begellataes

FLAT 202 | SLICE. warning: susu pisang dan Taetae sedikit nakal di akhir!

Hugging is a silent way of saying ’you matter to me’.


. .

Jungkook panik setengah mati begitu menyadari tidak adanya eksistensi Kim Taehyung di lokasi pemotretan. Padahal beberapa saat yang lalu pria manisnya itu masih lompat-lompat kegirangan di sisi pojok ruangan, matanya besarnya tidak berhenti memandang ke arah tempat Jungkook berada. Setiap kali Jungkook mencuri kesempatan untuk melirik ke tempat Taehyung, pacar lucunya itu akan melambai-melambaikan tangannya. Kalau sudah begitu, senyuman kecil pada bibir Jungkook sangat mustahil untuk bisa disembunyikan.

Beberapa set lampu, crew lain yang berlalu lalang dan juga seorang model wanita bertubuh ramping dan berkaki jenjang sempat menghalangi Jungkook untuk bisa melihat ke arah tempat pacarnya menunggu. Saat sebelum memulai pemotretan, Jungkook meminta pacarnya itu untuk menunggu di sisi pojok ruangan bersama dua anak minor yang kinisudah tidak berusia minor lagi—Jinyoung dan Jihoon. Namun tiba-tiba ketiga orang itu menghilang entah ke mana. Begitu pemotretan selesai, Jungkook buru-buru izin untuk pergi pada crew yang lainnya. Bahkan diskusi pemilihan foto bersama sang model dia lakukan dengan begitu singkat.

Kaki Jungkook berlari kecil, menyusuri jalanan Itaewon yang ramai oleh pejalan kaki pada sore menjelang malam itu. Jungkook menghubungi nomor pacarnya, namun tidak aktif sama sekali. Menghubungi nomor Jinyoung dan Jihoon juga tidak ada jawaban. Mereka itu kenapa tiba-tiba menghilang tanpa memberi kabar terlebih dahulu, sih. kan Jungkook panik bukan main.

Tak lama ponsel Jungkook bergetar. Sebuah pesan singkat dari Jinyoung itu langsung buru-buru Jungkook baca.

Anak minor nomor 2.

Susu pisang hyung, kami sudah pulang duluan ke flat. Tadi Taetae hyung merajuk.

Astaga, kenapa pacar lucunya tiba-tiba merajuk? . . .


. . .

Saat tiba di lantai dua flat Jungkook langsung buru-buru menekan pin akses masuk ke dalam flat bernomor 202. Namun anehnya permintaan masuk selalu gagal. Pintu dikunci dari dalam membuat Jungkook tertahan dan tidak diizinkan untuk masuk. Kok bisa, ya? Padahal Jungkook yakin kalau pin aksesnya sudah benar.

Akhirnya dia putuskan untuk mengirim pesan ke pada pria manisnya itu. Bertanya apakah pintu flat sengaja dikunci dari dalam dan Jungkook tidak diperbolehkan masuk. Tak lama ada sebuah pesan balasan dari Taehyung yang membuat Jungkook kaget selama beberapa saat.

Tidak, aku tidak mau bertemu susu pisang dulu, begitu kata Taehyung.

Lalu jungkook kembali menanyakan penyebab pacarnya itu tidak ingin menemui Jungkook. Setelahnya, jawaban jujur dan menggemaskan Taehyung berhasil membuat Jungkook ketar-ketir menahan debaran di jantungnya. Hanya seorang Kim Taehyung yang mampu membuat irama debaran jantung Jungkook bekerja tidak normal, bahkan setelah berpacaran lebih dari tiga tahun lamanya.

Sebal. Tidak suka melihat susu pisang tadi dekat-dekat dengan nuna cantik.

Kata Jinyoungie nuna tadi suka dengan susu pisang. Aku tidak suka, aku sebal.

Selama ini Taehyung tidak pernah menunjukan sisi cemburunya yang ternyata begitu menggemaskan seperti ini. Jungkook bahkan sering kali dibuat bingung. Pacarnya ini sebenarnya pernah cemburu atau tidak pada dirinya?

Ya, susu pisang..., bagaimana Taetae ingin cemburu kalau kamu saja tidak memiliki waktu untuk sekadar menoleh ke arah lain. Pandangan matamu itu hanya tertuju pada satu orang. Matamu hanya ingin memandangi dan mengagumi keindahan Kim Taehyung. Perhatianmu sepenuhnya hanya ditujukan untuk Taehyung. Bahkan kamu lebih memiliki banyak waktu untuk mengagumi dan memanjakan pacar lucumu dibanding dirimu sendiri. Apa mungkin Taehyung sempat menyicipi yang namanya perasaan cemburu?

Tentu tidak~

Aduh, Jungkook ingin segera menarik tubuh Taehyung untuk masuk ke dalam pelukannya. Ingin segera menghujani wajah lucu pacarnya dengan banyak ciuman.

Jadi begitu pintu di hadapannya itu terbuka, Jungkook langsung mengambil langkah besar ke arah tempat di mana Taehyung berdiri.

Jungkook lihat kalau pacar lucunya sudah mengenakan piyama satin berwarna biru. Sandal lucu rumahannya juga sudah melindungi kedua kaki Taehyung dari dinginnya lantai. Kemudian dia tarik badan pacarnya dengan lembut dan masuk ke dalam pelukannya.

Jungkook mendekap Taehyung tubuh Taehyung dengan erat, namun tidak sampai membuat anak itu sesak dan tidak nyaman. Puncak kepala Taehyung sudah habis dikecupi oleh Jungkook, namun Taehyung menyukainya. Taehyung selalu suka segala sentuhan lembut Jungkook itu pada dirinya. Kedua tangan Taehyung melingkari leher Jungkook. Dijauhkan sedikit badannya, agar memberi jarak dan dapat leluasa memandangi wajah pacarnya.

“Taetae sayang, jangan menghilang tiba-tiba seperti tadi lagi. Aku khawatir tahu. Aku sampai berlari keliling Itaewon, menyusuri gang-gang dan kafe di sekitar lokasi tadi.”

Bibir Taehyung mengerucut dan membuat sedikit lengkungan ke arah bawah. Mata besarnya menatap Jungkook dengan penuh rasa bersalah.

“Maafkan aku ya, susu pisang? Tadi aku keburu sebal, sampai tidak memikirkan kalau susu pisang pasti akan khawatir.”

Jungkook mengangguk kecil, salah satu sudut bibirnya terangkat sedikit. “Sudah aku maafkan, asal sayangku juga memaafkanku.” jawab Jungkook.

“Aku tidak marah ke susu pisaaang. Sudah tidak sebal, soalnya sudah dipeluk. Tapi, tapi, tapi, banyak ciumannya belum diberikan oleh susu pisang.”

Jungkook tertawa kecil mendengar perkataan pacarnya. Dia angkat tubuh Taehyung dengan tiba-tiba, membuat pacarnya itu sedikit terlonjak kaget. Kemudian Jungkook menggendong Taehyung hingga memasuki kamar mereka. Namun kedua pasang mata mereka tidak berhenti menatap satu sama lain, tanpa mempedulikan posisi mereka saat ini. Taehyung tersenyum malu-malu, kemudian menyembunyikan wajahnya di leher Jungkook.

Tubuh Taehyung diletakkan ke atas kasur dengan hati-hati sekali, sekan-akan tubuhnya adalah sebuah permen kapas yang rapuh. Jungkook menyusul naik ke atas kasur, kemudian mengkungkung tubuh Taehyung dan menyisahkan jarak tipis di antara mereka.

Dekat sekali, sampai-sampai mereka berdua bisa mendengar deru napas satu sama lain. Mungkin sebentar lagi keduanya bisa saling mendengar suara detak jantung mereka yang sedang beradu balap di dalam sana. Taehyung deg-degan sekali, tapi menyukai alasan dibalik rasa deg-degannya tersebut.

Wajah Jungkook membelakangi cahaya lampu kamar di langit-langit atap kamar mereka, namun Taehyung tetap bisa melihat wajah pacarnya dengan jelas. Ekspresi wajah Jungkook yang melembut setiap kali menatap mata Taehyung dengan penuh kasih sayang. Tatapan mata Jungkook yang selalu mengingatkan diri Taehyung kalau dia begitu disayang. Mengingatkan Taehyung kalau ada seseorang yang begitu menganggap dirinya istimewa.

Kamu memang istimewa Taehyung-ah.

“Susu pisang, cepaaat. Ayo beri ciuman untukku yang banyak!”

Taehyung bersuara, setelah membiarkan dirinya dan Jungkook diam dan larut dalam tatapan satu sama lain.

“Panggil aku sayang dulu, baru akan aku beri ciuman.”

“Tadi kan perjanjiannya tidak begituuu.” Taehyung protes.

Jungkook tertawa kecil, kemudian menggelinding ke sisi kasur miliknya di sebelah kanan. Posisinya kini sudah berada di sebelah Taehyung, menghadap ke arahnya dan memeluk pinggang pria manis itu.

Tanpa abaa-aba, tanpa adanya pemberitahuan, Jungkook sudah mendekatkan wajahnya dengan wajah Taehyung. Dia kecupi bibir tebal Taehyung yang sudah dilapisi oleh lipbalm rasa stroberi. Kemudian kecupan itu berganti menjadi sebuah lumatan, disusul oleh ciuman yang semakin dalam. Membuat Taehyung mengikuti apa yang Jungkook lakukan. Pria manis itu membalas lumatan pada bibir bawah dan bibir atas Jungkook secara gantian. Kedua tangan Taehyung melingkar, memeluk tubuh Jungkook dengan erat.

Mereka terlalu larut dalam buaian bibir masing-masing yang begitu candu, sampai-sampai hampir lupa mengambil napas. Saliva di antara kedua bibir itu menyatu, namun keduanya tidak merasa jijik sama sekali. Ciuman yang lumayan terasa panas namun nyaman itu dilepaskan sebentar oleh Jungkook. Membuat Taehyung sedikit kecewa saat tautan dan lumatan di bibir keduanya terhenti.

“Bayi beruang nakal sekali, tadi menggigit-gitit bibirku. Siapa yang mengajarkan kamu begitu, hum?” ledek Jungkook

Taehyung yang baru menyadari tindakannya tadi langsung merasa malu. Dia sembunyikan wajahnya pada dada bidang Jungkook yang masih dibalut kemeja putih.

“Aku tidak sengaja!” jawab Taehyung.

Jungkook tertawa. “Tidak perlu malu dong, aku malah suka saat bayi beruangku sedikit nakal seperti tadi. Haha.”

Jawaban Jungkook semakin membuat Taehyung malu dan berakhir dengan pukulan-pukulan kecil yang mendarat di punggungnya.

“Tidak sakit sayang, pukulanmu mah hanya menggelitik saja.”

“Ih, sebaaal. Aku sebal sekali dengan susu pisang!”

“Aku masih ingin mencium kamu, masih ingin memeluk kamu. Masih ingin dicium dan digigiti bibirnya juga. Tapi aku harus mandi dulu, supaya bersih dan wangi. Bagaimana?” tanya Jungkook

Sial, memang Jeon Jungkook alias susu pisang ini senang sekali meledek Taehyung. Hampir setiap kali mereka menghabiskan malam penuh dengan ciuman akan berakhir dengan ledekan si susu pisang raksasa itu. Taehyung kan jadi malunya dobel dobel. Tapi nanti juga dia melupakan rasa malunya ketika bibirnya dan bibir Jungkook saling bertautan.

“Sana mandiii, dasar susu pisang bau! Susu pisang nakal, nanti aku akan laporkan ke Jiminie dan Yoongi hyung.” amuk Taehyung. Kedua tangannya mendorong Jungkook dari atas kasur.

“Nanti kalau kamu melapor kan jadi tidak bisa mencoba nakal bersamaku.”

AaaAaaAAaaa. Taehyung menjerit dalam hati. Bisa-bisanya susu pisang berkata seperti itu tepat setelah sesi ciuman hampir panas mereka?

“Kok kamu kaget? aku mendengar obrolanmu dengan Yoongi hyung waktu di apartemennya. Kamu minta diajari menjadi sedikir nakal, huh. Nakal sekali bayi beruangku. Kalau mau nakal seharusnya kamu bertanya dan minta diajari olehku langsung. Kita kan bisa belajar bersama.”

Setelah itu, satu bantal dengan sarung berwarna putih melayang bebas ke arah wajah susu pisang. Disusul dengan suara teriakan Taehyung yang kini wajahnya sudah dibenamkan ke kasur dan ditutupi bantal miliknya.

Tiga tahun lima bulan menjalin hubungan, lebih dari dua tahun tinggal bersama. Bukanlah waktu yang singkat untuk mereka berdua. Namun Jeon Jungkook tidak pernah melewati batasnya, susu pisang tidak pernah meminta atau mengajak Taehyung melakukan 'hubungan' di luar dari ciuman hampir panas mereka.

Terkadang Yoongi dan Jimin curiga, kedua anak itu hanya berpura-pura lugu saja dan sudah pernah melakukan 'hal itu'. Padahal keduanya jujur. Hubungan mereka masih semurni tiga tahun lalu, saat susu pisang dan Taehyung yang suka malu-malu kucing untuk menggenggam tangan, masih sama ketika pipi Taehyung akan merah setiap kali Jungkook mengecup bibirnya. Jantung keduanya selalu berdebar tidak normal setiap kali menatap mata satu sama lain. Tidak peduli tiga tahun yang lalu atau hari ini, semua itu masih sama.

Banyak hal yang berubah dalam hidup mereka. Susu pisang yang tidak bisa berekspresi tiga tahun lalu, kini sudah pandai menyalurkan ekspresi dari macam-macam emosi. Susu pisang sudah bisa tersenyum kecil dan tertawa, apa lagi jika Taehyung adalah alasannya. Taehyung juga bukan lagi anak laki-laki yang bersembunyi di balik topeng 'baik-baik saja' miliknya. Tidak lagi menjadi anak penuh tawa dengan masa lalu yang begitu penuh misteri dan rasa sakit.

Banyak yang berubah dari diri mereka, namun perasaan pada satu sama lain tetaplah sama. Perasaan mereka tidak pernah berkurang, justru terus berkembang dan tumbuh setiap harinya. Taehyung masih suka merasa malu karena perlakuan manisnya susu pisang. Jungkook masih selalu dibuat gemas oleh macam-macam tingkah Taehyung

Malam itu keduanya terlelap dalam pelukan hangat satu sama lain. Pintu kamar sengaja dikunci, agar Yeontan dan Franklin tidak mengganggu malam hari keduanya yang begitu manis dan hangat. Kulit telanjang tanpa lindungan sehelai kain pun dari keduanya menyatu di dalam selimut.

Tenang saja teman-teman. Susu pisang dan Taetae belum 'melakukan itu', mereka hanya belajar sedikit saja~

Dengan ajaib Taehyung mengiyakan perkataan Jungkook tentang 'belajar nakal bersama'. Membuat Jungkook dibuat hampir terkena serangan jantung saat mendengarnya. Taehyung berkata dia serius dengan tatapan mata lucunya, Jungkook jadi bingung harus merasa senang atau merasa bersalah dengan tawaran nakalnya tersebut.

Keduanya tidak—belum—melakukan itu. Mereka hanya tidur tanpa adanya baju atasan yang melindungi tubuh satu sama lain. Terlelap pulas dalam dunia mimpi yang begitu indah. Terlelap dalam dekapan tubuh orang terkasih yang terasa begituuuu hangat. Pelukan keduanya yang selalu terasa sehangat dan senyaman rumah, karena mereka memang rumah dari satu sama lain.

Suara napas teratur Jungkook dan Taehyung saling beriringan, mengisi kesunyian malam hari di kamar mereka. Jungkook menepati janjinya untuk tidak melepaskan pelukan—begitu pula Taehyung. Wajah Taehyung yang tidur dengan damai bersembunyi di dalam dada Jungkook. Namun, sepertinya bekas-bekas merah keunguan pada leher dan dada Taehyung tidak dapat disembunyikan esok hariiii~

Malam menjelang musim panas Taetae dan susu pisang dilewati dengan pengalaman baru, yaitu: belajar nakal bersama-sama!

. . .


. . .

Author's note:

Halloooo, aku nulis ini di siang hari lebaran kedua. Ujungnya ada konten menjurus nakalnya Taetae dan susu pisang, YA AMPUUUUN. Bayi-bayi aku sudah nakal. Btw, di sini waktunya udah skip ke waktu yang sekarang (2021), berarti tiga udah tiga tahun Taetae dan susu pisang jadian. Ga terasa dua anak itu udah hampir tiga setengah tahun aja, tapi masih selalu maniiiis.

sampai jumpa di oneshot atau one tweet FLAT 202 lainnya. Semoga ini bisa mengobati kerinduan aku dan teman-teman ke dua anak ituuu~

All the Love, Bae.

Identical Twins — 154.

Letting love go isn't easy as letting it in.

– Kafeel -


Jeongguk terlalu sibuk menerka-nerka apa yang akan terjadi saat Kim Taehyung sampai di rumahnya nanti.

Kali terakhir dia berbicara dengan Taehyung bukanlah waktu yang bagus. Mereka berakhir dengan keadaan canggung, meski Jeongguk berusaha untuk tetap biasa saja saat itu.

