At My Worst — Dua Belas
True love doesn’t meet you at your best. It meets you in your mess.
– J.S. Park -
. . .
Aku sudah pernah melihat bagaimana Jungkook berada di titik terendah dalam hidupnya. Sekacau apa dirinya saat itu, seakan-akan dunia hancur dan waktu berhenti berputar hanya untuknya.
Jungkook adalah pria dengan beribu ambisi di hidupnya, namun sayangnya nasib baik tak kunjung menghampiri priaku itu. Jungkook gigih, Jungkook cerdas, Jungkook rupawan. Namun itu semua belum cukup kuat untuk membawa Jungkook masuk ke dalam dunia seni dan musik yang dia cintai.
Gitar, piano, drum yang sudah menjadi teman sehari-harinya bahkan masih juga kurang untuk membuktikan kalau Jungkook-ku adalah musisi yang hebat.
Jungkook harus merelakan impiannya menjadi musisi di umur yang ke-19 tahun. Di saat dirinya dengan sangat amat sadar kalau musik adalah separuh dari jiwanya—separuhnya lagi adalah aku!
Jungkook harus merelakan impiannya untuk menjadi musisi dan mengambil jurusan Ilmu Politik di kampus. Keluarga Jeon sudah secara turun-temurun menekuni bidang politik, jadi agaknya akan mustahil bagi Jungkook untuk keluar dari bidang tersebut. Ayahnya, Pamannya dan sepupunya adalah perwakilan diplomatik yang cukup terkenal di Korea Selatan, ini juga yang menjadi beban tersendiri untuk Jungkook.
Keluarga Jungkook begitu keras. Berbeda 180 derajat dengan keluargaku yang terkesan lebih permisif dalam mendidik dan membesarkanku. Aku dibesarkan dengan diselimuti hangatnya kasih sayang kedua orangtuaku. Ayah dan Ibu tidak pernah menutup mata dan telinga setiap kali aku menjelaskan sesuatu dari sudut pandangku, terlebih jika itu berkaitan langsung dengan kehidupanku.
Sayangnya, priaku itu kurang beruntung dalam hal ini. Keluarga Jungkook dengan segala pikiran sempit mereka tidak akan pernah bisa mendukung keinginannya. Dia hanya memiliki dirinya sendiri yang bisa menjadi pegangan, yang bisa mendukung keputusannya, kemudian aku akan menjadi pelengkap. Aku akan memastikan kalau Jungkook tidak lagi merasa seperti itu. Jungkook tidak lagi sendirian, karena aku akan berada di sampingnya apa pun keadaannya.
Saat hari kelulusannya, Jungkook akhirnya memutuskan untuk angkat kaki dari rumah. Jungkook muak dan sudah tidak bisa lagi menuruti apa yang keluarganya inginkan. Jungkook tidak bisa lagi terus-terusan menjadi boneka orangtuanya.
Tentu saja hari itu akulah satu-satunya orang yang menangis kejar. Aku merosot ke lantai flat-ku dan menangis hingga sesenggukan, ketika melihat Jungkook berdiri di depan pintu flat dengan menggendong tas ransel miliknya. Wajah Jungkook dihiasi oleh rasa lelah dan gurat-gurat kecewaan. Hatiku begitu sakit setiap kali mengulang kembali gambaran hari itu dalam ingatanku.
Saat itu aku hanya bisa menarik Jungkook untuk masuk ke dalam dekapanku. Aku memeluknya dengan erat, seakan-akan pelukanku yang erat itu dapat mengangkat seluruh rasa sakit, rasa lelah dan luka yang sedang menggerogotinya.
Kami mulai membangun mimpi bersama-sama dan memutuskan tinggal di flat kecil milikku sejak saat itu. Dimulai dari kami yang sama-sama menganggur, hingga akhirnya aku mendapat pekerjaan di salah satu butik besar di daerah Gangnam. Berawal dari anak magang yang hanya disuruh pekerjaan sepele—seperti membuat kopi, hingga akhirnya aku bisa berada di titik ini. Aku, Kim Taehyung yang sudah menjabat sebagai kepala di divisi Merchandiser di butik terkenal selama satu setengah tahun. Hebat bukaaan?
Tentu saja ini semua tidak lekang dari segala dukungan yang Jungkook berikan. Jungkook memberiku begitu banyak saran dan masukan, hingga aku yakin kalau pekerjaanku ini memang benar-benar hal yang aku inginkan dan aku sukai. Jungkook selalu memastikan kalau aku tidak pernah menyerah untuk kebahagiaanku dan mimpiku untuk bekerja di bidang fashion.
