A Thousand Times – 42.

Two souls don't find each other by simple accident.

. . .

Pria aneh bernama Aidan yang selalu menatap Gael dengan mata berkaca-kaca itu sukses mendapatkan perhatiannya.

Gael dibuat kesulitan tidur hanya karena memikirkan apa yang sebenarnya ada di benak pria itu setiap kali mereka bertemu. Apa yang pria itu pikirkan setiap kali mata mereka beradu tatap. Gael masih belum mendapatkan jawaban pasti. Yang Gael ketahui hanyalah kalau Aidan berkata dirinya mirip dengan sebuah Pete.

Pete, hm. Agaknya Gael jengkel saat dia bertanya kepada Aidan dan pria itu menjawab kalau Gael mirip seperti buah dengan aroma yang luaaar biasaaa kuat itu.

Berkali-kali Gael mencoba mengajak Aidan mengobrol melalui pesan di media sosial. Namun pria itu selalu saja mencari cara untuk menghindar dan menyudahi obrolan mereka. Kan Gael jadi gemas sendiri. Gael jadi semakin dibuat penasaran dengan pria aneh yang selalu menyebut dirinya ini mirip dengan biji-bijian hijau itu—Gael tidak tahu harus menyebut petai atau pete itu dengan sebutan apa. Sebenarnya dia masuk ke kategori sayuran atau buah-buahan atau tidak keduanya?

Gael sayang, petai atau pete itu masuk ke kategori buah. Namun pete yang dimaksud oleh Aidan itu berbeda dengan apa yang kamu pikirkan.

Pete yang sebenarnya Kimtae itu adalah panggilan dari Aidan untukmu di kehidupan sebelumnya. Panggilan dari Jeon Jeongguk untuk Kim Taehyung. Pria lucu yang sukses mengambil seluruh isi hatinya, namun tidak pernah bisa dia miliki.

Tentu saja fakta ini tidak akan pernah Gael ketahui, atau mungkin belum?

Gael hanya tahu kalau Aidan itu aneh. Tapi keanehan pria itu terkadang bisa membuat dia keheranan sekaligus tertawa geli. Ada sesuatu tentang Aidan yang membuatnya ingin mengetahui lebih dan lebih lagi. Dorongan dari dalam dirinya untuk lebih mengenal pria aneh itu semakin besar.

Tidak peduli kalau kakaknya yang protektif akan marah besar kalau mengetahui fakta ini: Gael yang justru mengejar dan ingin mengetahui lebih banyak hal tentang pria aneh bernama Aidan. Pria yang sudah seperti penguntit kelas coro, alias dia payah sekali!

Jadi, di sinilah Gael berada. Pukul 08:54, sudah duduk manis di stasiun Tebet dengan segelas karton cokelat panas yang dia beli di Indomaret tadi. Memang benar-benar Aidan itu. Dia bisa menimbulkan efek sebesar ini pada Gael. Biasanya dia hanya akan berangkat ke kampus dengan perhitungan waktu yang pas-pasan.

Kelas pagi di hari kamis pada pukul 10.30, jadi dia berangkat dari rumah sekitar pukul 09:45 dan hanya membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit untuk naik kereta dari rumahnya untuk bisa sampai ke kampus.

Namun hari ini berbeda. Gael datang pagi-pagi sekali dan bahkan melewatkan jam sarapannya hanya demi bisa bertemu dengan Aidan. Ada begitu banyak hal yang ingin dia tanyakan kepada pria itu. Salah satunya adalah: kenapa Aidan terasa begitu familiar untuknya?

Gael yakin sekali kalau ini adalah kali pertama dia mengenal Aidan. Pria itu bukanlah teman sekolahnya dulu, Gael bahkan sampai memeriksa buku tahunan sekolahnya dari TK hingga SMA. Tentu saja Aidan tidak ada di sana. Tapi anehnya pria aneh itu tidak terasa asing. Seakan-akan mereka pernah menjadi bagian hidup satu sama lain.

Ya, karena memang begitu yang sebenarnya terjadi, Gael. Kalian memang sudah pernah bertemu sebelumnya. Jiwa kalian pernah bertemu dengan rupa yang sama di kehidupan sebelumnya. Namun sayangnya perasaan kalian tidak berjalan dua arah saat itu.

Tapi, mari kita tinggalkan cerita yang sudah berlalu. Buku itu sudah tertutup dan tidak ada lagi hal yang bisa diubah, ceritanya sudah memiliki akhirnya sendiri. Lebih baik fokus pada buku yang baru saja dibuka dan masih memiliki banyak halaman kosong, bukan?