Kim Taehyung bahkan enggan untuk menatap matanya, dirinya pun begitu sulit untuk melihat mata cokelat indah milik Taehyung. Sulit sekali, karena dadanya tidak bisa berhenti nyeri. Bahkan hanya dengan membayangkan wajah indah itu saja dapat membuat sakit di dadanya kembali, apalagi saat mereka harus berhadapan langsung.

Sang Ibu dari tadi sibuk menunjukan rasa antusias untuk menyambut Taehyung di kediaman keluarga Jeon. Selama ini Ibu dari kedua kembar tahu sekali kalau Jeongguk sudah pernah beberapa kali menjalin hubungan dengan seseorang, namun berbeda dengan Jungkook. Anak itu tidak pernah sekali pun mengenalkan teman istimewa ke keluarga.

Tadi pagi Jungkook duduk di kursi belakang halaman rumah mereka. Menemani Ibunya yang sedang menikmati waktu minum teh seorang diri. Kakak kembarnya masih belum bangun, sedangkan Ayahnya sudah berangkat ke kantor. Entah mendapatkan keberanian dari mana, Jungkook tiba-tiba saja menceritakan tentang Kim Taehyung ke sang Ibu.

Manik mata Jungkook berbinar, tanda kalau anak itu memang sedang bahagia sekali. Jungkook berbicara panjang lebar, menceritakan hal-hal indah tentang Taehyung pada sang Ibu. Hati Ibunya menghangat melihat bagaimana anaknya itu merekam segala hal indah tentang Taehyung dan menceritakan ke orang lain. Anak itu bercerita dengan rasa dan cara yang bisa membuat orang ikut penasaran dan percaya akan keindahan Taehyung.

Anak bungsunya itu bahagia, karena Kim Taehyung. Sayangnya sang Ibu tidak tahu kalau anak sulungnya justru sedang merasakan sakit hati yang teramat dalam karena pria manis itu.

Tapi, tentu saja tidak ada yang bisa disalahkan di sini.

Meja makan yang bisa muat untuk delapan orang itu sudah ditata dengan rapih. Berbagai piring dan mangkuk lauk dengan motif vintage yang memberi kesan mewah juga sudah ditata di sana dengan berbagai lauk di atasnya. Jeongguk ingat cerita sang Ibu tentang piring-piring cantik itu. Beliau membeli piring itu saat perjalanan bisnis ke Wina beberapa belas tahun yang lalu. Jarang sekali piring-piring cantik itu digunakan, kecuali untuk hari-hari istimewa tertentu. Tentu, sang Ibu pasti merasa hari ini istimewa.

“Sayang, tolongin mama. Coba tanya itu adik kamu udah sampai mana sama Taehyung, keburu makanannya dingin nanti.”

Jeongguk menurut. Dia tidak lagi mengirim pesan, melainkan menelepon adik kembarnya. Saat diangkat, Jeongguk dapat mendengar suara tertawa Taehyung yang begitu renyah dan bahagia. Kemudian Jungkook izin ke Taehyung untuk mengangkat teleponnya terlebih dahulu.

Mereka pasti sedang begitu bahagia saat ini. Terdengar jelas dari bagaimana cara Taehyung tertawa entah hal apa yang membuat pria manis itu tertawa, juga lembutnya suara Jungkook saat dia berbicara pada Taehyung.

“Udah di mana, dek? si mama nanyain kalian terus nih. Takut makanannya keburu dingin juga.”

Jungkook menjawab dari seberang telepon, “Ini udah perempatan lampu merah depan bang. Lima menit lagi paling.”

“Oh, oke oke. Hati-hati kalian berdua.”

Setelah itu sambungan telepon Jeongguk putuskan. Dia tinggalkan sang Ibu yang masih sibuk menata berbagai macam makanan, seakan-akan yang datang ke rumah mereka malam ini adalah rombongan tamu presiden. Akhirnya Jeongguk izin untuk pergi ke ruang tengan, bergabung dengan Ayahnya yang sibuk menyesap kopi hangat dan menonton berita pada layar televisi.

Ayahnya masih fokus menatap layar televisi, tanpa menengok ke arah Jeongguk yang kini duduk tepat di sebelahnya. Mungkin pemberitaan politik negeri kini jauh lebih penting dibanding sikap anak sulungnya yang nampak aneh saat ini.

Jeongguk diam. Ikut memandang ke arah televisi, namun pikirannya tidak tertuju ke sana.

Sang Ayah akhirnya menoleh. Memperhatikan anaknya yang memandang kosong ke arah televisi. Tumben sekali anak itu bersikap seperti ini. Jeongguk itu memang sering sekali menjadi teman berdiskusi sang Ayah, karena wawasan umum anak itu cukup luas. Jeongguk suka membahas politik, sosial, budaya, segala hal dengan sang Ayah. Mereka beberapa kali berdebat di ruang tengah keluarga saat menonton tayangan berita bersama.

Namun anaknya kini diam. Anak itu memang lebih pendiam beberapa hari ini, seperti tidak ada semangat hidup. Tidak ada lagi ruang dan waktu untuk beradu argumen dengan sang Ayah di malam hari, ketika keduanya sudah selesai dari aktifitas di luar rumah.

“Kamu kenapa bang?” tanya sang Ayah saat menyadari ada sesuatu yang aneh dari anaknya.

Jeongguk tersadar, kemudian menggeleng untuk menjawab pertanyaan Ayahnya. Namun insting orangtua memang tidak bisa diragukan. Dia tahu kalau anaknya itu sedang banyak memikirkan suatu hal, ada banyak hal yang mengganggu pikirannya.

Cangkir kopi yang tadi dipegang oleh kepala keluarga Jeon itu kemudian diletakkan ke atas meja. Kemudian beliau menaruh seluruh perhatian pada sang anak. “Sini diskusi sama papa, mungkin papa bisa bantu. Kalau mama mah diajak diskusi makanan baru nyambung.”

Jeongguk langsung tertawa mendengar perkataan konyol Ayahnya. Begitulah beliau, Ayahnya memiliki dua sisi yang kemudian diturunkan pada anak-anaknya. Sifat usilnya itu diturunkan pada Jeongguk, sedangkan sifat serius dan suka menganalisa situasi diturunkan pada Jungkook.

“Iya, si mama lagi sibuk sama piring cantik Wina dan makanan. Padahal kita kan cuma berlima buat makan malam ini, pa. Haha.” jawab Jeongguk.

“Kamu kenapa bang? Ada yang mau didiskusiin sama papa engga?”

Jeongguk diam sebentar. Sebenarnya ada sebuah pemikiran konyol yang terbersit dalam benaknya saat semalaman dirinya tidak bisa tidur. Apa mungkin lebih baik dia mengambil keputusan nekat itu, ya?

“Kalau abang ngambil S2 ke London gimana pa?”

Ada sedikit ekspresi kaget pada wajah sang Ayah.

“Tiba-tiba banget? waktu itu Papa tawarin katanya mau langsung kerja dulu aja?” sang Ayah kembali bertanya.

“Engga tau, tiba-tiba kepikiran aja. Kayaknya seru kalau abang ngambil S2 ke London, mau ngerasain apa yang dulu sering Papa ceritain. Masa Papanya lulusan S2 Oxford University anaknya engga ada yang nerusin, haha.” Jeongguk berbohong soal alasannya.

Sang Ayah hanya mengangguk-angguk. Selama ini beliau membebaskan anak-anaknya memilih hal yang disukai, asal kedua anaknya itu bijak dan sungguh-sungguh dengan segala hal yang dilakukan.

“Coba dipikirin dulu mateng-mateng. Udah tau mau ngambil jurusan dan universitas mana? Persiapin dari sekarang, tapi jangan sampai ngeganggu skripsi dan waktu seneng-seneng sama temen. Oke?”

Jeongguk tersenyum dan mengangguk kecil. Kemudian dia memeluk tubuh Ayahnya dan mengatakan terima kasih. Membuat Ayahnya tertawa kencang karena kelakuannya yang terkadang masih seperti anak kecil itu.

Tak lama terdengar suara pintu gerbang yang terbuka dan suara mesin mobil dari garasi. Adik kembarnya sudah pulang, Jeongguk harus mempersiapkan hatinya untuk makan malam yang panjang ini.

. . .


. . .

Keluarga Jeon memang sering sekali menghabiskan waktu makan malamnya sembari mengobrol di ruang makan. Makanya tak jarang setiap si kembar berada di luar hingga malam, sang Ibu pasti bertanya apa anaknya akan bergabung untuk makan malam di rumah atau tidak.

Keluarga mereka hangat, transparan dan penuh kasih sayang. Ayah dan Ibunya menyayangi kedua anak kembar itu dengan setara, tidak ada yang lebih disayang atau kurang disayang. Bahkan dari kecil si kembar terbiasa saling melengkapi, seperti bertukar warna baju atau Jungkook yang selalu memakan daging ikan milik Jeongguk—karena kakaknya tidak bisa makan ikan.

Malam ini ruang makan keluarga mereka menjadi lebih ramai lagi karena kehadiran Taehyung. Meski sempat gugup dan takut, setelah melihat sambutan hangat dari keluarga sang pacar membuat Taehyung lega. Ditambah lagi, memang anak itu mudah akrab dengan orang lain. Jadi Taehyung bisa dengan mudahnya masuk ke dalam obrolan dan gurauan keluarga Jeon.

Terkadang obrolan diselingi dengan cerita masa kecil si kembar Jeon. Usilnya Jeongguk yang sering mengelabui banyak orang, mengaku-ngaku sebagai adiknya dan membuat orang lain percaya. Ada juga cerita tentang Jungkook yang hanya diam saja, tidak menangis atau mengeluh saat terjatuh dari sepeda. Anak kalem itu membuat orangtuanya kaget saat melihat lutut anaknya luka dan berdarah.

Taehyung bahagia sekali. Hatinya merasa senang, karena sambutan hangat dari keluarga Jungkook. Bahkan baru sekali bertemu saja Taehyung sudah dibuat merasa begitu dekat. Ibu dan Ayah pacarnya bahkan menyuruh Taehyung untuk sering-sering main ke rumah mereka. Taehyung ingin sekali, kalau dirinya tidak ingat ada Jeongguk yang juga tinggal di rumah itu.

Selama makan malam berlangsung, Taehyung bahkan tidak sedikit pun melirik ke arah tempat duduk Jeongguk. Taehyung tidak tahu apa pria itu melakukan hal yang sama atau bersikap biasa saja. Namun rasanya Taehyung masih belum bisa bersikap biasa saja. Rasanya masih begitu aneh. Aneh mengingat kalau dirinya sempat menolak pernyataan perasaan Jeongguk dan malah datang ke rumah pria itu, namun dengan status sebagai pacar adiknya. Taehyung juga bingung harus bersikap bagaimana ke pria itu.

“Oh iya, Taehyung katanya anak komunikasi juga? Berarti kenal sama Jeongguk dong? Atau Jeongguk yang ngenalin ke Jungkook?” sang Ibu bertanya, membuat Jeongguk tersedak minumannya.

Kali ini Taehyung tidak sengaja menoleh ke arah pria itu, membuat tatapan mata mereka bertemu beberapa saat. Lalu buru-buru dia alihkan pandangannya.

“Kita satu fakultas tapi beda konsentrasi ma, jadi engga saling kenal.” jawab Jeongguk pada akhirnya.

“Aku jurusan perfilman dan periklanan, Tante. Hehehe.”

“Tapi aku udah tau Taehyung lumayan lama, Ma. Dulu aku sering ngeliat dia lari ke gedung Fikom pagi-pagi kalau lagi gantiin Jeongguk masuk kelasnya.”

Taehyung melongo, karena baru mengetahui kenyataan ini. Begitu juga Jeongguk yang baru mengetahui hal itu. Berbeda dengan reaksi Taehyung, sang Ibu malah memberikan senyum jahilnya pada Jungkook dan Taehyung.

“Wah, jadi anak mama duluan yang naksir ceritanya? emang ya, jodoh tuh engga ke mana. Hahaha.”

Ibunya tidak tahu saja, kalau kedua anaknya sama-sama tertarik lebih dahulu pada pria manis itu. Faktanya juga Jeon Jeongguklah yang lebih dahulu menyukai Kim Taehyung. Tapi tentu saja, sang Ibu tidak akan pernah mengetahui kebenaran tersebut.

Berbeda dengan sang Ibu, Ayahnya justru kini lebih banyak diam dan menyimak. Beliau tersenyum, tertawa dan menimpali obrolan sesekali. Namun ada satu hal yang disadari olehnya, Jeongguk dan Taehyung nampak saling menghindar untuk menatap satu sama lain. Anak sulungnya yang biasanya cerewet dan banyak bicara tiba-tiba berubah menjadi tenang dan kaku. Namun beliau membiarkan makan malam berjalan tanpa ada kata atau pertanyaan yang menyinggung keduanya.

Pukul 09:00 Taehyung izin untuk pulang pada Ayah dan Ibu Jungkook. Tentu saja Jungkook bertanggung jawab untuk mengantar anak itu kembali ke asrama, meski Taehyung berkata akan naik bus atau taksi saja pada awalnya. Sang Ibu juga menyuruh anaknya untuk mengantar Taehyung pulang dengan selamat, jadi pada akhirnya Taehyung menyetujui untuk diantar pulang oleh Jungkook.

Piring-piring cantik dari Wina kesayangan Ibu si kembar sudah kembali tersimpan ke dalam kabinet dapur. Beliau juga sudah masuk ke kamar untuk bersiap-siap tidur. Ruang makan yang beberapa saat lalu terdengar ramai kini sudah sepi, tidak ada siapa pun di sana. Orang-orang sudah masuk ke dalam kamar masing-masing untuk beristirahat.

Namun tiba-tiba saja terdengar sebuah ketukan dari luar pintu kamar Jeongguk. Tumben sekali. Awalnya dia pikir kalau orang yang mengetuk adalah Jungkook, tapi tidak mungkin Jungkook sudah kembali dari mengantar Taehyung pulang ke asrama.

“Papa boleh masuk, bang?”

Betapa kagetnya Jeongguk ketika sadar suara siapa dari balik pintu kamarnya. Sang Ayah meminta izin untuk masuk ke kamarnya pada malam-malam begini.

“Iya, pa. Engga abang kunci kok, masuk aja.”

Ayahnya melihat Jeongguk hanya duduk di atas kasur sambil memainkan game online di ponselnya. Lampu kamar anaknya masih menyala dan tidak ada tanda-tanda kalau anak itu akan segera pergi tidur. Tentu saja, ini baru jam 9 malam. Jeongguk terbiasa tidur di tengah malam hingga menjelang pagi, karena akhir-akhir ini banyak hal yang mengusik pikirannya dan membuat sulit tidur,

“Lagi main game online?” tanya sang Ayah, kemudian duduk di pinggir kasur anaknya itu.

Jeongguk meletakkan ponselnya ke atas kasur. “Iya, tapi kalau papa mau ngobrol juga engga apa-apa. Udah selesai kok mainnya.”

“Soal S2 di London, itu beneran murni kemauan abang?”

Wah, apa Papanya tahu sesuatu sampai harus mendatangi Jeongguk ke kamarnya untuk bertanya hal ini?

“Iya, Pa. Kenapa emangnya, pa?”

“Bukan karena abang mau pergi jauh dan ngehindarin sesuatu, kan?”

Mampus, Jeongguk tidak tahu harus bereaksi apa saat ini. Harusnya Jeongguk tidak meremehkan kejelian dan cara berpikir sang Ayah yang mirip dengan adiknya. Mereka berdua sama-sama mengamati dalam diam.

“Kok Papa tiba-tiba nanya begitu? Pasti karena kemauan abang sendiri dong pa.”

Tapi Jeongguk berbohong.

“Bukan karena Kim Taehyung, hum?”

Jeongguk tidak mengantisipasi pertanyaan macam itu akan keluar dari mulut sang Ayah. Bagaimana bisa?

“Papa engga tahu sebenernya apa yang terjadi di antara kalian. Tapi Papa percaya dan yakin sama anak-anak Papa. Kalian berdua sudah dewasa, sudah tahu apa yang baik dan buruk buat diri kalian,” ada jeda sebentar dalam kalimat sang Ayah.

Jeongguk tidak bisa berkata-kata, tidak juga bisa membantah atau pura-pura bodoh saat ini.

“Tapi menurut Papa, lari dan kabur itu engga akan pernah nyelesaiin masalah. Kamu mau pergi sejauh apa pun juga engga akan mengubah apa pun. Jadi tolong dipikirin dulu yang mateng segala keputusannya, ya?”

Ayahnya tersenyum, kemudian mengusak rambut Jeongguk. Mau sebesar apa pun sang anak, orangtua akan selalu menganggap anak mereka adalah bayi. Begitu pula yang dilakukan oleh Ayah Jeongguk dan Jungkook. Beliau seakan lupa kalau kedua anak kembarnya itu kini sudah menjadi pria berumur dua tiga tahun.

“Masih ada waktu tiga bulan sampai sidang dan pengumuman kelulusan, kan?”

Setelah itu Ayahnya izin untuk kembali ke kamarnya. Meninggalkan Jeongguk yang pikirannya masih mengawang-awang entah berada di mana. . . .


. . .

All the Love, Bae.

Identical Twins — 154.

Letting love go isn't easy as letting it in.

– Kafeel -


Jeongguk terlalu sibuk menerka-nerka apa yang akan terjadi saat Kim Taehyung sampai di rumahnya nanti.

Identical Twins – 140.

Why do our heart choose lovers that make us suffer?

