TACENDA

Warning: Pembahasan/pandangan tentang perbedaan agama.

I've got a hundred million reasons to walk away. But, baby, I just need one good one to stay

. . .

Taehyung hanya tidak dapat mempercayai dirinya sendiri. Benar-benar tidak percaya dengan apa yang sedang dia lakukan saat ini. Dirinya dengan kesadaran penuh sedang berjalan keluar dari gedung kantornya, melangkah kecil menuju mobil sedan yang selalu terparkir di sudut itu. Tempat di mana mobil Jungkook parkir setiap kali pria itu menjemputnya. Tuhan, semoga saja dirinya tidak menyesal dengan apa yang dilakukan setelah ini.

Masa bodoh dengan aksi gilanya ini—menerima permintaan Jungkook untuk bertemu dan berbicara serius. Kakinya tetap melangkah, tetap berjalan melewati kolam kecil berair mancur di depan lobby utama gedung. Kepalanya menunduk sopan, menyapa Pak Danu, kepala sekuriti lantai lobby. Salah satu orang paling humoris di kantor yang sering melontarkan banyolan andalan beliau kepada para karyawan. Pak Danu terlihat memberikan wajah usilnya, sembari melirik ke arah mobil sedan hitam milik Jungkook. Taehyung hanya dapat tertawa kecil, lalu melanjutkan langkah kakinya.

Kardigan tipis berwarna krem dia rapatkan ketika angin sore menabrak tubuhnya. Langit di atas sana sungguh gelap sore ini, meski seharusnya belum waktunya matahari untuk terbenam atau datangnya senja. Taehyung mempercepat langkah kakinya. Dia berhenti sebentar di depan pintu mobil penumpang bagian depan pada mobil Jungkook. Diketuklah pelan, basa-basi agar tidak main masuk saja tanpa permisi. Sebuah etika dasar, meski dirinya dan Jungkook pernah berada di hubungan tanpa adanya batasan privasi.

Senyuman simpul Jungkook—yang sialnya tetap terasa hangat—menyambut kehadiran Taehyung. Berupaya mengabaikan hal tersebut, Taehyung sibuk terbatuk sambil memasangkan sabuk pengaman pada badannya. “Mau ngomong apa?” Taehyung bertanya, to the point.

Jungkook tidak menjawab pertanyaan terus terang Taehyung barusan, tentu saja. Pria itu tidak akan memanfaatkan waktu berharga mereka begitu saja. Jungkook pasti akan mengulur banyak waktu hanya demi bisa bertahan di situasi ini lebih lama. Hanya untuk merasakan kehadiran Taehyung di dekatnya lebih lama lagi.

Tubuhnya sedikit menghadap ke kursi penumpang bagian belakang. Mengambil bungkusan kertas cokelat McDonalds dan memberikannya ke Taehyung. Taehyung hanya dapat menatap mata Jungkook untuk beberapa saat. Tidak habis pikir dengan wajah pria itu, kini masih dihiasi oleh senyuman yang tidak luntur sejak kedatangan Taehyung tadi.

“Ngobrolnya di apartemen kamu aja, gimana? Aku ngerasa kita butuh ngobrol yang proper dan tempat yang nyaman juga.”

Menghela napas, Taehyung hanya dapat pasrah dan menyetujui perkataan Jungkook. Setidaknya, mereka berdua memang harus mendapatkan perpisahan yang layak. Mereka harus menuntaskan semuanya sejelas-jelasnya.

Hah, memangnya perpisahan yang layak itu seperti apa Taehyung?

“Terserah kamu ajalah, Kook.”

Jungkook menyisihkan rasa sakit di dadanya saat mendengar jawaban Taehyung yang terasa berat. Bibirnya tetap memaksa senyum, agar hanya sosok Jungkook yang manis dan hangat yang Taehyung lihat.

. . .

Entah dirinya harus senang atau sedih ketika berhasil menginjakkan kakinya di gedung apartemen Taehyung lagi. Setelah hampir dua bulan yang terasa begitu berat dan menyiksa. Setelah pertemuan di malam yang lembab saat hujan deras mengguyur seluruh kota. Setelah kalimat perpisahan terucap dari mulut Taehyung.

Jungkook memang selalu membayangkan kalau langkah kakinya akan terus menuntun Jungkook ke tempat ini. Selalu membayangkan sosok Taehyung yang sedang fokus menonton serial malamnya akan melompat dan menyambut kedatangan Jungkook di pintu masuk.

