Identical Twins — 173
Sometimes, keeping your distance is the best thing you can do for your healing heart.
. . .
Jungkook tidak tahu, apakah senyuman dan tawa yang ditunjukkan oleh sang kakak hanyalah sebuah topeng atau kebenaran. Rasanya sulit sekali menebak apa yang ada di kepala sang kakak akhir-akhir ini. Padahal dulu mereka selalu memahami satu sama lain tanpa perlu adanya kata-kata yang menjelaskan. Kakaknya tertawa, namun matanya terlihat begitu bengkak. Bibirnya terangkat ke atas, membentuk sebuah senyuman. Namun entah mengapa pandangan mata itu terasa begitu kosong.
Tahu tidak apa yang paling mengiris hati Jungkook?
Dirinya bahkan baru mengetahui rencana Jeongguk untuk melanjutkan S2 ke London. Padahal kakak kembarnya dulu selalu cerewet, bercerita tentang hal ini dan itu. Jungkook selalu senang setiap kali mendengar kakak kembarnya yang lebih cerewet itu bercerita. Jungkook senang menjadi teman berkeluh kesah, teman berbagi pikiran dan bertukar pendapat.
Namun Jungkook tidak menyukai situasi yang terjadi dengan dirinya dan Jeongguk belakangan ini. Menaruh hati dan perasaan pada satu orang yang sama dengan saudara kembar bukanlah ide yang bagus. Jungkook rela berbagi kamar, rela bertukar baju dan berbagi lauknya dengan sang kakak, tapi tidak dengan berbagi perasaan dengan orang yang sama.
Kakaknya itu tidak banyak berbicara. Jeongguk hanya tertawa terbahak-bahak ketika Mingyu sudah mulai berulah dan bertingkah bodoh. Lalu, ketika Wonwoo dan Mingyu yang tidak pernah bisa berhenti berdebat. Tapi Jungkook tidak yakin kalau pikiran sang kakak berada bersama mereka di kafe itu.
Beberapa kali Jungkook diam memperhatikan sang kakak, lalu orang yang bersangkutan akan sadar. Dia hanya akan mengangkat dagunya, mengisyaratkan sebuah pertanyaan pada sang adik yang terus-terusan memperhatikannya. Kemudian Jungkook hanya menggeleng.
Kedai BBQ yang mereka datangi akan tutup dalam waktu sepuluh menit. Akhirnya mereka memutuskan untuk menyudahi malam yang katanya penuh canda, tawa dan waktu berkualitas itu. Semua orang memutuskan untuk pulang karena saat itu hari sudah larut. Berbeda sengan yang lain, Jungkook akhirnya mengajak kakak kembarnya untuk mengobrol empat mata.
Kedua pria kembar itu berjalan menuju CU yang terletak di perempatan jalan, tak jauh dari kafe yang mereka datangi tadi. Dua kaleng soju mereka jadikan teman mengobrol di meja depan CU yang malam itu terlihat begitu sepi.
Tidak ada yang bersuara, membiarkan keheningan menyelimuti keduanya selama beberapa saat. Hanya ada suara kaleng yang dibuka, kemudian Jeongguk yang meneguk kaleng sojunya. Sedang Jungkook sibuk mengetuk-ngetuk kaleng soju di tangannya ke atas meja, menimbulkan bunyi benturan kecil yang sedikit mengganggu.
“Mau ngomongin apaan, dek? Lo malah diem.” Jeongguk bersuara pada akhirnya. Kaleng sojunya dia letakkan di atas meja, kini kedua tangannya di lipat ke dada dan badannya bersandar pada kursi.
“Kenapa lo engga ada diskusi atau cerita apa-apa sama gue bang? London, really?”
Ada begitu banyak kekecewaan yang tergambar dalam ekspresi wajah Jungkook, kakaknya bisa menangkap itu semua dengan begitu jelas. Menghabiskan 23 tahun bersama, selalu berbagi cerita, pikiran dan pendapat, tentu mengambil keputusan untuk pergi jauh bukanlah suatu hal yang mudah.
Apa jadinya Jeongguk kalau harus hidup jauh dari mama, papa dan Jungkook? Dia belum pernah membayangkan hal ini akan terjadi dalam hidupnya.
Namun ternyata rasa sakit yang ditimbulkan dari patah hatinya jauh di luar ekspektasi. Jeongguk pikir, asal Taehyung dan adiknya bahagia itu sudah cukup. Cukup untuk membuatnya bisa melupakan rasa sakitnya, cukup karena orang-orang yang disayangi bisa bahagia bersama. Tapi, nyatanya Jeongguk salah karena meremehkan perasaannya pada Taehyung. Dia—Kim Taehyung—yang selama tiga tahun ini Jeongguk pikir hanya sebatas rasa kagum, justru menjadi sosok yang berhasil menyita seluruh ruang di hati dan pikirannya.
Rasa sakitnya yang begitu dalam membuat Jeongguk mengambil langkah nekat. Jeongguk merasa kalau lebih baik dia pergi sejauh mungkin, menyembuhkan dirinya yang tidak akan sanggup jika harus terus-menerus melihat sosok Kim Taehyung. Jeongguk tidak sanggup mengingat kenyataan yang begitu pahit dan tidak adil untuk dirinya. Sakit, karena pria manis yang menempati seisi hatinya itu milik adiknya sendiri.
Dari miliyaran orang yang ada di dunia, mengapa harus adiknya sendiri yang menjadi saingan dalam urusan percintaan ini?