– Bridgett Devoue -


. . .

Tidak ada bunyi decitan pintu, tidak ada bunyi ketukan sepatu yang berbenturan dengan lantai. Tidak juga ada banyak orang yang berlalu lalang di sana, tempat bernama Ver's House itu nampak sepi akan pengunjung. Hanya ada suara mesin penggiling kopi dan bisikan obrolan dari barista dengan sang kasir dari balik bar kecil di dekat pintu masuk.

Jungkook duduk seorang diri di bagian pojok kiri ruangan, sengaja mengambil sisi pinggir yang dekat dengan jendela besar. Taehyung cenderung senang memilih tempat duduk di dekat jendela, Jungkook sampai hafal kebiasaan pria itu dalam waktu singkat. Taehyung suka melamun memandangi langit, melihat orang yang berlalu lalang di jalanan ataupun hal yang menarik perhatiannya di luar sana.

Belum terlihat adanya tanda-tanda kehadiran Taehyung di sana. Jungkook terlihat duduk dengan tenang sembari membaca buku yang sengaja dia bawa. Wajahnya sedikit bercahaya karena pantulan sinar matahari yang menembus kaca besar di sisi kanannya. Tidak lama benda bulat—alat pemberitahuan—di mejanya menyala dan bergetar, menandakan kalau pesanan yang Jungkook pesan tadi sudah siap di atas bar sana.

Buku yang tadi dia baca langsung ditutup dan ditaruh dengan hati-hati ke atas meja, kemudian Jungkook bergegas mengambil minumannya. Dia sempat tersenyum kecil dan mengatakan terima kasih kepada si barista yang melayaninya, sebelum akhirnya Jungkook kembali melangkah ke arah tempat dimana dia duduk tadi.

Tiba-tiba saja Jungkook merasakan ada seseorang yang menyentuh pundak bagian kanannya. Saat Jungkook menoleh, wajah lucu Taehyung dengan senyuman kotaknyalah yang dia lihat.

Taehyung melirik jam di tangannya sebentar. “Kaget ga? Hahaha. Kookie, maaf ya aku telat sepuluh menit.”

Jungkook menggeleng dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. Gelengan kepala itu adalah sebuah jawaban dari kedua hal yang dikatakan Taehyung. Jungkook tidak kaget, tidak juga keberatan kalau Taehyung terlambat selama sepuluh menit. Karena menunggu Taehyung itu tidak pernah terasa lama dan membosankan.

Dia letakkan minumannya di atas meja, lalu menarik bangku untuk Taehyung duduk. Setelah itu Jungkook mengambil tempat duduknya yang semula di seberang Taehyung, sehingga kini kedua pria itu duduk berhadapan.

Ingin sekali Jungkook bertanya pada Taehyung, sebenarnya hal apa yang ingin dikatakan pria manis itu sampai-sampai mengajaknya bertemu seperti ini? namun kata-katanya tertahan di lidah Jungkook, dia menanti Taehyung sendiri yang memberi tahunya.

Lagu Something dari The Beatles mengalun indah, mengisi seluruh kafe yang tadi sempat terasa sepi. Suara penggiling kopi maupun bisik-bisik suara dari dari balik bar sudah tidak lagi terdengar. Jungkook dan Taehyung diam untuk beberapa saat, membiarkan lagu yang terputar itu mengisi kekosongan.

“Aku pesen minuman dan makanan dulu, ya?” kata Taehyung, kemudian dia buru-buru berdiri dan pergi.

Taehyung meremas-remas kedua telapak tangannya, berupaya agar keringat di tangannya bisa berhenti keluar. Rasanya kini Taehyung begitu gugup, padahal dari pagi dia sudah mencari banyak ketenangan. Anak itu sengaja berdoa ke gereja dan juga ke kuil, katanya dengan berdoa secara dobel dirinya juga akan mendapat ketenangan yang dobel. Nyatanya tetap saja, ketika dirinya diharuskan berhadapan dengan Jungkook secara langsung perasaan itu muncul lagi. Debaran jantungnya tidak bisa dia kontrol lagi.

Anak itu tidak kembali ke kursinya, lebih memilih menunggu minumannya dan berdiri di depan kasir. Berpura-pura melihat menu lainnya yang sebenarnya tidak ada satu dari gambar di depannya itu yang masuk ke dalam pikirannya. Dalam hati Taehyung sibuk merangkai kata dari kalimat yang akan dia utarakan pada Jungkook nanti.

Setelah malu karena berdiri terlalu lama di depan kasir tanpa menambah pesanan, akhirnya Taehyung mengalihkan fokusnya. Dia berpura-pura menikmati pajangan bunga yang mengiasi seisi kafe. Beberapa tanaman yang merambat, menghiasi dinding dan atap kafe tanpa memberi kesan berantakan—justru indah. Lalu bunga-bunga cantik dengan warna beragam yang dipajang di meja dekat tangga, Taehyung sibuk berpura-pura mengagumi keindahan mereka.

Taehyung tidak tahu, apakah Jungkook sedang memperhatikan dirinya saat ini? karena kalau iya, Taehyung sudah pasti malu sekali.

Sudahlah, memang Kim Taehyung itu tidak peka yang menyerempet bodoh. Bahkan tanpa dia bersikap aneh pun Jungkook akan selalu menaruh pandangan dan perhatiannya pada Taehyung secara penuh. Jungkook akan memperhatikan segala hal yang Taehyung lakukan, merekam setiap detail kecil dari diri Taehyung di dalam ingatannya. Seperti apa yang dia lakukan saat ini; memandangi Taehyung sambil tersenyum kecil.

Saat tahu kalau Taehyung sedikit salah tingkah dan menolak untuk diperhatikan lebih lanjut oleh Jungkook, pria itu langsung mengalihkan perhatiannya. Dia ambil buku yang selama beberapa saat diam di atas meja, kemudian Jungkook melanjutkan kegiatan membacanya. Membiarkan Taehyung masih sibuk berpura-pura tertarik dengan berbagai bunga di sana.

Butuh waktu lima menit untuk akhirnya Taehyung kembali ke tempat duduk mereka. Tangannya membawa segelas vanilla milkshake dan piring berisikan sepotong strawberry cheesecake. Dia taruh semua bawaannya ke atas meja, pelan-pelan sekali agar tidak mengganggu Jungkook yang sedang membaca buku. Padahal alasan Jungkook membaca buku itu karena menunggu Taehyung yang sedang salah tingkah tadi.

Buku dengan sampul berwarna biru langit itu ditutup oleh Jungkook. Kepalanya yang semula menunduk ke arah buku, kini dia angkat dan menatap ke arah Taehyung. “Udah? mau makan dulu atau langsung ngasih tahu aku apa yang mau kamu omongin, hm?”

Semalaman Jungkook memikirkan hal apa yang mungkin akan dikatakan oleh Taehyung hari ini. Apa ini soal penyataan perasaannya waktu itu atau hal lain? Memang sih dia jadi sulit untuk tidur semalaman, namun Jungkook sudah memantapkan hati untuk segala jawaban Taehyung kalau memang hal itu yang akan dia bahas.

“Anu...,” kata Taehyung menggantung.

Haruskah Taehyung mengatakan langsung pada intinya saja?

Jungkook lagi-lagi bereaksi seperti itu, tertawa kecil untuk setiap hal yang Taehyung lakukan. Menganggap hal apa pun yang ada pada diri Taehyung itu menggemaskan, bahkan di saat sekarang perasaan Taehyung kocar-acir tidak karuan.

Hari ini Taehyung akan menjawab pernyataan perasaan dari kedua kembar Jeon itu. Taehyung memberanikan diri untuk akhirnya bisa bersikap tegas. Karena menurut Taehyung percuma, percuma kalau dirinya mengulur waktu dan memberi harapan palsu.

“Kamu jangan ketawa. Pembahasan hari ini bakal serius banget, tahu!” kata Taehyung. Dia protes pada reaksi Jungkook yang malah menertawai rasa gugupnya itu.

“Yaudah, kamu mau ngomongin apa Tae? aku diam deh ini dengerin kamu ngomong.”

Taehyung menarik napasnya dalam-dalam, mencoba membuat dirinya lebih rileks. Sebelum akhirnya dia berkata, “Soal pernyataan perasaan kamu waktu itu....”

Kan, benar. Jungkook sudah menduga ke mana arah pembicaraan Taehyung hari ini.

“Ya?”

“Akuudahsiap.” jawab Taehyung, cepat sekali. Bahkan tidak sampai memakan waktu satu detik untuk Taehyung mengatakannya. Kepalanya dia tutup dengan kedua telapak tangannya, kemudian dia sembunyikan dan tempelkan ke atas meja.

Jungkook dapat mendengar perkataan Taehyung, meski anak itu sengaja mengatakannya dengan sangat cepat. Jungkook mendengarnya dengan jelas. Namun dia juga ingin mendengar Taehyung mengatakannya dengan pelan-pelan, kalau bisa sambil menatap matanya juga.

Kamu ingin membuat Taehyung terkena serangan jantung kah Jeon Jungkook?

“Taehyung, aku engga bisa denger dengan jelas. Coba ulangin, tadi kamu ngomong apa?” Jungkook berbohong.

Satu tangannya menepuk-nepuk lengan Taehyung. Meminta anak itu untuk keluar dari persembunyiannya—wajahnya yang disembunyikan. Dilihatnya kini kedua telinga Taehyung memerah. Beberapa detik kemudian akhirnya Taehyung berani untuk menegakkan tubuhnya kembali, dia melepaskan telapak tangan yang menghalangi wajah lucunya itu.

“Coba ngomongnya pelan-pelan, biar aku percaya dan denger dengan jelas.” kata Jungkook.

Taehyung perlahan memberanikan diri untuk menatap mata Jungkook. Tatapan mata Jungkook begitu tenang dan senyuman kecilnya itu terasa teduh. Taehyung merasakan sebuah kenyamanan dan ketenangan seakan-akan menular pada dirinya. Rasa gugup yang sedari tadi menggentayangi Taehyung perlahan menghilang.

“Kamu bilang aku bisa jawab pernyataan kamu waktu itu saat aku udah siap, kan? sekarang aku udah siap buat jawab,” kata Taehyung.

Belum ada kata tidak ataupun iya yang Taehyung lontarkan. Tapi Jungkook tetap memberikan senyuman teduh itu. Membuat desiran pada dada Taehyung terasa begitu kuat, rasanya menyiksa namun juga nyaman. Aneh sekali.

“Aku juga suka sama kamu. Aku nyaman setiap kali ngabisin waktu bareng sama kamu. Jadi, ya...,”

“Ya, apa?” tanya Jungkook lembut.

“Ya udah, gitu! Ih, Kookie masa harus aku perjelaaas?” amuk Taehyung. Tangan Jungkook yang terbebas di dekat tangannya dia pukul dengan pelan.

“Hahaha. Jadi kamu sekarang pacarku, hum?”

Sialan. Jungkook ini kok malah senang sekali meledek Taehyung yang sedang malu-malu?

“I-ih! Kalau kamu ngeledek terus nanti aku tarik lagi aja deh jawabannya, ya?”

Dengan itu tawa Jungkook pecah. Dia tarik salah satu tangan Taehyung yang terbebas di atas meja, kemudian dia genggam. Ibu jarinya mengelus punggung tangan Taehyung dengan lembut. “Hallo, Kim Taehyung pacarnya Jeon Jungkook?”

Taehyung tidak lagi pura-pura merajuk. Dia membiarkan Jungkook menggenggam dan mengelus tangannya dan mengatakan kalimat mengandung keju seperti barusan. Pipinya yang terasa panas sudah tidak bisa lagi menyembunyikan jejak rona merah pada pipinya.

“Hih, kamu keju banget! Aku malu tahuuu.”

Namun hati Taehyung belum bisa tenang, karena setelah ini dia masih harus bertemu dengan Jeon Jeongguk. Setelah ini akan terasa jauh lebih sulit dari pada memberikan jawaban dari pernyataan cinta Jungkook. Menolak perasaan saudara kembar pacarnya itu akan terasa jauh lebih sulit.

Namun Taehyung harus tetap melakukannya. . . .


. . . Setelah melalui pergulatan batin selama beberapa saat, Taehyung akhirnya berani mengatakan pada Jungkook tentang pertemuannya bersama Jeongguk setelah ini. Dia tidak mengatakan secara rinci, namun Jungkook terlihat paham tentang apa yang ingin Taehyung katakan.

Pacarnya itu berkata, “Engga apa-apa kok. Jeongguk berhak dikasih kepastian kan? Nanti aku parkir mobil agak jauh, supaya ga mengganggu privasi kalian.”

Jungkook memberikan mereka ruang untuk menyelesaikan segalanya dengan tenang sampai tuntas. Tidak ada rasa cemburu ataupun pikiran buruk akan kedua orang itu. Karena Jungkook percaya pada kakak kembarnya, juga pada Taehyung yang kini sudah resmi menyandang status sebagai pacarnya itu.

Lima belas menit sebelum Jeongguk sampai, Jungkook meninggalkan kafe. Membiarkan Taehyung duduk menunggu kehadiran Jeongguk sendirian. Mobilnya dia parkir selang beberapa gedung dari bangunan bernama Ver’s House itu, agar kakak kembarnya tidak mengetahui eksistensi Jungkook di sana.

Telapak tangan Taehyung basah, keringatnya tidak berhenti menetes sejak lima menit lalu. Jantungnya berdebar, namun debarannya berbeda dengan yang terjadi saat dirinya bertemu Jungkook tadi. Ada banyak pertanyaan yang sedang memenuhi kepala Taehyung sekarang, begitu banyak sampai rasanya Taehyung mual.

Lebih baik aku kasih tahu soal Jungkook dan aku juga engga, ya?

Kalau Jeongguk masih kukuh minta kesempatan gimana?

Kalau nanti dia dan aku jadi awkward gimana?

Mereka bakal baik-baik aja kan? Jungkook dan Jeongguk bakal baik-baik aja kan?

Bukan maksudnya Taehyung untuk besar hati atau terlalu percaya diri, tapi memang begitulah yang terjadi. Kedua pria kembar itu menjatuhkan hatinya pada orang yang sama, pada pria manis, tampan, lucu dan indah bernama Kim Taehyung. Tentu saja tidak ada yang bisa disalahkan kalau sudah yang nama urusan hati dan perasaan.

Taehyung termenung, larut dalam bisikan-bisikan pertanyaan dalam kepalanya yang begitu mengambil alih pikirannya. Hingga dirinya tidak menyadari kehadiran pria berambut pirang yang sudah duduk di kursi seberang Taehyung. Kedua tangannya menangkup rahangnya, lalu berpura-pura menatap Taehyung dengan datar. Aslinya dia menanti Taehyung untuk segera sadar, kembali dari lamunannya yang sepertinya begitu jauh itu.

Dia ketuk meja di hadapannya dengan jari telunjuk beberapa kali. Membuat Taehyung akhirnya kembali ke permukaan bumi, setelah beberapa saat berkelana ke luar angkasa dan mengelilingi matahari bersama enam planet lainnya. Bercanda, teman-teman!

Taehyung nyaris terlonjak ketika menyadari kehadiran Jeongguk di depannya. “Loh, kamu udah sampai?”

Jeongguk hanya menggeleng keheranan. Ternyata Taehyung sungguh-sungguh melamun dari tadi. Apa yang mengganggu pikiran pria manis itu? dalam hati Jeongguk bertanya begitu.

Andai saja dia tahu apa yang akan Taehyung katakan padanya dalam beberapa waktu ke depan.

“Mikirin apaan, sih? Sampai ngelamun begitu?” tanya Jeongguk. Tangannya menarik gelas minuman Taheyung yang kini tinggal tersisa setengah saja. Lalu menyesapnya tanpa izin terlebih dahulu.

Taehyung ingin protes, namun tidak jadi. Sepertinya kini bukan saatnya untuk bertengkar dan beradu argumen dengan Jeongguk.

“Engga mikirin apa-apa, kok. Kamu mau pesen minuman?” tanya Taehyung.

Jeongguk menggeleng. Perutnya sudah kembung karena diajak pergi ke kafe satu dan lainnya seharian ini, sepertinya dia sudah tidak dapat menampung minuman manis apa pun lagi.

“Lo kenapa tiba-tiba ngajak gua ketemuan begini? Mau ngomong serius soal apa?”

Taehyung diam sebentar. Dia menggerematkan buku-buku jarinya hingga berbunyi, sepertinya sulit sekali menyembunyikan rasa gugupnya.

“Aku mau ngomongin soal omongan kamu..., soal perasaan kamu dan kesempatan yang kamu minta waktu itu.”

deg. Jeongguk belum siap untuk ini, meski hatinya udah mempersiapkan jawaban terburuk dari Taehyung. Tapi apakah harus secepat ini?

“Bentar, gua belum siap banget ini. Gua tarik napas dalem-dalem dulu ya, Kim?”

Jeongguk sungguhan menarik napasnya dalam sekali, matanya dia pejamkan sebentar sebelum akhirnya dia menghembuskan napas perlahan. Taehyung jadi semakin tidak enak hati untuk segera mengatakannya.

Dibukalah itu kedua mata Jeongguk. Kemudian bola mata cokelatnya menatap Taehyung, mengunci tatapannya. Dia biarkan mereka beradu pandang selama beberapa saat, hingga akhirnya tatapan Taehyung berubah menyendu. Jeongguk langsung tahu apa yang akan Taehyung katakan padanya.

