Identical Twins — 123.
Let's just sit quietly and listen to the secrets the rain wants to tell us.
– John Mark Green -
Taehyung mengintip ke luar jendela, wajahnya berubah murung ketika melihat kondisi langit di atas sana. Awan hitam dan gelap bergulung-gulung menghiasi langit kota Seoul sore itu, mengguyur seluruh kota dengan titik-titik air yang datang bergerombolan. Perkiraan cuaca mengatakan kalau akan turun hujan sore menjelang malam, Taehyung sudah memeriksanya. Namun Jeongguk tadi tiba-tiba saja berubah pikiran pada menit-menit terakhir. Kita ngerjain di kafe aja, yuk? Bosen di perpus mulu, katanya.
Taehyung menghela napasnya berat.
Jalanan kini dipenuhi oleh genangan air. Menyisahkan beberapa pejalan kaki yang nekat menerobos guyuran hujan lebat dengan payungnya.
“Kamu sih, aku udah bilang jangan pergi jauh-jauh. Hari ini bakal hujan dan aku engga bawa payung.” gerutu Taehyung. Matanya masih bolak-balik melihat ke arah luar jendela meski tahu kalau hujan tidak akan berhenti dalam waktu dekat.
“Ya udah, mau gimana lagi? kita tunggu aja sampai hujannya berhenti.” jawab Jeongguk santai.
Dalam hati Jeongguk bersorak-sorai kesenangan karena hari ini Tuhan luar biasa baik. Hujan turun tepat di saat Taehyung dan dirinya hendak pergi dari kafe tersebut. Berarti waktu yang dia habiskan dengan Taehyung kini menjadi lebih panjang dari yang seharusnya.
“Kalau sampai tengah malam engga berhenti juga gimana?” tanya Taehyung.
“Engga mungkin. Udah, mending lo pesen minuman hangat lagi gih.”
Taehyung menggeleng. Tangannya dilipat ke atas meja, kemudian dagunya bertumpu di atasnya. Taehyung tidak ingin minuman apa pun, dirinya hanya ingin kembali ke asrama dan bertemu dengan Yeontan. Kasihan sekali anak bulunya ditinggal sendirian di asrama.
“Aku cuma mau balik, kasian Tannie aku tinggal sendirian.” jawab Taehyung.
“Minta tolong temen lo yang di asrama dulu engga bisa? Nanti habis hujannya berhenti kita langsung balik. Beneran ini, janji.”
Awalnya Jeongguk senang bukan main. Semesta seakan-akan berpihak padanya untuk hari ini saja. Hari ini saja, biarkan Jeongguk menikmati waktunya bersama Kim Taehyung sedikit lebih lama. Tanpa ada pembicaraan seputar skripsi ataupun adik kembarnya.
Tapi hatinya jadi tidak tega ketika melihat wajah murung Taehyung yang menyebut nama anak bulunya, Yeontan.
“Coba aku hubungi Jimin dulu, deh.”
Jeongguk mengangguk, membiarkan Taehyung mencoba menghubungi Jimin melalui sambungan telepon.
Hujan di luar sana tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera berhenti. Gemuruh hujan dan kilatan petir masih betah menghiasi langit di luar sana. Mustahil bagi Jeongguk dan Taehyung untuk kembali saat ini juga karena hari ini Jeongguk mengendarai motornya. Bisa-bisa mereka berdua basah kuyup atau parahnya tersambar kilat ketika nekat membelah jalanan Seoul dengan motor.
Jeongguk berdiri, meninggalkan Taehyung yang sedang mengeluh akan hujan deras yang membuatnya terjebak di kafe. Pria itu mengadu kalau kemungkinan besar dia akan tertahan cukup lama di sini. Kemudian meminta tolong Jimin untuk menjaga anak bulunya sebentar, kebetulan sahabatnya itu mengetahui pin akses kamar Taehyung.
Jeongguk mengatakan sesuatu pada sang kasir, memesan dua jenis minuman hangat untuk dirinya dan Taehyung. Kemudian menoleh ke arah tempat duduk mereka. Taehyung masih berbicara melalui sambungan telepon itu dengan wajah cemberutnya.
“Ingin menambah menu pasangannya, kak?” tanya wanita muda dengan balutan seragam kafe di hadapan Jeongguk. Dia menunjuk sebuah cake stroberi berbentuk hati, katanya sih menu pasangan di kafe ini.
Jeongguk menimbang-nimbang sebentar. Kalau misalnya dia membeli menu ini, apa yang akan dia katakan ketika Taehyung bertanya nanti?
