan si luka dan pembuat luka saat ini.

“Mama belum tahu?” kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Taehyung. Membuat dirinya harus merutukki perkataannya sendiri dalam hati.

“Hm, tapi kayaknya udah mulai curiga. Bunda dan Ayah juga belum tahu kan.” jawab Jungkook. Sebuah penekanan di kalimat akhir, bukan pertanyaan melainkan pernyataan. Dirinya tahu kalau kedua orangtua Taehyung juga buta akan fakta perpisahan keduanya. Pasti bunda dan ayah masih sering menghubungi Jungkook. Mungkin juga pria itu masih diam-diam mengunjungi kedua orangtua Taehyung.

Taehyung diam. Harusnya dia pergi dari sana, menyusul Eunwoo yang sudah terlebih dahulu menunggunya di dalam mobil. Namun kakinya terasa begitu berat. Taehyung malah berdiri, menunggu kalimat apa lagi yang mungkin diucapkan Jungkook, karena sialnya dia merindukan suara pria itu.

“Cowok kamu nungguin, sana cepet nyusul. Urusan mama biar aku yang handle.”

Taehyung buru-buru menyanggah perkataan Jungkook. “Dia bukan cowokku. Cuma temen yang dikenalin Jimin.”

“Berarti, belum, nanti mungkin bakal jadi cowok kamu.”

Mata Taehyung terasa panas. Mungkin saja air mata sudah menggenang di sana, siap untuk terjun bebas kapan saja. Mendengar Jungkook dengan entengnya berkata begitu membuat hatinya terasa sakit.

Egois, memang. Padahal dia yang kukuh untuk menyudahi hubungan mereka. Taehyung yang mengukir luka pada hati Jungkook dan hatinya. Namun, dirinya tidak mampu mendengar kata-kata menyakitkan dari Jungkook berbalik padanya.

“Kamu apa kabar?” tanya Taehyung, kembali membuka pertanyaan. Otomatis, dirinya kini memperpanjang percakapan di antara mereka.

Ekspresi wajah Jungkook tidak bisa ditebak, Taehyung tidak mampu membaca apa yang ada dalam pikiran pria itu.

“Kamu harapin kabarku gimana, Tae? Aku masih sama setiap hari. Masih sakit, masih penuh luka. Kata kamu, lebih baik kita engga perlu ketemu dulu kalau masih penuh luka.”

Taehyung tertegun. Dirinya berasa ditampar ribuan kali oleh perkataan Jungkook. Dadanya nyeri, sakit sekali.

“Aku masih penuh dengan luka, masih berusaha buat nutup lukaku setiap harinya. Masih nyoba buat ngisi kekosongan yang kamu buat, aku kerja gila-gilaan, aku habisin banyak waktu. Tapi rasanya masih sama. Rasa sakitnya malah bertambah setiap harinya.”

Ada begitu banyak hal yang ingin Taehyung katakan. Ada ribuan kata yang siap untuk Taehyun ucapkan, agar Jungkook paham keadaannya. Bahwa Taehyung juga sama sepertinya, sama-sama terluka. Taehyung masih terluka, Taehyung masih dan selalu memikirkannya. Sedang bukan itu yang Jungkook tangkap. Jungkook salah memahami situasi, tentu bukan murni kesalahannya. Jungkook hanya mencerna dari apa yang dia lihat saat ini. Di mana Taehyung sudah mulai melanjutkan hidupnya. Taehyung mulai membuka hatinya untuk sosok yang baru.

“Mending kamu susulin temen kamu, kasihan dia nunggu lama. Mama juga pasti nungguin aku. Goodluck, semoga bahagia menyertai kamu.”

Begitu kalimat terakhirnya, sebelum Jungkook memutuskan untuk berlalu. Meninggalkan Taehyung yang lemas hingga ke kakinya, bahkan untuk sekadar menahan bobot tubuhnya.

. . .

Dalam perjalanan pulang, Taehyung hanya dapat duduk dengan kaku di atas kursi penumpang. Sesak di dada masih tertinggal. Bayangan wajah Jungkook yang penuh dengan rasa kecewa memenuhi pikirannya. Taehyung larut dalam lamunan, membiarkan Eunwoo sibuk dengan roda kemudi, menyusuri jalanan Jakarta yang tidak pernah sepi. Lagu mengalun dari radio, membuat Eunwoo sedikit bersyukur. Setidaknya, kecanggungan ini tidak terlalu kentara.

“Taehyung, maaf ya?” ucap Eunwoo, begitu tiba-tiba. Membuat Taehyung menoleh, menatapnya dengan seribu tanda tanya. Bukankah seharusnya Taehyung yang meminta maaf?

“Kenapa minta maaf?”

Pria itu tertawa kecil, bukan sebuah tawa menghina atau meledek. Eunwoo tertawa dengan tulus, setulus senyumannya yang diberikan pada Taehyung. “Karena Jimin maksa lo buat ketemu sama gue mulu. Iya kan?”

Bibir bawahnya digigit olehnya sendiri, kepalanya menggeleng kecil. Ini semua bukan karena paksaan Jimin, melainkan keangkuhannya sendiri. Taehyung yang memilih untuk menerima tawaran Jimin, dirinyalah yang salah di sini.

“Engga kok, ini emang murni kemauan gue. Jimin engga maksa, hehehe.”

Ada jeda sedikit, membiarkan keheningan kembali menyelimuti keduanya. Taehyung kembali menatap ke arah luar jendela, sedang Eunwoo kembali fokus pada jalanan di depan sana. Satu menit, tiga menit, lima menit, sepuluh menit, waktu mereka lewati dengan sunyi. Hingga mereka begitu nyaman dalam kekosongan yang terjadi. Mereka nyaman dalam bungkam, mungkin memang begitu seharusnya untuk tidak menambah kecanggungan.

Ketika mobil Eunwoo telah sampai di lobby utama apartemennya, Taehyung hanya mengatakan terima kasih berulang kali. Pria itu membalas dengan senyuman, kemudian berpamitan pada Taehyung. Tidak ada kalimat lainnya, tidak ada ajakkan untuk pertemuan yang lain, tidak ada juga basa-basi dari Taehyung untuk mengajak Eunwoo mampir ke apartemennya. Ya, semua berakhir di situ.

Karena Taehyung sadar betul, dirinya belum benar-benar siap. Taehyung tidak akan pernah siap untuk membuka lembaran pada buku yang baru, karena dirinya terlalu nyaman dengan buku lama. Buku lama yang sudah usah dan penuh dengan luka.

. . .