“Engga apa-apa, omongin aja apa yang mau lo omongin ke gua. Engga perlu ga enak segala.” kata Jeongguk. Pria itu tersenyum kecil, meski dalam hati rasanya begitu sakit. Nyeri, dadanya terasa begitu nyeri.

“Jeongguk, maaf....”

Dirinya sudah benar-benar kalah kali ini. Jeongguk benar-benar sudah kalah.

“Secepat ini, ya? Gua kira masih ada sedikit waktu lagi buat gua. Haha.”

“Maaf, aku engga bisa Jeongguk.”

Jeongguk pikir kalau mencintai Taehyung dalam diam itu adalah sebuah keputusan yang tepat. Jeongguk pikir kalau cinta itu membutuhkan banyak waktu, namun Jeongguk salah untuk berpikir begitu selama bertahun-tahun. Dia membuang banyak waktunya untuk hal yang sia-sia.

Cinta bukan hanya butuh waktu, namun harus ada juga sebuah keberanian. Kalau dia berpikir waktu akan menuntunnya bersatu dengan Taehyung tanpa adanya sebuah tindakan, Jeongguk pasti adalah orang terbodoh sedunia.

Lihatlah apa yang dia dapatkan dari pemikiran bodohnya itu? Jeongguk kehilangan orang yang begitu dia sayangi dan kagumi selama lebih dari tiga tahun.

Yang Jeongguk lakukan hanyalah menanam, memupuk perasaannya untuk Taehyung seorang diri. Dia membiarkan perasaannya tumbuh tanpa berusaha agar Taehyung mengetahui semua itu lebih awal. Kini menyesal pun sudah tidak ada guna, karena tidak akan ada yang berubah.

Taehyung berkata kalau dia tidak bisa. Taehyung tidak bisa menerima perasaan tulus Jeongguk, mau seberapa lama waktu yang Jeongguk habiskan untuk mengagumi pria itu sendirian. Karena hati Taehyung sudah terisi oleh orang lain, orang itu bukanlah Jeongguk.

Jungkook melihat Taehyung memalingkan wajahnya, menatap keluar jendela yang kini sudah dihiasi oleh langit gelap. Tidak ada bintang yang terlihat karena langit agak mendung, seakan-akan mendukung suasana hati Jeonguk yang sedang diselimuti rasa sedih itu. Jeongguk hanya dapat melihat wajah Taehyung dari samping, namun dia tahu kalau ada ekspresi sedih dan tidak enak di sana.

Ini bukan salah Taehyung, mungkin ada sedikit kesalahan yang dilakukan oleh Jeongguk. Tapi waktulah yang memang tidak berpihak pada mereka berdua. Mungkin juga Taehyung memang bukanlah takdir indah yang harus Jeongguk jalani, melainkan sebuah pelajaran hidup untuk dirinya.

“Ya mau gimana lagi, Kim Tae. Itu perasaan lo, gua engga bisa maksa apa pun dan lo juga engga bisa maksa perasaan lo sendiri.”

Taehyung bingung, kepalanya pusing sekali. Kenapa rasanya kali ini menolak perasaan seseorang terasa seberat ini?

Sejujurnya, Taehyung tidak tahu harus bersikap bagaimana lagi setelah ini. Suasana di ruangan seketika dingin dan penuh kecanggungan. Tidak ada hal yang bisa dia katakan lagi pada Jeongguk, kepalanya tiba-tiba saja kosong. Hanya ada rentetan permintaan maaf yang sebenarnya juga tidak begitu berguna.

Canggung. Jeongguk tidak begitu menyukai suasana yang sedang menyelimuti dirinya dan Taehyung saat ini. Mau berusaha tertawa lagi pun rasanya Jeongguk sudah nampak seperti orang gila yang habis ditolak cintanya.

“Kok jadi canggung, sih? Lo nolak perasaan gua bukan berarti dunia ini kiamat kan, Kim? udah, santai ajalah.”

Gimana caranya bisa santai? Taehyung ingin menepak kepala Jeongguk yang masih saja keras kepala seperti itu.

“Kamu habis ini langsung balik? Aku kayaknya udah harus balik ke asrama deh. Yeon—” perkataan Taehyung keburu dipotong oleh Jeongguk. “—Gua juga mau balik sih, tadi janjian sama anak-anak buat ngumpul di rumah Mingyu. Lo mau gua anter ke asrama?” tanya Jeongguk

Taehyung menggeleng. Bagaimana bisa dirinya menerima tawaran Jeongguk setelah menolak perasaan pria itu?

“Aku balik sendiri aja, hehe.”

Jeongguk hanya mengangguk mengerti. Dirinya tidak lagi keras kepala seperti biasanya.

“Engga apa-apa kalau lo balik sendiri, nih?” tanya Jeongguk sekali lagi.

“Iya, engga a-apa. Kamu mau langsung ke Mingyu?”

“Iya.”

“Oh, okay....”

Taehyung terlihat membereskan beberapa barangnya yang berada di atas meja. Sedangkan Jeongguk diam, memperhatikan tanpa mengeluarkan suaranya lagi.

“Aku kayaknya harus balik sekarang, gimana ya?”

“Ya udah, balik aja Kim. Hati-hati ya? perlu gua anter ke depan?”

Taehyung menggeleng kecil dan tersenyum canggung. “Aku sendiri aja. Sampai nanti?”

Pria manis itu berdiri dari kursinya, berpamitan pada Jeongguk sekali lagi sampai akhirnya dia melangkah pergi dari tempat itu. Meninggalkan Jeongguk yang mematung di tempatnya. Membiarkan Jeongguk merasakan nyeri pada dadanya seorang diri.

Entah kapan terakhir kali Jeongguk merasakan dadanya begitu sesak seperti sekarang. Dia pun juga tidak ingat. Bahkan dirinya tidak pernah merasa sesakit ini ketika putus dengan mantan-mantan pacarnya dulu. Namun kenapa mendapatkan penolakan dari Taehyung bisa meninggalkan efek yang begitu besar?

Dia susul langkah kaki Taehyung. Ingin sekali mengatakan kalau dirinya ternyata bukan sekadar menyukai pria manis itu. Sepertinya Jeongguk tidak sadar kalau perasaan kagum dan sukanya itu sudah tumbuh menjadi rasa sayang yang hanya bisa dia pendam sendirian.

Jeongguk ingin sekali saja bisa mengatakan apa yang dia rasakan itu dengan layak.

Kim Taehyung, maaf kalau ternyata gua sayang sama lo. Maaf kalau misalnya pernyataan ini buat lo bingung. Gua cuma engga mau nyesel dua kali. Gua cuma mau jujur aja, tanpa minta balasan apa pun dari lo.

Ingin sekali, Jeongguk ingin sekali mengatakan itu.

Namun langkah kakinya berhenti. Dirinya tidak jadi memanggil Taehyung yang sedang menyeberangi jalan. Dia diam, berdiri, mematung di sudut yang mungkin tidak bisa Taehyung lihat. Dia pandangi ke mana kaki Taehyung melangkah, hingga akhirnya dia berhenti di depan mobil sedan yang sangat dia kenali.

Kim Taehyung memasuki mobil adiknya dengan wajah lesu. Jeongguk tidak dapat menangkap siluet tubuh keduanya lebih jelas, namun dia bisa memastikan kalau tangan adiknya sedang mengelus kepala pria manis itu dengan pelan. Hingga akhirnya tubuh Taehyung masuk ke dalam pelukan Jungkook.

Tuhan, rasanya sakit sekali. Sesak sekali.

Jeongguk mengangkat tangan kanannya, kemudian dia tempelkan telapak tangannya pada dadanya. Dipikir kalau dia melakukan itu rasa sakit di dadanya akan berkurang. Nyatanya tidak ada efek apa pun yang ditimbulkan dari sentuhan telapak tangannya itu.

Kini yang terasa hanya perih dan panas di bagian dada dan matanya.

. . .


. . . Author's note:

HALLOOOO, maafin dua hari ini aku ada bukber di rumah dan baru kelar malem banget. Huhuhu, jadi agak sulit buat nyuri-nyuri waktu ngetiknya.

Chapter kali ini 3k words HAHAHA, wow. Gimana nih tim Jeongguk? si kakak ganteng udah resmi menyandang gelar sadboi of the year. Maafkan akuuu. Salah sendiri si Gguk menyia-nyiakan waktunya bertahun-tahun buat jadi pengagum rahasia! :(

Kooktae berlayar, yeay. Aku akan menampung si gguk supaya ga jadi sadboi lagi, nanti doi ku tawarin pundak untuk bersandar dengan nyaman~

Yuk guys pindah kapal yuk supaya ga sakit hatinya, karena si kooktae bakalan manis-manisan setelah ini :(. Udah ya, maafin aku banyak bacotie. Sampai jumpa di narasi berikutnya, xixixi.

All the Love, Bae

Identical Twins — 130.

Your heart knows the way. Run in that direction.

– RUMI -


Beberapa ranting yang sempat menggundul di depan asrama Taehyung kini sudah mulai ditumbuhi oleh kuncup dedaunan. Mungkin dalam beberapa hari lagi mereka akan segera mekar. Meski udara tetap terasa dingin, setidaknya tidak akan turun salju. Udara tidak lagi membuat hidungnya terasa membeku. Artinya..., musim semi benar-benar datang, mari kita ucapkan selamat tinggal pada musim dingin. Taehyung tidak perlu kerepotan lagi dengan kacamata berembun atau kontak lensa yang gampang kering di udara dingin.

Para mahasiswa sudah kembali ke asrama, karena semester baru sudah dimulai. Kini gedung asrama Taehyung tidak lagi seperti bangunan tanpa penghuni. Beberapa adik tingkatnya yang sempat absen menyapa Taehyung saat liburan musim dingin sudah kembali lagi. Membungkuk hormat dan tersenyum ramah pada Taehyung yang berdiri di depan gedung asramanya seorang diri.

Kakinya kanannya dia main-mainkan dengan lantai keramik di bawah sana, senyuman di wajahnya merekah. Suara dentuman lantai yang dengan sengaja bertabrakan dengan sol sepatunya menemani Taehyung selama beberapa saat. Hati Taehyung gembira menanti-nanti sosok yang sebentar lagi akan tiba di depan gedung asrama.

Taehyung tidak bisa tidur sampai pukul dua belas malam, hanya karena sibuk memilih baju apa yang akan dia pakai hari ini. Hari ini adalah kencan keduanya bersama dengan Jungkook. Art Museum dan Jeon Jungkook merupakan sebuah perpaduan kencan yang sempurna. Baik Jungkook ataupun museum seni, keduanya adalah kombinasi yang dapat menyenangkan hati dan mata Taehyung. Membuat anak itu sulit untuk memalingkan pandangannya barang sebentar, berani jamin kalau hal ini bisa dipastikan validitasnya.

Selang beberapa menit mobil sedan Jungkook berhenti tepat di depan asrama Taehyung. Kegiatan memainkan kaki pada lantai seketika terhenti. Anak itu memekik girang, membuat Jungkook yang baru saja menurunkan kaca jendelanya tertawa akan aksi lucu Taehyung.

“Kookie, engga perlu turun! Aku langsung naik mobil, ya?”

Wah, coba lihat siapa yang semangat sekali dan tidak sabar memulai kencan hari ini? Tentu keduanya, dong!

Taehyung langsung mengambil langkah besar, berjalan menuju ke arah pintu penumpang depan mobil Jungkook. Pipinya yang sedikit gembil itu memerah ketika bersentuhan langsung dengan udara dingin. Menimbulkan efek merah muda alami pada wajahnya, semakin menambah keindahan di wajahnya. Entah itu efek dari udara dingin atau mungkin juga karena dirinya telah banyak tersenyum, bahkan jauh sebelum Jungkook sampai untuk menjemputnya.

Jungkook terkesiap selama beberapa detik ketika Taehyung sudah duduk dengan manis di kursi sebelahnya. Pria manis itu sibuk memasangkan sabuk pengaman miliknya, menunduk dengan lucu dan serius sekali. Hari ini keningnya dia biarkan terekspos karena baret berwarna hitam yang dia gunakan. Wajah indahnya dibiarkan terbingkai oleh kacamata, alih-alih menggunakan kontak lensa.

Jungkook tersenyum kecil. Menikmati pemandangan indah yang dia dapatkan di hadapannya. Perpaduan kening Taehyung yang dibiarkan terekspos, kacamata lucu dan sentuhan warna merah muda pada pipinya membuat Taehyung yang sempurna menjadi dobel sempurna. Mata Jungkook bahkan tidak bisa beralih untuk menatap ke arah lain, karena keindahan Taehyung sudah mengunci pandangannya. Hingga akhirnya Taehyung menoleh ke arah Jungkook, membuat jantungnya berdebar tidak karuan saat mata mereka berdua bertemu tanpa sengaja. Mata besar Taehyung yang menatap polos tepat ke arah bola mata Jungkook.

“Kamu udah siap buat kencan hari ini?”

Sebentar, Taehyung sudah tahu kalau hari ini adalah hari 'kencan' mereka berdua. Namun entah mengapa rasanya masih mendebarkan saja ketika mendengar kata-kata itu langsung dari bibir Jungkook. Rasanya jantung Taehyung dibuat salto berkali-kali karenanya. Hanya karena perkataan ataupun tindakan sederhana seorang Jeon Jungkook. . . .


. . . Kumho Museum of Art. Sebuah gedung berwarna krem keabu-abuan yang terletak di seberang komplek Gyeongbokgung palace. Sekadar informasi saja, Gyeongbokgung palace sendiri merupakan istana terbesar dinasti Joseon yang terletak di sebelah utara kota Seoul, makanya istana ini sering disebut sebagai The Northern Palace.

Rencananya, hari ini Jungkook akan mengajak Taehyung mengunjungi Kumho Museum of Art. Kemudian berjalan-jalan di sekitar Gyeongbok palace, menyusuri jalan setapak di Jongno-gu. Membiarkan mobil Jungkook terparkir rapih dan aman di dekat museum untuk berjalan kaki bersama mencari kafe terdekat. Jungkook dan Taehyung mungkin akan menikmati hari di awal musim semi terindah untuk mereka berdua.

Taehyung berhenti melangkah ketika gedung berwarna krem keabuan itu sudah berada beberapa langkah di hadapannya. Gedung Kumho Museum of Art berbentuk persegi dengan sebagian besar dinding yang sengaja didesain model kamprot, kemudian membentuk persegi panjang kecil—menyerupai batu bata putih. Tidak ada banyak kaca yang menghiasi gedung itu, kecuali di bagian paling atas dan di pintu masuk museum. Sisanya, desain gedung didominasi oleh dinding kamprot saja—yang memberi kesan minimalis.

Entah kenapa Jungkook lebih memilih museum ini jika dibandingkan dengan museum lainnya, mungkin karena tidak begitu ramai pengunjung di akhir pekan? entahlah.

Taehyung melompat-lompat kecil, kegirangan dan sungguh tidak sabar untuk segera masuk menerobos pintu kaca di hadapannya. Tangannya diayunkan, meminta Jungkook untuk segera menyusul langkahnya dan mereka bisa masuk bersama.

“Kookie, ayoooo.” teriak Taehyung yang tidak sabaran.

Jungkook tertawa kecil, namun tetap buru-buru melangkah mendekat ke arah Taehyung.

“Lihat coba siapa yang dari tadi engga bisa nahan sabar, haha.”

Pipi Taehyung menggembung, pura-pura sebal karena ledekan dari Jungkook. Namun aksi pura-pura sebalnya tidak bertahan lama, karena Jungkook sudah keburu menarik tangannya dengan halus, menggenggam tangan Taehyung dan menuntun anak itu masuk ke dalam gedung Kumho Museum of Art. Jungkook membiarkan tangan keduanya tertaut, tanpa memikirkan kondisi jantung Taehyung yang kini serasa habis keliling lima puluh putaran lapangan bola.

Entah sudah berapa kali jantungnya dibuat bekerja berlebihan, padahal ini belum ada satu jam dari saat mereka bertemu di depan asrama Taehyung. Efek jantungnya yang berdebar berlebihan itu juga berpengaruh pada tangannya yang kini basah. Telapak tangan Taehyung mengeluarkan sedikit keringat dan sensasi dingin. Malu sekali kalau Jungkook sampai sadar efek yang ditimbulkan ketika tangan mereka bertautan seperti sekarang.

Namun Jungkook tidak melepaskan tautan pada tangan mereka. Tidak peduli sebasah dan sedingin apa rasanya telapak tangan Taehyung yang digenggam. Karena tangannya sudah begitu nyaman menyatu dengan milik Taehyung.

Jungkook menghentikan langkahnya di depan karya dari Lee Joohwa. Dua lukisan yang tergantung pada salah satu sisi dinding di dalam sana. Kedua lukisan itu berdampingan dengan cantik, mampu membuat kedua pria dengan tangan bertautan itu berhenti sejenak. Mulut Taehyung terbuka, kemudian kepala anak itu mengangguk-angguk. Kagum dengan lukisan langit dan pantai yang begitu indah.

Jungkook selalu memiliki bayang-bayang ini dalam benaknya ketika dia memiliki kekasih; kencan di pinggir pantai, menikmati matahari terbenam sembari berjalan menyusuri bibir pantai yang dibasahi oleh ombak-ombak kecil.