Jawab saja karena itu kue stroberi dan Taehyung sangat suka berbagai hal yang mengandung storberi~
“Boleh, menu pasangannya satu.”
Setelah selesai memesan dan membayar, Jeongguk kembali lagi ke tempat duduknya. Menunggu sebuah benda bulat berukuran kecil yang akan menyala ketika pesanannya sudah siap nanti. Dilihat kini Taehyung sudah tidak lagi berbicara dengan Park Jimin melalui telepon. Ponselnya dia tidurkan di atas meja dan matanya sibuk memandangi rintik hujan di luar sana.
Tidak ada yang berbeda. Jalanan masih dihiasi oleh rintik hujan yang kini malah turun kian lebat. Jalanan, gedung-gedung besar dan bukit di luar sana kini tertutup oleh derasnya air yang jatuh dari langit. Entah ini sebuah berkah di awal musim semi atau ini sebuah petaka untuk Taehyung.
“Gimana jadinya si Yeontan?” tanya Jeongguk.
“Jimin yang jagain sampai aku balik ke asrama nanti.” jawab Taehyung. Entah mengapa atau ini hanya perasaan Jeongguk saja, Kim Taehyung sepanjang hari ini terlihat begitu sering menghindari tatapan mata Jeongguk. Ketika Jeongguk bertanya, anak itu akan selalu memandang ke arah lain untuk menjawab.
“Kim Tae, lo marah sama gua?”
Akhirnya tatapan itu tidak memandang ke arah lain lagi. Mata besar itu menatap mata Jeongguk dengan penuh tanda tanya, beberapa detik kemudian ekspresinya berubah. Jeongguk tidak bisa membaca ekspresi apa yang Taehyung berikan. Membuat Jeongguk terdiam dan bertanya-tanya dalam hatinya.
Dirinya ingin sekali bertanya lebih lanjut. Mengulik dan mengorek apa yang ada di dalam pikiran Taehyung. Namun kesadaran diri menamparnya begitu keras, kalau dia tidak mungkin bisa melakukan itu. Ada hak apa Jeongguk begitu ingin tahu apa yang ada di dalam kepala dan hati Taehyung?
Situasi aneh di antara mereka kemudian terpotong, ketika alat berbentuk bundar yang diberi oleh sang kasir tadi berbunyi. Jeongguk berdiri tanpa mengatakan sepatah kata pun, berjalan menuju meja di sebelah kasir yang sudah menyediakan pesanannya tadi. Dia ambil nampan berisikan dua minuman hangat dan satu piring kue berbentuk hati. Seketika hatinya begitu miris melihat pesanannya sendiri, Jeongguk jadi agak menyesal.
Dia meletakkan nampan ke atas meja yang ada di hadapannya juga Taehyung. Menyodorkan segelas cokelat hangat dan menaruh sepiring kue berbentuk hati itu di sebelah gelas Taehyung. Tidak sadar Jeongguk kalau kini pria manis itu sedang menatapnya lagi, kembali dengan ekspresi yang tidak bisa Jeongguk pahami itu.
Kemudian Taehyung berkata, “Ini kue buat aku atau aku harus makan berdua sama kamu?”
Tersedaklah itu Jeongguk dibuat oleh Taehyung. Kepala Jeongguk menggeleng tidak santai, seakan-akan perkataan Taehyung itu merupakan sebuah gagasan terkonyol yang pernah dia dengar.
“Enggalah, gua ga terlalu suka makanan manis. Itu buat lo aja sendiri.”
Kepala Taehyung mengangguk ringan, menyetujui untuk memakai kue itu seorang diri. Dia sendok pinggiran kue berbentuk hati itu, seakan-akan tidak mau merusak nilai estetisnya. Kemudian dia suapkan ke dalam mulutnya dan menggumam riang sambil mengangguk-angguk lagi. “Mmm.”
“Enak?” tanya Jeongguk.
“Enak kok. Kamu mau nyobain?” tanya Taehyung.
Jangan seperti ini Kim Taehyung. Jangan bersikap manis kalau pada akhirnya kamu akan menghancurkan hati pria itu. Jangan bersikap manis dan memberi harapan terus menerus, kalau nyatanya hatimu sudah diisi oleh orang lain.
Jeongguk menggeleng, sebuah jawaban yang sudah Taehyung duga.
Sore itu hujan lebat seakan berkata, memberi tahu sebuah rahasia yang selama ini sudah dipendam dalam-dalam. Semesta menyimpan rahasia, begitu juga manusia. Tapi, sepintar apa pun manusia menyembunyikan sesuatu, pada akhirnya semua itu akan terkuak. Rahasia: rasa suka, kagum dan sayang yang selama bertahun-tahun berkembang tanpa adanya sebuah pernyataan.
