A Thousand Times Prolog: Pria Asing dan Ingatan dari Masa Lalu.

. . .

In another lifetime, I would never change my mind. I would do it again, a thousand times.

Aidan tidak tahu kenapa sekelilingnya terasa begitu aneh.

Dia yakin kalau awal dia memasuki pertemuan ini dirinya masih baik-baik saja. Nuel, temannya itu, masih sempat mengajak dia berdiskusi tentang perkataan dari seorang guru atau pembicara yang ada di depan sana. Aduh, Aidan saja tidak tahu harus memanggil beliau dengan sebutan apa.

Bahkan dirinya sempat mengejek si pembicara yang sedang dengan serius menceritakan isi buku Republic yang ditulis oleh seorang filsuf terkenal asal Yunani, Plato.

Bisa-bisanya Nuel mengajak Aidan hadir dalam diskusi aneh ini. Tema yang diangkat saja tidak masuk akal sama sekali. Bagaimana bisa dirinya datang dan mendengarkan ocehan dari seseorang yang berdiri di atas podium dan berkata panjang lebar tentang sebuah ‘reinkarnasi’.

Awalnya Aidan masih bisa memaklumi keanehan yang terjadi. Misalnya, dia yang datang dan duduk mendengarkan ocehan seseorang yang sedang membahas tentang omong kosong—reinkarnasi. Aidan lebih memilih mengabaikan ocehan orang tersebut dan akan menimpali sesekali dengan decihan.

Namun tiba-tiba saja sesuatu terjadi pada dirinya. Kepalanya terasa begitu sakit, seakan-akan ada seseorang yang sengaja membenturkan atau memukulnya dengan sebuah benda padat. Pusing sekali, sakit sekali dan bahkan rasa mual ikut menyusul.

Temannya yang dengan kurang ajar menggeretnya ke tempat ini masih fokus mendengarkan khotbah atau ocehan dari seseorang yang katanya ahli di bidang ini. Aidan tidak mau tahu, karena kepalanya kini terasa semakin sakit. Mendengar ocehan tidak logis dari orang tersebut membuat sakit di kepalanya bertambah parah, rasanya seperti ingin pecah.

“Teori Socrates mengatakan bahwa belajar adalah ‘perenungan’. Teori ini berperan besar dalam Meno dan Phaedrus. Kalian tahu tentang itu? kalau tidak, saya bisa pinjamkan bukunya nanti.” orang itu kembali bersuara.

Mengapa orang-orang dapat mengingat jawaban atas pertanyaan yang sebelumnya tidak mereka miliki?

Sekelilingnya terasa berputar. Penglihatannya kabur dan pendengarannya menjadi buruk. Suara si pengkhotbah di atas sana terdengar samar-samar menghilang dan digantikan oleh sebuah bunyi aneh yang begitu menyiksa gendang telinganya.

Sialan. Bisa diem aja ga sih ini orang?

Dalam hati Aidan menyahut. Sakit di kepalanya semakin menjadi dan disusul dengan suara dengungan di telinganya yang mengeras. Tangannya mencoba menggapai ke kursi di sebelahnya, meminta pertolongan Nuel agar segera membawa dirinya keluar dari tempat ini. Ke mana pun, tolong, bawa Aidan pergi ke mana saja. Kalau perlu langsung bawa dia ke rumah sakit terdekat.

Dirinya tidak lagi mendengar ocehan si guru di depan sana yang masih asik membahas tentang filsafat reinkarnasi. Satu-satunya hal yang di dengar hanyalah bunyi ngiiing berkepanjangan, seakan-akan ada puluhan lebah yang melintas tanpa permisi di dekat telinganya.

Lalu bayangan orang asing tiba-tiba saja muncul. Seorang pria dengan mata besar yang sedang menatapnya dengan tatapan sedih. Ada sisa-sisa air mata yang masih membekas di sekitar mata dan pipinya.

Hanya sekelebat bayangan, namun bisa membuat setetes air matanya jatuh dan terjun bebas pada pipinya. Aduh, kenapa ini tiba-tiba dadanya terasa sesak dan sakit?

Rasanya seperti Aidan pernah membagi luka yang sama dengan orang itu, meski dirinya tidak tahu apa yang sedang dia rasakan saat ini. Hanya saja, orang asing itu terasa begitu familiar untuknya.

Tapi Aidan tidak tahu siapa orang itu. Aidan juga tidak tahu kenapa rasanya sakit sekali, seperti ada ribuan belati yang menancap di dadanya. Lalu hal selanjutnya yang dia ingat hanyalah seluruh ruangan yang tiba-tiba menggelap.

. . .

A Thousand Times Prologue.