Gael meniup-niup cokelat panas di dalam gelas karton yang dia pegang. Kakinya berayun-ayun di atas bangku tunggu yang tidak seberapa tinggi itu. Huft, bosan, Gael sudah bosan sekali menunggu. Pria aneh itu mau datang pukul berapa, sih?

Orang-orang yang duduk di sekitarnya sudah silih berganti pergi. Kereta arah Bogor dan Depok juga beberapa kali lewat. Mungkin Gael sudah sampai di kampus dan sempat untuk memesan bubur ayam terlebih dahulu kalau dia menaiki beberapa kereta yang lewat tadi. Tapi kan orang yang dia tunggu-tunggu belum datang.

Aidan belum juga datang bahkan saat gelas karton berisikan cokelat panas itu sudah raib dan berpindah ke dalam perut Gael. Apa jangan-jangan Aidan tidak berangkat ke kampus ya hari ini?

Seketika rasa kecewa menyelimuti hati Gael. Rasanya percuma sekali berangkat dan menunggu sejak pagi di stasiun. Karena orang yang ingin dia temui tidak kunjung datang sampai sekarang.

Bibirnya tertekuk ke arah bawah, membuat sebuah lengkungan terbalik dan ekspresi kecut menghiasi wajah indahnya. Dia buang gelas karton yang sudah kosong ke tempat sampah di sebelahnya. Kakinya berdiri, lalu dia rapihkan sedikit bajunya yang agak lecak.

Mungkin hari ini mereka tidak bisa bertemu, tidak apa-apa. Gael akan meneror DM twitter milik Aidan nanti. Mungkin juga dia akan mencari tahu fakultas pria itu, lalu tiba-tiba saja menghampirinya saat jam makan siang. Masih ada banyak hari dan banyak cara untuk bertemu dengannya, jadi Gael tidak perlu khawatir.

Terlebih, diam-diam Gael juga sudah bersekongkol dengan Nuel untuk mengatur jadwal makan siang bersama dengan Aidan. Soalnya, kalau mengharapkan Aidan akan menerima ajakan dari Gael rasanya akan sangat mustahil. Maka dari itu Gael dengan otak encernya meminta bantuan Nuel.

Nuel pun juga setuju, HEHEHE.

Rasa kecewa Gael tidak bertahan lama. Setelah itu dia sudah bisa tersenyum jahil ketika mengingat rencana liciknya bersama Nuel. Lihat saja nanti, Aidan akan dibuat terkena serangan jantung sungguhan oleh Gael!

Tidak lama terdengar pemberitahuan bahwa kereta yang akan Gael tumpangi akan segera datang. Pria lucu itu berjalan maju hingga ke belakang garis pembatas peron. Dia berdiri dengan sabar, menunggu hingga kereta benar-benar berhenti. Setelah kereta berhenti dan pintu di hadapannya terbuka, Gael membiarkan para penumpang dari dalam kereta untuk terlebih dahulu. Baru setelah itu dia melangkah naik ke dalam gerbong bernomor 9 itu.

Sedetik sebelum pintu tertutup, gerbong yang Gael tumpangi itu dibuat heboh oleh satu orang penumpang. Kaki pria itu hampir terjepit karena nekat menerobos meski tahu bahwa pintu gerbong kereta akan segera ditutup. Napas pria itu terengah dan pelipisnya dipenuhi oleh peluh. Namun bukan itu yang paling menarik perhatian Gael.

Dia Aidan Maheswara. Pria aneh yang selalu menatapnya dengan mata berkaca-kaca dan menyamakan dirinya dengan pete.

Aidan nampak kaget saat melihat kehadiran Gael di dalam gerbong itu. Gael yang duduk dengan nyaman, dengan tangan di lipat di depan dada dan kaki menyilang dengan rapih. Pria lucu itu sedang menatapnya dengan seringaian kecil di bibirnya. Seakan-akan Aidan adalah mangsa empuk dan dirinya siap untuk menerkam pria itu.

Sial. Saat Aidan membalikkan tubuhnya, pintu gerbong kereta sudah benar-benar tertutup dan kereta juga sudah mulai jalan menuju ke stasiun berikutnya.

Sepertinya Aidan harus pura-pura tidak melihat saja, lalu kabur dan pindah ke gerbong yang lain. Ya, ide ini tidak ada salahnya untuk dicoba.

Dengan ekspresi yang dibuat sedatar mungkin, Aidan langsung memutar badannya ke arah kanan. Kemudian dia mengambil langkah besar untuk segera pergi ke gerbong selanjutnya. Ayo, cepat, cepat, cepaaat. Aidan jalan yang cepat sebelum...

“Mau pergi ke mana Aidaaan? hehehehe.”