Apa benar ya yang dikasih tahu Jiminie? . . .
. . .
Saat itu waktu menunjukkan pukul 08:45 ketika Jeongguk memberhentikan motornya di depan asrama Taehyung. Sesuai dugaan, hujan turun cukup awet dan baru benar-benar berhenti pukul delapan lewat.
Tidak banyak yang mereka obrolkan di kafe tadi. Keduanya sibuk memandang ke arah luar dan berharap kalau hujan segera reda. Jadi situasi canggung dan aneh itu bisa lekas mereka hindari.
Dua hari ini Taehyung banyak berpikir perihal perasaan. Bukan hanya perasaannya saja, tapi juga perasaan orang lain. Perasaan pria yang sedang memboncengnya itu. Taehyung turun dari boncengan motor Jeongguk, masih diam dan menimbang-nimbang apakah perlu kalau dia bertanya langsung tentang hal yang begitu mengganggunya selama dua hari ini?
Helm milik Jeongguk dia lepaskan dan diberikan lagi kepada pemiliknya. Tapi buru-buru Jeongguk menolak. “Simpen aja, biar nanti kalau pergi lagi gua ga repot bawa-bawa itu helm.”
Meski sudah memasuki awal musim semi, udara musim dingin masih begitu terasa terutama di malam hari. Taehyung sedikit menggigil ketika kulit wajahnya yang tadinya berlindung dari balik helm kini berbenturan langsung dengan angin malam.
Suasana asrama Taehyung begitu sepi. Tidak ada satu orang pun yang berlalu-lalang atau sekadar berjalan santai menghirup udara segar. Tentu saja tidak ada yang melakukan itu. Orang-orang pasti memilih untuk berlindung di dalam bangunan yang hangat, ketimbang berperang dengan udara dingin di malam hari. Bisa-bisa awal semester yang sudah dimulai akan kacau karena terkena flu.
“Jeongguk?” panggil Taehyung, pelan dan penuh keraguan.
“Hm?”
“Engga jadi. Udah sana pulang, makasih ya udah dianterin sampai depan dorm. Malem, Jeongguk.” kata Taehyung lagi.
Badannya sudah berbalik, memunggungi Jeongguk yang masih diam di tempatnya. Pria itu memandangi Taehyung yang terus melangkah menjauh untuk masuk ke dalam asramanya. Tepat di depan pintu masuk lobi utama Taehyung kembali berbalik ke arah tempat di mana Jeongguk berada. Jeongguk tahu kalau ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh pria itu, namun dia terlalu ragu.
Dilepaslah helm miliknya, kemudian dia gantungkan pada salah satu kaca spion motornya. Jeongguk turun dari motor dan berjalan menghampiri Taehyung. Kakinya berhenti melangkah ketika pria manis itu hanya berjarak selangkah dari tempatnya berdiri.
“Mau ngomong apa? Lo tau kan kalau bikin orang penasaran terus ga jadi ngomong tuh dosanya neraka jalur undangan?” kata Jeongguk, mengutip omongan Taehyung beberapa hari lalu.
“Hih, itukan omonganku. Ckck.”
Jeongguk kini bisa tertawa. Rasa canggung yang begitu membebaninya sedari tadi kini terangkat.
“Cepetan, mau ngomong apa?” Jeongguk kembali bertanya.
“Ada satu hal yang buat aku kepikiran banget dua hari ini. Menurutku mustahil banget, engga mungkin itu bener terjadi.” Taehyung memulai menyuarakan apa yang mengganggu pikirannya itu. Jeongguk diam, membiarkan Taehyung menyelesaikan kalimatnya terlebih dahulu untuk kemudian dia tanggapi.
“Kata Jimin kamu suka sama aku, emangnya bener Jeon?” tanya Taehyung to the point pada akhirnya.
Kamu tuh bloon banget. Kamu sadar engga kalau Jeongguk juga tertarik sama kamu?
Aku aja bisa lihat, Tae. Aku lihat jelas banget dia ada rasa ke kamu. Udah jangan bandel dan ngeyel. Pikirin baik-baik masalah ini ya, bayiku. Aku engga mau kamu tanpa sadar nyakitin hati seseorang.
Sekujur tubuh Jeongguk rasanya kaku, otot-ototnya tidak bekerja sebagaimana mereka seharusnya bekerja. Lidahnya kelu dan tangannya tiba-tiba keringat dingin—entah karena debaran jantungnya yang begitu luar biasa cepat atau apa. Udara begitu dingin dan berangin, namun tangannya kini malah bercucuran keringat.
