Seraphic — 05
. . .
what makes you unique is what makes you beautiful.
Faceblind, suatu kondisi di mana seseorang kesulitan dalam mengidentifikasi wajah orang lain—bahkan dirinya sendiri. Dalam penglihatan Taehyung, wajah semua orang terlihat begitu kabur. Dia tidak pernah benar-benar mengetahui bagaimana nampak wajah seseorang. Karena, sejak kecil Taehyung sudah didiagnosa menginap prosopagnosia.
Ibunya dulu bercerita, tentang versi kecil Taehyung yang terlihat kebingungan, setiap kali anak itu bertemu dengan seseorang. Wajah kecil Taehyung cemberut, berulang kali mengerjapkan mata, bertanya akan siapakah orang yang berada di hadapannya.
Orangtua Taehyung semakin curiga ketika anaknya terus menerus bertanya siapakah yang berada dalam foto di ruang tengah. Padahal, seluruh dinding rumah mereka dihiasi oleh foto keluarga kecil Taehyung. Hanya ada foto Ayah, Ibu dan dirinya.
Bermodalkan nekat dengan ketakutan yang begitu besar, kedua orangtuanya membawa Taehyung ke dokter. Anak itu melakukan berbagai pemeriksaan. Dan hasilnya membuat kedua lutut orangtua Taehyung lemas, dadanya terasa sesak dan pundak mereka terasa berat. Katanya, kekurangan yang terjadi pada dirinya disebabkan oleh faktor genetik. Jelas, Taehyung tidak pernah—dan jangan sampai—tertimpa kecelakaan sebelumnya. Keluarga Taehyung merawat dan menjaga anak itu dengan begitu baik, dan apa yang terjadi pada anak mereka ini di luar kuasa kedua orangtuanya.
Ada hari di mana Taehyung begitu sedih. Ada masa di mana dirinya murka pada semesta dan membenci tulisan takdir. Ada waktu di saat dirinya hampir menyerah. Saat itu, Taehyung merasa hidup itu tidak adil dan dirinya memiliki nasib yang begitu malang. Membebankan dirinya dengan sebuah pemikiran buruk;
kenapa aku harus menjalani kehidupanku yang berat ini?
kenapa aku harus terlahir menjadi berbeda?
kenapa aku harus terlahir menjadi diriku?
Saat umurnya 13 tahun, Taehyung pernah mengunci dirinya di kamar mandi sekolah. Sebelum dering bell pulang berbunyi, dia memeluk lututnya sendiri di dalam sana. Meredam tangis yang tidak kuasa bisa dia tahan lagi. Ada begitu banyak omongan buruk yang menimpanya, dinilai sebagai anak yang sombong, anti sosial dan individualis. Padahal bukan begitu, bukan itu yang terjadi sesungguhnya.
Taehyung ingin menyapa teman-temannya, Taehyung ingin bermain bersama mereka, Taehyung ingin tertawa dan diajak jajan di toserba depan gerbang sekolah. Namun, keinginannya itu tenggelam, dikalahkan oleh rasa takut akan kekurangannya. Dia tidak bisa menyapa, karena wajah semua orang nampak sama baginya. Sebab itu Taehyung menarik diri dari pertemanannya, dari lingkungan yang berbalik menjadi kejam pada Taehyung versi remaja.
Satu-satunya teman yang tersisa hanyalah Park Jimin. Anak pindahan dari Busan yang hobinya tidur di kelas pada jam istirahat. Dia menjadi satu-satunya orang yang mengunci mulutnya rapat-rapat saat yang lain sibuk berbisik membicarakan Taehyung.
Mau makan Kimbab bersamaku? Mamaku bawa banyak banget, rasanya aku ga akan habis sih. Kalimat pertama yang dia dengar, sebuah awal dari hubungannya dengan anak laki-laki bernama Jimin itu. Dan sejak saat itu, mereka selalu menghabiskan waktu istirahat untuk berbagi bekal di atap sekolah.
Seiring dengan berjalannya waktu, umur yang kian bertambah dan melalui begitu banyak hal dalam hidupnya, Taehyung perlahan mulai menerima kekurangannya. Dirinya tidak lagi begitu sering menyalahkan takdir. Alih-alih meratap, Taehyung lebih memilih untuk mengubah sudut pandang tentang dirinya. Mengubah pandangannya tentang kurangan, menjadi sebuah kelebihan yang unik.
Toh, dia masih bisa hidup dengan baik hingga detik ini. Setidaknya, ada keluarganya dan Jimin yang bisa membantunya bertahan dan beradaptasi hingga sekarang. Selebihnya, Taehyung mungkin memang harus berusaha lebih keras lagi untuk bertahan.
Dirinya mulai mencoba menghafal suara dan gaya rambut orang-orang di sekitarnya. Memasang wajah ramah kepada siapa pun, meski tidak tahu apakah orang itu sedang menatapnya atau tidak.
Setidaknya, hidupnya terasa jauh lebih ringan sekarang.
“Kim Taehyung, di sini!” Jimin memanggil nama lengkap Taehyung dengan volume suara keras, tanpa peduli orang di sekelilingnya nampak terganggu. Tangannya melambai ke udara tinggi-tinggi, sedang punggungnya bersandar pada pintu mobil.
Taehyung tersenyum, berlari kecil menghampiri Jimin yang mungkin sudah bosan menunggunya sendirian.
“Ayooo, kita makan! Aku lapar banget, astaga.” kata Taehyung.
Anak itu tidak menyambut rentangan tangan Jimin, yang awalnya meminta untuk disambut dan dibalas dengan pelukan. Taehyung memilik untuk langsung masuk ke dalam mobil sedan sahabatnya, duduk dengan manis dan memasang sabuk pengaman. Jimin mendecak, namun buru-buru menyusul Taehyung untuk masuk ke dalam mobilnya.
“Jim, ayo makan gomtang. Perutku keroncongan, dari tadi di kelas kebayang itu terus.”
“Kenapa engga ke kafe depan apartemen kamu aja, biar ketemu sama barista yang naksir kamu itu.” jawab Jimin.
Taehyung hanya dapat menjawabnya dengan sebuah decihan, tanpa tahu kalau sahabatnya itu sedang memasang wajah jahilnya saat ini. Ya, tentu saja Taehyung tidak akan pernah tahu bagaimana ekspresi jahil yang sering Jimin tunjukkan.
“Diem deh, engga usah ngeledek aku. Buruan, aku udah lapaaaar. Aaaaaa.”
Menoleh sebentar untuk mendapatkan ekspresi wajah sebal dari Taehyung. Bibirnya mengerucut, pandangannya lurus ke arah parkiran kampus mereka. Pasti, saat ini dia sedang sebal sekali. Taehyung paling sebal kalau Jimin sudah menyebut barista manis dan baik hati itu dengan embel-embel kata 'naksir'. Padahal, dirinya sendiri yang sering sekali ribut menceritakan tentang pesan manis yang diberikan si barista.
Meninggalkan obrolan dan ledekan tentang barista itu, Jimin mulai menyalakan mesin mobilnya. Meninggalkan parkiran kampus yang lumayan sepi, dan melajukan mobilnya keluar dari komplek kampus. Sepertinya, kalau dirinya masih kukuh meledek dan berlama-lama di sana, akan ada seseorang yang mengamuk. Ditambah, perutnya sudah merengek minta diisi oleh gomtang yang lezat. . . .