Tacenda

warning: menyinggung perbedaan keyakinan, breakup, goodbye. . . .

It took letting go to realize i was holding onto nothing.

. . .

Juli 2020.

Butuh waktu dua jam bagi Taehyung untuk dapat mengumpulkan niat membalas pesan masuk dari pacarnya, Jeon Jungkook.

Jimin sempat mampir sebentar. Memeriksa keadaan sahabatnya yang ternyata terlihat begitu kacau. Mata Taehyung bengkak dan dihiasi oleh lingkarang hitam yang begitu besar. Namun sayangnya dia tidak dapat terlalu lama menemani Taehyung yang tidak dalam kondisi baik itu. Jimin hanya dapat memeluk Taehyung, membiarkan sang sahabat menangis hingga tersedu-sedu. Jimin tahu hati Taehyung kini sangat hancur. Terlebih saat mengingat sebuah keputusan besar yang akan diambil olehnya. Dia, Kim Taehyung, berencana untuk melepaskan pria yang paling dicintai olehnya.

Ah, Jeon Jungkook yang malang. Pria itu tidak tahu-menahu nasib buruk apa yang akan menghampirinya. Dirinya sibuk mengkhawatirkan keadaan Taehyung. Terlihat jelas dari berbagai kalimat yang dia kirim di ruang obrolan mereka. Namun hal itu membuat Taehyung semakin ragu. Dia tahu sekali kalau perasaan dan pikirannya akan kembali bimbang. Karena Taehyung sadar seberapa besar rasa sayangnya pada pria itu.

Sederhananya, Taehyung butuh sedikit jarak di hubungan mereka. Untuk merenung, berpikir dan memantapkan keputusan yang sudah beberapa bulan ini dia timbang berulang kali.

Jungkook itu manis. Jungkooknya memperlakukan Taehyung dengan baik. Taehyung serasa dimandikan oleh banyak cinta dari Jungkook setiap harinya. Selama enam tahun berpacaran, tidak pernah sekali pun ada sikap Jungkook yang kurang ajar atau dengan sengaja menyakiti hati Taehyung. Jungkook dibesarkan oleh keluarga yang hangat dan tumbuh dengan baik. Dia pandai memperlakukan seseorang yang istimewa untuknya dengan penuh rasa kasih dan sayang. Hal ini yang membuat Taehyung selalu saja jatuh pada pesona Jungkook.

Meski sejak awal dirinya tahu kalau dia dan Jungkook berbeda. Ada sebuah dinding pemisah yang begitu tinggi di antara mereka, sebuah benteng yang tidak akan mungkin Taehyung hancurkan. Taehyung mencintai Jungkook sebesar pria itu mencintainya. Mana mungkin Taehyung tega bersikap egois dan meminta Jungkook untuk menghancurkan benteng tersebut.

Sayangnya kini sudah terlambat. Dia sudah jatuh terlalu dalam. Taehyung jatuh, terjerembab, kakinya seakan ditarik masuk lebih dalam setiap harinya. Sebab itu dia bertahan hingga sejauh ini.

Terkadang Taehyung lelah mendengar ocehan orang-orang di sekelilingnya tentang hubungannya dengan Jungkook. Mereka berkata kalau ini tidak akan berhasil. Mereka hanya berjalan tanpa memiliki tujuan yang pasti.

Taehyung masih sama pacarnya yang beda agama itu?

Berarti nanti pacarmu pindah agama dong, Tae?

Mending cari yang seiman aja sih. Emangnya dia mau disuruh pindah agama? Nanti malah kamu lagi yang pindah. Ih, amit-amit ya.

Kalau boleh jujur, Taehyung terlalu takut untuk memikirkan hal tersebut. Selama enam tahun berpacaran dengan Jungkook, Taehyung selalu menghindari pikirannya akan topik ini. Dia hanya ingin menghabiskan waktu dengan bahagia bersama Jungkook. Kalau mengingat hal tersebut dapat menggoreskan luka pada hatinya, lebih baik Taehyung buang jauh-jauh pikiran tersebut.

Bertahun-tahun Taehyung mengelak. Dia terus-menerus menghindar dengan situasi yang sedang dihadapi. Hingga akhirnya ada sebuah gejolak aneh dari dalam dirinya, seakan hati kecilnya menolak Taehyung untuk bertahan lebih lama lagi. Menampar Taehyung dengan kenyataan yang terjadi. Hatinya tertohok dengan sebuah kalimat yang dibuat oleh dirinya sendiri.

Memangnya tujuan pacaran apa kalau bukan untuk nikah nantinya?