Sebelum Gael tidak akan membiarkan kamu pergi begitu saja~

Napas Aidan tercekat, sialan. Langkahnya langsung terhenti, bulu kuduknya juga berdiri dengan horrornya ketika mendengar suara Gael yang tiba-tiba saja sudah ada di sebelahnya.

Sudah seperti bertemu hantu penunggu danau atau si merah yang katanya suka hinggap di belakang bus kampusnya ketika malam hari.

Suara wanita terdengar, memberitahukan kalau mereka akan segera berhenti di stasiun cawang beberapa saat lagi. Mungkin Aidan harus memanfaatkan momentum ini untuk kabur dari Gael. Pokoknya harus kabur, karena nyalinya belum terkumpul untuk dapat berbicara dan bertatapan langsung dengan pria itu.

Hih, apa bedanya kamu dengan Jeongguk, Aidan?

Namun Gael sepertinya cepat tanggap. Dia buru-buru menahan tangan Aidan tepat ketika pintu gerbong terbuka. Dia tarik pria itu untuk duduk di barisan bangku yang kosong. Kemudian tersenyum polos ketika Aidan menatapnya dengan tatapan bingung dan takut.

Tunggu, bukannya kemarin-kemarin dia sudah seperti penguntit gilanya Gael? lihatlah anak itu sekarang. Aidan seperti anak berumur lima tahun yang dibawa kabur oleh orang asing dan tidak bisa melakukan apa-apa.

“Hiii, kok lo ngeliatin gue begitu? Udah kayak anak TK diculik om om aja sih!” protes Gael.

Aidan masih diam. Rasanya begitu sulit memproses apa yang sedang terjadi saat ini. Gael, si pria lucu yang beberapa kali muncul secara tidak wajar dalam mimpinya itu kini ada bersamanya. Dia duduk di sebelah Aidan, di dalam gerbong yang sama bernomor 8 dan dengan santainya menggeret tangannya tadi.

Kurang ajar. Gael tidak tahu apa ya kalau di dalam sana jantung Aidan sedang tidak bekerja dengan benar. Rasanya seperti habis disuruh keliling GOR Seomantri sebanyak 8 kali tanpa jeda istirahat. Telapak tangannya berkeringat karena tidak bisa menahan degup jantungnya dan rasa gugup.

Aidan memang payah untuk urusan percintaan, namun dia juga kaget kalau ternyata dirinya sepayah ini. Padahal si Pete—Gael—hanyalah pria yang belakangan ini masuk ke dalam mimpinya. Kenapa efeknya bisa sebesar ini?

“Kok lo diem aja sih?” tanya Gael.

Pria itu tidak menoleh sedikit pun ke arah Aidan. Dia justru sedang sibuk mengeluarkan buku catatan dari tas belacu berwarna krem miliknya. gael membuka sampul buku tersebut, kemudian melihat jadwal untuk hari ini.

Profesor di English Morphology & Syntax berkata kalau beliau akan telat masuk untuk 1 jam sks. Jadi Gael masih memiliki banyak waktu, mungkin dia bisa mampir dan membeli roti sebelum jalan ke fakultasnya nanti.

Aidan masih diam. Dia hanya memperhatikan jari indah dan lentik milik Gael yang sedang membuka halaman demi halaman pada buku catatannya. Gael memastikan kalau hari ini benar-benar tidak ada tugas atau catatan dari dosennya yang terlewat atau tertinggal. Bahkan jari indahnya saja bisa membuat jantungnya berdegup kencang lagi. Buru-buru Aidan menggelengkan kepalanya, sebelum pikirannya berlarian ke mana-mana.

Buku catatan itu tertutup, Gael langsung segera memasukannya ke dalam tas belacu miliknya lagi. Kemudian tiba-tiba saja Gael menoleh. Mata besar dan indah miliknya menatap mata Aidan tanpa memberi peringatan terlebih dahulu, membuat Aidan sedikit terlonjak sebelum akhirnya terkunci oleh tatapan Gael yang begitu menghipnotis.

Berada di jarak yang sedekat ini dan bisa memandangi wajah Gael dengan jelas membuat Aidan sadar. Aidan semakin yakin kalau wajah inilah yang selalu dia lihat dalam mimpinya. Wajah pria ini, wajah yang begitu indah dan sempurna yang sedang menatap ya dengan tatapan sedih. Wajah indah itu dihiasi oleh sisa air mata yang mengering dan hidungnya yang kemerahan.

“Mau bilang gue mirip pete lagi, mmmm?”

Aidan langsung kembali tersadar setelah ditarik masuk ke dalam dunia yang hanya dipenuhi oleh pria berwajah sedih bernama Pete itu. Kepalanya dengan refleks mengangguk, menjawab pertanyaan Gael.