Nyatanya, segala hal kecil yang ada di hadapannya kini semakin membuat Jungkook berharap. Membuat pria itu berharap kalau Taehyung juga menginginkan dirinya untuk tetap tinggal. Kalau pria indah yang paling dia cintai sebesar semesta itu masih menginginkan Jungkook di hidupnya.

Taehyung masih memajang dua pasang sandal dalam rumah di dekat pintu masuk, dulu sandal itu adalah milik Jungkook. Saking seringnya pria itu berkunjung ke apartemen Taehyung selama tiga tahun ini. Hal kecil itu mampu membuat Jungkook tersenyum simpul. Sebuah fakta kalau Taehyung belum sepenuhnya menghapus kebiasaan saat Jungkook masih berada di sisinya.

“Jangan GR kamu, aku sedian dua sandal karena Jimin sering main ke sini.”

Seakan dapat membaca apa yang ada di dalam pikiran Jungkook, Taehyung langsung buru-buru menyinggung perihal dua pasang sandal di depan pintu masuk. yang mana tentu saja adalah sebuah berdusta. Meski puluhan kali Jimin berkunjung ke apartemennya, sandal itu akan tetap terpajang dengan nyaman di sana. Karena sejak awal pemiliknya adalah Jungkook. “Aku engga komentar apa pun, Taehyung.” lalu, tawa kecil keluar dari bibir Jungkook.

Kakinya melangkah, mengekori Taehyung menuju meja pantri di sisi kiri tepat setelah pintu masuk apartemen Taehyung. Jungkook tahu sekali apa yang akan pria itu lakukan setiap kali dirinya sampai di rumah; yaitu pergi ke dapur dan meneguk satu gelas air putih.

Setelah selesai dengan urusannya bersama dengan air putih, Taehyung memberi isyarat pada Jungkook untuk duduk di bangku pantri. Membiarkan Jungkook memiliki beberapa detik indah dalam hidupnya, karena dapat kembali memandang wajah Taehyung dengan leluasa. Wajah sempurna milik Taehyung yang tidak pernah absen memanggil kupu-kupu dalam perutnya beterbangan.

Dua tahun mengejar cinta Taehyung semasa kuliah, hingga akhirnya enam tahun melewati saat-saat indah bersama sebagai sepasang kekasih. Namun kupu-kupu yang menetap dalam perutnya masih saja bergejolak dengan anarkis karena Kim Taehyung. Memang sudah tidak ada lagi jalan bagi Jungkook untuk keluar dari pesona pria itu.

Taehyung meletakkan gelasnya yang sudah kosong ke atas meja, kemudian menarik kursi di hadapan Jungkook untuk dia duduki. Dadanya berat, seperti dipaksa mengangkat puluhan balok beton pada tanjakan yang curam. “Mau mulai dari mana?”

Punggung yang awalnya sedikit membungkuk kini dia tegakkan. Kedua tangannya saling bertaut, mencari sang rileks yang tiba-tiba lenyap. Sial, karena Jungkook ingin serakah. Ingin mengganti topik yang paling menyesakkan dengan pembahasan ringan tentang masa lalu yang manis. Sedang Taehyung masih menatapnya lekat, menanti sepatah kata yang akan dikeluarkan oleh Jungkook. Menuntut prianya untuk berbicara. Dia hanya ingin kalau ini semua cepat selesai.

Karena berada di hadapan Jungkook bukanlah hal yang mudah. Sudah cukup mereka bersandiwara di rumah orangtua Taehyung kemarin. Saat ini rasa sesak itu membuncah, sungguh bukan sebuah perasaan nyaman. Taehyung tidak akan sanggup untuk melanjutkannya lagi.

“Jungkook... kalau engga ada yang mau kamu bicarain, lebih baik kamu pulang aja.” sebuah kalimat yang dapat mengumpulkan keberanian Jungkook untuk menatap mata Taehyung. Tautan pada kedua tangannya terlepas, karena kini satu tangannya menarik tangan Taehyung. Taehyung membeku. Seperti tersengat listrik, namun efeknya bukan terjadi pada tangannya yang kini digenggam Jungkook. Sengatan hebat yang menyaru dengan nyeri itu terasa di dadanya.