Pemikiran tentang menghabiskan hari bahagia bersama Jungkook seakan lenyap dari kamus hidup Taehyung. Dirinya kini sibuk mempertanyakan perasaannya, perasaan Jungkook dan masa depan hubungan mereka.

Kookoo

Sayang, masih ga enak badan? Pulang gereja nanti aku ke apart kamu ya?

Taehyung menghela napasnya. Ya Tuhan, kenapa sungguh berat?

Mata Taehyung sudah dibanjiri oleh air mata yang siap terjun bebas. Panas sekali dan perih. Ponselnya kembali dia letakkan di nakas kecil sebelah kasurnya.

Tubuhnya kembali berbaring di atas ranjang, lalu dia tarik selimutnya yang lembut hingga menutupi bagian wajah. Mencari sebuah kenyamanan yang hilang, direnggut oleh rasa gugup dan sakit yang bercampur menjadi satu. Ini baru pukul lima sore, namun Taehyung memilih untuk tenggelam dalam selimutnya.

Hujan deras tengah mengguyur seluruh kota sejak dua jam yang lalu. Suara gemuruh hujan dari arah jendela kamarnya menemani sore Taehyung yang sunyi. Disusul dengan kilatan petir yang menembus gorden kamarnya. Otomatis jari-jarinya mencengkeram selimut dan menutup seluruh tubuhnya semakin rapat lagi.

Takut sekali. Biasanya dirinya akan meminta Jungkook untuk datang setiap kali hujan lebat dan badai petir berlangsung. Karena Taehyung membenci suara gemuruh hujan dan suara menggelegar tiap kali petir menyambar.

Namun kali ini Taehyung harus bertahan seorang diri. Dia tidak mampu untuk menghubungi Jungkook. Apalagi bertemu dengan pria itu. Taehyung takut kalau pertahanannya akan goyah. Ya, memang dia egois. Taehyung menghindari pria itu tanpa memberi tahu alasan yang sesungguhnya. Sedang pria yang masih menyandang status sebagai pacarnya itu begitu khawatir akan keadaan Taehyung.

Ponselnya bergetar, disusul dengan nada dering yang menandakan sebuah panggilan masuk. Satu tangannya keluar dari dalam tempat persembunyiaannya—selimut. Kemudian Taehyung langsung mengangkat panggilan tersebut tanpa memperhatikan nama yang tertera pada layar ponselnya.

“Sayang? Astaga, kenapa susah banget dihubungin? Kamu masih sakit? Udah makan belum? Aku bawain makanan ya? Ini aku otw apart kamu.”

Taehyung hanya bisa memejamkan matanya. Kemudian, dia membiarkan air matanya mengalir dengan bebas di pipinya. Mendengar suara lembut Jungkook yang sedang khawatir dari seberang sana membuat dada Taehyung nyeri.

“Sayang...? Sakit banget ya? Vertigo lagi? Kan udah aku bilang jangan kecapekan dan jaga pola makan. Kamu tuh—”

“Jungkook, aku mau putus.” Taehyung berkata, lebih terdengar seperti sebuah lirihan.

Tidak ada jawaban apa pun dari seberang sana. Jungkook bungkam. Hanya ada helaan napasnya yang terdengar begitu pilu. “Kamu ngomong apa sih? Jangan ngaco, Taehyung. Aku on the way apartemen kamu.”

Itu kali pertama Taehyung mendengar nada bicara Jungkook berubah. Kali pertama Jungkook terdengar sedingin salju yang turun di pertengahan bulan Juli. Jungkooknya yang hangat seolah menghilang untuk beberapa saat.

“Aku tutup ya teleponnya. Kamu istirahat aja, aku mau mampir ke Panda Express buat beliin kamu makan malem.”

Taehyung menutup mulutnya rapat-rapat dengan satu tangan, menahan isakkannya agar tidak sampai terdengar Jungkook. Namun usahanya itu sia-sia. Karena tangisan Taehyung begitu kejar. Meskipun dia menangis dalam diam, mencoba menahannya sekuat tenaga, Jungkook tetap bisa mendengar isakkan Taehyung tersebut.

Pria itu memutuskan panggilan telepon. Ponselnya dilempar ke arah kursi penumpang di sampingnya. Kemudian kepalanya dia tempelkan kepada roda kemudi. Dengan itu tangis Jungkook pecah. Di bawah guyuran hujan dan kilatan petir dari luar mobil, Jungkook menangis seorang diri.

Karena akhirnya hari ini datang juga. Hari yang paling Jungkook takutkan.

. . .

Sebuah ketukan sebanyak tiga kali dari pintu depan pintu kamarnya berhasil membuat Taehyung terbangun. Matanya terasa perih dan kepalanya berat, sepertinya efek menangis sampai tertidur selama tiga puluh menit.