Melihat lukisan itu dalam kondisi Taehyung di sebelahnya dan tangan mereka yang saling menggenggam, membuat Jungkook menggali lagi ingatannya tentang keinginan kencan itu. Jungkook membayangkan mereka berdua menyusuri bibir pantai dengan kaki telanjang, meninggalkan jejak kaki mereka sebelum ombak kembali menyapu bersih pasir yang basah. Bercerita tentang hari mereka yang indah, kemudian Taehyung akan memekik girang saat matahari mulai terbenam di ufuk barat Korea Selatan.

“Indah, ya? Padahal gambarnya sederhana.” kata Taehyung, memecah keheningan yang terjadi sejak mereka memasuki gedung. Menyadarkan Jungkook juga dari fantasinya yang begitu jauh tadi.

Kepala Jungkook menoleh ke arah Taehyung yang masih menatap lurus lukisan di hadapannya. Anak itu masih terkagum-kagum dengan indahnya gradasi warna biru langit dan lautan pada lukisan itu. Sedangkan Jungkook tersenyum, terpana dengan keindahan wajah Taehyung dari samping. Kemudian Jungkook menjawab, “Iya, memang indah.”

Taehyung memang indah. Dalam keadaan apa pun dan di mana pun. Taehyung terlihat indah, meski keningnya bercucuran keringat setiap kali dia berlari menuju gedung fakultasnya. Taehyung terlihat indah, meski matanya terpejam dan bibirnya sedikit terbuka saat dia ketiduran di perpustakaan. Taehyung terlihat indah saat pipinya dihiasi oleh semburat kemerahan setiap kali pria itu malu. Taehyung terlihat indah dengan atau tanpa adanya kacamata yang menghiasi wajahnya. Jungkook akan selalu berkata kalau Taehyung itu indah dalam keadaan apa pun.

Duh. Kalau belum ada status resmi saja sudah membuat Jungkook mabuk akan Kim Taehyung, bagaimana nanti saat Taehyung resmi menjadi kekasihnya?

Setelah berkutat dengan kegiatannya—mari menikmati keindahan Taehyung—selama beberapa saat, akhirnya mereka melanjutkan langkah menuju sisi lain gedung. Kemudian langkah mereka akan berhenti pada karya-karya lainnya. Ada sedikit diskusi kecil di antara mereka berdua, namun bukan hal yang serius. Tangan keduanya masih nyaman menggenggam satu sama lain, melupakan getaran hebat dalam dadanya yang sempat membuat keringat dingin tadi.

Jungkook sesekali akan melepaskan genggaman tangannya pada tangan Taehyung. Namun hal itu terjadi hanya karena dirinya ingin mengabadikan keindahan Taehyung yang mampu disandingkan dengan seluruh karya di museum itu. Saat dirinya sudah selesai mengambil beberapa gambar Taehyung dalam ponselnya, tangannya akan kembali menarik tangan Taehyung. Menggenggam tangan itu dengan lembut, tanpa ada paksaan karena Taehyung membiarkannya—juga menikmatinya.

Mereka menghabiskan waktu cukup lama. Sampai akhirnya jam menunjukkan pukul 04:51, saat mereka berjalan keluar dari gedung Kumho Museum of Art. Jalanan sudah mulai ramai, banyak kendaraan dan pejalan kaki yang berlalu lalang. Jalanan di depan yang membelah antara museum dan komplek Gyeongbok palace bukanlah jalan raya besar, tapi tetap terlihat cukup ramai. Mungkin karena hari ini adalah akhir pekan?

Jungkook dan Taehyung berjalan, meninggalkan gedung museum Kumho yang sudah berada beberapa meter di belakang sana. Melewati mobil Jungkook yang terparkir di sebelah museum dan lebih memilih untuk berjalan kaki tanpa arah. Semilir angin di sore awal musim semi menyapa keduanya, menemani langkah mereka menyusuri Jongno-gu berdampingan.

Sesekali tangan keduanya yang terbebas—tanpa saling menggenggam—akan bertabrakan. Mengalirkan sengatan aneh dan membuat Taehyung kaget setiap kali mereka bersentuhan. Bukankah lebih baik kalau kedua tangan itu saling menggenggam lagi? supaya Taehyung tidak perlu kaget dan tangan mereka tidak akan bersenggolan tanpa sengaja lagi.

Ya, tentu saja harus begitu.

Jungkook juga sudah pasti memiliki inisiatif yang begitu tinggi. Dia genggam tangan Taehyung begitu saja, tanpa permisi ataupun aba-aba agar Taehyung bisa menyiapkan hati dan jantungnya. Jungkook melakukan itu dengan halus, meski tanpa bicara. Membuat Taehyung harus memalingkan wajahnya ke arah lain, karena malu dan kini pipinya terasa memanas.

Kedua pasang kaki itu berjalan beriringan. Melewati gedung-gedung di sekeliling mereka, melewati beberapa kendaraan yang berjalan di jalan raya. Gwanghwamun gate berada di sisi kanan Jungkook dan Taehyung, namun keduanya tetap berjalan melewati gerbang itu. Mungkin hari ini tujuan mereka bukan berkencan di dalam istana peninggalan Joseon itu. Bukan juga national palace meseum of Korea yang berada tepat di belakang mereka saat ini. Keduanya berhenti, menunggu lampu merah pejalan kaki berganti warna menjadi hijau untuk kemudian menyeberang.

Jungkook sedikit menyesali keputusannya meninggalkan mobil di tempat tadi. Karena ternyata tempat tujuannya dengan Taehyung berada cukup jauh—lebih jauh—dari yang mereka duga. Dipikir, mereka hanya perlu menyeberang dari komplek istana Gyeongbok. Namun nyatanya mereka masih perlu berjalan beberapa ratus meter lagi, memasuki gang-gang menuju pemukiman warga hingga akhirnya plang bertuliskan tempat tujuan mereka terlihat.

PreSeason, kafe yang membuat Jungkook dan Taehyung cukup berjalan jauh sore itu. Bangunan berwarna krem dengan sebuah kanopi berwarna putih yang melindungi bagian teras lantai satu kafe, menambah kesan unik dari bangunan yang tidak begitu besar itu. Meski sempat menyesal tidak membawa mobilnya, Jungkook juga bersyukur. Karena keputusan bodohnya itu membuat mereka memiliki waktu yang cukup panjang untuk berjalan, mengobrol sembari bergandengan tangan. Sudah dibilang kalau hari ini mungkin akan menjadi hari terindah di awal musim semi untuk kedua anak itu, kan?

Taehyung memesan minuman soda dengan campuran buah stoberi, sedangkan Jungkook memesan iced americano. Hari ini Taehyung ingin sedikit nakal dengan memesan minuman bersoda. Tidak ada salahnya bukan asal tidak diminum berlebihan? ya, tentu saja.

Jungkook sudah memperingatkan anak itu, ngeri kalau nanti perut anak itu akan melilit karena bandel dan nekat meminum minuman besoda. Namun Taehyung menjawab, “Engga ih, aku baik-baik aja. Udah lama juga aku ga bandel minum soda, Kookie.”

Kalau sudah begitu Jungkook bisa berbuat apa selain mengiyakan keinginan Taehyung?

Mereka menghabiskan sisa hari mereka di PreSeason. Mengambil tempat duduk bagian sofa dekat dengan jendela. Mengobrol, menikmati pemandangan matahari terbenam—menyelip dari balik-balik bangunan di sekeliling kafe itu. Hingga akhirnya langit menggelap. . . .


. . . Kalau kegiatan menunggu mendapat bayaran atau gaji, mungkin Jeongguk sudah menjadi orang terkaya sedunia. Karena masa mudanya banyak dihabiskan dengan kegiatan menunggu itu.

Jeongguk yang selama bertahun-tahun menunggu dan menyukai Taehyung dalam diam. Jeongguk yang dibuat menunggu Taehyung di depan pintu gerbang rumahnya. Kemudian beberapa kali dibuat Taehyung menunggu di depan pintu lobi asramanya. Kini Jeongguk kembali dibuat menunggu. Menunggu Taehyung yang entah pukul berapa akan pulang dari kencannya bersama dengan adik kembar Jeongguk.

Tidak ada jawaban dari Taehyung sedari sore. Membuat Jeongguk memantapkan hati untuk mengambil langkah nekat, menunggu Taehyung di depan asramanya. Tidak peduli dengan udara dingin yang masih menyelimuti malam di awal musim semi ini. Sesekali Jeongguk menyalakan penghangat di dalam mobilnya, kemudian dia akan berjalan-jalan sedikit di halaman asrama Taehyung.

Berkali-kali matanya memeriksa notifikasi di ponselnya. Namun masih belum ada jawaban dari Taehyung. Entah anak itu terlalu menikmati waktunya bersama dengan Jungkook atau memang sengaja tidak membalas pesan Jeongguk.

Namun kalau boleh, Jeongguk berharap ada kemungkinan lain di luar dari dua hal itu. Misalnya; notifikasi ponsel Taehyung rusak dan pesan Jeongguk tidak masuk. Atau, ponsel Taehyung kehabisan daya sehingga tidak bisa membalas pesannya.

Pukul 08:15 Jeongguk melihat mobil sedan adiknya memasuki parkiran asrama Taehyung. Mobil yang begitu familier itu berhenti tepat di depan lobi, disusul oleh kehadiran adiknya yang hendak membukakan pintu Taehyung. Seyuman Jungkook yang teduh, tatapan malu-malu Taehyung, entah mengapa membuat hatinya teriris. Sakit dan perih sekali, seperti seseorang sedang menggores benda tajam pada hatinya.

Jeongguk memberanikan diri untuk mengirim Taehyung pesan sekali lagi. Harap-harap cemas, bagaimana kalau pria manis itu mengabaikan pesannya lagi?

Taehyung merogoh saku coat-nya, kemudian menatap layar ponselnya beberapa detik. Jeongguk tidak bisa melihat ekspresi pria itu dengan jelas, karena kepalanya tertunduk dan sedikit terhalangi oleh punggung adiknya yang cukup lebar.

Namun tidak lama ada sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. . . from: Kim Tae

Kamu gila, ya? Kalau aku engga bales tuh jangan ditungguin, Jeongguk. Kamu di mana sekarang? . . Dilihat Kim Taehyung masih berdiri di teras depan pintu lobi asramanya. Tangannya melambai pada mobil Jungkook yang terlihat mulai meninggalkan komplek asrama Taehyung. Hingga akhirnya mata mereka bertemu.

Taehyung berjalan, menghampiri Jeongguk yang tadinya bersandar pada kap mesin mobilnya. Jeongguk kemudian ikut mengambil langkah, mendekat ke arah Taehyung. Hingga akhirnya mereka bertemu di tengah. Ada sedikit ekspresi kesal pada wajah Taehyung, Jeongguk bisa melihat itu dengan jelas.

“Kamu tuh ya. Aku ga sempat meriksa handphone sama sekali, kalau misalnya aku ga lihat chat kamu sampai besok pagi gimana?” Taehyung marah. Ada rasa tidak enak di sana, karena dirinya baru membaca pesan Jeongguk saat sampai di asrama.

“Kan ujungnya lo baca chat dari gua, Kim. Gimana kencannya sama Jungkook?” tanya Jeongguk, mencoba baik-baik saja. Seakan-akan sayatan di hatinya itu tidak akan terasa lagi jika dia berpura-pura okay, nyatanya tidak.

Taehyung menghela napasnya, kemudian menatap mata Jeongguk.

“Jeongguk, aku engga ngerti deh niat kamu begini karena apa. Tapi, please, jangan buat aku bingung.” Jeongguk sudah membuka mulutya, ingin bertanya lebih lanjut maksud dari perkataan Taehyung. Namun jari telunjuk Taehyung buru-buru ditempelkan oleh si pemilik pada bibir Jeongguk. Menyuruh pria itu diam dan mendengarkan perkataannya lebih dahulu.

“Sejujurnya, awalnya aku bingung banget. Ada satu cowok yang aku temuin di atap kampus waktu pesta tahun baru, dia nolongin aku nyari kacamata-ku di tengah-tengah gelapnya malam. Kamu tahu kan seberapa gelap atap kampus kita?”

Jeongguk tidak menjawab apa pun, membiarkan Taehyung untuk kembali melanjutkan kata-katanya.

“Mataku tuh burik, penglihatanku jelek banget tanpa bantuan kacamata dan contact lens. Ditambah pencahayaan yang minim di sana, aku jadi engga bisa lihat sama sekali muka cowok yang bantuin aku itu. Cuma satu yang ku denger waktu cowok itu pergi. Seseorang manggil namanya, singkat, entah itu Gguk atau Kook.”

Ah, Jeongguk mungkin bisa paham ke mana arah pembicaraan Taehyung saat ini.

“Beberapa hari kemudian takdir lucu banget nemuin aku sama Kookie. Akhirnya aku deket sama dia dalam waktu singkat, karena kami ternyata memang nyambung aja gitu ngobrolnya. Dalam hati aku berulang kali berharap, cowok itu Jungkook. Supaya aku engga pusing dengan perasaanku sendiri.”

Sakit, jangan dilanjutkan. Sampai sini saja rasanya sudah begitu sakit untuk Jeongguk.

“Tapi ternyata semesta engga membiarkan hidupku berjalan dengan mulus. Semua bukti-bukti dan kemungkinan mengarahnya bukan ke Jungkook, tapi malah ke kakak kembarnya Jeon Jeongguk. Aku pusing. Aku dibuat kepikiran lagi soal perasaanku ke cowok di atap itu. Aku sempat mikir kalau aku jatuh cinta sama suaranya, tapi engga bisa gitu. Aku..., aku egois banget kalau mikir kayak gitu dan buat kita bertiga kejebak di situasi aneh begini.” jeda sebentar, karena ternyata Taehyung sudah berbicara begitu panjang kali lebar. Membuat Jeongguk terbengong memikirkan ke arah mana pembicaraan ini selanjutnya. “Bentar, maksudnya gimana?” tanya Jeongguk bingung.

“Jeongguk, jangan buat aku bingung sama perasaanku sendiri. Please. Aku tahu kamu cowok di atap yang sempat bikin aku mikir jatuh cinta sama suara kamu, tapi aku lagi coba mantepin hatiku kalau aku cuma suka sama Jungkook aja.”

Aduh, sakiiit teman-teman. Sudah sakit, lalu dibuat bingung pula. Taehyung ini tidak kira-kira ya menyerang Jeongguk dengan dua hal itu. “Tapi, Kim Tae gua—” belum juga selesai itu perkataan Jeongguk, Taehyung keburu memotongnya. “—Aku engga mau dilema lagi. Aku pusing, Jeongguk.”

Masa bodoh dengan kalimat membingungkan Taehyung, karena hanya satu hal yang Jeongguk tangkap. “Kalau lo dilema berarti gua masih ada kesempatan, kan?” . . .


. . . Author's note:

Hallo! maafin akuuu, harusnya narasi ini dipost dua hari yang lalu. Tapi aku belum selesai ngetik dan malah ngerjain hal lain. Kemarin juga banyak bobo karena aku masih belum begitu sehat, huhuhu. Oh iya, narasi kali ini sedikiiiit lebih panjang dari biasanya. Sedikit doang siiih :p, xixixixi

Selamat membaca, manteman. Btw, semangat juga berpuasanya! tetap jaga kesehatan jangan lupa yaaaa~

All the Love, Bae

Identical Twins — 130.

We never realize how frozen we are, until someone starts to melt our ice.

– Bridgett Devoue -


Beberapa ranting yang sempat menggundul di depan asrama Taehyung kini sudah mulai ditumbuhi oleh tunas dedaunan. Artinya musim semi benar-benar datang, mari kita ucapkan selamat tinggal pada musim dingin. Taehyung tidak perlu kerepotan lagi dengan kacamata berembun atau kontak lensa yang gampang kering di udara dingin.

Identical Twins — 123.

Let's just sit quietly and listen to the secrets the rain wants to tell us.

– John Mark Green -


Taehyung mengintip ke luar jendela, wajahnya berubah murung ketika melihat kondisi langit di atas sana. Awan hitam dan gelap bergulung-gulung menghiasi langit kota Seoul sore itu, mengguyur seluruh kota dengan titik-titik air yang datang bergerombolan. Perkiraan cuaca mengatakan kalau akan turun hujan sore menjelang malam, Taehyung sudah memeriksanya. Namun Jeongguk tadi tiba-tiba saja berubah pikiran pada menit-menit terakhir. Kita ngerjain di kafe aja, yuk? Bosen di perpus mulu, katanya.

Taehyung menghela napasnya berat.

Jalanan kini dipenuhi oleh genangan air. Menyisahkan beberapa pejalan kaki yang nekat menerobos guyuran hujan lebat dengan payungnya.

“Kamu sih, aku udah bilang jangan pergi jauh-jauh. Hari ini bakal hujan dan aku engga bawa payung.” gerutu Taehyung. Matanya masih bolak-balik melihat ke arah luar jendela meski tahu kalau hujan tidak akan berhenti dalam waktu dekat.

“Ya udah, mau gimana lagi? kita tunggu aja sampai hujannya berhenti.” jawab Jeongguk santai.

Dalam hati Jeongguk bersorak-sorai kesenangan karena hari ini Tuhan luar biasa baik. Hujan turun tepat di saat Taehyung dan dirinya hendak pergi dari kafe tersebut. Berarti waktu yang dia habiskan dengan Taehyung kini menjadi lebih panjang dari yang seharusnya.