“Aku bingung harus ngomongin yang mana, jujur. Ada begitu banyak hal yang ngeganjel pikiranku tentang putusnya hubungan kita. Awalnya, aku setuju-setuju aja karena hatiku sakit dan merasa bersalah ngeliat kamu nangis, Taehyung,” Jungkook menjeda, matanya semakin yakin untuk menatap Taehyung. Seakan menunjukkan kalau ucapannya ini adalah kesungguhan, dan dia ingin Taehyung melihat kesungguhan itu. “Tapi kurasa, putus bukan jawaban yang tepat. Kita udah ngelaluin banyak hal bersama-sama. Hampir dua tahun aku deketin kamu sampai akhirnya kamu nerima aku jadi pacar kamu. Enam tahun kita laluin sebagai pasangan. Hubungan kita ga sesimple itu untuk berakhir masing-masing.”

Tatapan mata Taehyung begitu kosong. Tidak ada aksi perlawanan darinya ketika tangan itu digenggam oleh Jungkook, atau balasan perkataan dengan nada jengkel. Taehyung sudah tahu, Taehyung tahu yang Jungkook katakan tidak salah. Dirinya hanya lelah. Lelah dan merasa begitu lemah. Taehyung pengecut untuk mencari jawaban lain selain perpisahan. Karena menurutnya memang tidak ada jalan lain, langkah mereka tertahan oleh sebuah benteng yang begitu besar. Benteng yang sangat mustahil untuk dia ataupun Jungkook panjat.

Pandangan matanya yang kosong itu beralih, mencoba untuk menatap mata Jungkook. “Terus akhir yang pantas menurut kamu itu gimana, Jungkook?”

“Kita, aku dan kamu, hidup bahagia dan membangun keluarga kecil kita. Engga ada yang berbeda Taehyung, kita bisa laluin ini bareng-bareng. Perbedaan itu bukan hal yang besar. Keluarga inti kita berdua pun engga pernah masalah sama perbedaan ini.”

“Tapi aku ngerasa ini masalah sekarang. Ini masalah, Jungkook.”

“Kenapa masalah? Aku udah sering bahas ini, udah sering ngasih tahu kamu pandanganku soal ini. Tuhan itu satu, cuma cara kita menyebut dan cara kita berdoa aja yang berbeda, Tae.”

Ya, Jungkook memang selalu memiliki pemikiran yang terbuka tentang sebuah agama. Tidak ada agama yang salah ataupun benar. Semua agama mengajari kebajikan dan kasih sayang pada sesama manusia. Lebih jelas lagi pada agama samawi, yang dianut olehnya dan Taehyung. Bagi Jungkook, Tuhan tetaplah satu, yang berbeda hanyalah cara mereka berkomunikasi dengan Tuhan.

“Engga semudah itu Jungkook.”

Genggaman tangan Jungkook pada tangan Taehyung mengerat. “Makanya, ayo kita buat mudah bareng-bareng.”

Tarikan napasnya berat, bahkan sejak awal mereka duduk berhadapan tadi. Mungkin Taehyung sanggup menahannya sementara waktu, menggantikan dengan sebuah tatapan kosong. Namun, semakin lama berat di dadanya semakin terasa dan menyesakkan.

Dia tarik tangannya yang sejak tadi digenggam oleh Jungkook dengan perlahan, hingga akhirnya genggaman mereka terputus. Kepalanya beralih, menatap jauh sekali ke arah jendela apartemennya. Mengamati langit biru gelap kota Jakarta yang bercampur dengan jingga di antara gedung-gedung pencakar langit. Karena dirinya terlalu takut untuk menatap Jungkook.

“Engga semua hal bisa kita paksain, Jungkook. Sebesar apa pun rasa sayang kita untuk satu sama lain, kita tetep engga bisa maksain hal yang udah engga mungkin lagi. Please, mungkin emang kita harus berjalan masing-masing mulai dari sekarang.”

Mungkin aku harus belajar hidup tanpa kamu, tanpa kita. Tanpa masa depan indah yang dulu sering kita impiin bersama.

“Jungkook, kamu boleh pulang...”

Kadang, manusia memang engga bisa berbuat apa-apa. Takdirku dan Jungkook mungkin memang sudah tertulis pahit sejak awal. Aku mencintai Jungkook sebesar aku mencintai diriku sendiri, namun aku tidak mau kami melupakan hal yang lebih besar. Rasa cinta kami terhadap Tuhan kami. Maka dari itu aku melepaskannya. Merelakan semestaku pergi jauh dari hidupku.

“Jangan pernah temuin aku lagi. Seengganya, jangan sebelum kita berdua udah sembuh dari luka. Aku mohon, Jungkook.”

Maaf, karena aku tidak sehebat kamu untuk perjuangin kita. Maafin aku, Jungkook.

. . .