Jungkook membuka pintu kamar Taehyung. Kepalanya masuk untuk sedikit mengintip. Pria itu sempat-sempatnya tersenyum dengan tangan menenteng bungkusan Panda Express. Langkahnya mendekat ke arah kasur Taehyung, tempat di mana tubuhya masih berbaring tanpa berani menatap ke arah Jungkook.

Dia duduk si ruang kosong dekat kaki Taehyung. Tentengannya Jungkook letakkan ke atas nakas terlebih dahulu. Jungkook hanya duduk dan memijat-mijat kaki Taehyung dengan lembut. Padahal dia tahu kalau Taehyung tidak mau menatap ke arahnya sama sekali. Jungkook tahu meskipun pencahayaan di kamar Taehyung begitu remang. Hanya ada cahaya dari ruang tengah yang menyelip masuk ke kamarnya.

“Makan dulu, yuk? Pasti kamu belum makan dari siang. Lihat itu perut kamu kempes, nanti engga enak lagi aku peluk.”

Jungkook hendak menarik tangan Taehyung. Ingin mengajak pacarnya itu untuk pergi ke ruang makan. Namun Taehyung menepis genggaman tangan Jungkook di tangannya dengan pelan.

Tidak, bukan ini respon yang Jungkook inginkan dari pria manis itu. Biasanya Taehyung akan melompat masuk ke dalam pelukannya. Akan memeluk lengan Jungkook dengan erat tiap kali mereka bertemu. Taehyung tidak akan pernah mampu melepaskan genggaman tangan Jungkook, setidaknya begitu biasanya.

Mata Jungkook menangkap kepala Taehyung yang sedang tertunduk. Buku-buku jarinya tidak berhenti dia mainkan, menimbulkan suara mengganggu di saat keheningan menyelimuti ruangan kamar Taehyung. Tak berapa lama terdengar suara isakkan keluar dari mulutnya.

Tuhan, tolong, Jungkook meminta dengan sangat untuk tidak membiarkan pria yang disayangi merasakan luka. Karena rasanya hati Jungkook ikut terluka saat ini. Dua detik hingga akhirnya Jungkook mengikis jarak di antara mereka. Jungkook rengkuh tubuh Taehyung, masuk ke dalam tempat ternyaman yang pernah ada; pelukan Jungkook.

“Ssh, kok nangis tiba-tiba? Kamu kenapa? Mau cerita sama aku atau engga?” ucap Jungkook. Kedua tangannya tidak henti mengusap punggung Taehyung dengan lembut.

Tubuh pria manis itu bergetar hebat dalam dekapan Jungkook. Pundaknya terus-menerus bergerak naik-turun tidak teratur, akibat dari tangisnya yang semakin kejar. Bahkan bisa dikatakan histeris. Karena Taehyung tidak lagi menahan suara tangisnya. Taehyung meraung di sela-sela tangis. Sebuah bentuk protes terhadap takdir dan kerja hidup yang begitu kejam.

Kenapa dirinya dan Jungkook harus saling mencinta kalau memang tidak dapat bersatu pada akhirnya?

Kenapa Tuhan menciptakan sebuah perbedaan?

Kenapa mereka tidak dapat hidup bersama dan tetap saling mencintai meski dengan adanya perbedaan itu?

“Jungkook, maaf...” hanya itu yang dapat keluar dari bibirnya.

Sebuah gelengan menjawab ucapan maaf Taehyung. Karena Taehyung tidak salah, tidak ada yang salah di sini. Bagi Jungkook tidak ada hal yang salah menyangkut cinta.

Taehyung menarik napasnya dalam-dalam. Berusaha dengan keras agar tangisnya mereda dan mengontrol kembali napasnya yang sempat terengah. Dia membiarkan tubuh Jungkook membungkus tubuhnya, berharap dengan begitu rasa sakitnya akan tersamarkan. “Jungkook, aku mau putus...”

Dunia Jungkook runtuh saat Taehyung mengatakannya secara langsung. Pria manis itu melirih di dalam pelukannya, Taehyung mengatakannya dengan pelan di dada Jungkook.

Jangan, please, jangan katakan itu lagi Taehyung.

“Aku mau putus...” ulang Taehyung.

Jungkook hanya dapat membatu tanpa melepas pelukannya. Tangannya tetap merengkuh tubuh Taehyung. Jungkook tetap menjanjikan rasa aman pada prianya itu, meski dirinya bisa melihat dunianya yang hancur di depan sana. Jungkook tetap memikirkan Taehyung bagaimana pun keadaannya.