Maka dari itu aku melakukan hal yang sama. Aku akan selalu mendukungnya dengan sepenuh hatiku, dengan sekuat tenagaku. Setiap kali Jungkook lelah dan ingin menyerah akan mimpinya, aku akan mengirimkan kekuatan untuknya hingga Jungkook kembali bersemangat, yeay. Aku ingin Jungkook tahu, kalau aku selalu percaya padanya.
Berkali-kali Jungkook mencoba untuk mengikuti audisi di benerapa agensi besar. Namun pacarku itu selalu saja mendapatkan hasil yang tidak sejalan dengan apa yang diinginkan. Memang dasar mereka tidak memiliki taste yang bagus dalam bermusik! Padahal Jungkookie adalah musisi terhebat sedunia.
Terkadang Jungkook merasa dirinya tidak pantas untuk mendapatkanku—katanya. Tapi aku tidak pernah sekali pun berpikir demikian. Aku justru berterimakasih kepada semesta yang telah mempertemukan kami. Aku bersyukur setiap detiknya, karena aku memiliki Jungkookie di sisiku. Apa jadinya Kim Taehyung tanpa Jeon Jungkook di hidupnya? Aku tidak akan pernah tahu jawabannya.
Pagi ini Jungkookie memelukku di dapur kami yang kecil. Leher dan rahangku habis dikecupi olehnya, membuat diriku menghentikan kegiatan mencuci piring untuk sementara waktu. Aku mengeluh, namun tetap menikmati sikap manis priaku itu.
Jungkook kemudian memutar tubuhku, agar aku dapat menghadap ke arahnya dan menatap matanya. Dia tangkup pipiku. Aku lihat ada sebuah senyuman simpul menghiasi wajah tampannya, membuatku ikut tersenyum. Tubuh kami begitu dekat, namun aku tidak bisa memeluk tubuhnya karena tanganku kotor dengan busa dari sabun pencuci piring.
“Hari ini aku mau coba ikut audisi lagi, sebagai produser musik di salah satu agensi. Ya, memang engga besar sih. Tapi engga ada salahnya untuk mencoba, bukan?” kata Jungkook.
Aku langsung bersemangat. Kepalaku mengangguk, bahkan aku yakin sekali kalau aku dapat mematahkan leherku karena anggukan yang terlalu bersemangat itu.
“Loh, apa bedanya agensi kecil atau besar? Pokoknya kamu harus tetap semangat!!!” jawabku.
Aku peluk tubuh Jungkook seerat mungkin, tidak peduli kalau bajunya basah terkena busa dari tanganku. Dalam hati aku berdoa, agar dunia melunak dan tidak lagi begitu keras pada priaku. Aku harap semesta membiarkan Jungkook bahagia dengan mimpinya, seperti apa yang sudah Jungkook lakukan untuk diriku dan mimpiku.
Jungkook berangkat pukul 11:35 pagi dari flat. Namun hingga kini aku belum mendapatkan kabar apa pun darinya, padahal hari sudah hampir berganti menjadi malam. Dalam waktu beberapa menit lagi aku bisa memastikan kalau matahari akan tenggelam di ufuk barat. Rasanya aku sudah mulai kehilangan konsentrasi untuk bekerja, tiba-tiba saja rasa gugup menyerangku.
“Kak Taehyung, ini hasil survei visual effect display ke pelanggan di minggu ini. Apa mau diperiksa lagi?” Choi Beomgyu, salah satu anak buahku di divisi Visual Marchandiser menyerahkan hasil rekap dari survei yang dimaksud ke atas mejaku.
Namun rasa gugup ini nampaknya semakin bertambah parah, disusul dengan rasa mual dan sekelilingku yang seperti berputar hebat.
Aku menyempatkan diri untuk menyelesaikan beberapa pekerjaanku, lalu akhirnya izin untuk kembali lebih awal hari ini. Kalau diteruskan bekerja yang ada aku akan berakhir ke rumah sakit, bukan ke dalam pelukan Jungkook nanti malam.
Aku butuh Jungkook dan memeluknya untuk membuat rasa mualku ini lenyap, karena Jungkookie adalah obat dan penawar dari rasa sakit yang paling ampuh!
. . .
. . .
Hallo, selamat membaca Short AU yang sudah lama aku anggurin ini! huhuhu. Maaf kalau di atas ada begitu banyak typo(s) ya guys~
All the Love, Bae.