Sumpah, Gael tidak tahu lagi harus mendekati dan mengajak ngobrol pria ini seperti apa. Aidan seakan menjadi tunawicara setiap kali dirinya bertemu dengan Gael. Lidahnya kelu dan pita suaranya tidak menghasilkan bunyi apa pun.

“Kenapa sih lo diem doang? Gamau ngobrol sama gue ya? Atau si pete itu bikin lo sakit hati dan setiap liat gue lo jadi males ngomong.”

Bukan begitu, tentu saja.

Aidan yakin kalau bukan itulah penyebab dirinya menjadi sekaku kanebo kering setiap bertemu Gael.

“Yaudah, gue diem aja deh kalau gitu.” Gael berkata dengan nada suara yang dibuat begitu kecewa dan sedih.

Sial, hatinya jadi terenyuh. Kok Aidan tidak suka ya mengetahui pria lucu itu bersedih. Buru-buru Aidan menyanggah perkataan Gael, karena tidak ingin mendengar nada sedih dan kecewa pria itu lagi. “Engga, gue cuma gugup aja….”

Kedua alis Gael terangkat, membuat mata anak itu membulat. “Kenapa gugup emangnya? Awas aja kalau jawabannya karena gue mirip pete!”

Aidan tertawa melihat wajah lucu Gael yang berubah menjadi pura-pura galak di kalimat terakhir. Rasa gugup yang tadi menggerayangi dirinya seakan pergi sementara waktu.

“Tapi lo beneran mirip seseorang yang namanya pete.” jawab Aidan.

Gael yang mendengar jawaban tersebut hendak melontarkan kalimat-kalimat protesnya. Namun peberitahuan bahwa mereka akan segera tiba di stasiun tujuan membuat pembicaraan mereka terputus.

Aidan dan Gael menunda obrolan mereka mengenai Pete dan Gael. Kedua pria itu berdiri dari tempat duduknya, kemudian berjalan menuju pintu gerbong kereta. Mereka berjalan bersama-sama, seakan lupa kalau beberapa waktu lalu keduanya seperti main kucing-kucingan—Aidan lebih tepatnya.

Langkah kaki Gael terhenti di depan halte stasiun. Bus kampusnya mungkin sebentar lagi akan pergi, jadi dirinya dan Aidan tidak memiliki banyak waktu.

Gael mengulurkan tangannya pada Aidan, membuat pria itu terpaku selama beberapa saat. Lalu uluran tangannya tak lama disambut oleh Aidan.

“Aidan Maheswara, Arsi’19.” kata Aidan ketika tangan mereka berjabatan.

“Nayaka Gael, Sasing’19.” Gael menjawabnya dengan senyuman merekah dengan indah di wajahnya.

Jabatan tangan mereka terlepas, saat Aidan sadar kalau bus kampus mereka akan benar-benar pergi sebentar lagi. Gael pun paham, fakultas Aidan ada di bagian belakang kampusnya yang luas biasa besar dan dikelilingi oleh hutan kota ini. Dia hanya tertawa kecil kemudian berkata, “Sampai nanti Aidan. Sana gih naik bus, keburu ketinggalan tuh.”

Aidan pun tersenyum kikuk sembari melambaikan tangannya ke arah Gael. “Mm, sampai nanti?”

Setelah itu Aidan berlari menaiki bus kampus mereka. Gael tetap berdiri di depan Halte, menunggu sampai bus yang ditumpangi Aidan pergi dan hilang dari penglihatannya. Setelah itu dia berjalan riang menuju ke lampu merah pejalan kaki, menunggu untuk bisa menyeberang jalan dengan aman ketika lampu itu berubah menjadi hijau.

Dua jiwa yang tidak memiliki cerita indah di kehidupan sebelumnya dipertemukan kembali oleh takdir. Bukan hanya takdir, tapi juga janji setulus hati yang mereka buat bersama-sama. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini, apalagi jika jiwa yang sudah diperbincangkan. Pertemuan Aidan dan Gael memang sudah tertulis di jalanan takdir mereka berdua. Karena dua jiwa tersebut sudah mengikat janji pada satu sama lain.

. . . . .

Author’s Note:

Hallo, guys! Maafin aku baru sempet ngetik narasi. Soalnya aku sembari ngetik 2 naskah lainnya (salah satunya Flat 202 yang lagi kejar deadline terbit bulan depan! Huhu). Terus kondisi rumahku lagi ga kondusif, lagi direnov besar-besaran dan cuma kamarku yang rapih tidak terjamah wkwkwk.

Akhirnya si Aidan dan Gael kenalan dengan proper guys!!! Wkwkwk. Semoga rumahku cepat kelar ya, biar aku bisa konsen ngetik dan lebih banyak narasi lagi di cerita ini~

Sampai nantiii, manteman!

All the Love, Bae.