Taehyung menjauhkan tubuhnya, memberi sedikit jarak di antara mereka berdua. Wajahnya sudah berantakan akibat air mata. Hidungnya merah, matanya bengkak dan suaranya serak. “Jangan diem aja, Jungkook.”

Jungkook melepaskan pelukannya. Lalu menatap Taehyung yang masih berderai air mata. “Aku harus jawab apa emangnya? Mending sekarang kamu tidur, kita bahas masalah ini besok pagi. Malam ini aku nginep, ya?”

Taehyung menggeleng berulang kali. Tangisnya kembali pecah.

“Jangan, kalau kamu terlalu lama di sini aku bisa berubah pikiran. Jungkook, please.”

Entah bagaimana Jungkook dapat mendeskripsikan rasa pilu yang menyayat dadanya saat ini. Dirinya tidak pernah meminta apa pun sebesar dia meminta Kim Taehyung untuk selalu berada di sisinya. Jungkook tidak pernah menuntut apa pun di hidupnya, selain waktu tanpa batas yang dapat dia miliki dengan pria manis itu. Jungkook tidak pernah mencintai ciptaan Tuhan lainnya sebesar dia mencintai Taehyung.

Apakah itu begitu muluk?

“Kamu aneh. Beberapa hari ini kamu hindarin aku, lalu sekarang minta putus. Tiba-tiba banget, really?”

Taehyung hanya dapat menunduk, membiarkan air matanya terus menerus tumpah membanjiri pipi. Satu tangannya memukul-mukul bagian dadanya dengan pelan, berharap kalau tindakannya itu dapat mengusir rasa sakit yang begitu menyiksa. Namun buru-buru Jungkook menarik tangan Taehyung.

“Apa alesannya, Taehyung?”

Jungkook tentu sudah tahu satu-satunya alasan yang mempu membuat Taehyungnya mengambil keputusan besar seperti ini. Jungkook selalu tahu, namun tidak pernah berharap kalau hari itu akan benar-benar tiba.

“Mau sampai kapan kita jadi egois? Mau sampai kapan kita melangkah tanpa arah? Jungkook, kita sama-sama tahu ujungnya gimana. Mau sampai kapan kita nunda rasa sakit itu?”

Nyatanya, mau ribuan kali Taehyung berdoa. Jutaan kali Taehyung meminta. Jawabannya akan tetap sama. Jungkook memanglah bukan untuknya, begitu pula sebaliknya.

Jungkook menggeleng. Entah karena lidahnya kelu dan tidak memiliki sepatah kata pun yang dapat diucapkan atau berharap Taehyung berhenti berkata omong kosong.

“Tante kamu bener. Kita udah dua puluh delapan, kita engga bisa bertahan di satu fase hidup yang itu-itu aja. Aku, kamu, kita berdua engga mau egois. Ini masalah pegangan hidup kita, masalah kepercayaan, masalah hubungan kita dengan Tuhan....”

“Emang kita engga bisa terus begini? Emang salah kalau kita hidup berdampingan dengan perbedaan?”

“Engga bisa...”

Taehyung menjawab itu dengan tangisan yang berkali-kali lipat terdengar lebih sakit. Pertahanan Jungkook runtuh, bersamaan dengan dunianya yang hancur. Dia menarik tubuh Taehyung tanpa perlu meminta izin pria itu. Dia kecup puncak kepala Taehyung berkali-kali. Air matanya ikut menetes dengan deras, membasahi puncak kepala Taehyung. “Biarin begini dulu. Sebentar aja, Taehyung. Biarin aku peluk dan cium kamu sekali ini, kalau mungkin ini emang terakhir kalinya aku bisa lakuin ini.”

Bibir bawah Taehyung mungkin sebentar lagi akan lecet, karena anak itu mengigitnya dengan begitu kuat. Taehyung berusaha untuk menahan isakkannya yang semakin kejar. Namun semuanya kembali pecah setelah mendengar kalimat yang Jungkook ucapkan barusan. Nyatanya, Taehyung juga hancur. Mereka berdua hancur dalam dekapan satu sama lain. Taehyung memeluk erat tubuh Jungkook malam itu, karena mungkin tidak ada malam-malam lainnya untuk mereka berdua.

Malam penuh luka itu ditutup dengan sebuah ciuman hangat dari Jungkook. Ciuman yang diselingi dengan isapan dan lumatan pada bibir manis Taehyung. Biasanya mereka akan tertawa di sela-sela ciuman itu. Namun kini hanya ada rasa sakit yang membelenggunya. Hari itu dua hati terluka, dua hati dikorbankan, karena sebuah tulisan takdir yang begitu pahit.

. . .