“Kalau sampai tengah malam engga berhenti juga gimana?” tanya Taehyung.

“Engga mungkin. Udah, mending lo pesen minuman hangat lagi gih.”

Taehyung menggeleng. Tangannya dilipat ke atas meja, kemudian dagunya bertumpu di atasnya. Taehyung tidak ingin minuman apa pun, dirinya hanya ingin kembali ke asrama dan bertemu dengan Yeontan. Kasihan sekali anak bulunya ditinggal sendirian di asrama.

“Aku cuma mau balik, kasian Tannie aku tinggal sendirian.” jawab Taehyung.

“Minta tolong temen lo yang di asrama dulu engga bisa? Nanti habis hujannya berhenti kita langsung balik. Beneran ini, janji.”

Awalnya Jeongguk senang bukan main. Semesta seakan-akan berpihak padanya untuk hari ini saja. Hari ini saja, biarkan Jeongguk menikmati waktunya bersama Kim Taehyung sedikit lebih lama. Tanpa ada pembicaraan seputar skripsi ataupun adik kembarnya.

Tapi hatinya jadi tidak tega ketika melihat wajah murung Taehyung yang menyebut nama anak bulunya, Yeontan.

“Coba aku hubungi Jimin dulu, deh.”

Jeongguk mengangguk, membiarkan Taehyung mencoba menghubungi Jimin melalui sambungan telepon.

Hujan di luar sana tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera berhenti. Gemuruh hujan dan kilatan petir masih betah menghiasi langit di luar sana. Mustahil bagi Jeongguk dan Taehyung untuk kembali saat ini juga karena hari ini Jeongguk mengendarai motornya. Bisa-bisa mereka berdua basah kuyup atau parahnya tersambar kilat ketika nekat membelah jalanan Seoul dengan motor.

Jeongguk berdiri, meninggalkan Taehyung yang sedang mengeluh akan hujan deras yang membuatnya terjebak di kafe. Pria itu mengadu kalau kemungkinan besar dia akan tertahan cukup lama di sini. Kemudian meminta tolong Jimin untuk menjaga anak bulunya sebentar, kebetulan sahabatnya itu mengetahui pin akses kamar Taehyung.

Jeongguk mengatakan sesuatu pada sang kasir, memesan dua jenis minuman hangat untuk dirinya dan Taehyung. Kemudian menoleh ke arah tempat duduk mereka. Taehyung masih berbicara melalui sambungan telepon itu dengan wajah cemberutnya.

“Ingin menambah menu pasangannya, kak?” tanya wanita muda dengan balutan seragam kafe di hadapan Jeongguk. Dia menunjuk sebuah cake stroberi berbentuk hati, katanya sih menu pasangan di kafe ini.

Jeongguk menimbang-nimbang sebentar. Kalau misalnya dia membeli menu ini, apa yang akan dia katakan ketika Taehyung bertanya nanti?

Jawab saja karena itu kue stroberi dan Taehyung sangat suka berbagai hal yang mengandung storberi~

“Boleh, menu pasangannya satu.”

Setelah selesai memesan dan membayar, Jeongguk kembali lagi ke tempat duduknya. Menunggu sebuah benda bulat berukuran kecil yang akan menyala ketika pesanannya sudah siap nanti. Dilihat kini Taehyung sudah tidak lagi berbicara dengan Park Jimin melalui telepon. Ponselnya dia tidurkan di atas meja dan matanya sibuk memandangi rintik hujan di luar sana.

Tidak ada yang berbeda. Jalanan masih dihiasi oleh rintik hujan yang kini malah turun kian lebat. Jalanan, gedung-gedung besar dan bukit di luar sana kini tertutup oleh derasnya air yang jatuh dari langit. Entah ini sebuah berkah di awal musim semi atau ini sebuah petaka untuk Taehyung.

“Gimana jadinya si Yeontan?” tanya Jeongguk.

“Jimin yang jagain sampai aku balik ke asrama nanti.” jawab Taehyung. Entah mengapa atau ini hanya perasaan Jeongguk saja, Kim Taehyung sepanjang hari ini terlihat begitu sering menghindari tatapan mata Jeongguk. Ketika Jeongguk bertanya, anak itu akan selalu memandang ke arah lain untuk menjawab.

“Kim Tae, lo marah sama gua?”

Akhirnya tatapan itu tidak memandang ke arah lain lagi. Mata besar itu menatap mata Jeongguk dengan penuh tanda tanya, beberapa detik kemudian ekspresinya berubah. Jeongguk tidak bisa membaca ekspresi apa yang Taehyung berikan. Membuat Jeongguk terdiam dan bertanya-tanya dalam hatinya.

Dirinya ingin sekali bertanya lebih lanjut. Mengulik dan mengorek apa yang ada di dalam pikiran Taehyung. Namun kesadaran diri menamparnya begitu keras, kalau dia tidak mungkin bisa melakukan itu. Ada hak apa Jeongguk begitu ingin tahu apa yang ada di dalam kepala dan hati Taehyung?

Situasi aneh di antara mereka kemudian terpotong, ketika alat berbentuk bundar yang diberi oleh sang kasir tadi berbunyi. Jeongguk berdiri tanpa mengatakan sepatah kata pun, berjalan menuju meja di sebelah kasir yang sudah menyediakan pesanannya tadi. Dia ambil nampan berisikan dua minuman hangat dan satu piring kue berbentuk hati. Seketika hatinya begitu miris melihat pesanannya sendiri, Jeongguk jadi agak menyesal.

Dia meletakkan nampan ke atas meja yang ada di hadapannya juga Taehyung. Menyodorkan segelas cokelat hangat dan menaruh sepiring kue berbentuk hati itu di sebelah gelas Taehyung. Tidak sadar Jeongguk kalau kini pria manis itu sedang menatapnya lagi, kembali dengan ekspresi yang tidak bisa Jeongguk pahami itu.

Kemudian Taehyung berkata, “Ini kue buat aku atau aku harus makan berdua sama kamu?”

Tersedaklah itu Jeongguk dibuat oleh Taehyung. Kepala Jeongguk menggeleng tidak santai, seakan-akan perkataan Taehyung itu merupakan sebuah gagasan terkonyol yang pernah dia dengar.

“Enggalah, gua ga terlalu suka makanan manis. Itu buat lo aja sendiri.”

Kepala Taehyung mengangguk ringan, menyetujui untuk memakai kue itu seorang diri. Dia sendok pinggiran kue berbentuk hati itu, seakan-akan tidak mau merusak nilai estetisnya. Kemudian dia suapkan ke dalam mulutnya dan menggumam riang sambil mengangguk-angguk lagi. “Mmm.”

“Enak?” tanya Jeongguk.

“Enak kok. Kamu mau nyobain?” tanya Taehyung.

Jangan seperti ini Kim Taehyung. Jangan bersikap manis kalau pada akhirnya kamu akan menghancurkan hati pria itu. Jangan bersikap manis dan memberi harapan terus menerus, kalau nyatanya hatimu sudah diisi oleh orang lain.

Jeongguk menggeleng, sebuah jawaban yang sudah Taehyung duga.

Sore itu hujan lebat seakan berkata, memberi tahu sebuah rahasia yang selama ini sudah dipendam dalam-dalam. Semesta menyimpan rahasia, begitu juga manusia. Tapi, sepintar apa pun manusia menyembunyikan sesuatu, pada akhirnya semua itu akan terkuak. Rahasia: rasa suka, kagum dan sayang yang selama bertahun-tahun berkembang tanpa adanya sebuah pernyataan.

Apa benar ya yang dikasih tahu Jiminie? . . .


. . .

Saat itu waktu menunjukkan pukul 08:45 ketika Jeongguk memberhentikan motornya di depan asrama Taehyung. Sesuai dugaan, hujan turun cukup awet dan baru benar-benar berhenti pukul delapan lewat.

Tidak banyak yang mereka obrolkan di kafe tadi. Keduanya sibuk memandang ke arah luar dan berharap kalau hujan segera reda. Jadi situasi canggung dan aneh itu bisa lekas mereka hindari.

Dua hari ini Taehyung banyak berpikir perihal perasaan. Bukan hanya perasaannya saja, tapi juga perasaan orang lain. Perasaan pria yang sedang memboncengnya itu. Taehyung turun dari boncengan motor Jeongguk, masih diam dan menimbang-nimbang apakah perlu kalau dia bertanya langsung tentang hal yang begitu mengganggunya selama dua hari ini?

Helm milik Jeongguk dia lepaskan dan diberikan lagi kepada pemiliknya. Tapi buru-buru Jeongguk menolak. “Simpen aja, biar nanti kalau pergi lagi gua ga repot bawa-bawa itu helm.”

Meski sudah memasuki awal musim semi, udara musim dingin masih begitu terasa terutama di malam hari. Taehyung sedikit menggigil ketika kulit wajahnya yang tadinya berlindung dari balik helm kini berbenturan langsung dengan angin malam.

Suasana asrama Taehyung begitu sepi. Tidak ada satu orang pun yang berlalu-lalang atau sekadar berjalan santai menghirup udara segar. Tentu saja tidak ada yang melakukan itu. Orang-orang pasti memilih untuk berlindung di dalam bangunan yang hangat, ketimbang berperang dengan udara dingin di malam hari. Bisa-bisa awal semester yang sudah dimulai akan kacau karena terkena flu.

“Jeongguk?” panggil Taehyung, pelan dan penuh keraguan.

“Hm?”

“Engga jadi. Udah sana pulang, makasih ya udah dianterin sampai depan dorm. Malem, Jeongguk.” kata Taehyung lagi.

Badannya sudah berbalik, memunggungi Jeongguk yang masih diam di tempatnya. Pria itu memandangi Taehyung yang terus melangkah menjauh untuk masuk ke dalam asramanya. Tepat di depan pintu masuk lobi utama Taehyung kembali berbalik ke arah tempat di mana Jeongguk berada. Jeongguk tahu kalau ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh pria itu, namun dia terlalu ragu.

Dilepaslah helm miliknya, kemudian dia gantungkan pada salah satu kaca spion motornya. Jeongguk turun dari motor dan berjalan menghampiri Taehyung. Kakinya berhenti melangkah ketika pria manis itu hanya berjarak selangkah dari tempatnya berdiri.

“Mau ngomong apa? Lo tau kan kalau bikin orang penasaran terus ga jadi ngomong tuh dosanya neraka jalur undangan?” kata Jeongguk, mengutip omongan Taehyung beberapa hari lalu.

“Hih, itukan omonganku. Ckck.”

Jeongguk kini bisa tertawa. Rasa canggung yang begitu membebaninya sedari tadi kini terangkat.

“Cepetan, mau ngomong apa?” Jeongguk kembali bertanya.

“Ada satu hal yang buat aku kepikiran banget dua hari ini. Menurutku mustahil banget, engga mungkin itu bener terjadi.” Taehyung memulai menyuarakan apa yang mengganggu pikirannya itu. Jeongguk diam, membiarkan Taehyung menyelesaikan kalimatnya terlebih dahulu untuk kemudian dia tanggapi.

“Kata Jimin kamu suka sama aku, emangnya bener Jeon?” tanya Taehyung to the point pada akhirnya.

Kamu tuh bloon banget. Kamu sadar engga kalau Jeongguk juga tertarik sama kamu?

Aku aja bisa lihat, Tae. Aku lihat jelas banget dia ada rasa ke kamu. Udah jangan bandel dan ngeyel. Pikirin baik-baik masalah ini ya, bayiku. Aku engga mau kamu tanpa sadar nyakitin hati seseorang.

Sekujur tubuh Jeongguk rasanya kaku, otot-ototnya tidak bekerja sebagaimana mereka seharusnya bekerja. Lidahnya kelu dan tangannya tiba-tiba keringat dingin—entah karena debaran jantungnya yang begitu luar biasa cepat atau apa. Udara begitu dingin dan berangin, namun tangannya kini malah bercucuran keringat.

Tidak ada jawaban apa pun dari Jeongguk. Kemudian Taehyung kembali bersuara. “Jeongguk, lupain aja. Emang si Jimin tuh suka ngaco omongannya. Udah kamu pulang gih, aku juga mau masuk nih.”

Taehyung kembali berbalik. Jeongguk kembali melihat punggung Taehyung yang hendak berjalan menjauh darinya.

Sekarang atau engga sama sekali? lebih menyesal yang mana?

“Kim Tae, tunggu.” pergelangan tangan Taehyung ditahan oleh Jeongguk. Membuat pria manis itu kembali menghadap ke arahnya. Mata mereka saling beradu tatap, mengunci satu sama lain untuk beberapa saat.

“Engga, Jimin engga ngaco. Gua emang suka sama lo, tapi lo-nya engga pernah sadar.” kata Jeongguk pada akhirnya.

Taehyung tertetegun, mendengar jawaban Jeongguk yang entah serius atau bercanda ini. Bulu kuduknya berdiri karena udara dingin sekaligus perkataan Jeongguk barusan. Aneh. Meskipun—Taehyung mengira—Jeongguk adalah pria di atap kampus yang membuat dia deg-degan. Taehyung tidak berani memikirkan atau membayangkan Jeongguk akan menyatakan perasaannya seperti ini.

“Gua engga becanda, kalau misalnya lo mikir begitu. Gua serius banget. Susah banget buat nyatain ini langsung ke lo, susah. Gua juga engga paham kenapa jadi cemen begini. Tapi mungkin emang sekarang udah waktunya lo tau.”

“Tapi—” perkataan Taehyung keburu disela oleh Jeongguk. “Tapi lo selalu bahas Jungkook setiap kali gua ada kesempatan ngobrol dan mau ngenal lo lebih dalam. Gua selalu ngambil langkah mundur, karena rasanya gua cuma bayang-bayang Jungkook aja di mata lo,”

“Bisa engga kalau gua berharap dapat kesempatan yang sama kayak Jungkook? Gimana kalau gua berharap lo mau nyoba buka hati lo buat gua?”

Taehyung masih diam. Memangnya reaksi apa yang kalian harapkan dari Taehyung?

Anak itu masih begitu kaget dengan kenyataan yang baru dia ketahui ini. Taehyung terlalu bodoh untuk membedakan cara konyol Jeongguk mendekatinya bukan untuk membuat dirinya kesal, melainkan mencari perhatian Taehyung. Jadi dia tidak berekspektasi kalau Jeongguk memang memiliki perasaan padanya, berbeda dengan Jungkook yang terang-terangan membahas tentang perasaan.

“Gua boleh egois kan kali ini, Kim?”

Jeongguk ingin egois dan mengemis kesempatan dari Taehyung. Ingin meminta pria itu untuk mencoba membuka hatinya untuk dirinya juga. Ingin menghapus bayang-bayang adiknya yang selalu menutupi eksistensinya di mata Taehyung. Selama ini Jeongguk kalah, Jeongguk mengambil langkah mundur karena Taehyung yang tanpa sadar selalu mendorongnya menjauh. Mendorong pria itu mundur dengan segala hal tentang Jungkook. Hanya ada Jungkook di sana, bagaimana Jeongguk bisa masuk kalau Taehyung memilih untuk megunci pintu hatinya dan membiarkan pikirannya penuh dengan Jungkook.

“Jeongguk, aku harus masuk. Y-yeontan udah nungguin.”

Genggaman tangan pada tangannya ditarik oleh Taehyung. Jarinya buru-buru memasukan pin akses kamarnya dan kakinya berlari memasuki gedung asrama. Meninggalkan Jeongguk yang masih mematung di sana. Masih menanti jawaban pasti dari Kim Taehyung. . . .


. . . Author's Note:

Hallo! pertama-tama, seperti biasa maafkan diriku kalau ada banyak sekali typo di atas sana! ku akan edit lagi nanti untuk typos-nya hihihi. Laluuuu, mari kita beri terima kasih kepada Jimin yang udah dengan sabar ngejelasin ke Taehyung soal JG (di balik layar!) hahaha.

Akhirnya si JG ga jadi pengagum dalam diam guys. Akhirnya!!! Emang gregetan banget sama karakter JG dan Taehyung di sini, aku buat sengaja begitu. Karena konfliknya ya di sana, tapi aku gregetan sendiri.

Btw, selamat membaca mantemaaan. Silahkan gregetan menunggu jawaban Taehyung~ hahaha!

All the Love, Bae.

Identical Twins — 112.

Courage, dear heart.

C.S.Lewis


Jeongguk berdiri di depan pintu masuk lobi utama dorm Taehyung. Menunggu pria manis itu untuk menjemputnya yang sudah terlihat begitu menyedihkan—berdiri sendirian sambil menatap gundah ke arah sneakers-nya berulang kali.

Ini bukan kali pertama pria itu disuruh menunggu di depan seperti ini. Akses masuk ke dalam dorm Taehyung cukup sulit, jadi tidak sembarang orang dapat dengan mudahnya masuk. Dibutuhkan sebuah pin kamar dan kemudian di dalam sana—saat menuju lift dan tangga—setiap orang wajib memindai sidik jari untuk bisa masuk.

Ya, memang seketat itu keamanan di dorm Taehyung.

Kalau tatapannya bisa membuat sepatunya bolong, bisa dipastikan Jeongguk akan pulang dalam keadaan nyeker nantinya. Matanya menatap lurus ke arah sana—sepatunya—konsisten. Tapi pikirannya berkelana, menyiapkan dirinya untuk menghadapi situasi yang akan terjadi setelah ini. Jeongguk sudah tidak bisa lagi mengubah pikirannya, sudah tidak bisa beralasan kalau perutnya sakit atau ban motornya kempes saat menuju ke asrama kampus. Dia sudah terlanjur mengabari Kim Taehyung kalau dirinya sudah sampai dan menunggu di depan pintu masuk.