Tidak ada jawaban apa pun dari Jeongguk. Kemudian Taehyung kembali bersuara. “Jeongguk, lupain aja. Emang si Jimin tuh suka ngaco omongannya. Udah kamu pulang gih, aku juga mau masuk nih.”
Taehyung kembali berbalik. Jeongguk kembali melihat punggung Taehyung yang hendak berjalan menjauh darinya.
Sekarang atau engga sama sekali? lebih menyesal yang mana?
“Kim Tae, tunggu.” pergelangan tangan Taehyung ditahan oleh Jeongguk. Membuat pria manis itu kembali menghadap ke arahnya. Mata mereka saling beradu tatap, mengunci satu sama lain untuk beberapa saat.
“Engga, Jimin engga ngaco. Gua emang suka sama lo, tapi lo-nya engga pernah sadar.” kata Jeongguk pada akhirnya.
Taehyung tertetegun, mendengar jawaban Jeongguk yang entah serius atau bercanda ini. Bulu kuduknya berdiri karena udara dingin sekaligus perkataan Jeongguk barusan. Aneh. Meskipun—Taehyung mengira—Jeongguk adalah pria di atap kampus yang membuat dia deg-degan. Taehyung tidak berani memikirkan atau membayangkan Jeongguk akan menyatakan perasaannya seperti ini.
“Gua engga becanda, kalau misalnya lo mikir begitu. Gua serius banget. Susah banget buat nyatain ini langsung ke lo, susah. Gua juga engga paham kenapa jadi cemen begini. Tapi mungkin emang sekarang udah waktunya lo tau.”
“Tapi—” perkataan Taehyung keburu disela oleh Jeongguk. “Tapi lo selalu bahas Jungkook setiap kali gua ada kesempatan ngobrol dan mau ngenal lo lebih dalam. Gua selalu ngambil langkah mundur, karena rasanya gua cuma bayang-bayang Jungkook aja di mata lo,”
“Bisa engga kalau gua berharap dapat kesempatan yang sama kayak Jungkook? Gimana kalau gua berharap lo mau nyoba buka hati lo buat gua?”
Taehyung masih diam. Memangnya reaksi apa yang kalian harapkan dari Taehyung?
Anak itu masih begitu kaget dengan kenyataan yang baru dia ketahui ini. Taehyung terlalu bodoh untuk membedakan cara konyol Jeongguk mendekatinya bukan untuk membuat dirinya kesal, melainkan mencari perhatian Taehyung. Jadi dia tidak berekspektasi kalau Jeongguk memang memiliki perasaan padanya, berbeda dengan Jungkook yang terang-terangan membahas tentang perasaan.
“Gua boleh egois kan kali ini, Kim?”
Jeongguk ingin egois dan mengemis kesempatan dari Taehyung. Ingin meminta pria itu untuk mencoba membuka hatinya untuk dirinya juga. Ingin menghapus bayang-bayang adiknya yang selalu menutupi eksistensinya di mata Taehyung. Selama ini Jeongguk kalah, Jeongguk mengambil langkah mundur karena Taehyung yang tanpa sadar selalu mendorongnya menjauh. Mendorong pria itu mundur dengan segala hal tentang Jungkook. Hanya ada Jungkook di sana, bagaimana Jeongguk bisa masuk kalau Taehyung memilih untuk megunci pintu hatinya dan membiarkan pikirannya penuh dengan Jungkook.
“Jeongguk, aku harus masuk. Y-yeontan udah nungguin.”
Genggaman tangan pada tangannya ditarik oleh Taehyung. Jarinya buru-buru memasukan pin akses kamarnya dan kakinya berlari memasuki gedung asrama. Meninggalkan Jeongguk yang masih mematung di sana. Masih menanti jawaban pasti dari Kim Taehyung. . . .
. . . Author's Note:
Hallo! pertama-tama, seperti biasa maafkan diriku kalau ada banyak sekali typo di atas sana! ku akan edit lagi nanti untuk typos-nya hihihi. Laluuuu, mari kita beri terima kasih kepada Jimin yang udah dengan sabar ngejelasin ke Taehyung soal JG (di balik layar!) hahaha.
Akhirnya si JG ga jadi pengagum dalam diam guys. Akhirnya!!! Emang gregetan banget sama karakter JG dan Taehyung di sini, aku buat sengaja begitu. Karena konfliknya ya di sana, tapi aku gregetan sendiri.
Btw, selamat membaca mantemaaan. Silahkan gregetan menunggu jawaban Taehyung~ hahaha!
All the Love, Bae.