Mengapa adiknya sendiri yang berhasil mendapatkan hati dari Kim Taehyung?
Pertanyaan itu terus menerus memenuhi pikirannya. Membuat Jeongguk merasa kalau rasa sakit ini sudah tidak sehat lagi. Jeongguk butuh waktu untuk sembuh. Namun dirinya tidak akan berhasil jika Taehyung masih tetap berada di sekitarnya. Maka dari itu Jeongguk memutuskan untuk pergi jauh, jauh sekali dari tanah kelahirannya dan keluarga yang begitu dia sayangi.
“Gua kemarin masih mikir-mikir. Tapi sepanjang ngebut skripsian kemarin gua malah jadi mantepin hati. Kayaknya seru ya dek kalau ngerasain pengalaman kayak Papa dulu.” Jawab Jeongguk pada akhirnya.
“Kok tiba-tiba? Bukannya dulu kita sepakat buat nolak tawaran papa buat lanjut ke London?”
“Waktu berubah, kita pun berubah dek.”
Betul. Sering kali waktu mengubah manusia atau manusia yang berubah seiring dengan berjalannya waktu. Tidak ada yang bisa menjamin kalau segala hal akan tetap sama. Sebuah perasaan bisa berubah dan sebuah janji bisa diingkari.
“Lo yakin ini keputusan yang tepat? Udah diskusi sama mama?” tanya Jungkook lagi.
Jeongguk menggeleng. “Belum bilang ke mama. Rencananya nanti setelah semuanya udah siap, biar mama engga bisa ngelarang haha. Bandel emang gua dek, jangan dicontoh ya.”
“Kalau emang lo ngerasa itu yang terbaik buat diri lo, gue cuma bisa ngedukung apa pun keputusan lo bang,” Jungkook berkata, “Gue ade lo satu-satunya. Kembaran lo. Kita hidup dari lahir barengan terus, jangan lupa kalau gue selalu mau lo bahagia juga.”
Jeongguk tahu itu. Namun tetap saja, kini jalan satu-satunya untuk bahagia hanyalah meninggalkan segala rasa sakitnya di Korea dan menyembuhkan lukanya di tempat yang begitu jauh.
Mungkin nanti Jeongguk akan berkeliling setiap hari menumpangi double decker bus di London. Menyewa apartemen kecil di bawah tanah dengan view setengah jalanan tempat orang berlalu lalang, menikmati pemandangan itu sembari menyesap teh hangat dari balik jendela. Mungkin juga Jeongguk akan naik London eye untuk menikmati pemandangan seluruh kota dari atas sana. Dengar-dengar London eye itu sebuah roda pengamatan yang terbesar di dunia dengan ketinggian 135 meter atau 433 kaki, pasti Jeongguk akan terkesima dengan pemandangan kota London dan melupakan segala bebannya.
“Gua tau dek. Gua juga mau lo selalu bahagia.” jawab Jeongguk, kemudian dia tersenyum tipis.
Gua mau lo bahagia. Makanya gua harus pergi, dek. Gua harus pergi biar kita semua bisa bahagia.
Jeongguk merasa begitu pengecut saat ini. Dia memilih untuk pergi dan kabur dari rasa sakitnya, memilih jalan pintas yang mungkin akan sangat dia syukuri di kemudian hari atau bisa juga dia sesali untuk yang ke sekian kalinya.
“Gue engga tau apa pantes ngomong begini ke lo.... tapi, kalau misalnya Taehyung adalah alasan lo pergi, gue harap lo selesaiin apa yang perlu diselesaiin dulu sama dia.”
Memangnya apa yang harus diselesaikan?
Jeongguk tertawa miris. “Emangnya apa yang perlu diselesaiin dek?”
“Gue engga tau bang. Cuma lo yang tau apa yang hati lo rasain. Cuma lo yang tau apa kira-kira yang perlu kalian selesaiin.”
Bukankah Jeongguk yang bilang kalau dirinya ingin mengungkapkan perasaannya pada Taehyung dengan cara yang lebih pantas?
Jeongguk hanya perlu mengungkapkan apa yang selama ini dia rasakan, sebelum dirinya memutuskan untuk menyembuhkan lukanya. Mengobrol dengan Taehyung sebelum dia memutuskan untuk membuang segala kenangan pahit tentang pria manis itu nantinya. Karena nantinya akan percuma. Percuma jika Jeongguk ngotot ingin menyembuhkan sakit di hatinya, namun segala unek-unek yang dirasakan masih dia tahan seorang diri.
“Dek, gue bakal pikirin ini baik-baik. Btw, thanks ya?”
“Makasih buat apa?”
“Hahaha, engga apa-apa. Udah yuk pulang, mama pasti udah ngomel dan gerbang udah digembok nih.”
. . .
. . . Author's note:
Harusnya aku post ini kemarin, tapi engga sempet ternyata karena aku balik malem huhu.
Btw, memang harus sedih-sedih dulu buat ketemu sama si bahagia. Kan si ade udah bahagia bersama Taetae, jadi mari doakan si abang bisa lekas menemukan kebahagiaannya!
Oh iya, bentar lagi AU ini tamat ya guys. Tyda kerasa aku ngetik mereka selama dua bulan huhu. Ide yang awalnya bermula dari mata burikku kalau ngelihat sekitar burem banget tanpa kacamata dan lensa kontak, eh jadilah si kembar dan taetae dengan penglihatan buruk. :(
Ku terlalu banyak cuap-cuap. Baiklaaa, sampai nanti lagi~
All the Love, Bae.