Tak lama kemudian Jeongguk bisa menangkap kehadiran Taehyung yang terlihat dari balik pintu kaca di hadapannya. Wajah Taehyung merah, hidung, mata dan telinganya, semuanya merah. Ternyata anak itu tidak bercanda perihal dirinya yang tadi menangis. Bibirnya melengkung ke bawah menghiasi wajahnya yang lucu dan ekspresinya begitu lesu.

“Ya ampun, anak TK mana nih nyasar ke dorm anak kuliahan?” ledek Jeongguk.

Taehyung belum sempat membalas ledekan pria yang kini rambutnya diwarnai blonde itu. Dia keburu ditinggal oleh Jeongguk yang langsung masuk ke dalam lobi utama asrama Taehyung.

Pandangan mata Jeongguk menyusuri seluruh sudut lobi sembari berjalan menuju student lounge yang berada di pojokan ruangan. Dia lihat adik kembarnya sedang sibuk menatap atau mungkin membaca sesuatu pada layar laptop Taehyung.

Kemudian Taehyung mempercepat langkah kakinya agar sejajar dengan Jeongguk, meski tadi dia sempat tertinggal beberapa langkah. Kini mereka berjalan beriringan menuju tempat di mana Jungkook duduk dengan anteng. Tidak ada pembicaraan lagi, karena Jeongguk lihat Taehyung tidak sedang dalam mood yang baik untuk diajak bercanda.

Saat jarak antara dirinya, Taehyung dan tempat di mana Jungkook duduk mulai menipis, dia lihat adik kembarnya itu menoleh ke arah mereka berdua. Dagunya dia angkat untuk menyapa sang kakak dan tersenyum santai.

“Oy, bang.” sapa Jungkook. Adiknya itu menyapa dengan santai, seperti situasi di antara mereka bertiga ini bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan. Sedangkan Jeongguk dari tadi keringat dingin mencari alasan untuk tidak jadi datang ke tempat ini.

Bagaimana bisa Taehyung dan adiknya bersikap se-casual ini?

“Lo dari tadi di sini?” tanya Jeongguk ke adik kembarnya. Kemudian tangannya menarik kursi kosong yang paling memungkinkan untuk dia duduki.

Student lounge di asrama Taehyung berada tepat di pojok ruangan dan dikelilingi oleh sebuah kaca besar. Jadi mereka bisa melihat bagian samping dan belakang asrama dengan jelas. Di dalam sana disediakan sebuah sofa duduk memanjang dengan beberapa meja bundar kecil, biasa digunakan untuk bersantai, makan dan juga belajar oleh para penghuni asrama. Di tengah-tengah ruangan ada sebuah meja billiard kecil yang biasanya tidak pernah menganggur, alias selalu dimainkan.

Biasanya lounge ini akan ramai. Beruntungnya februari masih masuk ke dalam libur musim dingin, jadi hanya ada mereka bertiga di sana saat ini. Mereka itu Taehyung dan kedua pria kembar yang kini terlihat begitu mencolok perbedaannya. Jungkook tetap dengan rambut gelap dan poni lurusnya, sedangkan Jeongguk kini mewarnai rambutnya menjadi pirang. Taehyung dan Jungkook duduk di bagian sofa panjang dan Jeongguk harus mengalah duduk di kursi kecil di sebelah kanan meja.

“Hahaha, lumayan. Tadi emang janjian sama si Tae, tapi tiba-tiba dia dapet kabar yang ngagetin katanya.” jawab Jungkook.

“Ih, emang ngagetin tau! Jangan ketawain aku lagiiii.” protes Taehyung ke Jungkook.

“Lo kenapa ga minta bantuin Jungkook aja? Segala gua disuruh dateng ke sini.”

“Perasaan tadi kamu yang nawarin bantuaaan! Terus si Kookie tuh cuma bisanya ngetawain aku aja. Dia lagi mode jahat hari ini.”

Jungkook dengan susah payah menahan tawanya. “Engga gitu, Tae. Kalian berdua kan satu fakultas, jadi aku pikir lebih baik si Jeongguk aja yang bantuin kamu. Biar lebih jelas.” jelas Jungkook.

Taehyung mengangguk seakan ikut setuju dan paham maksud perkataan Jungkook.

Berdiri dari tempatnya, Jeongguk melihat sang adik beranjak dari tempat yang diduduki tadi dan hendak meninggalkan dirinya dan Taehyung berduaan. Tangannya dimasukkan ke dalam kedua saku, kemudian berkata, “Tae, aku mau pesen sesuatu dulu nih sekalian beli minum ke vending machine di depan. Kalian mau nitip apa?”

Taehyung telihat memikirkan sesuatu, seperti menimbang-nimbang daftar apa saja yang ingin dia titipkan pada Jungkook nantinya. Kemudian anak itu bertanya, “Minuman hangat yang manis, sama cemilan boleh?”

Jungkook tertawa, tangannya hampir saja dengan bebas mengusap puncak kepala Taehyung kalau tidak ingat ada eksistensi kakak kembarnya di sana.

“Boleh. Susu hangat, bagaimana? Makanannya yang engga pedas dan asam kan?” tanya Jungkook

Lalu Taehyung mengangguk semangat.

“Lo mau kopi panas, bang?” tanya Jungkook ke kakak kembarnya.

“Boleh, dek. Americano, ya.”

Setelah itu Jungkook pergi, keluar dari lounge yang kini hanya menyisahkan Jeongguk dan Taehyung sebagai penghuninya. Sunyi, senyap, hanya itu yang terjadi selama beberapa detik. Karena Jeongguk tidak berkata apa-apa, bahkan untuk sekadar basa-basi memecah keheningan aneh antara mereka berdua.

Jeongguk sibuk bertanya-tanya, untuk apa adiknya sengaja memberi ruang Jeongguk dan Taehyung seperti ini?

Bukankah harusnya Jungkook menganggap kakak kembarnya sebagai saingannya sendiri? atau hanya Jeongguk yang beranggapan demikian?

Tidak, Ggukie. Jungkook memang menganggap kamu—kakak kembarnya sebagai saingan untuk masalah mendapatkan hati Taehyung. Namun ingat perkataanmu waktu itu?

Tapi sorry ya dek. Kayaknya gua ga bisa ngalah masalah ini. Biar nanti Taehyung yang nentuin. Gua ga bakal ganggu lo dan dia, gua harap lo juga lakuin hal yang sama. (Narasi di panel 63.)

Jungkook melakukan apa yang diharapkan sang kakak. Dia akan memberi kakak kembarnya itu kesempatan dan ruang untuk melakukan usahanya. Karena yang terpenting untuk Jungkook, dia sudah melakukan usahanya semaksimal mungkin. Jadi dirinya tidak takut atau menganggap kakaknya sendiri sebagai ancaman. Toh, dia sudah berkata jujur pada Taehyung tentang perasaannya.

“Ini tadi aku udah coba buat sedikit, mau kamu lihat dulu ga?” tanya Taehyung pada akhirnya.

Jeongguk mengambil alih laptop Taehyung. “Coba, gua lihat dulu ya.”

Matanya bolak-balik membaca konsep dan teori yang tertera pada BAB II skripsi Taehyung, kemudian membaca daftar pertanyaan yang sudah dibuat oleh pria itu. Sesekali kepalanya mengangguk ketika membaca. Sepertinya tidak ada masalah yang Taehyung timbulkan ketika tadi membuatnya dalam keadaan panik.

“Sejauh ini udah pas. Buat konsep strategi dan brand image udah aman sih, tapi lo periksa dulu di bagian konsep daya saing. Ini lo buat 5W1H-nya coba ya, tadi gua lihat kayak kurang mendalam jadinya pertanyaan lo di situ.” kata Jungkook pelan dan serius. Berbeda sekali dari dirinya yang biasanya lebih banyak bercanda dan membuat Taehyung kesal.

Taehyung mengangguk-angguk, lalu tangannya menggeser kembali laptop untuk menghadap ke arahnya. Kacamatanya yang sedari tadi dia simpan di dalam case—karena sibuk menangis—kini dia keluarkan untuk kemudian dipakai. Setelahnya Taehyung sibuk dengan pekerjaannya yang sempat membuat geger kedua kakak-beradik kembar itu.

Jeongguk larut dalam situasi menyenangkan ini—memandangi wajah Taehyung yang sangat indah dari samping. Dirinya dulu sering mengagumi wajah indah ini dari kejauhan, ketika di kelas, di lorong fakultas atau saat Taehyung siaran dulu. Mengingat kembali, saat-saat di mana Jeongguk akan berlari menghindari sosok Taehyung setiap kali mereka memiliki kesempatan untuk berpapasan. Kini Jeongguk bahkan bisa berada sedekat ini tanpa harus kabur-kaburan lagi. Meski dirinya yang dulu dan sekarang masih tetap sama, masih suka menganggumi Taehyung dalam sunyi.

Jeongguk menyukai kegiatan ini. Sehingga rasanya waktu berlalu begitu singkat, meski sebetulnya dia sudah melewati beberapa menit hanya untuk memandangi wajah indah milik Taehyung.

Jari-jemari lentik itu berhenti menari-nari di atas keyboard-nya. Kepalanya menoleh sedikit ke arah di mana Jeongguk sedang menatapnya tanpa berkedip. Kemudian Taehyung terdiam, mematung dan menatap balik manik gelap milik Jeongguk untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya dia menangkap kehadiran Jungkook yang berdiri tak jauh dari pintu masuk student lounge.

“Kookie! Kenapa diam di situ?” Taehyung memanggil Jungkook hampir setengah berteriak. Membuat pria yang dari tadi sibuk bermain dalam dunianya sendiri dan terkagum-kagum akan keindahan Taehyung itu tersadar. Jeongguk langsung membuang pandangnya ke arah lain, lalu pura-pura menyambut kedatangan adik kembarnya.

Tangan kanan Jungkook menenteng sebuah cup holder dari salah satu kafe yang tak jauh dari gerbang kampus mereka. Kemudian tangan kirinya menenteng sebuah paperbag yang diduga berisikan beraneka ragam kue ataupun roti.

“Lama, ya? Tadi vending machine di depan kayaknya rusak. Jadi aku sekalian aja ke kafe depan deh.”

Dia taruh segala tentengan itu ke atas meja di sebelah tempat duduk mereka. Karena ruangan ini kosong, jadi Jungkook bisa bebas memakai beberapa meja. Apalagi ukuran mejanya terlalu kecil jika harus dibagi-bagi untuk meletakkan makanan serta laptop Taehyung.

“Ih, kamunya jadi harus jauh-jauh ke sana.”

“Haha, gapapa. Aku yang mau kok, Taehyung. Oh iya, ini jadinya aku beliin hot vanilla crème buat Taetae.” Jungkook mengeluarkan minuman yang dia beli untuk Taehyung dari cup holder, lalu memberikannya kepada pria lucu itu.

Pipi Taehyung bersemu. Tangannya meraih gelas kertas berisikan minuman manis hangat yang diberilan Jungkook. Seakan rasa panas itu menjalar dari dalam cup hingga ke pipinya yang kini sudah bersemu. Pipinya merah hanya karena panggilan sederhana dari mulut Jungkook. Taetae.

“Makasih, Kookie..” katanya, malu-malu.

Jungkook tertawa sebentar, ketika melihat semburat merah itu menghiasi pipi Taehyung dan bagaimana tingkah manisnya ketika berterima kasih.

Hot americano, buat abang nih.”

Dia menyodorkan gelas kertas untuk sang kakak yang entah mengapa lebih banyak diam hari ini. Tangan Jeongguk menyambut benda yang disodorkam oleh adiknya. Lalu dia berterima kasih pelan sekali, hampir seperti sebuah bisikan.

Taehyung berdiri dari tempat duduknya, menghampiri meja sebelah tempat di mana Jungkook meletakkan paperbag berisi beberapa makanan. Matanya berbinar ketika menemukan satu slice strawberry shortcake, lalu menatap Jungkook penuh harap. “Ini buat aku kaaan? Kok kamu tahu aku suka segala macam kue yang ada stroberinya?”

“Hahaha, lupa. Kita pernah bahas ini mungkin?”

Haruskah Jeongguk merasa jadi outsider saat ini? Karena kedua orang itu tampak sangat mengenal satu sama lain, sedangkan Jeongguk—ya mungkin dirinya mengenal adik kembarnya dengan baik, tapi tidak dengan Kim Taehyung.

. . .


. . .

Taehyung sudah kembali ke dalam asramanya lima menit yang lalu. Saat itu hanya Jungkook saja yang mengantarkan pria manis itu kembali hingga masuk ke dalam lift dengan senyuman yang merekah indah. Kakak kembarnya memilih untuk keluar terlebih dahulu dan menunggu sang adik di depan mobilnya.

Punggung Jeongguk bersadar pada mobil Jungkook, lalu kedua tangannya dimasukan ke dalam saku karena udara cukup dingin.

“Loh, kirain lo udah balik duluan?” tanya Jungkook. Dia kaget karena kakaknya ternyata bukannya pergi terlebih dahulu malah menunggu dirinya di depan mobil seperti ini di tengah udara dingin.

“Gua mau ngomong sesuatu.”

“Ngomongin apa bang?” tanya Jungkook.

“Dek.. lo tau kan kalau gua suka sama Taehyung? Gua yakin lo ta—“ kemudian Jungkook sudah keburu menyauti perkataannya. “—Iya, gue tau kok bang. Lo juga tau kan kalau gue deketin Taehyung?”

“Dek, gua gatau kenapa kita bisa kejebak di situasi begini. Lo sendiri tau kan kalau kita ga pernah suka sama orang yang sama dari dulu? Jujur, gua ngerasa ga enak setiap kali kita bertiga—lo, gua dan Taehyung kejebak di satu tempat yang sama. Rasanya aneh, dek. Apalagi pas inget kalau kita punya satu tujuan: dapetin hatinya Taehyung.” Kata Jeongguk panjang lebar.

“Bang, gaada larangan buat gue ataupun lo suka sama Taehyung. Ini masalah hati, gaada yang salah dan aneh. Kita gabisa milih sama siapa kita bakal suka kan? Ya, gue gatau apa yang buat lo khawatir banget, tapi gue mau lo tau satu hal. Gue ga akan ikut campur atau marah kalau lo juga usaha buat deketin dia. Ya, ada rasa sakit sih sejujurnya setiap inget kalau ada cowok lain yang lagi usaha juga buat dapetin hati dia, apalagi orang itu kakak gue sendiri. Tapi ya gue sadar, gue gaada hak apa pun. Gue juga udah janji ga akan ngusik usaha lo, biar nanti Taehyung yang tentuin sendiri hatinya dia buat siapa. Inget perkataan lo waktu itu pas di kamar gue?”

Jeongguk terdiam. Jadi ternyata waktu itu adiknya tidak benar-bnar tertidur.

Dia lihat adiknya tersenyum simpul, kemudian menepuk pundaknya pelan. “Bang, gue sama lo udah sama-sama dewasa. Jadi lakuin ini selayaknya pria dewasa aja. Gue ga akan marah apa pun hasilnya nanti. Malah gue harusnya bahagia dong? Kalaupun Taehyung ga sama gue pada akhirnya, gue tau dia sama orang yang tepat yaitu saudara gue sendiri. Semoga lo juga begitu.”

Andai saja semudah itu. Andai saja merelakan orang yang dikagumi dalam diam selama bertahun-tahun bisa sesederhana itu. Jeongguk mungkin bisa mengatakan dirinya akan baik-baik saja asal Taehyung dan adiknya bahagia. Tapi apa itu semua menjamin kalau nantinya tidak ada rasa sakit yang ditimbulkan oleh permasalahan hati ini?

“Dah, gue mau langsung balik. Lo hati-hati nyetirnya ya bang. Btw, goodluck buat kita.”

Adiknya selalu menjadi orang yang paling tenang dan mudah mengontrol perasaannya. Jungkook memiliki kelebihan dari kepribadiannya itu. Meski dulu dia sering bermasalah karena dianggap banyak orang sebagai anak yang terlalu kalem. Jeongguk tahu, kalau kalemnya Jungkook itu bukan semata-mata tong kosong yang tidak ada artinya. Adiknya itu mencerna situasi, menimbang apa yang harus dilakukan dan mempersiapkan diri untuk segala konsekuensi yang akan dia hadapi ketika mengambil sebuah pilihan. Jungkook tipe manusia yang terorganisir dan tertata sekali, makanya dirinya selalu tenang saat menghadapi suatu masalah. Berbeda dari Jeongguk yang lebih sering gegabah.

Bahkan untuk menghadapi situasi seperti ini adiknya bisa bersikap setenang itu?

Jeongguk luar biasa iri. Padahal sekarang bukan saatnya bagi Jeongguk untuk memupuk rasa iri pada adiknya. Dirinya harus mempersiapkan diri. Mempersiapkan dirinya untuk berperang—berjuang, berusaha mendapatkan hati Taehyung. Karena kini Jeongguk tidak akan memilih jalan mundur atau putar balik. . . .


. . . Author’s note:

hallooo! Harusnya aku update narasi dua hari yang lalu atau kemarin. Tapi sayangnya kondisi kesehatanku lagi ga baik. Radang, batuk, pilek dan flu datang di saat bersamaan, buat aku tepar kemarin huhu. Sekarang aku udah ngerasa mendingan, hidungnya masih meler dan tenggorokan masih agak gatal aja sih. Ku harap kalian tetap sehat ya di mana pun kalian berada! Jangan lupa jaga kesehatan selaluuu~

sampai jumpa di bagian narasi selanjutnya!💜🥰

All the Love, Bae

Identical Twins — 112.

Courage, dear heart.

C.S.Lewis


Jeongguk berdiri di depan pintu masuk lobi utama dorm Taehyung. Ini bukan kali pertama pria itu disuruh menunggu di depan seperti ini. Akses masuk ke dalam dorm Taehyung cukup sulit, jadi tidak sembarang orang dapat mengakses dan dengan mudahnya masuk. Dibutuhkan sebuah pin kamar dan kemudian di dalam sana—saat menuju lift dan tangga—dibutuhkan sidik jari penghuni asrama untuk bisa masuk.

Ya, memang seketat itu keamanan di dorm Taehyung.

Tak lama Taehyung terlihat dari balik pintu kaca di hadapan Jeongguk. Wajahnya merah, hidung, mata dan telinganya, semuanya merah. Ternyata anak itu tidak bercanda perihal dirinya yang sedang menangis. Bibirnya melengkung ke bawah dan ekspresinya begitu lesu.

“Ya ampun, anak TK mana nih nyasar ke dorm anak kuliahan?” ledek Jeongguk.

Taehyung belum sempat membalas ledekan pria yang kini rambutnya diwarna blonde itu. Dia keburu ditinggal oleh Jeongguk yang langsung masuk ke dalam lobi utama asrama Taehyung.

Pandangan mata Jeongguk menyusuri seluruh sudut lobi sembari berjalan menuju student lounge yang berada di pojokan ruangan. Dia lihat adik kembarnya sedang sibuk menatap atau mungkin membaca sesuatu dari layar laptop Taehyung.

Kemudian Taehyung mempercepat langkah kakinya agar sejajar dengan Jeongguk, meski tadi dia sempat tertinggal beberapa langkah. Kini mereka berjalan beriringan menuju tempat di mana Jungkook duduk dengan anteng. Tidak ada pembicaraan lagi, karena Jeongguk lihat Taehyung tidak sedang dalam mood yang baik untuk diajak bercanda.

Saat jarak antara dirinya, Taehyung dan tempat di mana Jungkook duduk mulai menipis, dia lihat adik kembarnya itu menoleh ke arah mereka berdua. Dagunya dia angkat untuk menyapa sang kakak dan tersenyum santai.

“Oy, bang.” sapa Jungkook. Adiknya itu menyapa dengan santai, seperti situasi di antara mereka bertiga ini bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan. Sedangkan Jeongguk dari tadi keringat dingin mencari alasan untuk tidak jadi datang ke tempat ini.

Identical Twins — 108

Back to the stars. Perhaps i'll find you there.

d.j


31 Desember 2020.

Saat itu salju turun, menghujani seluruh kota Seoul hampir seharian penuh. Membuat jalanan, atap gedung, rumah, juga halaman dipenuhi dengan tumpukan salju. Udara di luar malam itu bisa dipastikan di bawah nol derajat celcius. Bukankah lebih baik kalau kita berdiam diri di rumah dan sembunyi di balik selimut tebal yang hangat?

Ya, itulah yang pria itu inginkan. Namun rencana membuat dirinya hangat di malam tahun baru sepertinya harus gagal dia realisasikan saat ini. Karena saudara kembar dan teman-temannya sudah terlanjur menggeret paksa pria itu untuk ikut hadir dalam pesta tahun baru di kampus mereka.

Orang gila mana yang mengadakan pesta di tengah udara dingin, setelah hampir seharian hujan salju?

Ya, mereka teman-teman satu kampusnya. Katakanlah mereka semua gila. Tapi yang namanya anak muda itu memiliki moto seperti ini: You only live once.

Kim Mingyu, salah satu temannya itu kukuh sekali kalau mereka harus menghabiskan malam tahun baru di akhir perkuliahan dengan berpesta. Senang-senang, menikmati masa muda yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Tapi konsep senang-senangnya bukan begitu, bukan dengan berpesta dan berada di ruangan pengap yang begitu bising.

“Sumpah, kalau kalian aneh-aneh gue langsung balik, ya?” kata pria itu.

Pada akhirnya mobil sedannya tetap sampai di parkiran dekat aula serba guna kampusnya. Pada akhirnya, dia ikut masuk ke dalam ruangan besar itu. Pencahayaan di sana kurang begitu bagus, seisi ruangan juga dipenuhi oleh gema musik yang luar biasa kencang. Dirinya sampai harus berteriak untuk bisa berbicara pada teman-temannya.

“Gila, penuh banget. Udah kayak pasar ikan.” kata Wonwoo, salah satu temannya.

Memang benar. Untuk bisa bergerak dengan bebas saja rasanya tidak mungkin. Setiap kali pria itu bergeser, sudah pasti badannya bersenggolan dengan orang lain di dalam ruangan itu.

Semua temannya sudah berpencar. Mengobrol dengan beberapa orang yang sepertinya teman satu fakultas atau satu UKM mereka. Kini dia bingung harus melakukan apa. Padahal teman-temannya itu yang memaksa dia untuk ikut, namun kini dirinya ditinggalkan sendirian di aula yang penuh dengan manusia ini.

Tahu begini akhirnya mah lebih baik dia tetap di rumah saja tadi. Beristirahat atau menonton netflix sampai jelang pagi. Tentu pilihan yang lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi yang dia alami saat ini—kebingungan di tengah kerumunan orang.

Semuanya sibuk menari dan menikmati irama musik dengan tempo cepat. Beberapa orang juga sibuk mondar-mandir mengambil minuman dan makanan yang disediakan. Pria itu akhirnya memutuskan untuk berjalan ke sisi ujung ruangan, mencari tempat yang paling sepi yang bisa dia temukan. Namun sayangnya, seorang wanita tidak sengaja menabrak tubuh tingginya dan menumpahkan segelas orange juice ke kemejanya.

Wanita itu meminta maaf berkali-kali dan dia pun berkata tidak apa-apa. Meski bergitu, helaan napasnya begitu berat. Kakinya melangkah ke luar ruangan, berjalan menuju mobilnya di tengah-tengah udara yang begitu dingin. Dia buka pintu belakang mobil, lalu mengambil hoodie tebal berwarna abu-abu di sana. Itu milik kakak kembarnya, Jeon Jeongguk.

Ya, pria yang dari tadi pusing terjebak di pesta tahun baru kampusnya adalah Jeon Jungkook.

Dia benci udara dingin. Dia benci sekali dan selalu bermusuhan dengan udara dingin. Tubuhnya sensitif dan mudah terkena flu, tapi kakinya kini malah melangkah menuju tangga. Bukannya kembali ke aula tapi Jungkook malah memilih pergi ke atap kampusnya.

“Haah. Akhirnya, ga berisik.” keluh Jungkook, namun sekaligus lega.

Dirinya kini bisa bernapas lega tanpa harus pusing mendengar suara dentuman musik yang terlalu kencang. Tidak perlu pusing juga melihat orang yang berlalu-lalang atau sibuk menari. Awas saja Jeongguk, Mingyu, Wonwoo dan Eunwoo, akan Jungkook pukul kepala mereka dengan buku pengantar Psikologi yang selalu dia simpan di bagasi mobil.

Dia masukan satu bungkus hot pack ke dalam salah satu saku hoodie-nya. Kemudian badannya bersandar pada sisi tembok di sebelah pintu masuk. Dia pasangkan earpods pada kedua telinganya, kemudian Jungkook larut dalam lagu-lagu tenang yang mengalun dari ponselnya itu.

Kaki dan punggungnya terasa pegal karena cukup lama berdiri di udara dingin, Jungkook akhirnya memutuskan untuk duduk sebentar.

Hidungnya sudah merah dan terasa sakit sekali. Dingin, benar-benar dingin. Suara Jungkook pasti bisa dipastikan menghilang saat dirinya sedang kedinginan seperti ini. Tapi pria itu masih enggan untuk kembali ke aula. Memang dasar keras kepala!

Tidak lama kemudian, waktu berharga Jungkook dengan dirinya sendiri di atap diinterupsi oleh kehadiran seseorang. Pria manis yang nyaris terlihat cantik, pria itu sibuk mengusap-usap badannya dengan hot pack. Namun Jungkook tetap diam, membiarkan pria manis itu mengganggu waktu menyendirinya yang tenang. Jungkook menikmati posisi ini. Dia melihat punggung dan tubuh Taehyung yang indah dari belakang.

Dia si pria manis itu, ya?

Jungkook bertanya dalam hati. Namun senyumnya mengembang.

Pria manis yang sering dia lihat berlari memasuki lobi Fikom setiap pagi. Lalu pria manis yang beberapa kali tertidur di meja belajar perpustakaan pusat ketika pulang dari kelas malam. Namun kali ini pria itu memakai kacamatanya. Jungkook hanya pernah melihat pria manis itu memakai kacamata sebanyak dua kali, itu juga setiap kali tak sengaja melihat Taehyung di perpustakaan saja.

Jungkook selalu berpikir kacamata itu sangat cocok pada wajah Taehyung, membuat daya tarik pria manis itu meningkat. Taehyung yang manis akan tambah manis setiap kali dirinya memakai kacamata.

Entah kapan tepatnya pertama kali Jungkook bertemu dengan pria manis itu. Mungkin saat di perpustakaan pusat ketika sang dosen menyuruh Jungkook untuk merangkum materi yang belum pernah dibahas pada pertemuan kelas. Bisa juga saat tidak sengaja melewati fikom dan hampir setiap hari melihat pria manis itu berlari terburu-buru masuk ke gedung Fikom.

Rambutnya cokelat gelap dan terlihat begitu halus, Jungkook jadi penasaran selembut apa rambutnya jika diusap oleh tangannya. Jungkook belum pernah melihat warna mata pria itu dengan jelas, namun dia yakin kalau warna matanya senada dengan warna rambutnya. Tapi dia tahu kalau bulu mata milik Taehyung indah. Jungkook menyadari ini karena beberapa kali memergoki Taehyung yang tertidur pulas di perpustakaan, membuat bulu mata panjang miliknya terlihat dengan jelas saat matanya terpejam.

Tahu tidak kenapa Jungkook tidak pernah keberatan bertukar posisi dan dengan senang hati menghandiri kelas pagi Jeongguk?

Ya tentu demi bertemu dengan pria manis itu dong, alias Kim Taehyung.

Lalu Jungkook diam dan kembali memperhatikan Taehyung yang masih sibuk dengan dunianya. Kebanyakan sih, Jungkook melihat Taehyung yang sibuk mengusap-usap badannya—mengusir rasa dingin yang membuat tulang terasa linu. Kemudian, sebagian waktunya dihabiskan untuk menatap bintang di langit.

Malam itu tidak ada awan mendung yang menghiasi langit Seoul, meski tepat di hari terakhir pada tahun 2020 salju menghujani seluruh kota. Untungnya malam ini langit begitu bersih, sehingga mereka berdua bisa menatap banyak bintang. Bintang-bintang itu bersinar untuk menemani malam mereka yang sepi dan sunyi di atap kampus.

Waktu itu Jungkook sempat kaget, bagaimana bisa ada pria semanis, setampan, selucu dan secantik Taehyung?

Semua yang indah ada pada dirinya.

Cukup lama Jungkook sibuk dengan pikirannya. Kemudian dia merasakan ponselnya bergetar yang menandakan adanya sebuah notifikasi masuk. Ah, pesan dari Jeongguk, kakak kembarnya.

Jeongguk Dek, di mana? Heh, jangan balik duluan lo. Gua keliling nyariin lo tapi lo gaada di mana-mana. Pas ke parkiran mobil lo masih ada.

Huh, padahal momen berharga ini sangat tidak mungkin terjadi dua kali. Kapan lagi dia bisa berada dekat dengan Kim Taehyung seperti sekarang. Apa lagi momennya sungguh manis. Berdua di atap gedung, ditemani dengan cahaya bulan dan bintang.

Harusnya Jungkook bisa beranjak dari tempat di mana dia duduk, berjalan ke sebelah Taehyung dan menyapa pria itu dengan lembut. Bertanya tentang bagaimana bintang yang biasanya bersembunyi malu di balik awan mendung kini bersinar terang. Atau, sekadar menyapa dan memulai perkenalan layak dengan Taehyung yang selama ini selalu dia bayangkan.

Namun getaran di ponselnya seakan-akan tidak menyetujui semua bayangan manis di kepala Jungkook. Kakak kembarnya lagi-lagi mengirim pesan, meminta adiknya itu untuk segera kembali setelah tahu kalau Jungkook berada di atap gedung. Kakaknya sudah berada di anak tangga paling bawah pada lantai sebelum atap gedung. Bisa-bisa adiknya ditemukan mati membeku jika dibiarkan lebih lama lagi di atas sana.

Akhirnya Jungkook beranjak, bukan untuk menghampiri Taehyung. Melainkan untuk menghampiri kakaknya yang sudah rewel sekali menyuruh Jungkook untuk kembali.

Lalu terjadilah kejadian itu. Saat Taehyung yang tidak menyadari kalau langkah kakinya mundur perlahan—hingga ke tempat Jungkook berada—dan terjadilah acara tubruk menubruk yang cukup hebat. Taehyung tersentak sampai kacamatanya tidak sengaja dia jatuhkan.

“Ah, kacamataku..” kata Taehyung.

Suara pria manis itu terdengar begitu sedih dan pasrah ketika kacamatanya jatuh. Dia bahkan sampai tidak menyadari kronologis kacamatanya bisa sampai jatuh seperti itu.

“Maaf, aku pikir ga ada orang. Biar aku bantu mencari.” kata Jungkook.

Dia membungkuk sedikit. Matanya yang sehat dan berfungsi dengan baik itu bisa menemukan kacamata Taehyung dengan mudah. Setelah itu Jungkook memberikan barang yang Taehyung cari, si kacamata kesayangannya. Taehyung ingin mengucapkan terima kasih dan memakai kacamatanya, setidaknya agar wajah pria yang menolongnya bisa dia lihat dengan jelas. Namun Jungkook sudah keburu pergi, meninggalkan Taehyung di atap sendirian.

Jungkook tidak tahu, kalau pria manis yang dari tadi dia pandangi itu kini tersenyum. Taehyung tersenyum mengingat suara lembut sekaligus seraknya yang begitu menenangkan. Juga bau mint dari hoodie Jeongguk yang Jungkook pinjam itu.

“Kook, lo ngapain di atas? Mau bunuh diri hah?” kata Jeongguk. Tangannya langsung menonjok pelan tangan sang adik.

“Yang ada gua mati karena stress kalau masih nungguin kalian di aula tadi.” jawab Jungkook.

Malam itu Jungkook enggan untuk menyetir dalam perjalanan pulang. Dia takut kalau konsentrasinya buyar, soalnya habis bertemu dengan sang pujaan hatinya yang terpisah oleh gedung fakultas.

Dia duduk di kursi penumpang bagian depan. Membiarkan Jeongguk yang sibuk menyetir dan Mingyu di bangku penumpang bagian belakang mengoceh tidak jelas. Mata Jungkook memandangi jalanan di luar sana, namun pikirannya berkelana ke mana-mana.

Memutar ulang seluruh adegan tentang Taehyung yang tersimpan dalam ingatannya.

Bagaimana wajah panik Taehyung ketika berlari menuju gedung fikom sambil mengatur napasnya yang sudah ngos-ngosan. Ketika dia melewati meja baca di ujung ruangan, dekat dengan rak buku-buku sejarah ilmu sosial yang cukup tebal itu. Dia tertidur dengan posisi sebelah pipi yang bersandar pada meja bacanya. Tangannya terjatuh ke bawah, menggantung begitu saja tanpa peduli kalau saat bangun nanti dia akan merasa pegal sekali. Kacamatanya masih terpasang di wajahnya.

Jungkook tersenyum lagi kalau mengingat kejadian itu.

Ternyata Tuhan begitu baik pada dirinya. Malam tahun baru yang dia pikir akan menyebalkan, karena dihabiskan dengan menyendiri di atap kampus malah menjadi hadiah yang begitu indah.

Sumpah, kalau setelah ini ada jalan untuk dirinya bisa berkenalan dengan Kim Taehyung, Jungkook berjanji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. . . .


Author's note:

Cieee, kalian kena prank! Selama ini cowok di atap itu memang si Jungkook manteman. Si Taehyung salah paham karena wangi hoodie yang dipakai Jungkook itu sama kayak parfum Jeongguk.

Di chapter awal bagian narasi aku sempet jelasin soal suara deh kalau ga salah. Taehyung juga ga yakin kalau suara Jeongguk itu suara yang didenger dia di atap. Lalu chapter kemarin bagian narasi (waktu JK ketemuan sama TH di starbucks) dikasih tau suaranya gampang serek dan bindeng kalau kena udara dingin. Xixixi. Asiiik, siapa yang udah nebak JK bukan JG, sini aku kasih kecup karena kamu pintar! hehehe.

Cukup sekian cuap-cuap dariku. Sampai nanti lagi~

All the Love, Bae